Malam itu, langit tampak seperti lukisan suram, awan gelap menyelimuti seluruh cakrawala. Suasana di sekitar kami juga terasa sepi, hanya ada suara deru angin yang menambah kesunyian dalam hati. Inria duduk, matanya kosong, seolah-olah pikirannya jauh di sana, di tempat yang tidak bisa dijangkau. Aku bisa merasakan ketegangan di udara dan tensi yang meningkat antara kami, meskipun kata-kata belum keluar.
Kami telah sampai pada titik ini, di mana tak ada lagi jalan lain. Cinta yang dulu begitu kuat, begitu penuh harapan, kini merasakan getaran yang perlahan redup, seperti api yang padam karena kurangnya bahan bakar. Terkadang, perasaan tidak cukup untuk mempertahankan sesuatu yang sudah terlalu banyak retakan.
"Aku rasa kita harus berhenti," kata-kata itu akhirnya keluar dari mulutku dan mulutnya scara bersamaan, meskipun rasanya seperti pisau yang mengiris hati kami dalam-dalam. Aku bisa melihat ekspresi wajah Inria berubah, dari kekosongan menjadi kedukaan yang tak terungkapkan. Kami saling menatap, mencoba mengerti, meskipun keduanya tahu bahwa kata-kata itu telah mengubah segalanya.
Inria menundukkan kepalanya. "Aku tidak ingin menyakitimu," katanya, suara bergetar, seperti suara yang sudah lama terkunci di dalam dada. "Aku hanya merasa... kita tidak bisa melanjutkan ini lagi."
Aku juga menundukkan wajah, mencoba menahan air mata yang mulai mengancam. Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada melihat seseorang yang kita cintai mengatakan hal yang sama. Ini adalah titik di mana segala harapan dan impian yang telah kami bangun bersama harus dihancurkan.
"Kita sudah berusaha, kan?" kataku, lebih pada diriku sendiri daripada untuknya. "Tapi... sepertinya, kita tidak bisa berjalan bersama dalam jalan yang sama."
Inria tidak berkata apa-apa, hanya mengangguk pelan. Aku tahu dia merasa terhimpit dengan perasaannya, tidak ingin kehilangan aku, tetapi juga tahu bahwa hubungan ini tidak bisa dipaksakan. Kami memiliki perbedaan yang terlalu besar untuk disatukan, dan meskipun cinta itu ada, terkadang cinta tidak cukup untuk menyembuhkan luka.
Aku merasakan hatiku hancur saat itu juga, namun ada sesuatu yang lebih dalam yang membuatku tetap tenang—keputusan ini adalah yang terbaik untuk kami berdua. Mungkin perpisahan adalah cara untuk memberi ruang bagi kami untuk tumbuh, menjadi lebih baik sebagai individu, meskipun itu berarti kami harus berjalan sendiri-sendiri.
"Ini bukan tentang siapa yang salah atau benar," lanjut Inria, akhirnya mengangkat wajahnya dan menatapku dengan mata yang penuh air mata. "Aku hanya merasa kita tidak bisa melanjutkan, kita terlalu berbeda. Aku takut kita akan saling melukai lebih dalam jika kita terus memaksakan ini."
Aku mengangguk pelan, merasakan setiap kata itu menembus jauh ke dalam. Kami memang berbeda. Kami berdua memiliki harapan yang berbeda tentang masa depan, dan meskipun aku ingin percaya bahwa cinta bisa mengatasi segala perbedaan, kenyataan berbicara lain.
"Aku akan selalu menghargai apa yang kita punya," kataku, suara sedikit parau. "Kita punya kenangan yang indah, Inria. Tapi kadang-kadang, kenangan itu harus cukup. Kita tidak bisa terus hidup di masa lalu."
Inria menatapku dalam diam, lalu akhirnya menghela napas panjang. "Aku akan selalu mengingatmu," katanya dengan lirih. "Tapi aku rasa kita perlu memberi ruang untuk diri kita masing-masing, untuk menemukan jalan kita sendiri."
Kami hening, tidak tahu harus berkata apa lagi. Rasanya seperti dunia berhenti berputar sejenak, hanya ada keheningan yang mengisi ruang antara kami. Cinta saat itu mungkin masih ada, namun perbedaan yang kami hadapi lebih besar daripada apa yang bisa kami atasi bersama.
"Terima kasih," kataku akhirnya, suara hampir tak terdengar. "Terima kasih untuk semuanya."
Inria menatapku sekali lagi, dan aku bisa melihat bahwa dia juga merasa berat untuk melepaskan, namun dia tahu ini adalah keputusan yang harus diambil. Kami berdua sudah sampai di titik ini: perpisahan yang tidak bisa dielakkan. Namun meskipun kami tidak lagi berstatus pacaran, aku tahu komunikasi kami tidak akan hilang begitu saja.
Kami tetap berhubungan setelah itu, meskipun hubungan kami berubah. Tidak lagi ada label "pacar," tidak ada lagi janji-janji manis tentang masa depan bersama. Kami berdua masih saling mendukung, meskipun kami tahu bahwa hubungan ini tidak akan pernah kembali seperti semula. Ada perasaan yang tetap ada, tapi kami tahu bahwa itu bukanlah perasaan yang harus dipertahankan dalam bentuk hubungan yang sama.
Terkadang, meskipun perasaan itu kuat, hidup mengajarkan kita untuk melepaskan sesuatu yang sudah tidak bisa lagi kita jaga. Tidak ada yang salah dengan itu. Perpisahan bukanlah akhir dari segalanya, hanya awal dari perjalanan baru untuk kami masing-masing.
Hari-hari setelah perpisahan itu berjalan dengan perlahan. Kami saling bertukar kabar sesekali, berbicara tentang kehidupan yang terus berjalan, namun ada perasaan aneh di setiap percakapan kami. Tidak ada lagi canda tawa seperti dulu, tidak ada lagi rencana-rencana untuk masa depan yang kami impikan bersama. Namun, ada satu hal yang tidak berubah kami tetap saling peduli.
Waktu berlalu, dan kami mulai menemukan jalannya masing-masing. Meski perpisahan itu mengiris hati, kami berdua tahu bahwa hidup harus terus berjalan. Dan meskipun kami tidak lagi bersama, aku akan selalu mengenang Inria sebagai bagian dari perjalanan hidupku, sebagai seseorang yang pernah mewarnai hariku dengan kebahagiaan, meskipun akhirnya hubungan kami harus berakhir.