Chereads / Petualangan dan Cinta Bersama Abdi Negara / Chapter 17 - Kebersamaan Dengan Redo

Chapter 17 - Kebersamaan Dengan Redo

 Kehidupan di Sorong bersamanya adalah sesuatu yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Hari-hariku penuh dengan momen-momen kecil yang membuat hati ini merasa hangat dan nyaman. Redo, pria yang selalu memperlakukanku seperti seorang ratu, membuatku merasa bahwa dunia ini penuh dengan keajaiban.

 Di suatu siang yang cerah, kami berjalan bersama di kota Sorong. Dia mengajakku berkeliling kota, menikmati pesonanya yang unik. Kami menjelajahi pasar lokal yang ramai dengan warna-warni buah-buahan segar dan aroma makanan yang menggugah selera serta pernak-pernik khas sorong. Aku tidak bisa menahan tawa saat dia dengan penuh semangat menjelaskan sesuatu apa yang menjadi favoritnya. Ada momen ketika mata kami bertemu dan tawa kami pecah begitu saja.

 Salah satu hal yang paling kuingat adalah bagaimana dia selalu menggandeng tanganku dengan bangga, seolah ingin menunjukkan kepada dunia bahwa aku adalah orang yang ia cintai. Gestur kecil itu, yang mungkin terlihat sederhana bagi orang lain, membuatku merasa istimewa. Aku teringat saat kami sedang berjalan di suatu tempat yang ramai dan tiba-tiba dia berhenti, menatapku dengan tatapan lembut, lalu mencium keningku. Di tengah keramaian, di depan banyak orang. Rasanya seperti adegan dari drama Korea yang selama ini hanya bisa kubayangkan. Namun, kali ini aku menyadari bahwa cinta yang seperti itu nyata adanya.

 Setiap malam, dia adalah pria yang dengan sabar menemaniku mengerjakan tugas kuliah. Dia duduk di sampingku, membantu mencari referensi, atau sekadar memberikan semangat. "Kamu nggak sendiri," katanya sambil tersenyum terkadang dia juga membantuku menulis saat ada tugas membuat essai.

Pernah suatu hari setelah hujan deras jalanan di sekitar rumah tempat kami tinggal menjadi becek dan tergenang air. Aku berusaha melewati jalan itu tetapi dia tidak membiarkanku mengotori kakiku sedikit pun. Tanpa ragu, dia menggendongku dari tempat kami membeli makan sampai ke rumah. Aku merasa malu saat itu, karena banyak orang di teras-teras rumah yang kami lewati tetapi dia hanya tertawa, seperti ingin mengatakan bahwa itu adalah hal kecil dibandingkan cintanya.

 Saat malam tiba, aku sering kali merepotkannya dengan permintaan kecil, seperti membelikan makanan, mencarikan voucher Wi-Fi, atau sekadar menjawab pertanyaan-pertanyaanku yang tidak ada habisnya. Namun, dia tidak pernah mengeluh.

"Kamu lucu kalau lagi banyak tanya," ucapnya suatu malam sambil tersenyum hangat. Aku tahu dia lelah, tetapi dia selalu memastikan aku merasa bahagia.

 Ada banyak sore yang kami habiskan bersama, menikmati es kelapa muda di bawah rindangnya pohon atau hanya duduk berdua di teras, berbicara tentang mimpi dan harapan kami. Ketika dia harus dinas malam, hatiku selalu berat melepasnya. Namun, dia tidak pernah lupa untuk membawa sesuatu saat pulang. "Ini aku belikan kamu makan," katanya suatu malam sambil menyerahkan bungkusan makanan. Meski lelah, ia selalu memastikan aku tidak kelaparan.

 Rutinitas kecil kami juga menjadi bagian penting dari hubungan ini. Ketika dia pamit berangkat dinas pagi, aku selalu mengantarnya sampai depan rumah. Dan ketika sore hari dia kembali, aku selalu menunggunya di depan pintu. Momen itu menjadi favoritku. Melihatnya berdiri di ambang pintu dengan seragam dinasnya, peluh membasahi wajahnya, selalu membuatku tersenyum tanpa sadar. Ada rasa lega yang tak bisa kugambarkan dengan kata-kata. Tatapan matanya yang hangat meski lelah membuatku merasa dunia ini hanya milik kami berdua.

