Keputusan kami untuk melangkah ke hubungan yang lebih serius seakan menjadi pintu yang membuka ujian-ujian yang tak pernah terduga. Kata orang, perjalanan menuju pernikahan tidak pernah mudah, dan kini aku mengalaminya sendiri.
Di tengah menunggu semua surat dan dokumen beres, badai kecil hingga besar mulai bermunculan. Ada kalanya aku merasa seperti perahu kecil yang berlayar di lautan luas, berusaha bertahan di tengah gelombang besar. Godaan datang bertubi-tubi, terutama pada Redo. Aku tahu dia adalah pria yang menarik perhatian, dan ini menjadi alasan mengapa ujian seperti ini hadir. Chat dari orang-orang yang dulu pernah dekat dengannya mulai masuk, menggoda dan merayu dengan kata-kata yang seolah ingin menguji kesetiaannya. Di media sosial, terutama TikTok, kolom komentar dipenuhi oleh cewek-cewek yang tak segan mengutarakan kekaguman mereka secara berlebihan. Bahkan, beberapa janda muda ikut mencoba menarik perhatian Redo dengan cara yang membuatku harus menarik napas panjang untuk menahan emosi.
"Kalau dia memang cinta, kenapa memilih kamu?" Itu salah satu pesan dari mantan Redo yang tiba-tiba muncul di chat-ku. Aku tak mengerti bagaimana ia bisa berani mengirimkan pesan itu di sosial mediaku, tapi jelas ia berusaha melabrak dengan kata-kata yang tajam. Dadaku sesak, namun aku memilih untuk tidak merespons. Bukan karena aku lemah, tapi aku tahu bahwa membalas hanya akan memicu drama yang lebih panjang.
Namun, godaan ini bukan satu-satunya ujian kami. Keuangan menjadi tantangan yang tak kalah berat bagi kami yang berkomunikasi jarak jauh. Redo sedang berada dalam masa banyak pengeluaran. Sebagai seorang yang termasuk baru memulai karir dengan serius dia menjadi tentara baru 4 tahun, dan tanggung jawabnyapun tidak ringan. Dari biaya untuk melengkapi dokumen, tabungan untuk pernikahan nanti, hingga tiket ke jawa bersama keluarganya yang tidak memerlukan banyak biaya.
"Aku nggak apa-apa menemani proses kamu, kita merintis sama-sama berjuang bersama, menabung bersama, asal kita bisa tetap berjalan ke tujuan kita, aku akan selalu mendukung kamu selalu disamping kamu, kita berjuang bersama" ucapku dalam pesan teks yang kukirimkan saat aku tahu Redo sedang banyak beban. Meski mulutku berkata demikian, hatiku tak tega melihatnya bekerja begitu keras. Kadang aku hanya bisa mendoakan dari jauh, berharap semua jerih payahnya akan terbayar suatu hari nanti.
Ada saat-saat di mana Redo tampak begitu lelah. Melalui pesan suara, dia mengeluh pelan.
"sayang, kadang aku mikir... apakah semua ini akan sepadan?"
Pesan suara itu terasa berat. Aku bisa merasakan kekhawatiran yang ada di balik suaranya. Aku balas dengan cepat, mengirimkan pesan teks yang aku harap bisa memberinya semangat.
"Sayang, aku percaya sama kamu. Semua ini pasti akan terlewati dengan indah. Kita bisa lewatinnya kok."
Aku mencoba memberi semangat. Aku harus menjadi pendukung yang kuat untuk Redo, apalagi kami hanya bisa saling memberi dukungan melalui pesan-pesan yang terhubung lewat ponsel ini.
Namun, ujian tak hanya datang dari luar. Sore itu, ketika aku membuka ponsel, aku melihat pesan dari seorang perempuan yang menulis panjang lebar tentang bagaimana dia merasa dikhianati karena Redo memilihku.
"Kalau kamu tahu Redo sebaik apa, kenapa kamu nggak biarin dia balik sama aku aja? Aku lebih dulu kenal dia, aku yang lebih ngerti dia," tulisnya.
Pesan itu membuat dadaku sesak. Aku merasa kesal, namun aku memilih untuk tidak merespons dengan amarah. Sebaliknya, aku mengirimkan pesan kepada Redo.
"Sayang, ini ada lagi yang ganggu aku. Aku nggak ngerti kenapa mereka nggak bisa terima kita. Aku nggak tahu harus gimana lagi."
Redo segera membalas, kali ini dengan pesan suara.
"Maaf, Sayang. Aku nggak mau kamu ngerasa nggak nyaman. Aku bakal bicarain ini sama dia. Yang penting, kamu tetap tenang ya. Aku pilih kamu karena aku cinta, nggak ada orang lain yang bisa gantiin kamu."
Suaranya terdengar tegas, meski aku bisa mendengar sedikit ketegangan di sana. Redo mencoba untuk tetap menenangkan aku dan aku tahu itu semua bukan karena dia tidak peduli. Hanya saja, kadang keadaan yang memaksa kami untuk tetap tegar meski berat.
Meski begitu, kadang aku merasa cemas. Aku tahu Redo sedang berjuang keras, baik untuk melengkapi segala persiapan pernikahan maupun untuk memenuhi kewajibannya. Aku tidak ingin menjadi beban, namun setiap kali aku merasa cemas, aku mencoba untuk menenangkan diri dan mengingatkan diriku sendiri: ini adalah perjalanan kami bersama.
"Aku percaya kita bisa, Sayang. Kamu dan aku bersama-sama, kita pasti bisa menghadapi semua ini," pesan Redo masuk ke ponselku satu malam, setelah seharian kami tidak bisa saling komunikasi karena pekerjaan.
Aku tersenyum membaca pesan itu, meskipun hati ini masih sedikit berat. Tetapi di sisi lain, aku tahu kami sudah saling memilih. Redo adalah pilihan terbaikku dan aku siap mendukungnya dalam setiap langkah.
"Makasih, Sayang. Aku juga percaya. Semua akan indah pada waktunya," balasku dengan penuh keyakinan, meski jarak memisahkan kami.
Kami terus saling berbagi semangat melalui pesan-pesan, obrolan singkat, dan video call singkat yang lebih sering memberikan senyum daripada kata-kata. Walau hubungan ini terjalin jauh, aku tahu ini adalah ujian yang harus kami hadapi bersama. Bahkan ketika segala godaan datang dan pengeluaran tak terkendali, aku yakin kami bisa melaluinya.
Satu pesan dari Redo selalu cukup untuk membuatku merasa tenang, "Percayalah.. Aku akan selalu ada untukmu."
Dan aku tahu, sejauh apa pun kami terpisah, kami akan tetap kuat. Kami akan melewati ujian-ujian ini, bersama-sama.