Chereads / Petualangan dan Cinta Bersama Abdi Negara / Chapter 10 - Kesan Pertama Dengan Redo

Chapter 10 - Kesan Pertama Dengan Redo

 Setahun setelah aku melewati masa-masa sulit, aku mulai merasa lebih tenang, aku menyadari hidup harus tetap berjalan, dan aku berusaha fokus pada kuliah dan tugas yang semakin menumpuk. Hari itu, seperti biasa, aku duduk di kamar, menatap layar laptop yang terbuka lebar dengan tumpukan materi kuliah yang belum selesai.

 Tiba-tiba ponselku bergetar, tanda pesan masuk. Aku membuka aplikasi WhatsApp, dan di layar muncul nama yang tak asing, Redo. Aku tersenyum kecil. Meskipun kami hanya berkenalan beberapa bulan sebelumnya, aku merasa ada ketulusan yang berbeda dari dirinya. Redo mengirimi pesan lagi, menanyakan kabarku, dan seperti biasa, kami berbincang ringan seputar keseharian.

"Assalamu'alaikum, kamu lagi ngapain, apa tadi kamu sibuk kuliah?" tanya Redo dalam pesan singkat.

"Sedikit, tapi bisa santai sejenak. Kamu sendiri gimana?" jawabku sambil menyandarkan punggung di kursi.

"Lagi ada waktu kosong nunggu waktu untuk apel malam. Gimana kalau kita video call?" balasnya.

Aku sempat ragu sejenak. Video call? Aku belum terbiasa berbicara secara langsung lewat layar ponsel, apalagi dengan seseorang yang baru ku kenal. Tapi, ada perasaan hangat yang datang dari cara Redo berkomunikasi. Aku merasa nyaman meskipun hanya melalui pesan teks, apalagi jika ada kesempatan untuk berbicara lebih dekat lewat video call.

"Aku siap kalau kamu sudah siap," jawabku akhirnya, sedikit gugup.

Tidak lama kemudian, suara dering telepon video masuk. Aku menyentuh layar ponsel dan melihat wajah Redo di layar. Senyumnya yang lebar dan mata yang penuh semangat membuatku merasa sedikit lebih rileks.

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh! halo Apa kabar?" tanyanya sambil melambaikan tangan.

"Wa'alaikumsalam, Hai, kabar baik kok," jawabku, sedikit tersenyum, meskipun masih sedikit canggung. Tidak ada tatapan langsung seperti pertemuan tatap muka, namun entah kenapa aku merasa begitu nyaman berbicara dengannya.

 Percakapan kami mengalir begitu mudah. Kami membicarakan berbagai hal, dari kuliah hingga hobi masing-masing. Redo bercerita tentang pekerjaannya dan bagaimana dia menyibukkan diri setelah hari-hari panjang di dinas dikorem. Sementara itu, aku bercerita tentang tugas kuliah yang sepertinya tidak ada habisnya. Meski hanya melalui layar ponsel, kehangatan dalam percakapan itu terasa nyata. Redo adalah sosok yang menyenangkan, penuh energi, dan tidak pernah memaksakan percakapan. Dia seperti tahu kapan waktunya untuk mendengarkan dan kapan waktunya untuk berbicara.

 

 Setelah beberapa kali video call, aku mulai merasa lebih nyaman. Kami semakin sering berbicara lewat pesan atau video call setiap kali ada waktu luang. Dia tidak pernah membuatku merasa tertekan atau canggung, bahkan kami mulai saling bercanda, seperti teman lama yang sudah lama tidak bertemu. Setiap kali melihat wajahnya di layar ponsel, aku merasakan kehangatan yang berbeda. Redo bukanlah seseorang yang langsung menggebu-gebu dalam pendekatannya, tetapi dia tahu bagaimana membuatku merasa dihargai dan diperhatikan.

 Satu hal yang membuatku kagum adalah bagaimana dia begitu konsisten dalam berkomunikasi denganku. Meskipun kami berjauhan, dia selalu berusaha menjaga komunikasi kami tetap terjalin. Kami saling berbagi cerita, tawa, bahkan kadang berbagi kelelahan setelah seharian beraktivitas. Dia tidak pernah mengabaikan pesan atau video call. Setiap kali aku merasa lelah, berbicara dengannya membuat segalanya terasa lebih ringan.

 Ada banyak hal yang kami pelajari tentang satu sama lain meskipun hanya berkomunikasi jarak jauh. Aku mengenal sisi humoris Redo yang kadang membuatku tertawa terbahak-bahak, bahkan saat aku merasa malas bercanda. Redo selalu tahu bagaimana cara membuatku tersenyum tanpa harus mengatakannya dengan kata-kata yang berlebihan. Aku merasakan ada kedekatan.

 Suatu malam, setelah beberapa bulan berkenalan dan semakin sering berkomunikasi, Redo mengajakku berbicara lewat video call lagi. Kali ini, pembicaraan kami terasa lebih dalam, seolah ada sesuatu yang belum terungkap sebelumnya.

"Aku senang banget bisa kenal sama kamu," katanya, menatap layar ponsel dengan serius, meskipun ada senyum yang tetap terpancar di wajahnya. "Kamu tipe orang yang asyik diajak ngobrol, dan aku merasa nyaman."

Aku terdiam sejenak, merasa sedikit terharu mendengar kata-katanya. Aku sudah lama tidak mendengar kalimat seperti itu, apalagi dari seseorang yang baru masuk dalam hidupku. "Aku juga merasa nyaman ngobrol sama kamu," jawabku pelan, meskipun hatiku berdebar-debar.

 Seiring berjalannya waktu, aku mulai merasa bahwa hubungan ini mungkin bisa berkembang lebih jauh. Meskipun kami tidak bisa bertemu secara langsung, komunikasi kami semakin dalam, dan aku merasa bahwa Redo benar-benar tulus dalam setiap ucapannya. Di balik percakapan kami yang sering berisi canda, aku bisa merasakan ada niat baik di balik semua itu.

 Namun, ada satu hal yang selalu mengusik pikiranku, tentang perasaan yang perlahan tumbuh untuknya. Aku takut untuk berharap terlalu banyak, mengingat betapa aku harus menanggung luka di masa lalu. Tetapi, entah kenapa, aku merasa ada sesuatu yang bisa aku harapkan dari hubungan ini. Mungkin, inilah awal dari sesuatu yang lebih baik, sesuatu yang tak aku rencanakan, tetapi datang begitu alami.

 Kami semakin sering berkomunikasi, baik melalui pesan teks maupun video call. Ada satu momen yang tidak bisa kulupakan. Pada malam itu, Redo mengirimkan pesan yang sangat sederhana, namun terasa begitu berarti. "Aku senang bisa ada buat kamu, meskipun hanya lewat layar."

Kata-kata itu begitu sederhana, tetapi menghangatkan hatiku. Aku merasa dihargai, dipahami, dan diperhatikan dengan cara yang baru. Kami tidak perlu bertemu setiap saat untuk merasakan kedekatan ini, karena percakapan kami sudah cukup membuatku merasa dekat dengannya.

 Aku tahu perjalanan kami masih panjang, dan tidak ada yang tahu ke mana arah hubungan ini akan pergi. Namun, aku merasa bahwa dengan Redo, aku bisa mulai membuka hati lagi, sedikit demi sedikit. Aku merasa ada harapan baru, meskipun masih harus berjalan perlahan. Namun, yang pasti, aku merasa lebih hidup. Dan itu, bagi aku, sudah cukup untuk memulai babak baru dalam hidupku.