Hubungan kami memang tidak selalu mulus. Ada kalanya kami mengalami pertengkaran, seperti yang terjadi beberapa waktu lalu. Kejadian itu membuatku merasa cemas, tetapi aku tahu ini adalah ujian yang harus kami lewati bersama. Ujian untuk saling memahami, mengerti perasaan satu sama lain dan belajar cara menyelesaikan masalah dengan bijak. Tapi seperti biasa, di tengah pertengkaran yang tak terhindarkan, orang tua Redo selalu hadir memberi kami nasihat dan dukungan yang sangat berarti.
Suatu pagi, setelah malam yang panjang di mana Redo pulang dinas hingga subuh, dia akhirnya tertidur dengan lelap di kasurnya. Aku tahu dia sangat lelah setelah bertugas sepanjang malam, namun ada hal penting yang harus aku bicarakan dengannya. Aku membangunkannya perlahan berharap dia bisa mendengarkan apa yang ingin aku sampaikan. Namun, kelelahan Redo seakan membuatnya terbangun dengan emosi yang tinggi dan tanpa sengaja dia membentakku.
"Apa sih, kok ganggu tidur!" suaranya kasar, meskipun aku tahu dia tidak bermaksud begitu.
Aku terkejut, dan tanpa sadar aku merasa terluka. Rasanya seperti ada yang tercabik dari hati ini. Aku tahu dia lelah, tapi aku juga butuh perhatian. Dalam kesedihan itu aku mencoba untuk tetap tenang meskipun rasa marah dan kecewa mulai menguasai diriku. Namun, sebelum aku sempat berbicara, terdengar suara pintu terbuka dari luar.
Ibu dan Bapak Redo, yang entah bagaimana peka tahu kami sedang bertengkar segera datang menghampiri. Wajah mereka penuh dengan kekhawatiran, tetapi juga penuh dengan kasih sayang. Mereka tahu betul bagaimana Redo, yang kadang-kadang terlalu terfokus pada tugas, bisa lupa diri dalam keadaan tertentu.
"Redo, kamu nggak bisa begitu sama pacarmu, ya. Dia pasti capek juga, jangan marah-marah begitu," ucap Ibu Redo dengan lembut namun tegas, seperti ibu yang tahu betul bagaimana menyampaikan nasihat tanpa menyakiti hati.
Bapak Redo juga menimpali, "Kamu itu anak laki-laki, harus lebih bisa menjaga perasaan orang lain. Kalau dia minta perhatian, kasih perhatian. Jangan sampai dia merasa nggak dihargai."
Hati ini terasa lebih tenang mendengar nasihat orang tua Redo. Aku tahu, meskipun kami sedang bertengkar, mereka selalu berpihak pada kebenaran dan tidak pernah membela Redo hanya karena dia anak mereka. Mereka selalu adil, memberikan nasehat dengan penuh kebijaksanaan.
Redo yang semula tampak bingung dan marah, kini menundukkan kepala. Wajahnya terlihat menyesal. Aku melihat ada rasa bersalah yang muncul di matanya. Dengan langkah pelan, Redo menghampiriku, mengulurkan tangan, dan berkata, "Sayang, aku minta maaf ya. Aku nggak bermaksud marah. Aku capek, tapi aku tahu aku nggak seharusnya berbuat seperti itu."
Aku hanya bisa menatapnya dalam diam. Rasanya masih sulit untuk memaafkan, tapi melihat penyesalannya, aku tahu dia benar-benar merasa bersalah. Redo kemudian memelukku, erat sekali, seperti ingin meyakinkanku bahwa dia akan lebih berhati-hati di masa depan. Tak hanya itu, dia bahkan mencium keningku, dengan lembut seperti dalam drama romantis yang sering aku tonton di televisi.
"Terima kasih sudah sabar sama aku, Sayang," katanya penuh ketulusan.
Aku hanya bisa mengangguk dan dalam pelukannya aku tidak ada lagi amarah, tidak ada lagi kekecewaan. Bagiku, itu adalah salah satu bentuk cinta yang paling tulus mampu mengakui kesalahan dan berusaha memperbaikinya dengan sepenuh hati.
Tak lama setelah itu, Ibu dan Bapak Redo, yang melihat kami berdua kembali akur, tersenyum puas. Mereka tahu betul bagaimana menjaga hubungan yang baik, dan mereka juga selalu mengajarkan kami untuk menyelesaikan masalah dengan saling menghargai.
Beberapa hari setelah pertengkaran itu, ada kejadian lain yang membuatku merasa semakin bersyukur memiliki Redo dan keluarganya.
"Eh, makan dulu, nak," kata Ibu Bapak dengan senyum hangat, sambil menyodorkan makanan kepadaku. Aku terkejut, karena biasanya seharusnya yang membawakan makanan atau mencoba membantu mereka di dapur yang benar adalah calon menantu. Tapi kali ini, Bapak Redo malah yang memberikan makanan kepadaku, seolah-olah mereka yang ingin merawatku, calon menantu mereka.
"Makasi ya, pak," ucapku dengan rasa terharu, karena aku merasa sangat dihargai.
Adik Redo hanya tersenyum, "Kamu sudah jadi bagian dari keluarga kami, kak. Kita harus saling menjaga."
Kata-kata itu benar-benar menyentuh hatiku. Aku merasa diterima sepenuhnya oleh keluarga Redo, bukan hanya sebagai pacar, tetapi sebagai seseorang yang benar-benar mereka anggap bagian dari keluarga. Aku bisa merasakan kasih sayang mereka, seolah mereka menganggap aku seperti anak mereka sendiri. Hal ini membuatku semakin yakin, bahwa tidak hanya Redo yang aku pilih sebagai pasangan hidup, tetapi keluarganya pun menjadi bagian dari hidupku yang tak terpisahkan.
Keluarga Redo memang hangat dan penuh kasih. Begitu banyak perhatian yang mereka berikan, baik itu dalam bentuk kata-kata maupun tindakan. Aku bersyukur mengenal Redo, bukan hanya karena dirinya yang baik, tetapi juga karena keluarganya yang sangat baik hati. Aku tahu bahwa mereka bukan hanya mendukung hubungan kami, tetapi juga mendukung aku sebagai individu. Ini adalah hal yang sangat berarti, karena dalam perjalanan menuju pernikahan ini, tidak hanya Redo yang berperan penting dalam hidupku, tetapi juga keluarganya yang selalu memberikan contoh tentang bagaimana seharusnya keluarga itu saling mencintai dan mendukung satu sama lain.
Di balik setiap pertengkaran, setiap perbedaan, ada pelajaran berharga yang kami ambil. Dan aku yakin, dengan dukungan dari keluarga Redo, kami bisa melewati segala ujian yang akan datang. Kami akan terus belajar untuk saling memahami, saling memberi, dan menjaga cinta ini, bersama keluarga yang selalu ada di tengah-tengah kami.