Langit sore di atas istana Drakonia dipenuhi semburat jingga dan ungu, menciptakan suasana damai yang memukau. Angin sepoi-sepoi membawa aroma bunga-bunga khas pegunungan yang tumbuh di taman istana. Di balkon besar yang menghadap ke taman utama, Raja Kael'Zarath duduk dengan gagah, mengenakan jubah ungu keemasan yang melambangkan kekuasaan dan kebijaksanaannya. Di sebelahnya, Lady Seraphina, seorang wanita elegan dengan rambut emas berkilauan, tampak anggun mengenakan gaun hijau zamrud yang membingkai aura kedewasaannya.
Mereka berbincang santai bersama beberapa pejabat tinggi Draconian dan rombongan Ethereal Lands yang hadir dalam pertemuan diplomatik hari itu. Gelak tawa dan senyum menghiasi perbincangan mereka.
"Kerjasama ini akan membawa manfaat besar bagi kedua bangsa kita," ujar Raja Kael'Zarath sambil menyeruput teh hangatnya. "Dengan saling berbagi teknologi dan pengetahuan, kita akan menciptakan masa depan yang lebih kuat."
Lady Seraphina mengangguk dengan anggun. "Betul sekali, Kael'Zarath. Saya senang melihat bangsa kita semakin dekat. Persahabatan ini adalah warisan berharga yang harus kita jaga."
Para pejabat mengangguk setuju, dan suasana sore itu terasa sangat harmonis.
Namun, di tengah suasana yang tenang itu, suara langkah kaki yang berat terdengar mendekat. Semua kepala menoleh, dan terlihatlah Aoi, Riku, dan Itsuki berjalan masuk ke balkon. Wajah mereka terlihat lesu, rambut berantakan, dan pakaian mereka sedikit berdebu, seolah-olah mereka baru saja melalui perjalanan panjang dan sulit.
Lady Seraphina berdiri dengan alis terangkat. "Aoi? Riku? Ada apa dengan kalian? Kalian terlihat sangat kelelahan."
Lady Seraphina melangkah mendekat dengan kekhawatiran di wajahnya. "Apa yang terjadi? Bukankah kalian sedang bermain hari ini?"
Aoi menghela napas panjang, lalu membungkukkan badan sedikit sebagai bentuk hormat. "Lady Seraphina, kami mohon maaf. Kami sedang berusaha mencari Ai di seluruh penjuru kota, bahkan hingga ke wilayah pegunungan Abyssal, tapi... kami tidak menemukan apa pun."
Riku menambahkan dengan suara pelan, "Kami benar-benar sudah mencoba segalanya. Tapi sepertinya Ai menghilang tanpa jejak."
Itsuki yang berdiri di antara mereka, mengusap matanya yang terlihat lelah. "Aku hanya ingin pulang dan tidur..." gumamnya dengan nada mengeluh.
Raja Kael'Zarath mengerutkan kening. "Ini aneh. Nona Ai tidak mungkin menghilang begitu saja. Apakah kalian menemukan petunjuk apa pun?"
Aoi menggeleng. "Tidak, Yang Mulia. Kami bahkan bertanya kepada penduduk kota, tetapi mereka hanya memberikan informasi yang tidak jelas."
Lady Seraphina menepuk bahu Aoi dengan lembut. "Kalian pergi beristirahat saja. Jangan khawatir, aku akan mengirimkan orang untuk mencari Ai."
Namun, sebelum mereka bisa melanjutkan percakapan, suara gemuruh yang dalam tiba-tiba terdengar dari kejauhan. Tanah bergetar lembut, dan angin sore yang tadinya tenang berubah menjadi hembusan yang lebih kuat.
"Apa itu?" tanya Riku dengan nada panik, matanya melirik ke arah cakrawala.
Seorang pengawal berlari masuk dengan wajah tegang. "Yang Mulia, sesuatu terjadi di arah timur laut! Ada energi besar yang tiba-tiba muncul di sana!"
Raja Kael'Zarath berdiri tegak, tatapannya berubah serius. "Energi besar? Jelaskan lebih rinci!"
Pengawal itu mengangguk cepat. "Kami belum tahu pasti, tetapi penjaga di menara melaporkan bahwa langit di atas wilayah itu berubah menjadi gelap, dan ada kilatan cahaya aneh yang menyerupai sambaran petir."
Lady Seraphina menatap Raja Kael'Zarath dengan cemas. "Apakah ini mungkin terkait dengan segel kuno yang pernah kita bicarakan?"
Raja Kael'Zarath mengangguk pelan, wajahnya tampak muram. "Bisa jadi. Jika segel itu benar-benar terusik, kita semua dalam bahaya besar."
Aoi, yang mendengar percakapan itu, segera angkat bicara. "Yang Mulia, izinkan kami untuk pergi ke sana dan menyelidiki!"
Lady Seraphina menatap Aoi dengan penuh perhatian. "Kalian baru saja kembali dari perjalanan yang melelahkan. Apakah kalian yakin mampu melakukannya?"
