Chereads / Petualangan dan Cinta Bersama Abdi Negara / Chapter 3 - Keputusan Besar

Chapter 3 - Keputusan Besar

 Sudah dua tahun berlalu sejak aku mulai bekerja di toko boneka itu. Waktu terasa cepat, namun juga penuh dengan pelajaran berharga yang aku dapatkan. Saat pertama kali melangkah ke dalam toko itu, aku tidak pernah membayangkan bahwa pekerjaan ini akan memberi dampak begitu besar pada hidupku. Bukan hanya tentang penghasilan yang cukup untuk kebutuhan sehari-hari, tapi juga bagaimana aku belajar bertanggung jawab, mengelola waktu, dan yang lebih penting, mengumpulkan tabungan untuk masa depan.

 Setiap bulan, aku selalu menyisihkan sebagian dari gajiku untuk tabungan kuliah. Dua tahun mungkin terdengar lama, tetapi saat aku melihat jumlah tabungan yang terkumpul, aku merasa waktu itu memberikan arti yang dalam. Tabungan untuk empat semester, cukup untuk membayar biaya kuliah hingga setengah jalan, sudah ada di tanganku. Itu membuatku merasa lebih dekat dengan impian yang selama ini aku kejar.

 Namun, meski tabungan sudah terkumpul dan impian kuliah semakin terlihat nyata, aku tidak bisa menepis rasa ragu yang selalu menghantui. Keputusan untuk berhenti bekerja dan melanjutkan kuliah adalah keputusan besar yang tidak bisa kuambil dengan mudah. Aku tahu, setelah ini, hidupku akan berubah. Aku akan meninggalkan pekerjaan yang sudah memberi rasa aman, tempat di mana aku merasa nyaman, dan memasuki dunia yang penuh dengan ketidakpastian.

 Aku sering berdiskusi dengan diriku sendiri, bertanya-tanya apakah aku benar-benar siap. Apa yang akan terjadi jika aku tidak berhasil? Apa yang akan aku lakukan jika kuliah ternyata lebih sulit dari yang aku bayangkan? Bagaimana jika impian ini justru menjadi beban? Meskipun pikiran-pikiran itu muncul, ada satu hal yang selalu aku yakini—aku tidak akan pernah tahu jika tidak mencobanya. Jika aku terus menunda-nunda, aku mungkin tidak akan pernah mengambil langkah besar itu.

 Aku pun memutuskan untuk berbicara dengan ibuku, seperti yang selalu kulakukan setiap kali aku menghadapi keputusan besar. Di meja makan, saat kami sedang menikmati makan malam bersama, aku membuka percakapan itu.

"Bu, aku ingin berbicara tentang sesuatu yang penting," kataku, memulai percakapan dengan sedikit cemas.

Ibuku menatapku dari seberang meja. "Apa itu, Nak? Kau tampak serius sekali."

"Aku ingin berhenti kerja dan melanjutkan kuliah," jawabku perlahan, sambil menunggu reaksi ibu.

Ibuku terdiam sejenak. Aku bisa melihat ekspresi wajahnya yang berubah, seperti sedang memproses apa yang baru saja kukatakan. Ia menyentuh cangkir teh hangat di depannya, lalu menatapku dengan mata yang lembut namun penuh perhatian.

"Wulan, ini keputusan besar. Kamu sudah bekerja dua tahun, dan kamu sudah sangat baik di pekerjaanmu ini. Kenapa tiba-tiba memutuskan untuk berhenti?" tanyanya.

Aku menarik napas panjang. "Aku merasa ini waktu yang tepat, Bu. Aku sudah mengumpulkan cukup uang untuk biaya kuliah. Aku ingin melanjutkan pendidikan, mengejar impian yang selama ini tertunda. Aku tahu, ini bukan hal yang mudah, dan aku harus siap dengan segala konsekuensinya. Tapi aku tidak bisa terus menunda-nunda."

Ibuku menatapku dengan penuh perhatian, seolah mencari keyakinan di mataku. "Aku tahu kamu sudah memikirkan ini matang-matang. Aku selalu percaya kamu bisa mencapai apapun yang kamu inginkan, Wulan. Tapi ingat, kuliah itu bukan hanya tentang belajar, tapi juga tentang tanggung jawab. Kamu harus siap untuk berjuang lebih keras."

