Chereads / Petualangan dan Cinta Bersama Abdi Negara / Chapter 9 - Kembali Bangkit

Chapter 9 - Kembali Bangkit

 Setahun berlalu sejak perpisahan yang begitu menguras perasaan. Aku sudah melewati banyak hal, doa yang tak terhitung jumlahnya, malam-malam panjang yang dipenuhi dengan tangis dan harapan, serta perjalanan mental yang berliku. Aku belajar untuk merelakan, untuk ikhlas. Aku tahu, jika Allah sudah memilihkan jalan untukku, aku tak bisa melawan. Walau rasa sakit itu masih ada, aku mencoba untuk terus berjalan maju.

 Hari-hariku mulai kembali normal. Meskipun ingatan tentang Inria terkadang datang begitu saja, aku sudah tidak terlarut dalam kesedihan seperti dulu. Aku mulai fokus pada kuliahku, berusaha untuk semakin fokus mengejar impian. Setiap pagi, aku bangun dengan semangat baru, berusaha meyakinkan diri bahwa kebahagiaanku tidak tergantung pada satu orang, tetapi pada diriku sendiri.

 Kehidupan kampus memberi banyak warna dalam hariku. Aku kembali menemukan kebahagiaan dalam berbincang dengan teman-teman, menyelesaikan tugas, dan menikmati setiap momen tanpa merasa terbebani. Ada kalanya aku merasa kosong, tetapi aku tahu aku harus bertahan. Mungkin, kata orang, waktu memang penyembuh terbaik.

 Namun, meskipun aku sudah mencoba untuk melupakan dan fokus ke diri sendiri, bayangan Inria tetap hadir sesekali. Setiap kali aku memikirkan apa yang telah kami lewati, aku merasa sangat hampa. Aku tidak bisa menafikan rasa sakit yang muncul di dadaku ketika mengenang masa-masa indah kami dulu. Meskipun aku tahu kami sudah berpisah, aku tetap merasa ada bagian dari diriku yang terikat pada kenangan itu. Aku memutuskan untuk tidak menekan perasaan itu, namun lebih memilih untuk menghadapinya dan melepaskannya pelan-pelan.

 Tapi, seperti kata orang-orang bijak, terkadang Tuhan mengirimkan jawaban atas doa-doa kita dalam bentuk yang tak terduga. Kedelapan bulan setelah aku mencoba menerima dan mengikhlaskan, aku bertemu dengan seseorang yang membuatku merasa seperti menemukan cahaya di tengah kegelapan. Namanya Redo.

 Aku mengenal Redo secara tidak sengaja di awal bulan agustus 2023. Awalnya, aku tidak berharap banyak, hanya sekadar berkenalan dan berbincang ringan. Namun, entah mengapa, aku merasa nyaman berbicara dengannya. Redo adalah sosok yang berbeda. Dia tidak terburu-buru, tidak menunjukkan sikap agresif, tetapi dengan caranya yang sederhana, dia berhasil menarik perhatianku. Redo memiliki sifat yang sangat menyenangkan. Manis, humble, dan humoris, tiga kata itu langsung terlintas di pikiranku saat pertama kali mengobrol dengannya. Cara dia tertawa, cara dia berbicara dengan rendah hati, dan sikapnya yang tulus membuatku merasa tenang. Aku bisa merasakan kehangatan yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Tanpa sadar, aku mulai membuka sedikit demi sedikit hatiku, walaupun masih dengan keraguan.

 Kami mulai menghabiskan waktu bersama, berbincang-bincang tentang berbagai hal. Redo selalu membuatku tertawa, menghilangkan kegelisahan yang selama ini mengganggu pikiranku. Ada kenyamanan yang kurasakan saat bersamanya. Aku mulai menyadari bahwa hidup ini tak selalu tentang menunggu seseorang yang belum pasti. Aku mulai merasakan bahwa ada kemungkinan untuk membuka hati lagi, meskipun ada ketakutan kecil di dalam diriku.

