Chapter 5 - Harapan Baru

 Hubunganku dengan Inria berkembang pesat sejak menjadi sahabat. Awalnya, kami hanya dua orang asing yang berkenalan tanpa menyangka bisa sedekat ini. Namun, semakin hari ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang membuatku merasa bahwa hubungan ini lebih dari sekadar pertemanan.

 Sejak saat kami mulai berbicara lebih sering, aku menyadari betapa menyenangkannya memiliki seseorang seperti Inria. Dia tidak hanya seorang pria yang humoris, tetapi juga pendengar yang baik. Setiap kali aku merasa lelah atau bingung dengan tugas kuliahku, Inria selalu ada untuk mendengarkan keluhanku. Bahkan jika dia sedang sibuk dengan pekerjaannya, dia tetap menyempatkan waktu untuk meneleponku.

"Bagaimana kuliahmu hari ini? Ada yang bikin pusing?" tanyanya suatu malam saat kami sedang video call.

Aku tertawa kecil, "Pusing sih nggak, cuma rasanya tugas nggak habis-habis."

"Santai aja, kamu pasti bisa. Kalau butuh bantuan, bilang ya. Aku memang nggak ngerti soal tugas kuliah, tapi aku bisa jadi pendukung moralmu," katanya sambil tersenyum hangat di layar.

Percakapan seperti itu menjadi rutinitas kami. Rasanya menyenangkan mengetahui ada seseorang yang benar-benar peduli dan mendukungku, bahkan dari jarak jauh. Meskipun sifatnya kadang kekanakan, seperti saat dia memanggilku dengan sebutan "Warung Soto", aku tahu bahwa dia adalah orang yang tulus. Panggilan itu sebenarnya hanya lelucon, tetapi setiap kali dia mengucapkannya, aku tidak bisa menahan senyum.

 Hubungan kami tidak hanya berisi canda dan tawa. Ada saat-saat di mana Inria menunjukkan sisi serius dan mendalamnya. Suatu malam, dia bercerita tentang mimpinya. "Aku ingin bisa memberikan yang terbaik untuk keluargaku," katanya. "Tapi kadang aku ragu, apa aku sudah cukup baik untuk itu?"

Aku terdiam sejenak sebelum menjawab, "Kamu sudah melakukan yang terbaik, Inria. Aku tahu kamu punya hati yang besar, dan itu lebih dari cukup."

Dia tersenyum tipis, seolah-olah kata-kataku memberinya sedikit kelegaan. Dalam momen seperti itu, aku merasa bahwa hubungan kami tumbuh menjadi lebih dalam. Kami tidak hanya berbagi kebahagiaan, tetapi juga saling menguatkan di saat-saat sulit.

 Ada banyak momen kecil yang membuatku semakin yakin bahwa aku dan Inria memiliki sesuatu yang istimewa. Salah satunya adalah kebiasaan kami menonton pertandingan sepak bola bersama, meskipun hanya melalui layar. Aku yang sebenarnya tidak terlalu paham sepak bola, sering berpura-pura mendukung tim lawannya hanya untuk melihat reaksinya.

 Seiring berjalannya waktu, aku mulai menyadari bahwa perasaan ini bukan lagi sekadar persahabatan. Ada sesuatu yang lebih, sesuatu yang membuatku ingin terus bersamanya. Tapi aku ragu untuk mengungkapkannya. Bagaimana jika dia tidak merasakan hal yang sama? Bagaimana jika aku hanya bertepuk sebelah tangan? Namun, keraguanku sirna ketika suatu malam, dia mengungkapkan perasaannya. Kami sedang berbicara seperti biasa, membahas hal-hal ringan. Tiba-tiba dia berkata, "Aku senang punya kamu di hidupku. Kamu membuat segalanya terasa lebih mudah."

Aku terkejut. "Maksudmu?" tanyaku, mencoba memastikan apa yang baru saja dia katakan.

Dia menghela napas, seolah-olah sedang mengumpulkan keberanian. "Aku nggak tahu gimana cara menjelaskannya, tapi aku merasa nyaman denganmu. Lebih dari sekadar teman. Aku ingin kita bisa lebih dari ini."

Jantungku berdegup kencang. Aku tidak pernah menyangka dia akan mengatakannya, tetapi mendengar itu membuatku merasa lega.

"Aku juga merasa hal yang sama," jawabku pelan.

 Sejak saat itu, hubungan kami berubah. Kami bukan lagi dua orang yang hanya saling berbagi cerita dan tawa. Kami menjadi pasangan yang saling mendukung dan melengkapi. Meskipun hubungan jarak jauh tidak selalu mudah, kami berusaha untuk menjaga komunikasi tetap berjalan dengan baik.

 Setiap malam, kami berbicara melalui video call. Aku akan bercerita tentang perkuliahanku, sementara dia berbagi pengalamannya di tempat kerja. Ada kalanya aku merasa lelah dengan semua tuntutan hidup, tetapi mendengar suaranya memberiku semangat baru.

"Kamu tahu, kamu itu kuat banget," katanya suatu kali ketika aku mengeluh tentang tugas yang menumpuk.

"Aku nggak sekuat itu, kok," balasku dengan nada merendah.

"Tapi aku tahu kamu bisa. Aku percaya sama kamu," katanya dengan penuh keyakinan.

Kata-kata itu mungkin sederhana, tetapi bagi aku itu adalah dukungan yang sangat berarti. Dalam hubungan ini, aku merasa dihargai dan didukung sepenuhnya.

 Selain dukungan emosional, ada banyak momen manis yang kami ciptakan bersama. Salah satunya adalah ketika dia mengajakku membuat rencana kecil untuk masa depan. "Kalau nanti kita punya waktu luang, aku ingin ngajak kamu ke Bau-Bau. Aku pengen kamu lihat tempat aku tumbuh," katanya dengan mata berbinar-binar.

"Aku juga pengen ke sana," jawabku. "Pasti seru bisa jalan-jalan di pantai yang kamu ceritakan itu."

Rencana-rencana kecil seperti itu membuatku merasa bahwa hubungan ini memiliki arah yang jelas. Kami bukan hanya menjalani hari demi hari, tetapi juga memikirkan masa depan bersama. Namun, bukan berarti semuanya selalu berjalan mulus. Ada kalanya kami bertengkar karena hal-hal sepele, seperti ketika dia lupa membalas pesanku karena terlalu sibuk bekerja. Aku yang merasa diabaikan akan marah, sementara dia akan mencoba menjelaskan. "Maaf, aku nggak sengaja. Aku cuma terlalu fokus sama pekerjaan tadi," katanya dengan nada menyesal. Setelah beberapa saat, kami akan saling memaafkan dan tertawa lagi. Meskipun ada konflik, itu tidak pernah merusak hubungan kami. Justru, setiap kali kami melewati masalah bersama, hubungan kami menjadi semakin kuat.

 Hari-hari berlalu, dan aku merasa semakin yakin dengan hubungan ini. Bersama Inria, aku menemukan harapan baru. Harapan bahwa aku tidak harus menghadapi dunia ini sendirian, bahwa ada seseorang yang akan selalu ada untukku, mendukungku, dan mencintaiku.