Riku menepuk dadanya, meskipun wajahnya masih terlihat lelah. "Kami tidak bisa tinggal diam jika ada bahaya. Lagipula, ini mungkin terkait dengan hilangnya Ai."
Itsuki, meskipun menguap lebar, mengangkat tangan kecilnya. "Aku ikut... kalau ada makanan setelah ini."
Raja Kael'Zarath tersenyum kecil, tetapi segera kembali serius. "Baiklah. Tapi kalian tidak akan pergi sendiri. Aku akan mengirimkan beberapa pengawal untuk menemani kalian. Berhati-hatilah, dan laporkan segera jika menemukan sesuatu."
Aoi, Riku, dan Itsuki membungkuk hormat. "Kami tidak akan mengecewakan Anda, Yang Mulia."
Sementara mereka bersiap untuk berangkat, suasana di istana berubah menjadi tegang. Para pejabat berbisik-bisik, dan Lady Seraphina berdiri di samping Raja Kael'Zarath, tatapannya penuh kekhawatiran.
"Semoga mereka menemukan jawaban sebelum semuanya terlambat," bisik Lady Seraphina.
Raja Kael'Zarath menatap langit yang mulai gelap, dengan kerutan di dahinya. "Aku harap begitu."
Dilokasi pencarian,
Mereka melakukan pencarian hingga sinar bulan mulai merangkak naik, Aoi berdiri di depan para penjaga istana yang sibuk menyisir area sekitar dengan serius. Ia memerintahkan dengan nada tegas, "Periksa setiap sudut, jangan sampai ada tempat yang terlewat. Itsuki, kamu bisa membantu mereka dengan para peri?"
Itsuki mengangguk semangat, mengangkat tangan kecilnya, dan seketika puluhan peri bersinar muncul, beterbangan ke segala arah untuk membantu pencarian. "Ayo, teman-teman! Cari sesuatu yang mencurigakan!" serunya dengan suara ceria, meski wajahnya tampak penuh konsentrasi.
Di sisi lain, Riku berjalan perlahan, mengikuti instingnya yang entah mengapa membawanya ke jalan setapak kecil di sisi bukit. Pandangannya tertuju pada sesuatu yang aneh: sebuah pintu batu besar yang tertutup rapat dengan ukiran naga di permukaannya.
"Aoi! Aku menemukan sesuatu!" teriaknya dengan lantang.
Semua orang segera berkumpul di tempat Riku berada. Mereka memeriksa pintu itu dengan teliti, mencoba memahami mekanisme di baliknya. Namun, sebelum ada yang sempat menyentuhnya, pintu batu itu mulai bergerak sendiri, terbuka perlahan dengan suara gemuruh berat.
Mata mereka terbelalak saat melihat tiga sosok muncul dari kegelapan gua. Dua gadis Draconian menopang seorang pria Draconian yang terlihat sangat lelah, dengan wajah pucat dan darah mengalir dari hidungnya. Langkah mereka tertatih-tatih, nyaris terjatuh sebelum akhirnya berhasil keluar dari mulut gua.
Aoi segera maju. "Apa yang terjadi? Siapa kalian?" tanyanya, nada suaranya penuh kekhawatiran.
Salah satu gadis, Lyra, menjawab dengan napas tersengal. "Kami... kami baik-baik saja. Hanya kelelahan. Tapi dia..." Ia menunjuk pria di tengah mereka. "Dia kehilangan banyak darah."
Riku segera melantunkan sihir pemulihan, cahaya lembut menyelimuti ketiganya. Perlahan, wajah mereka kembali cerah, dan pria Draconian itu akhirnya membuka matanya. Namun, yang terjadi berikutnya benar-benar tak terduga.
Pria itu, yang ternyata adalah Kaito, melompat berdiri dengan penuh semangat. "Riku! Kau tidak akan percaya apa yang terjadi! Aku masuk ke gua itu, dan di dalamnya ada ruangan besar, lalu benda hebat, lalu naga agung, lalu—"
"KYAAAAA! Hentikan!" Riku memotong, melambaikan tangannya dengan panik. "Siapa kau? Kenapa kau bertingkah seperti kita saling kenal?"
Kaito menatapnya dengan heran, lalu menunjuk dirinya sendiri. "Aku Kaito! Apa kau tidak mengenaliku? Kenapa kau bertingkah seperti melihat hantu?"
Hening sejenak. Aoi, Riku, dan para penjaga terdiam, bingung, dan tidak mampu memproses apa yang baru saja mereka dengar.
Lyra akhirnya melangkah maju. Menjelaskan situasinya dengan lebih sederhana.
Mira menambahkan dengan nada tenang, "Dia adalah pewaris kekuatan naga agung. Kami baru saja melalui upacara yang sangat penting di dalam sana."
Riku menatap mereka dengan tatapan kosong, lalu perlahan mengalihkan pandangannya ke Kaito. "Benarkah?" tanyanya, suaranya penuh ketidakpercayaan.
"Tentu saja!" jawab Kaito dengan senyum lebar.
