Akhirnya, semua berkas yang telah kami kumpulkan dengan penuh kesabaran dan perjuangan kini selesai. Map-map yang sebelumnya membuat kami deg-degan setiap kali membukanya kini tersusun rapi, siap untuk diajukan. Tidak ada lagi dokumen yang tertinggal, tidak ada lagi surat yang harus dilengkapi. Semua sudah siap, dan itu berarti kami selangkah lebih dekat menuju mimpi kami, menuju hari di mana kami akan mengucapkan janji suci sebagai pasangan suami istri.
Namun, satu langkah penting masih menunggu. Pengajuan nikah dinas di Korem adalah proses yang harus kami lalui dengan hati-hati dan penuh ketelitian. Meski sedikit gugup, aku tahu kami sudah melakukan yang terbaik sejauh ini.
Hari itu, aku duduk di kamar sambil menatap kalender di dinding. Tanggal keberangkatanku ke Sorong sudah aku lingkari dengan spidol merah tebal. Dua bulan lagi akan menjadi bulan yang penuh makna bagiku dan Redo. Tapi sebelum itu, ada satu hal yang harus aku selesaikan terlebih dahulu: magang/PPL.
Magangku masih berjalan, dan aku harus menuntaskannya sebelum benar-benar berangkat ke Sorong bersama Redo untuk menjalani proses pengajuan nikah dinas kami. Rasanya seperti ada dua dunia yang harus aku jalani sekaligus; dunia magang yang sibuk dengan tugas dan tanggung jawab, serta dunia persiapan pernikahan yang penuh dengan mimpi dan harapan.
Redo selalu memastikan aku tetap semangat menjalani keduanya. "Fokus saja dulu, sayang. Magangmu itu penting. Setelah selesai, baru kita jalani proses di Korem bersama-sama," katanya setiap kali aku mulai merasa terbebani.
Dia selalu tahu bagaimana caranya membuat aku merasa lebih ringan.
Malam itu, aku dan Redo berbicara panjang lebar melalui panggilan video. Wajahnya yang hangat terlihat jelas di layar ponselku, meskipun sedikit lelah setelah seharian bertugas.
"Sayang, semua sudah siap. Begitu kamu selesai magang, kita langsung berangkat ke Korem. Jangan khawatir, semua akan berjalan lancar," ujarnya dengan nada yakin.
Aku tersenyum kecil, meski jauh di dalam hati masih ada sedikit kegugupan. "Aku masih takut ada yang terlewat. Apa semuanya benar-benar sudah beres?"
Dia mengangguk mantap. "Sudah, percaya sama aku. Semua dokumen sudah aku periksa berkali-kali. Tinggal nanti kita jalani prosesnya bersama."
"Baiklah, aku percaya sama kamu," kataku sambil mencoba meyakinkan diri sendiri.
Percakapan malam itu ditutup dengan doa yang kami ucapkan bersama. Kami berdua tahu bahwa segala sesuatu yang telah kami persiapkan ini hanyalah sebagian kecil dari perjalanan besar yang sedang kami tempuh. Sisanya, kami serahkan kepada Tuhan.
Hari-hari menjelang keberangkatanku terasa begitu padat. Magang yang harus aku selesaikan menuntut banyak waktu dan tenaga, tapi aku tetap berusaha menjaga semangatku. Di sela-sela kesibukan, aku terus memikirkan Redo dan apa yang menunggu kami di Sorong.
Ibu, seperti biasa, selalu ada untuk mendukungku. Dia memastikan semua keperluanku untuk perjalanan nanti telah disiapkan. "Kamu harus tetap jaga kesehatan, ya," pesan Ibu sambil memeriksa koperku.
"Iya, Bu. Jangan khawatir," jawabku sambil tersenyum.
Di dalam hatiku, aku merasa bersyukur memiliki keluarga yang selalu mendukung setiap langkahku. Perjalanan ini bukan hanya tentang aku dan Redo, tapi juga tentang semua orang yang telah menjadi bagian dari cerita kami.
Waktu terus berjalan, dan akhirnya hari magang terakhirku tiba. Ada rasa lega sekaligus haru saat aku menyelesaikan tugas terakhirku di tempat magang. Rekan-rekan kerja dan mentor magangku memberikan ucapan selamat, mengetahui bahwa aku akan segera melangkah ke babak baru dalam hidupku.
"Semoga semua lancar, ya. Jangan lupa undang kami nanti," kata salah satu rekanku sambil tersenyum.
Aku hanya bisa mengangguk sambil mengucapkan terima kasih.
Malam sebelum keberangkatanku, aku dan keluarga menghabiskan waktu bersama. Ibu memasak hidangan favoritku, seolah ingin memberiku kekuatan sebelum perjalanan panjang ini. Kami berbicara tentang banyak hal, termasuk tentang Redo dan keluarganya yang selalu mendukungku.
"Ibu yakin, kamu akan bahagia bersama Redo. Dia anak yang baik, dan keluarganya juga menerima kamu dengan hangat," kata Ibu sambil menyajikan sepiring makanan di depanku.
Aku tersenyum, merasa sangat bersyukur. "Terima kasih, Bu, sudah selalu mendukungku."
Bab ini menjadi penutup dari cerita di jilid pertama novel kami. Langkah berikutnya akan membawa kami ke proses yang lebih besar; proses pengajuan nikah dinas yang akan menjadi awal dari hari bahagia kami.
Tunggu cerita kami selanjutnya di jilid kedua, di mana aku akan membagikan setiap detail perjalanan kami menuju pernikahan. Doakan semuanya berjalan lancar, ya. Langkah kecil ini adalah awal dari mimpi besar yang sedang kami wujudkan bersama.