Chereads / Petualangan dan Cinta Bersama Abdi Negara / Chapter 13 - Latar Belakang Redo

Chapter 13 - Latar Belakang Redo

 Muhammad itulah nama panggilannya dirumah atau sebut saja Redo, lelaki yang terlahir dan dibesarkan di pulau kecil Dabatan, Raja Ampat, memiliki cerita kehidupan yang penuh perjuangan dan tekad. Meskipun indah dengan keindahan laut birunya, Pulau Dabatan adalah tempat yang terpencil, jauh dari kemudahan hidup yang banyak dinikmati di kota besar. Redo adalah anak pertama dari sembilan bersaudara dan sebagai yang tertua ia merasakan tanggung jawab yang lebih besar. Meski begitu, di balik segala tantangan yang ia hadapi, satu mimpi selalu terpatri kuat dalam benaknya: menjadi seorang tentara.

 Sejak kecil, Redo selalu terpesona melihat sosok tentara yang gagah berani. Setiap kali ada tentara yang datang ke kampungnya, Redo akan memandang mereka dengan kagum. Baginya tentara adalah simbol kekuatan, disiplin, dan keberanian. Keinginan untuk menjadi bagian dari mereka mulai tumbuh dalam hatinya, perlahan namun pasti.

 Bermain voli di lapangan kecil bersama teman-teman adalah salah satu hiburan terbesar di pulau itu. Setiap sore, ia akan berlari ke pantai setelah menyelesaikan tugas-tugas sekolah dan rumah. Tidak ada yang lebih menyenangkan baginya daripada merasakan angin laut yang sejuk sambil berlari mengejar bola voli.

 Redo memulai pendidikan dasarnya di SD pada tahun 2008, dan seperti anak-anak lainnya ia menikmati hari-harinya dengan bermain dan belajar. Pada masa itu, hidupnya terasa ringan dan penuh kegembiraan layaknya masa kecil yang ideal. Tahun 2013 Redo lulus SD dan melanjutkan ke jenjang SMP. Masa SMP menjadi titik awal Redo mengenal dunia kerja. Setiap pulang sekolah, alih-alih beristirahat seperti teman-temannya, Redo malah ikut bekerja mencari pasir di laut bersama para pencari pasir. Tidak ada yang memaksanya untuk melakukan itu, orang tuanya pun tidak pernah menuntutnya bekerja keras. Namun, Redo memiliki tekad kuat untuk memperoleh apa yang ia inginkan dengan usahanya sendiri. Dengan menyelami laut, menggali pasir, dan menjualnya, Redo belajar nilai dari kerja keras, ketekunan, dan rasa tanggung jawab.

 Namun, kehidupan Redo tidak hanya berkutat pada pekerjaan dan sekolah. Pada sore hari, di sela-sela jadwal sibuknya, Redo selalu menyempatkan diri untuk mengajar anak-anak di kampungnya mengaji. Ia merasa terpanggil untuk membagikan ilmunya, dan meskipun usianya masih muda, anak-anak di kampung memandangnya sebagai guru yang penuh kesabaran. Aktivitas ini menjadi bagian penting dari hidupnya, di mana dia tidak hanya tumbuh secara fisik tetapi juga secara spiritual.

 Saat Redo memasuki masa SMA di tahun 2017, ia semakin matang dalam menentukan arah hidupnya. SMA adalah masa di mana ia benar-benar mulai memahami mana yang baik dan buruk, mana yang harus ditinggalkan dan mana yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan. Di sinilah mimpinya menjadi tentara semakin kuat. Ia mulai melatih fisiknya, berlari di sepanjang pantai, berlatih ketahanan tubuh, dan mempersiapkan dirinya secara mental untuk masa depan.

 Sebuah titik balik besar datang ketika tentara datang ke sekolahnya untuk melatih beberapa kegiatan. Redo yang biasanya hanya melihat tentara dari kejauhan, kali ini bisa melihat mereka beraksi secara langsung. Ia menyaksikan bagaimana mereka melatih siswa-siswa di sekolah, bagaimana kedisiplinan dan kekuatan mereka terpancar. Dalam pandangan Redo, para tentara ini tampak gagah. Tapi bukan hanya penampilan fisik yang membuatnya kagum, melainkan bagaimana mereka membangun gotong royong di masyarakat, memberikan kontribusi nyata dalam kehidupan sehari-hari.

 Mimpi itu semakin nyata di depan matanya. Redo tahu, ia harus bekerja lebih keras untuk mencapainya. Ia juga tahu, jalan yang akan dilalui tidak akan mudah. Namun, meskipun begitu ia merasa ini adalah panggilan hatinya, sesuatu yang harus ia kejar dengan sepenuh jiwa.