Riku yang masih syok akhirnya melampiaskan kekesalannya dengan memukuli Kaito. "Kau pikir ini lelucon? Aku setengah mati mencari Ai, dan kau malah gelap-gelapan bersama dua gadis di dalam gua!"
Namun, pukulan Riku tidak memberikan efek apa pun. Kaito tertawa kecil, menyadari tubuhnya yang kini jauh lebih kuat. "Hei, hei, tenang, Riku! Tubuhku sekarang keras seperti baja, kau hanya akan melukai dirimu sendiri!"
Setelah semua orang di sekitar gua misterius akhirnya memahami situasi—dengan bantuan penjelasan sederhana dari Lyra dan Mira—rombongan pun memutuskan untuk kembali ke istana Drakonia. Kaito, yang kini berjalan di depan, tampak gagah dengan tubuh barunya yang memancarkan aura naga agung. Simbol pewaris di dahinya bersinar samar, membuat siapa pun yang melihatnya tidak mampu menahan rasa hormat.
Sepanjang perjalanan, para Draconian yang mereka lewati menatap Kaito dengan mata terbelalak. Beberapa langsung berlutut, dengan penuh penghormatan, sambil membukakan jalan bagi rombongan.
"Yang Mulia Kaisar! Selamat atas kebangkitan Anda!" seru seorang prajurit dengan penuh semangat, disusul oleh beberapa lainnya yang bergumam dengan nada hormat.
Kaito, yang tidak terbiasa dengan perlakuan semacam itu, merasa dirinya seperti tokoh utama dalam parade besar. Dia melambai kecil ke arah beberapa Draconian yang berlutut sambil berkomentar dengan nada bercanda, "Wah, ini luar biasa. Aku seperti sedang ikut parade kerajaan. Haruskah aku melambai lebih dramatis?"
Riku, yang berjalan di sebelahnya, langsung menyikut perut Kaito dengan kesal. "Tutup mulutmu, dasar sombong!" Namun, alih-alih membuat Kaito meringis kesakitan, Riku justru meringis sendiri. "Apa-apaan ini! Tubuhmu keras seperti batu!"
Kaito terkekeh, melirik Riku dengan senyum lebar. "Sudah kubilang kan? Tubuhku sekarang dilapisi sisik naga yang keras. Kau hanya akan menyakiti dirimu sendiri."
Riku mendengus, mengusap sikunya yang terasa nyeri. "Sombong sekali kau sekarang! Kalau kau tidak diam, aku akan mengurungmu di kandang naga!"
Kaito hanya mengangkat bahu dengan santai. "Baiklah, baiklah, aku akan diam. Tapi serius, ini semua terasa seperti mimpi."
"Aku akan membuatnya jadi mimpi buruk kalau kau terus bercanda," balas Riku sambil menyipitkan mata.
Lyra dan Mira, yang mengikuti di belakang mereka, hanya bisa menahan tawa kecil. Mira menutupi mulutnya dengan tangan, sementara Lyra menggeleng pelan. "Tuan Kaito, Anda benar-benar suka membuat suasana jadi santai," ujar Lyra dengan nada lembut.
"Yah, aku hanya mencoba menikmati momen ini," jawab Kaito sambil mengedipkan mata ke arah Lyra, membuat gadis itu menunduk dengan pipi memerah.
Riku menatap kedua gadis Draconian itu. "Lagipula siapa kedua gadis ini, kenapa mereka bisa terlibat dengan bencana yang kau sebabkan!"
Kaito memprotes, "Hey… Ayolah, kenapa semua yang berkaitan denganku kau anggap bencana?"
"Karena kenyataannya memang benar!" ucap Riku sambil mendengus kesal.
Mira dan Lyra menjawab, "Mereka berdua adalah nyawa cadangan Tuan Kaito!"
Mendengar itu tatapan Riku menjadi kosong, "Hah?"
"HAAAAH?" Riku, Aoi, Itsuki, Kaito dan para tentara penjaga berteriak bersama.
Kaito segera mengklarifikasi, "Tu.. tunggu dulu, itu tidak seperti itu, kalian katakan dengan jelas."
Mira menjelaskan dengan nada pelan dan lembut, "Iya, kami telah terikat dengan Tuan Kaito. Jiwa dan raga kami sekarang adalah milik Tuan Kaito sepenuhnya." Tatapan Riku dan Aoi semakin tajam.
Lyra melanjutkan, "Jika Tuan Kaito mati nyawa kami akan menjadi penggantinya, dan, dan Tuan Kaito juga menyuruh kami melakukan hal macam macam di gua. Aahh…." Lyra memekik dan menutup wajahnya yang memerah karena malu.
"Apa yang kau lakukan terhadap anak orang, hah?" Riku dan Aoi sudah sangat marah, menatap tajam Kaito.
Kaito dengan memelas menjelaskan, "Ti… tidak, bukan begitu. TO… TOLONG!" Kaito berlari menyelamatkan diri dari amukan Aoi dan Riku.