Malam itu, langit tampak cerah. Aku baru selesai menyelesaikan tugas kuliah yang menumpuk sejak sore. Rasanya penat sekali, dan aku memutuskan untuk berbaring di tempat tidur, mengabaikan ponsel yang sedari tadi bergetar di meja. Tapi, satu nama yang muncul di layar akhirnya membuatku tergerak untuk mengambil ponsel itu: Redo.
Pesannya hanya singkat, "Lagi sibuk?"
Aku tersenyum kecil. Tanpa sadar, dia selalu jadi pelipur lara di tengah rutinitas yang membosankan. Aku membalas pesan itu, "Baru selesai. Kamu sendiri?"
Tak butuh waktu lama sebelum panggilan video dari Redo masuk. Awalnya aku ragu, tetapi akhirnya aku menekan tombol hijau. Wajahnya yang tersenyum hangat langsung memenuhi layar, membuat malamku terasa lebih ringan.
"Kamu kelihatan capek banget," katanya dengan nada lembut.
Aku mengangguk kecil, mencoba menyembunyikan rasa lelah yang sebenarnya masih membekas. "Ya, tugas kuliah seperti biasa. Tapi sekarang sudah selesai."
Redo tersenyum, matanya memandangku dengan penuh perhatian. "Kamu harus jaga kesehatan, ya. Kalau kamu terlalu capek, nanti aku yang khawatir."
Ada kehangatan dalam kalimatnya, sesuatu yang membuatku merasa diperhatikan. Kami berbicara tentang hal-hal kecil, seperti biasanya. Dia menceritakan harinya yang sibuk, bercanda tentang kejadian lucu di tempat kerja, dan aku tertawa kecil mendengar ceritanya.
Namun, malam itu terasa berbeda. Ada jeda dalam percakapan kami, seolah dia sedang mencari keberanian untuk mengatakan sesuatu. Aku melihat wajahnya yang tiba-tiba serius, dan hatiku berdebar tanpa alasan yang jelas.
"Aku mau ngomong sesuatu," katanya akhirnya. Suaranya terdengar pelan, hampir berbisik.
Aku menatap layar, merasa bahwa apa pun yang akan dia katakan pasti penting. "Iya, ngomong aja."
Dia menarik napas panjang, seolah sedang berusaha mengumpulkan seluruh keberanian yang dimilikinya. "Aku tahu kita belum lama kenal, dan aku tahu hubungan ini masih jauh dari sempurna. Tapi aku nggak bisa terus menyimpan ini sendiri."
Jantungku berdegup kencang. Kata-katanya membuatku terdiam, menunggu kelanjutannya.
"Kamu tahu nggak," lanjutnya, "dari semua orang yang pernah aku kenal, nggak ada yang bikin aku merasa kayak kamu bikin aku merasa. Kamu itu beda. Aku merasa nyaman banget kalau ngomong sama kamu. Aku bisa jadi diri sendiri, tanpa takut dihakimi. Kamu selalu ada, selalu dengar, dan selalu buat aku senyum, bahkan di hari-hari tersulitku, pokonya aku merasa kita seperti sudah kenal lama padahal baru satu bulan kita kenal."
Mataku mulai berkaca-kaca. Kata-katanya terasa tulus, seperti datang langsung dari hatinya.
"Dan aku sadar," dia melanjutkan, "kalau aku nggak cuma mau jadi temen buat kamu. Aku mau jadi orang yang selalu ada buat kamu, lebih dari sekadar ini."
Ada jeda lagi, tetapi kali ini aku tidak mengatakan apa-apa. Aku hanya mendengarkan, membiarkan kata-katanya masuk ke dalam hatiku.
"Kamu mau tahu satu hal lagi?" tanyanya, sedikit tersenyum.
Aku mengangguk pelan, meskipun dia tidak mungkin melihatnya.
"Setiap kali aku berdoa, aku selalu nyebut nama kamu," katanya, suaranya sedikit bergetar. "Aku minta sama Tuhan, kalau kamu adalah orang yang tepat buat aku, tolong tunjukin jalannya. Tapi kalau nggak, tolong kasih aku kekuatan buat nerima. Dan setiap kali aku selesai berdoa, jawabannya selalu sama: aku masih pengen coba. Aku masih pengen bertahan."
Air mata mulai jatuh dari mataku. Aku mencoba menghapusnya sebelum dia melihat, tetapi sepertinya dia tahu.
"Kamu nangis?" tanyanya, terdengar khawatir.
Aku tertawa kecil di antara tangisanku. "Bukan nangis. Aku cuma… nggak tahu harus bilang apa."
Kata-katanya begitu sederhana, tetapi terasa begitu mendalam. Aku tidak tahu harus berkata apa. Hatiku dipenuhi dengan emosi yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
"Redo…" aku akhirnya memanggil namanya, mencoba mencari kekuatan untuk membalas perasaannya. "Aku nggak tahu harus bilang apa. Tapi aku juga merasa nyaman sama kamu. Kamu selalu ada, selalu perhatian. Aku cuma takut…"
"Takut apa?" dia bertanya pelan, matanya menatapku penuh kelembutan.
"Takut kalau ini nggak berhasil. Aku takut kehilangan kamu," aku mengaku, suaraku hampir tidak terdengar.
Dia tersenyum kecil, menenangkan. "Kamu nggak perlu takut. Kita jalanin aja pelan-pelan. Aku nggak mau buru-buru, nggak mau maksa. Yang aku mau cuma satu: aku mau ada di samping kamu,. Kalau kamu butuh ruang, aku akan kasih. Aku cuma mau lihat kamu bahagia."
Aku menatapnya, merasa seolah dunia berhenti sejenak. Redo, dengan segala kesederhanaannya, telah menunjukkan padaku apa artinya cinta yang tulus. Bukan tentang memiliki, tetapi tentang memberi dan menerima.
Malam itu, aku merasa sesuatu yang besar telah berubah dalam diriku. Aku tidak tahu bagaimana masa depan akan berjalan, tetapi untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa tidak takut lagi. Ada seseorang yang siap berjalan bersamaku, siap menungguku, dan yang terpenting, siap mencintaiku apa adanya.
Redo tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. "Jadi, gimana? Kita bisa jalanin ini bareng-bareng?"
Aku mengangguk pelan, senyumku ikut muncul di antara sisa-sisa air mata. "Iya, kita coba jalanin ini bareng-bareng."
Malam itu, untuk pertama kalinya, aku merasa seolah semua doa dan air mata yang pernah kualirkan tidak sia-sia. Tuhan memang punya rencana yang indah, dan aku percaya bahwa Redo adalah bagian dari rencana itu.
Kami berbicara lebih lama malam itu, membahas rencana kecil tentang masa depan, tentang bagaimana kami akan menghadapi jarak yang memisahkan. Tetapi satu hal yang pasti, kami siap menjalani semuanya bersama.
Ketika panggilan itu berakhir, aku meletakkan ponselku di samping, hatiku terasa penuh dengan kehangatan. Aku tahu perjalanan ini mungkin tidak akan selalu mudah, tetapi dengan Redo di sisiku, aku merasa lebih kuat, lebih yakin, dan lebih berani untuk melangkah ke depan. Malam itu adalah malam di mana benih cinta yang telah tumbuh perlahan kini mulai mekar, memberikan harapan baru untuk hari-hari yang akan datang.