Seiring berjalannya waktu, aku semakin merasa bahwa ada sesuatu yang berbeda dengan Redo. Hubungan kami, yang awalnya hanya sebatas perkenalan dan percakapan ringan, mulai berkembang menjadi sesuatu yang lebih. Kami semakin sering berkomunikasi, baik lewat pesan teks maupun video call. Setiap percakapan kami terasa lebih bermakna, meskipun hanya melalui layar ponsel. Setiap kata yang dia ucapkan seolah mampu menghapus kekosongan yang ada dalam hatiku.
Aku masih ingat, malam itu, saat aku sedang duduk di meja belajarku, ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk dari Redo.
"Aku lagi mikirin kamu, tau nggak?" tulisnya, disertai dengan emoticon senyum.
Aku tersenyum kecil, membaca pesan itu. Ada sesuatu dalam diriku yang tiba-tiba merasa hangat. Redo memang selalu bisa membuatku tersenyum, bahkan dengan kata-kata sesederhana itu. Kami baru saja berbicara beberapa jam sebelumnya, tetapi entah kenapa rasanya sudah terlalu lama. Aku membalasnya, "Aku juga sering mikirin kamu."
Begitu kalimat itu tertulis, seakan ada sesuatu yang meledak dalam hatiku. Aku tidak tahu mengapa aku bisa begitu jujur, tetapi dengan Redo, seolah segalanya menjadi lebih mudah. Tanpa ragu, aku mengungkapkan perasaan itu, meskipun hanya lewat pesan.
Percakapan kami malam itu semakin dalam. Kami mulai berbicara tentang hal-hal yang lebih pribadi, saling berbagi cerita tentang masa lalu, impian, dan ketakutan masing-masing. Aku merasa semakin nyaman dengannya. Ada semacam ikatan yang tak terucapkan, yang membuatku merasa seolah-olah aku sudah mengenalnya bertahun-tahun lamanya, padahal baru beberapa bulan saja.
Setiap kali video call dengannya, aku merasa seolah-olah kami berada di dunia yang berbeda, dunia milik kami berdua. Dalam setiap obrolan, aku merasa aman, nyaman, dan diinginkan. Redo tidak pernah membuatku merasa canggung atau tertekan. Dia tahu kapan harus membuatku tertawa dan kapan harus mendengarkan, tanpa banyak bicara. Ada sesuatu yang tenang dan tulus dalam sikapnya, yang membuat hatiku semakin terbuka untuknya.
Suatu malam, saat kami tengah berbicara lewat video call, Redo berkata dengan suara lembut, "Aku tahu kita masih jauh, tapi aku merasa seperti kamu ada di dekatku. Aku bisa rasain semuanya lebih nyata setiap kali aku ngobrol sama kamu."
Aku terdiam sejenak, merasa seperti hatiku dipenuhi oleh kehangatan. Kalimat itu, meskipun sederhana, begitu berarti. Aku tahu saat itu bahwa perasaanku padanya bukan hanya sebatas kedekatan yang terjalin lewat ponsel, tetapi mulai tumbuh menjadi perasaan yang lebih dalam.
"Kamu juga buat aku ngerasa hal yang sama," jawabku pelan, suaraku hampir tak terdengar. "Meskipun kita jauh, tapi aku ngerasa kamu dekat banget."
Kami berdua tersenyum, meskipun hanya melalui layar ponsel. Itu adalah senyum yang terasa tulus, yang datang dari dalam hati kami masing-masing. Kami masih belum bertemu secara langsung, namun ada rasa yang semakin kuat, yang tidak bisa dipungkiri. Percakapan kami semakin terbuka, semakin dalam, dan semakin akrab. Seiring waktu, aku merasa bahwa benih-benih cinta itu mulai tumbuh di dalam hatiku.
Namun, aku juga merasa ada sesuatu yang menghalangi hatiku untuk sepenuhnya terbuka. Aku masih teringat masa lalu, masih ada luka yang belum sepenuhnya sembuh. Bagaimana bisa aku mencintai lagi? Bagaimana bisa aku memberikan sepenuh hati ketika aku tahu bahwa aku pernah terluka begitu dalam? Tapi entah mengapa, setiap kali aku berbicara dengan Redo, aku merasa sedikit demi sedikit bisa melupakan rasa takut itu. Dia tidak pernah memaksaku, tidak pernah memberi tekanan. Kami berjalan dengan perlahan, tanpa terburu-buru.
Semakin hari, aku merasa semakin nyaman dan aman bersamanya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Redo selalu mengerti saat aku merasa lelah atau tertekan. Dia tahu bagaimana cara menghibur dan memberiku semangat. Terkadang, kami hanya duduk diam di video call, tidak mengatakan apa-apa, hanya menikmati kehadiran satu sama lain. Momen-momen kecil seperti itu yang terasa begitu berarti.
Aku tidak tahu mengapa, tetapi setiap kali aku berpikir tentang Redo, hatiku merasa lebih tenang. Mungkin ini adalah cara Tuhan menunjukkan jalan yang lebih baik untukku. Setelah melalui semua rasa sakit dan keraguan, kini aku merasakan ketulusan yang datang dari Redo, yang tidak hanya ingin dekat dengan aku, tetapi juga ingin memahami diriku lebih dalam.
Suatu malam, saat kami berbicara lagi lewat video call, Redo mengungkapkan perasaan yang sudah lama ia pendam. "Aku nggak tahu kenapa, tapi aku merasa kita sudah saling kenal lama, ya. Aku merasa kayak udah lama banget ngobrol sama kamu," katanya dengan nada yang lebih serius dari biasanya.
Aku terdiam sejenak, merenung. Rasanya memang begitu. Seolah-olah kami sudah mengenal satu sama lain selama bertahun-tahun, meskipun kenyataannya bahkan belum satu bulan . Kami berdua tertawa kecil setelah suasana sedikit tegang, tetapi ada perasaan yang lebih dalam, yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
"Aku juga ngerasain hal yang sama," jawabku, memandang layar ponsel dengan senyuman yang tidak bisa kusembunyikan. "Aku merasa nyaman banget sama kamu. Seperti kita nggak perlu waktu lama untuk saling ngerti."
Kami berbicara lebih lama malam itu, seolah waktu tidak ada artinya bagi kami. Meskipun hanya berjarak ribuan kilometer, aku merasa lebih dekat dengan Redo. Tanpa sadar, benih-benih cinta itu sudah mulai tumbuh di hatiku.
Aku tahu, ini mungkin masih terlalu cepat. Kami masih harus menjalani perjalanan panjang sebelum bertemu secara langsung. Tetapi satu hal yang aku yakini, perasaan ini adalah sesuatu yang nyata. Tidak ada yang memaksakan, tidak ada yang terburu-buru. Kami berjalan bersama, saling mengisi, dan menikmati setiap momen yang ada, tanpa harus melihat ke masa depan dengan cemas.
Aku dan Redo memang masih jauh, tetapi aku mulai merasa bahwa jarak bukanlah halangan. Benih-benih cinta itu tumbuh perlahan, dan aku mulai merasa siap untuk memberi kesempatan pada diriku untuk merasakan cinta lagi, kali ini dengan seseorang yang begitu tulus dan menghargai setiap bagian dari diriku.