 Seiring waktu, hubungan kami berkembang. Redo mulai mendekatiku dengan cara yang penuh perhatian, tetapi tidak memaksakan. Dia tidak terburu-buru untuk membuat aku merasa terbebani dengan harapan-harapan yang besar. Kami saling mengenal lebih dalam, dan aku mulai merasa bahwa membuka hatiku kembali bukanlah sebuah kesalahan. Aku tak bisa menyangkal bahwa ada rasa senang yang mulai tumbuh di antara kami.

 Satu hal yang aku sukai dari Redo adalah cara dia melihat dunia. Dia memiliki pandangan hidup yang sederhana namun bijaksana. Kami sering berbicara tentang impian dan harapan, tentang bagaimana kami ingin menggapai cita-cita, dan tentang apa arti kebahagiaan sebenarnya. Redo mengajarkanku untuk lebih bersyukur dengan apa yang ada, untuk lebih menghargai perjalanan hidup ini. Dia tidak pernah terburu-buru, dan itu membuatku merasa nyaman.

 Pada titik tertentu, aku mulai merasakan bahwa ada harapan baru dalam hidupku. Mungkin memang benar, cinta bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Cinta datang dengan cara yang tak terduga, dalam waktu yang tak bisa kita tentukan. Aku merasa bahwa perkenalanku dengan Redo bukanlah kebetulan. Dia datang tepat ketika aku belajar untuk menerima kenyataan dan membuka hatiku kembali. Redo adalah seseorang yang datang dengan kesederhanaannya, tanpa pretensi, tanpa niat untuk mengubah apapun dalam diriku,

 Seiring berjalannya waktu, kami mulai memberi sinyal harapan satu sama lain. Redo sering mengungkapkan bagaimana dia menghargai hubungan kami dan berharap untuk mengenal lebih dalam. Aku merasa bahwa kami saling memahami satu sama lain, meskipun kami baru saja memulai perjalanan ini. Setiap percakapan dengan Redo terasa seperti angin segar yang menyapu segala kepenatan yang pernah ada. Dia membuatku merasa dihargai, diterima, dan tidak sendirian dalam perjalanan ini.

 Namun, di balik rasa senang yang mulai tumbuh, aku juga merasa takut. Takut jika aku salah memilih jalan. Namun, kali ini, aku mencoba untuk lebih percaya pada proses hidup. Aku percaya bahwa setiap hal yang terjadi ada hikmahnya, dan perkenalanku dengan Redo adalah bagian dari perjalanan itu.

 Kami mulai lebih sering berkomunikasi, semakin terbuka satu sama lain. Redo selalu ada untuk mendengarkan setiap cerita dan curhatku, dan itu memberiku rasa nyaman yang luar biasa. Dia tidak hanya seorang teman, tetapi juga seseorang yang dengan sabar membantuku mengatasi keraguan-keraguan yang ada dalam hatiku.

 Pada suatu malam, setelah kami selesai berbicara panjang lebar tentang banyak hal, Redo menatapku dengan serius. "Aku berharap, kita bisa terus saling mendukung. Aku ingin mengenalmu lebih dalam lagi," katanya dengan lembut.

Aku tersenyum, meskipun hatiku masih terasa ragu. "Aku juga berharap begitu, Redo. Tapi kita lihat saja bagaimana jalannya. Aku tak ingin terburu-buru, aku ingin menikmati setiap langkahnya," jawabku.

Dia mengangguk, seolah mengerti apa yang aku rasakan. Tak ada paksaan, tak ada tekanan. Kami hanya berdua, saling menghargai dan memberikan ruang untuk tumbuh bersama. Dalam diam, aku merasa ada kemungkinan baru yang bisa aku raih. Sebuah harapan yang muncul setelah begitu lama tenggelam dalam kesedihan.

 Kini, aku mulai menyadari bahwa kebahagiaan itu tidak datang dengan cara yang instan. Terkadang, kita harus melalui banyak hal untuk bisa benar-benar menghargai kebahagiaan itu. Dan mungkin, pertemuan dengan Redo adalah hadiah yang Allah kirimkan setelah aku melalui masa-masa sulit. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya, tetapi satu hal yang pasti, aku siap menjalani perjalanan ini dengan hati yang lebih terbuka dan penuh harapan.