Sudah dua tahun hubungan kami berjalan, dan selama itu pula aku merasa bahwa perjalanan kami semakin menemui titik yang menantang. Awalnya, hubungan ini terasa begitu indah, penuh rasa percaya dan saling mengerti. Namun, belakangan ini, ada sesuatu yang mengganjal, dan aku tidak bisa lagi mengabaikannya.
Inria, adalah pria yang baik hati, penuh perhatian, dan bisa membuatku merasa tenang. Namun, dia juga memiliki masa lalu yang tidak mudah. Dan sekarang dia berada dalam masa sulit yang jauh lebih berat daripada sebelumnya. Ketika kami berbicara tentang masa depan, aku bisa merasakan kekhawatirannya. Di satu sisi, dia ingin melanjutkan hubungan kami, tetapi di sisi lain, dia merasa jauh dari siap untuk berkomitmen. "Jarak Jawa dan Sulawesi ini terlalu jauh. Aku takut kalau aku tidak bisa membahagiakanmu. Aku merasa aku belum cukup baik untukmu terutama dalam hal finansial," katanya suatu malam dengan nada penuh penyesalan.
Aku mengerti perasaan itu. Jarak yang memisahkan kami memang bukan hal yang mudah. Namun, apa yang dia katakan berikutnya membuat hatiku semakin berat. "Aku rasa aku baru bisa menikah setelah lima tahun lagi, saat aku sudah benar-benar mapan dan siap."
Kata-katanya seperti petir di siang bolong, menghantam aku dengan keras. Aku tidak bisa memahami apa yang dia maksudkan. Lima tahun? Itu terlalu lama. Aku bukan tipe orang yang bisa menunggu begitu lama. Aku tahu hidup tidak bisa diprediksi, tetapi ada hal-hal yang tidak boleh ditunda, salah satunya adalah ibadah. Aku merasa bahwa menikah bukan hanya tentang kesiapan finansial, tapi juga kesiapan hati. Aku tidak ingin menunggu lima tahun hanya untuk mendengar kata 'siap'. Waktu tidak bisa kita tawar, apalagi kalau itu menyangkut ibadah dan kehidupan bersama.
"Aku menghargai semua perjuanganmu, Inria. Aku tahu kamu berusaha keras dan bekerja keras untuk mencapai impianmu. Tetapi aku juga punya prinsip hidup yang berbeda. Aku percaya, ketika kita sudah merasa siap, tidak perlu menunggu lima tahun lagi. Kita bisa merintis bersama. Aku tidak takut menghadapi masa sulit jika itu berarti aku bisa bersama dengan orang yang aku sayangi," kataku dengan tegas.
Inria terdiam, seolah mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan perasaannya. Aku tahu, dia bukan orang yang mudah berbicara tentang perasaannya, apalagi mengenai hal-hal yang begitu penting. "Aku tahu kamu tulus, aku tahu kamu bisa menemani aku. Tapi aku tidak ingin kita hidup dengan kekurangan. Aku merasa jika aku tidak mapan, aku akan membuatmu menderita, dan itu tidak adil untukmu," jawabnya pelan.
Aku bisa merasakan betapa beratnya kata-kata itu baginya. Namun, aku juga merasa bahwa dia tidak sepenuhnya memahami maksudku. Bagiku, kebahagiaan bukanlah tentang seberapa banyak yang kita punya, tapi tentang bagaimana kita bisa melewati segala tantangan bersama. Aku percaya bahwa dengan ketulusan, kami bisa saling melengkapi, dan bukan masalah besar jika kami harus merintis hidup bersama dari awal. Aku tidak mencari kekayaan atau kemewahan, yang aku butuhkan adalah kesetiaan dan keberanian untuk bersama, meski dalam keadaan sulit sekalipun.