 Ketika aku membukakan pintu untuknya, dia selalu mengusap rambutku dengan lembut. "Aku pulang," ucapnya pelan, tapi penuh makna. Setelah itu, aku memberikannya segelas air dan dia mulai menceritakan sedikit tentang harinya. Aku tidak pernah menuntut cerita lebih dari yang ia siap bagi. Aku tahu, rumah ini adalah tempat di mana kami saling menumpahkan segala kelelahan. Tidak perlu banyak kata, kehadiran kami cukup bercerita.

 Di malam-malam tertentu, saat kami duduk bersama di teras, dia sering berbicara tentang masa depan. "Aku ingin kamu bahagia, apa pun yang terjadi," katanya. Aku hanya tersenyum, merasa bersyukur memiliki pria seperti dia. Dia bukan hanya pasangan, tapi juga sahabat, pelindung, dan alasan di balik senyumku setiap hari.

 Hari-hari di Sorong adalah momen yang selalu kuingat sebagai salah satu babak paling membahagiakan dalam hidupku. Selama 22 hari itu, aku merasa seperti tokoh utama dalam drama Korea, bukan karena keindahan dramatis yang dibuat-buat, tetapi karena cinta dan perhatian nyata yang Redo tunjukkan kepadaku.

 Salah satu sorotan perjalanan kami adalah ketika dia membawaku berjalan berdua menikmati suara ombak yang menghantam karang. Angin laut mengibarkan jilbabku, dan dia tertawa kecil sambil membetulkan jilbabku yang berantakan karena tertiup angin. Saat senja tiba, ia menggenggam tanganku erat, seolah-olah ingin meyakinkanku bahwa di mana pun aku berada, dia akan selalu ada untukku. Ketika matahari perlahan tenggelam, menciptakan gradasi oranye dan merah jambu di langit, dia memelukku dari belakang. "Aku ingin kita punya lebih banyak momen seperti ini," bisiknya. Kata-katanya menyentuh hatiku, membuatku merasa bahwa cinta ini lebih dari sekadar perasaan tapi ia adalah sebuah komitmen.

 Di sela-sela perjalanan, kami juga mengunjungi keluarganya. Aku sempat merasa canggung saat pertama kali bertemu mereka, tetapi Redo dengan lembut memegang tanganku dan memperkenalkanku sebagai "wanita yang akan menemani masa depannya." Ibunya menyambutku dengan hangat, sambil berkata, "Kamu harus makan banyak, nanti tidak kuat jalan-jalan." Tawanya yang ramah membuatku merasa diterima. Malam itu, keluarganya berbagi cerita tentang masa kecil Redo bagaimana dia adalah anak yang selalu bertanggung jawab. Aku tersenyum mendengar mereka bercerita, merasa semakin mengenalnya dari sudut pandang yang berbeda.

 Pada malam terakhir sebelum aku kembali ke jawa, kami duduk di teras rumah, berbicara tentang masa depan. "Apa yang kamu harapkan dari kita?" tanyaku dengan hati-hati, takut mengungkapkan kekhawatiranku. Dia menatapku dalam-dalam, lalu menjawab, "Aku ingin kita saling mendukung, apa pun yang terjadi. Aku ingin melihatmu bahagia, sukses, dan tetap menjadi dirimu sendiri." Kata-katanya membuatku merasa aman, seolah-olah aku berada di tempat yang benar.

 Rumah ini, hubungan ini, bukan hanya soal tempat kami tinggal bersama, tetapi tentang bagaimana kami membangun cinta dengan setiap momen kecil yang kami bagi. Setiap sore ketika dia pulang dan aku menyambutnya di pintu, setiap kali dia memastikan aku merasa nyaman, dan setiap kali dia menunjukkan cintanya di depan orang lain, aku merasa lebih yakin bahwa aku telah menemukan rumah dalam dirinya.