Chereads / Petualangan dan Cinta Bersama Abdi Negara / Chapter 8 - Episode Patah Hati

Chapter 8 - Episode Patah Hati

 Hari-hari berlalu seperti gelap yang tak pernah menemukan cahaya, dan aku masih terjebak dalam sisa-sisa kenangan tentang Inria. Perpisahan itu sudah sebulan berlalu, namun rasa sakitnya seolah tidak akan pernah hilang. Aku masih sering memikirkan dia, membayangkan apa yang tengah dilakukannya, apakah dia juga merasakan kehilangan yang sama?.

 Kami masih berkomunikasi, meskipun hubungan kami sudah berubah. Tak ada lagi kata "sayang", tak ada lagi panggilan mesra yang biasa kami ucapkan. Hanya sekadar kabar, tanya jawab yang terasa hampa. Aku tahu, mungkin Inria merasa berat, sama seperti aku. Tapi dalam hati, aku selalu berharap ada keajaiban. Aku menunggu, menunggu perubahan dari dirinya, menunggu suatu titik di mana hatinya akan lembut dan dia akan kembali memelukku, memilihku.

 Aku berdoa setiap malam, merangkai doa dengan air mata yang tak terhitung lagi jumlahnya. Dalam sepi, di tengah kesedihan yang mendalam, aku menundukkan kepala di atas sajadah. Dalam setiap sujud, aku menangis, merasakan setiap tetes air mata jatuh, seolah membawa segala beban di hatiku. Mukena yang putih itu, yang dulu selalu aku pakai dengan penuh rasa syukur, kini perlahan berubah warna, terkena tetesan air mataku yang tak henti-hentinya.

 Dalam doa, aku memohon pada Allah. Dengan segala ketulusan, aku meminta agar hatinya dilunakkan, agar hatinya yang keras itu bisa menerima kenyataan bahwa aku adalah orang yang ingin berjalan bersamanya, bukan lima tahun lagi, tetapi sekarang. Aku berdoa, berharap agar keputusannya berubah, agar kami bisa bersama lagi. Doaku bukan hanya untuk diriku sendiri, tetapi juga untuk Inria. Aku berharap Allah memberi petunjuk, memberi kesempatan pada kami untuk memperbaiki segala kekeliruan.

 Terkadang, setelah sholat, aku menatap mukena yang kini sudah tidak putih lagi, melihat bekas tetesan air mata yang menempel di sana. Dalam hati, aku terus bertanya, apakah dia merasakan hal yang sama? Apakah dia juga merindukanku seperti aku merindukannya? Apakah dia juga berdoa, berharap hubungan ini bisa diselamatkan? Tapi jawaban itu tidak datang. Meski aku terus menunggu, meski aku terus berdoa, semuanya seolah terhenti di titik yang sama.

 Inria tetap teguh dengan pendiriannya. Dia tetap ingin menikah lima tahun lagi, dengan alasan bahwa dia harus mapan terlebih dahulu. Aku tahu itu bukan alasan yang mudah untuk diterima, terutama ketika hati ini begitu ingin segera berada di sisinya, namun aku tetap mencoba menghormati keputusannya. Aku tahu, dia bukanlah orang yang mudah dipengaruhi. Dia memiliki prinsip yang kuat, dan aku tahu itu adalah bagian dari dirinya yang harus aku terima, meskipun rasanya sangat menyakitkan.

 Aku terjebak dalam perasaan yang membingungkan antara berharap dan menyerah. Di satu sisi, aku ingin terus berdoa, ingin terus percaya bahwa waktu akan mengubah segalanya. Namun di sisi lain, aku tahu bahwa hidup tidak bisa hanya mengandalkan harapan. Inria sudah memutuskan, dan aku harus menerima kenyataan itu.

 Hari-hari itu berlalu, dan meski aku berusaha untuk tetap kuat, aku merasa semakin tenggelam dalam rasa kehilangan. Setiap kali aku menatap handphone dan tidak menemukan pesan darinya, aku merasa seperti ada yang hilang. Aku selalu menunggu kabar darinya, meskipun aku tahu itu tidak akan mengubah apapun. Kami masih saling memberi kabar, masih berbicara seperti teman, tetapi itu tidak cukup. Ada rasa kosong yang terus mengisi ruang di hatiku.

 Setiap malam, aku berdoa, berusaha meyakinkan diriku bahwa ini adalah ujian, bahwa ini adalah cara Allah mengajarkan aku untuk lebih sabar dan lebih kuat. Aku tahu bahwa doa-doaku bukan hanya untuk diriku, tetapi juga untuk Inria. Aku ingin dia bahagia, meskipun bahagianya bukan bersamaku. Aku berdoa agar Allah memberi petunjuk pada kami berdua, agar kami bisa menemukan jalan yang benar, meskipun itu bukan bersama.

 Namun, meskipun aku terus berusaha untuk tegar, hatiku tetap meronta. Aku merindukan kehangatan yang dulu ada di setiap pelukan Inria, aku merindukan candaan kami yang selalu mengisi hari-hari kami dengan tawa. Aku merindukan dia, meskipun aku tahu bahwa mungkin kami tidak akan pernah kembali seperti dulu.

 Aku tahu aku tidak bisa terus berharap pada sesuatu yang sudah usai. Namun, setiap doa yang aku ucapkan, setiap tetes air mata yang jatuh, terasa seperti sisa-sisa kenangan yang tidak ingin aku lepaskan. Aku terus berusaha untuk melepaskan, meskipun itu terasa sangat berat.

 Waktu terus berjalan, dan aku semakin sadar bahwa perasaan ini harus aku ikhlaskan. Aku harus menerima kenyataan bahwa mungkin Inria tidak akan pernah melihatku dengan cara yang sama lagi. Namun, aku juga belajar bahwa hidup terus berjalan, dan aku harus tetap kuat.

 Meski hati ini terluka, aku belajar untuk merelakan. Aku belajar untuk ikhlas dan menyerahkan semuanya pada Allah. Jika memang kami ditakdirkan untuk bersama, maka suatu saat nanti Allah akan mempertemukan kami kembali, meskipun tidak dalam waktu yang singkat.

 Aku terus berdoa, berharap yang terbaik untuk kami berdua. Aku tahu bahwa perpisahan ini bukanlah akhir dari segalanya. Aku yakin, Allah memiliki rencana yang lebih indah, meskipun aku tidak bisa melihatnya sekarang. Semua air mata ini, semua doa yang aku panjatkan, adalah bentuk ketulusan hatiku yang tidak ingin kehilangan dia, tetapi juga tidak ingin memaksakan kehendak.

 Setiap malam, aku tetap berdoa, meskipun kesedihan itu terus menyertai. Aku berdoa untuk kekuatan, berdoa untuk keteguhan hati, berdoa untuk kebahagiaan yang belum tentu datang sekarang, tapi aku percaya bahwa suatu saat nanti, doa ini akan sampai pada Allah. Hanya dengan doa dan harapan, aku melepaskan segalanya, menyerahkan semua kepada-Nya, karena aku tahu hanya Allah yang tahu yang terbaik untukku dan Inria.