Namun, perbedaan prinsip ini semakin jelas terlihat setiap kali kami berdiskusi. Ketika perasaan ini semakin memuncak, kami memutuskan untuk berbicara lebih serius. "Inria, aku tidak bisa menunggu lima tahun. Tapi aku juga tahu, kalau kamu tidak siap, aku tidak bisa memaksamu," kataku, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di mataku.
Inria menatapku dengan tatapan kosong, seolah ragu dan bingung. "Aku memang ingin bersama kamu, tapi aku takut aku tidak bisa memenuhi harapanmu. Aku takut aku tidak bisa memberimu kebahagiaan yang kamu inginkan."
Namun, saat itu, aku mulai menyadari bahwa meskipun kami saling mencintai, prinsip kami tentang bagaimana hidup seharusnya dijalani sangat berbeda. Inria ingin menunda, ingin memastikan segala sesuatunya sempurna sebelum melangkah, sementara aku merasa bahwa tidak ada waktu yang lebih tepat selain sekarang. Tidak ada yang bisa memastikan masa depan, dan aku tidak ingin menunggu lebih lama untuk membuat langkah pertama menuju kehidupan bersama.
Perbincangan kami malam itu berakhir dengan hening. Aku merasa semakin jauh dari Inria. Ada jarak yang tidak bisa aku jembatani, sebuah perbedaan prinsip yang terasa begitu lebar dan sulit untuk disatukan. Kami masih berstatus pacaran saat itu, tetapi perasaan kami mulai renggang. Meskipun masih saling menyayangi, aku tahu bahwa hubungan ini tidak bisa terus berjalan tanpa adanya kesepakatan yang jelas tentang masa depan.
Malam itu dengan perasaan campur aduk. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, apakah aku harus terus bertahan dengan harapan bahwa Inria akan berubah, ataukah aku harus melepaskannya dan mencari jalan hidupku sendiri. Satu hal yang pasti, perbedaan prinsip ini membuatku merasa bahwa kami mungkin sudah berada di jalan yang berbeda.
Kami berdua memang berbeda dalam cara pandang, dalam hal yang paling mendasar sekalipun. Sementara aku merasa bahwa jika dua orang saling mencintai, tidak ada yang tidak mungkin, Inria melihatnya dengan cara yang lebih hati-hati. Dia merasa bahwa kehidupan ini tidak bisa hanya dilihat dari sudut pandang romantis semata. Ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan seperti keamanan finansial, masa depan, dan bagaimana keduanya bisa menjadi pasangan yang baik tanpa saling menambah beban.
Aku mengerti bahwa dia takut, dan itu adalah sesuatu yang sulit untuk kujelaskan. Dia datang dari latar belakang yang keras, dengan segala kesulitan yang dia hadapi sejak kecil. Aku tahu dia ingin yang terbaik untuk kami berdua, tapi di sisi lain, aku merasa bahwa dia menghalangi dirinya sendiri dengan keraguan-keraguan yang tak berkesudahan.
Di sisi lain, aku merasa menunda-nunda apa yang kita inginkan hanya akan membuat kita menyesal nantinya. Aku ingin menikmati hidup ini bersama orang yang aku cintai, membangun masa depan bersama tanpa harus menunggu lima tahun hanya untuk melihat apakah semuanya sudah siap. Bukankah lebih baik jika kita merencanakan masa depan itu bersama-sama, meskipun tanpa segala kenyamanan materi? Aku merasa ada kekuatan dalam kebersamaan, dalam perjalanan bersama yang penuh tantangan.
Pernahkah kamu merasa seolah-olah hidupmu terhambat oleh seseorang? Bukan karena mereka tidak mencintaimu, tetapi karena mereka merasa belum siap untuk berkomitmen? Itu adalah perasaan yang begitu sulit dijelaskan. Aku ingin sekali memberi Inria waktu untuk menemukan jawabannya, tetapi aku juga merasa bahwa hidup ini tidak bisa terus diperlambat hanya untuk menunggu orang lain siap.