 Meski begitu, Redo tidak sepenuhnya berbeda dari remaja seusianya. Di balik fisiknya yang mulai terlatih dan cita-cita besar yang ia kejar, ia tetaplah seorang remaja yang merasakan hal-hal biasa, seperti jatuh cinta. Pada suatu waktu, di kelas dua SMA, temannya memperkenalkannya pada seorang gadis. Mereka sempat dekat, namun Redo tidak membiarkan perasaannya terlalu jauh. Ia tahu, ada sesuatu yang lebih besar yang harus ia kejar saat ini cinta bisa menunggu, tetapi cita-cita tidak.

 Bagi Redo, cinta saat itu hanyalah angin lalu, sebuah cinta monyet yang tidak lebih dari sekelumit rasa. Ia lebih memilih fokus pada cita-citanya, karena itulah tujuan utamanya. Dengan segala tekad yang dimilikinya, Redo pun lulus SMA pada tahun 2019.

 Setelah lulus SMA pada tahun 2019, Redo tidak membuang-buang waktu. Keinginannya untuk menjadi seorang tentara begitu kuat sehingga ia langsung memutuskan untuk mengikuti tes calon bintara. Ini adalah langkah pertama dari mimpi yang telah lama ia bangun sejak kecil. Dengan restu dari kedua orang tua dan tekad yang bulat, Redo meninggalkan kampung halamannya yang terpencil di Pulau Dabatan untuk merantau ke kota yang jauh. Hanya dengan beberapa ratus ribu rupiah di sakunya, Redo melangkah penuh keyakinan.

 Tanah rantau, tempat di mana ia akan menjalani serangkaian tes masuk tentara, bukanlah tempat yang familiar baginya. Namun, bagaimanapun jauhnya perjalanan ini, Redo merasa bahwa setiap langkah yang ia ambil mendekatkan dirinya pada cita-citanya. Dia tidak pernah mengeluh, meskipun kondisi yang ia hadapi jauh dari kenyamanan. Di sana, ia harus hidup hemat, bekerja keras, dan menyisihkan sebagian dari uang yang sangat terbatas untuk kebutuhan sehari-hari. Terkadang, Redo harus puas hanya dengan makan sederhana, tetapi semua itu tidak pernah meredupkan semangatnya.

 Tes pertama yang harus ia jalani adalah seleksi fisik. Di tahap ini, Redo mengerahkan semua kemampuan yang telah ia latih sejak SMA. Lari, push-up, sit-up, dan berbagai tes ketahanan tubuh lainnya menjadi bagian dari proses seleksi. Redo percaya diri, karena ia telah mempersiapkan dirinya dengan sangat baik. Di malam hari, saat peserta lain beristirahat, Redo masih menyempatkan diri untuk berlatih, menjaga stamina dan kekuatannya.

 Namun, seleksi calon bintara bukan hanya tentang kekuatan fisik. Ada juga serangkaian tes psikologi dan kesehatan yang harus ia lewati. Pada tes ini, Redo mulai merasakan tekanan yang lebih besar. Meskipun ia sudah berusaha sebaik mungkin, hasil dari serangkaian tes tersebut tidak sesuai harapannya. Ketika pengumuman hasil tes keluar, Redo harus menerima kenyataan pahit: ia gagal dalam tes pertamanya.

 

 Kegagalan itu menghantam Redo cukup keras. Selama ini, ia selalu percaya bahwa dengan kerja keras, semuanya akan berjalan lancar. Tapi pada saat itu, Redo dihadapkan dengan kenyataan bahwa perjalanan menuju cita-citanya tidak semudah yang ia bayangkan. Ada kesedihan yang mendalam, namun di balik kesedihan itu, ada sesuatu yang lebih kuat, yaitu tekad yang tidak pernah surut. Kegagalan pertama ini bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari perjuangan yang lebih besar.

 Setelah Redo gagal di tes yang dia ikuti pertama kali, ia tidak langsung pulang, melainkan memutuskan untuk bertahan hidup di tanah rantau dengan bekerja di tempat isi ulang air galon sambil menunggu ada tes masuk tentara lagi. Di tempat itu, ia bertemu dengan seorang bapak-bapak baik yang merupakan bos di tempat isi ulang air galon. Dengan penuh harapan, Redo menawarkan diri untuk bekerja, bersedia diberi gaji seadanya yang penting bisa makan dan fotocopy untuk mempersiapkan berkas untuk ikut tes kedua kalinya.

 Setelah beberapa bulan bekerja keras, Redo berhasil mengumpulkan uang sekitar lima ratus ribu rupiah dan saat tes masuk tentara dibuka kembali ia pun mendaftar dan mengikuti tes lagi. Kali ini, ia mencoba ikut tes tamtama. Dengan semangat yang membara, ia merasa percaya diri dan siap menghadapi tantangan baru.

