Chereads / Petualangan dan Cinta Bersama Abdi Negara / Chapter 4 - Kuliah dan Cinta

Chapter 4 - Kuliah dan Cinta

 Tahun 2021 adalah tahun yang tidak akan pernah aku lupakan. Saat itu, aku sudah tidak bekerja lagi dan mulai menjalani kehidupan sebagai mahasiswa. Di tengah transisi besar dalam hidupku ini, aku bertemu seseorang yang mengubah banyak hal: Inria.

 Pertemuan pertama kami terjadi di sebuah kota. Hari itu, aku sedang jalan-jalan dengan sahabatku, Aldi. Kami memutuskan untuk menikmati suasana kota yang ramai tetapi santai. Ketika sedang berjalan di sebuah taman kota, Aldi tiba-tiba menyapa seorang pria yang berdiri di dekat kios makanan bebek goreng.

"Hei, Inria!" panggil Aldi dengan nada akrab.

Pria itu menoleh dan tersenyum lebar. Posturnya tinggi, sekitar 169 cm, dengan hidung mancung dan wajah tegas. Aku sempat memperhatikan sejenak, penasaran dengan siapa Aldi berbicara. Inria kemudian mendekat dan bergabung dalam obrolan kami.

"Ini temanku, Wulan," kata Aldi sambil memperkenalkan kami. "Wulan, ini Inria. Dia dari Sulawesi, tapi sekarang sedang jalan-jalan di sini."

Aku mengulurkan tangan, dan Inria menyambutnya dengan ramah. "Senang bertemu denganmu," katanya. Suaranya terdengar hangat dengan sedikit nada bercanda. Aku tersenyum, merasa bahwa orang ini tampak menyenangkan.

 Hari itu, obrolan kami berlanjut dengan santai di taman. Inria ternyata punya selera humor yang membuat suasana menjadi hidup. Ia menceritakan banyak hal, mulai dari pengalaman lucunya saat pertama kali ke Jawa hingga kebiasaannya yang sering membuat teman-temannya kesal karena keisengannya. Namun, di balik sifat bandelnya, aku bisa melihat bahwa ia adalah orang yang baik hati.

 Setelah pertemuan itu, kami mulai sering berkomunikasi. Awalnya kami hanya bertukar sapa atau obrolan singkat ketika berpapasan. Namun, seiring waktu kami menjadi semakin akrab. Salah satu momen yang membuatku merasa nyaman dengan Inria adalah ketika kami mulai berbagi cerita tentang latar belakang masing-masing.

"Kamu asli mana?" tanya Inria suatu hari saat kami sedang duduk di sebuah kafe kecil.

"Aku dari desa kecil di Nganjuk," jawabku. "Kehidupan di sana sederhana, tapi selalu terasa hangat."

Inria mengangguk sambil tersenyum. "Aku juga kangen rumah. Di Sulawesi, semuanya terasa lebih dekat. Orang-orangnya ramah, dan aku suka jalan-jalan di pantai."

Obrolan kami mengalir tanpa henti dan aku merasa bahwa kami punya banyak kesamaan dalam cara memandang hidup. Inria memiliki banyak cerita menarik tentang keluarganya, perjalanan panjangnya ke Jawa, dan bagaimana ia menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Aku mendengarkan dengan antusias, merasa bahwa ia adalah teman yang sangat asyik.

 Namun, hubungan kami tidak hanya dipenuhi dengan cerita dan tawa. Ada banyak momen kecil di mana Inria menunjukkan perhatian yang tulus. Misalnya, suatu hari ketika tiba-tiba hujan turun dengan deras. Aku yang tidak membawa payung mulai panik, tetapi Inria dengan santai membuka jaketnya dan menutupi kepalaku.

"Jangan sampai basah, nanti kamu sakit," katanya sambil tertawa kecil.

Aku merasa tersentuh oleh perhatian kecil itu. Di balik sifat bandel dan kekanakannya, Inria adalah seseorang yang peduli dan tulus. Dari hari ke hari, hubungan kami semakin dekat. Kami sering berbicara lewat telepon atau video call saat tidak bisa bertemu langsung. Kehadirannya memberikan warna baru dalam hidupku.

 Ada kebiasaan-kebiasaan unik yang membuat hubungan kami semakin hangat. Salah satunya adalah panggilan lucu yang kami gunakan untuk saling menggoda.

"Warung Soto, apa kabar?" tanya Inria suatu hari saat meneleponku.

Aku tertawa. "Warung Bakso, aku baik-baik saja. Kamu gimana?"

Panggilan itu muncul dari lelucon kami tentang makanan favorit masing-masing. Lama-kelamaan, itu menjadi bagian dari cara kami berkomunikasi. Setiap kali ia memanggilku "Warung Soto," aku tidak bisa menahan senyum.

 Kami juga sering bertaruh tentang hal-hal kecil, terutama seputar pertandingan sepak bola. Inria yang gemar menonton bola selalu yakin dengan jagoannya, sementara aku sering iseng memilih tim lawan hanya untuk melihat reaksinya.

"Kalau tim kamu kalah, kamu harus traktir aku makan bakso," kataku suatu kali.

Inria mengangguk penuh percaya diri. "Deal. Tapi kalau timku menang, kamu ku gantung itiang lalu menari dilapangan hahaa."

 Ketika tim Inria kalah, ia akan merajuk dengan cara yang lucu. "Aku nggak ngerti kenapa mereka kalah! Padahal aku udah yakin banget udah aku mau tidur" keluhnya dengan nada manja.

"Udah, nggak usah sedih. Aku traktir bakso deh. Tapi cuma semangkuk, ya," jawabku sambil tersenyum.

 Di tengah kesibukan kuliah, kehadiran Inria menjadi penyemangat untukku. Meskipun ia sibuk dengan pekerjaannya, ia selalu menyempatkan waktu untuk mendukungku. Saat aku mengerjakan tugas, kami sering melakukan call, dan ia selalu memberiku semangat.

"Kamu pasti bisa. Aku tahu kamu pintar kan calon ibu guru" katanya dengan nada serius.

Kata-kata itu mungkin sederhana, tetapi bagiku itu sangat berarti. Inria adalah seseorang yang selalu ada untukku, bahkan dalam hal-hal kecil sekalipun. Ketulusan dan perhatiannya membuatku merasa dihargai.

 Dari kebiasaan yang sederhana aku dan Inria mulailah terbangun ikatan yang kuat. Kami tidak hanya menjadi teman, tetapi juga sahabat yang saling mendukung. Aku merasa bersyukur atas kehadirannya dalam hidupku. Di tengah perjuanganku menjalani perkuliahan dan mengejar impian, kehadiran seseorang seperti Inria adalah anugerah yang tidak pernah aku duga.

 Ketika aku merenungkan perjalanan hidupku, aku selalu tersenyum mengingat momen-momen bersama Inria. Dalam hati, aku tahu bahwa perkenalan kami bukanlah kebetulan. Ada sesuatu yang istimewa dalam hubungan persahabatan kami, sesuatu yang membuatku merasa bahwa aku telah menemukan seseorang yang benar-benar memahami dan menghargai diriku.