Kata-kata ibuku benar-benar membuat hatiku lebih tenang. Aku tahu, meskipun ibu merasa khawatir, ia selalu mendukung keputusan yang kuambil jika itu untuk kebaikanku. Setelah berbicara dengannya, aku merasa sedikit lebih percaya diri. Aku sudah membuat keputusan, dan sekarang saatnya untuk melangkah.

 Hari berikutnya, aku menghadap atasan di toko boneka tempat aku bekerja. Aku sudah mempersiapkan diri untuk membicarakan keputusan ini. Ketika aku duduk di depan atasan, rasanya jantungku berdebar-debar. Aku tahu ini akan sulit, terutama karena aku sudah menjadi bagian dari tim yang solid. Namun, aku harus menyampaikan niatku.

 Aku memanggil bosku dengan sebuta mama ", Ma saya ingin berbicara tentang sesuatu," kataku dengan suara yang agak gemetar.

Atasanku menatapku dengan penasaran. "Ada apa, Wulan?"

"Aku memutuskan untuk berhenti bekerja di sini. Aku sudah memutuskan untuk melanjutkan kuliah," jawabku, berusaha berbicara dengan tenang.

Dia terdiam sejenak, lalu tersenyum. "Saya mengerti, Wulan. Itu keputusan besar. Tapi saya percaya kamu sudah memikirkan semuanya. Kami semua di sini akan mendukung keputusanmu. Kalau kamu butuh referensi atau bantuan apapun, jangan ragu untuk menghubungi kami."

 Aku merasa lega mendengar dukungan darinya. Meskipun aku tahu akan ada banyak hal yang berubah setelah aku berhenti bekerja, aku merasa lebih mantap dengan langkah yang kuambil. Ini adalah saat yang tepat untuk mengejar apa yang aku impikan selama ini. Aku tidak bisa terus menunggu peluang datang begitu saja. Aku harus menciptakan kesempatan itu.

 Keputusan untuk berhenti bekerja dan melanjutkan kuliah bukanlah hal yang mudah. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan, terutama mengenai biaya hidup dan keberhasilan akademikku di masa depan. Namun, aku tahu ini adalah keputusan yang tepat. Setelah ini, aku akan menghadapi tantangan baru, dan aku siap untuk itu.

 Hari terakhir aku bekerja di toko boneka terasa emosional. Semua teman-teman kerja mengucapkan selamat tinggal, dan aku merasa terharu karena mereka begitu mendukung. Mereka tahu betapa pentingnya pendidikan bagiku, dan meskipun aku akan meninggalkan pekerjaan ini, mereka tahu aku sedang mengejar impian yang lebih besar.

 Saat aku melangkah keluar dari toko boneka itu untuk terakhir kalinya, rasanya ada perasaan campur aduk dalam hatiku. Ada rasa kehilangan karena meninggalkan pekerjaan yang sudah menjadi bagian dari hidupku, tetapi juga ada rasa semangat yang menyala-nyala. Ini adalah awal dari perjalanan baru. Perjalanan yang penuh dengan tantangan, tetapi juga penuh dengan harapan.

 Akupun memilih jurusan yang benar-benar aku minati, awalnya impianku sejak kecil adalah menjadi seorang psikolog, namun aku berpikir ulang karena biaya jurusan psikologi lebih besar sedangkan masih banyak keperluanku yang lainnya. Aku berpikir ulang akhirnya aku memilih jurusan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Sejak kecil, aku selalu merasa terinspirasi oleh anak-anak, cara mereka belajar dan berkembang dengan begitu cepat. Aku merasa bahwa menjadi guru bagi anak-anak akan memberikan dampak yang luar biasa dalam kehidupan mereka, dan aku ingin menjadi bagian dari proses itu.

 Aku melangkah maju, siap menghadapi masa depan yang baru. Aku tahu, meskipun jalan ini tidak akan selalu mudah, aku sudah siap menghadapinya. Kuliah adalah langkah pertama dalam perjalanan panjang yang akan membawaku ke tempat yang lebih tinggi. Dan aku percaya, setiap langkah besar dimulai dengan sebuah keputusan besar.