 Namun, pada tes kedua ini, Redo mengalami kesulitan yang tidak terduga. Di tahap akhir, yaitu pathokir, Redo gagal dengan sangat mengecewakan. Pathokir adalah tes terakhir yang menentukan apakah seorang peserta akan diterima atau tidak. Rasa frustasi melanda dirinya, seolah semua usaha dan kerja kerasnya selama ini terbuang sia-sia.

 Ketika mendengar hasil tersebut, orang tuanya yang sangat khawatir meminta Redo untuk pulang ke kampung. Ibunya dengan lembut namun tegas berkata, "Nak, ayo pulang saja, tidak apa-apa, bekerja saja di kampung dengan bapak ibu di sini." Mendengar kata-kata ibunya, hati dia terasa berat. Dia tahu betapa besar harapan orang tuanya, dan ia tidak ingin mengecewakan mereka.

 Namun, ada sesuatu di dalam dirinya yang menolak untuk menyerah. Redo mengingat semua perjalanan dan pengorbanan yang telah ia lalui. Ia tidak bisa membiarkan semua impian itu pupus begitu saja. Setelah merenung, Redo dengan tegas menjawab, "Tidak, Bu. Saya ingin tetap di sini. Saya masih punya kesempatan untuk mencoba lagi."

 Keputusan itu mengejutkan orang tuanya, terutama ibunya yang sangat mencintainya. Namun, mereka akhirnya mengerti betapa besar tekad Redo untuk meraih mimpinya. Dengan penuh kasih sayang, orang tuanya memberi dukungan meski dengan rasa khawatir.

 Setelah Redo gagal tes untuk yang kedua kalinya, ia melanjutkan kembali rutinitasnya bekerja di tempat isi ulang air galon. Setiap hari ia berusaha menutupi rasa kecewa yang menghantuinya. Tetapi di sela-sela kerja, ia tak dapat menghindari pikiran-pikiran yang mengganggu. Ia merenung sejenak, "Ada apa ya dalam diriku? Kenapa aku gagal lagi dan lagi? Apa yang menghambat langkahku meraih cita-citaku? Atau mungkin aku punya kesalahan kepada ibuku?"

 Dengan perasaan yang bercampur aduk, Redo menyadari betapa besarnya harapan yang dipikulnya. Kegagalan itu bukan hanya miliknya, tetapi juga beban bagi orang tuanya yang selalu mendukung dan percaya padanya. Merasa perlu untuk menyampaikan isi hatinya, Redo pun memutuskan untuk pulang dan meminta maaf sekaligus meminta restu kepada orang tuanya.

 Ketika tiba di rumah, suasana hangat menyambutnya. Ia melihat wajah-wajah yang penuh harapan menanti kedatangannya. Dengan tekad yang bulat, Redo mendekati ibunya dan berkata, "Bu, aku minta maaf ya kalau ada salah. Restui langkahku menggapai cita-citaku, Bu. Aku akan mencoba sekali lagi. Jika kali ini gagal, aku akan balik ke kampung. Tapi jika kali ini lolos, aku yakin semua karena kasih sayang dan restu ibu."

 Air mata ibunya mulai menggenang saat mendengar kata-kata putranya. Ia merasakan betapa besar cinta dan usaha yang dimiliki anaknya. Dengan lembut, ibunya menjawab, "Nak, ibu selalu mendukungmu. Kamu adalah kebanggaan kami. Pergilah, berjuanglah. Ibu yakin kamu bisa."

 Kata-kata itu seolah menjadi semangat baru bagi Redo. Ia merasakan hangat kasih sayang orang tuanya membawanya kembali ke jalur yang benar. Sebelum meninggalkan rumah, ibunya memberikan restu dan mengingatkannya untuk selalu berdoa. Redo berjanji dalam hati untuk tidak mengecewakan harapan orang tuanya.

 Kembali ke tempat kerja, semangat Redo semakin membara. Dia memanfaatkan setiap momen untuk berlatih, tidak hanya fisik, tetapi juga mental. Ia mulai menggali lebih dalam tentang apa yang harus ia persiapkan, mempelajari segala hal yang berkaitan dengan tes yang akan datang. Setiap malam, setelah pulang kerja, ia membaca buku dan mencari informasi. Ia ingin memastikan bahwa kali ini, ia akan memberikan yang terbaik.

 Saat hari tes ketiga semakin mendekat, Redo merasa kombinasi antara ketegangan dan optimisme. Ia ingat semua dukungan dan restu dari orang tuanya, dan itu memberinya kekuatan yang tak terhingga. Di dalam hati, Redo berjanji bahwa jika kali ini gagal, ia akan pulang dengan kepala tegak, mengetahui bahwa ia telah memberikan segalanya.