Beberapa hari setelah diskusi kami yang berat itu, suasana sudah berbeda. Rasanya semuanya seperti tidak lagi sama. Aku menatap Inria, dan aku bisa melihat bagaimana dia masih berjuang dengan pikirannya. Aku tahu dia tidak ingin kehilangan aku, tetapi di sisi lain, dia juga merasa terlalu banyak hal yang belum dia capai.
"Aku tidak ingin kamu merasa terbebani dengan semua ini," kata Inria, suaranya pelan, seolah-olah ada sesuatu yang mengganjal di dadanya. "Aku ingin yang terbaik untukmu, tetapi aku tidak bisa menjanjikan apa-apa sekarang. Aku ingin kamu bahagia, tapi aku takut kalau aku tidak bisa memberikan itu."
Kata-kata itu menusuk hatiku. Aku tahu dia berjuang untuk menjadi sosok yang lebih baik, yang siap untuk membawa aku ke dalam hidupnya. Namun, aku merasa bahwa dia tidak melihat bahwa kebahagiaan itu bukan hanya soal kesiapan materi, tapi juga soal kesiapan hati. Aku ingin sekali memberinya kesempatan untuk melihat betapa indahnya hidup bersama tanpa harus menunggu sampai semuanya sempurna.
"Tapi aku juga merasa kalau kita terus menunda-nunda, kita akan kehilangan banyak waktu, Inria. Aku bukan hanya mencari kebahagiaan materi. Aku mencari kebahagiaan dalam kebersamaan kita," jawabku dengan suara yang hampir tidak terdengar, takut-takut jika kata-kataku terdengar terlalu berat.
Inria menundukkan kepala, wajahnya terbalut dengan keheningan yang semakin dalam. "Aku tidak ingin menyesal, tapi aku juga tidak ingin mengecewakanmu," katanya dengan napas tertahan.
Perasaan itu, perasaan seolah ada dua dunia yang berbeda antara kami, semakin nyata. Kami saling mencintai, tetapi perbedaan prinsip ini membuat kami merasa semakin jauh. Ada banyak hal yang tidak bisa dipahami hanya dengan kata-kata, dan kadang-kadang, meskipun kita sudah berbicara begitu lama, perasaan tetap sulit untuk dijembatani. Aku ingin hidup ini bersama Inria, tetapi aku juga tahu bahwa hubungan yang hanya didasarkan pada harapan dan ketakutan tidak akan bertahan lama.
Malam itu, setelah Beradu argumen soal itu, aku berjalan sendirian di sepanjang jalan yang sepi. Hujan mulai turun, membasahi tubuhku, namun aku tetap melangkah tanpa arah. Aku merasa bingung, terjebak antara rasa cinta dan prinsip hidup yang berbeda. Mungkin ini adalah saatnya untuk aku memilih. Aku tidak ingin terus menggantungkan diriku pada sesuatu yang tidak pasti. Aku ingin tahu apa yang benar-benar aku inginkan, tanpa harus menunggu lebih lama lagi.
Pada saat itulah aku sadar, kadang kita harus melepaskan apa yang kita cintai, meskipun itu sangat sulit. Perbedaan prinsip tidak selalu bisa dijembatani, dan meskipun cinta itu kuat, tidak semua hal bisa disatukan begitu saja. Aku tahu, aku harus memberi ruang untuk diriku sendiri, mencari kebahagiaanku tanpa harus terjebak dalam keraguan yang tak berujung.
Ketika aku kembali ke rumah, aku merenung, apakah ini adalah akhir dari cerita kami berdua? Apakah aku siap untuk melangkah jauh dari hubungan ini, meskipun perasaan itu masih ada? Aku tahu jawabannya tidak mudah, tetapi satu hal yang pasti, aku tidak ingin menunggu lima tahun lagi untuk menemukan kebahagiaan yang seharusnya bisa dirasakan sekarang. Karena hidup terlalu berharga untuk disia-siakan hanya karena perbedaan prinsip.