 Setelah beberapa waktu menunggu, akhirnya pendaftaran tes masuk tentara dibuka kembali. Redo dengan tekad yang semakin kuat memastikan untuk mengikuti tes ini ketiga kalinya. Kali ini ia memutuskan untuk mengikuti tes tamtama. Persiapannya pun matang ia mengulang kembali semua materi yang pernah dipelajarinya, berlatih fisik lebih giat.

 Tahapan demi tahapan terlewati. Dari tes kesehatan hingga ujian psikologi, semua berjalan dengan lancar. Akhirnya, ia diberangkatkan ke Manokwari untuk mengikuti tahap terakhir. Suasana di sana penuh semangat dengan peserta lain yang juga memiliki impian serupa. Redo merasakan gelombang antusiasme, namun di sisi lain ketegangan juga tak bisa dihindari. Ia berusaha mengalihkan pikirannya dengan berbincang dengan peserta lain, namun di dalam hatinya, ada harapan yang menggebu.

 Hari pengumuman tiba dan suasana semakin tegang. Semua peserta berkumpul di aula besar menunggu dengan penuh harap. Satu per satu nama yang lolos dipanggil. Namun, seiring berjalannya waktu namanya belum juga disebutkan. Ketika tersisa dua nama yang belum dipanggil suasana semakin menegangkan. Jantungnya berdegup kencang, dan harapan campur aduk dengan rasa cemas. "Ya Allah, semoga salah satu dari dua nama yang dipanggil adalah namaku," batinnya.

 Akhirnya, pengumuman yang ditunggu-tunggu itu dilakukan. Suara panitia mengumumkan bahwa mereka akan menunda pengumuman sampai waktu yang tepat. Redp merasakan ketegangan yang semakin membara dan semua peserta tampak tak sabar menunggu. Saat nama-nama terakhir dipanggil suasana menjadi hening. Dan ketika nama "Muhammad N Redo" disebut, seketika ia melompat dari tempat duduknya, berlari ke depan dengan penuh kegembiraan, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

 "Terima kasih, ya Allah! Perjuangan ini tidak sia-sia," pikirnya dalam hati. Ia merasakan campuran rasa syukur dan kebahagiaan yang luar biasa. Redo tahu bahwa ini adalah awal baru bagi hidupnya dan semua jerih payahnya akhirnya terbayar. Ia berharap perjalanan ini tidak hanya membawa keberhasilan bagi dirinya, tetapi juga menginspirasi orang lain, terutama adik-adiknya, untuk mengejar impian mereka, tidak peduli seberapa besar rintangan yang menghadang.

 Setelah pengumuman kelulusan yang membahagiakan itu, Redo melanjutkan perjalanannya sebagai calon prajurit. Ia menjalani pendidikan selama lima bulan, menghadapi berbagai tantangan fisik dan mental. Setiap harinya diisi dengan latihan yang melelahkan, disiplin yang ketat, dan materi yang mendalam. Namun, Redo menghadapi semuanya dengan tekad kuat, menyadari bahwa ini adalah langkah menuju cita-citanya yang sudah lama diidamkan.

 Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, Redo mendapatkan kejuruan Perhubungan. Ia melanjutkan pendidikan ke Pusdik Cimahi Batujajar, tempat di mana ia belajar lebih dalam tentang peran dan tanggung jawab di bidang tersebut selama tiga bulan. Pendidikan di Cimahi adalah babak baru yang penuh tantangan, tetapi juga penuh dengan pengetahuan baru yang membuat Redo semakin siap dalam karier militernya.

 Setelah melewati semua tahapan, akhirnya hari pelantikan pun tiba. Redo resmi dilantik sebagai prajurit, sebuah momen yang dipenuhi rasa syukur dan kebanggaan. Di sinilah, cita-citanya sejak kecil menjadi kenyataan, ia akhirnya menjadi seorang tentara yang mengabdi kepada bangsa.

 Kini dia akan terus berproses, berusaha menjadi pribadi yang lebih baik setiap harinya. Meskipun cita-citanya sudah tercapai, ia tahu bahwa perjalanannya belum selesai. Pengabdian kepada bangsa adalah tugas mulia yang tak pernah berhenti, dan ia berkomitmen untuk terus memberikan yang terbaik demi negara ini. Dengan keyakinan dan tekad yang tak pernah pudar, Redo melanjutkan langkahnya, menjalani setiap hari dengan semangat dan dedikasi yang sama seperti ketika ia pertama kali memutuskan untuk mengejar impianya.