Cahaya pagi mulai menyelinap melalui jendela besar kamar Kaisar, memandikan ruangan dengan sinar keemasan. Namun, suasana di dalam kamar jauh dari tenang. Ai, Aoi, dan Riku tertidur lelap di sofa setelah berjaga semalaman. Mereka bergantian memastikan tidak ada hal tak senonoh yang terjadi, terutama dari Lady Seraphina dan Lyra, yang terus-menerus mencoba mendekati Kaito.
Di atas ranjang besar yang mewah, Itsuki dan Mira tampak tidur dengan damai, masing-masing di sisi kiri dan kanan Kaito. Wajah mereka terlihat polos, seolah-olah tidak ada yang bisa mengganggu ketenangan mereka. Sementara itu, Lyra dan Lady Seraphina, meski dipaksa menjauh oleh para penjaga tak resmi tadi malam, tidur di kursi jauh dari tempat tidur dengan ekspresi tak puas.
Kaito perlahan membuka matanya. Dia menghela napas panjang, merasa tubuhnya pegal karena malam yang penuh keributan. Namun, sesuatu terasa berbeda. Ketika dia mencoba menggerakkan lengannya, dia tertegun.
Tangannya… sudah kembali seperti semula. Bukan lagi cakar naga, melainkan tangan manusia biasa. Dia bangkit dari tempat tidur dengan cepat, membuat Mira dan Itsuki menggeliat pelan namun tetap tertidur.
Kaito berjalan ke cermin besar di sudut ruangan. Matanya membelalak saat melihat bayangannya. Tubuhnya tidak lagi memiliki ciri-ciri Draconian. Sisik yang biasanya menghiasi kulitnya telah hilang, dan tanduk kecil di kepalanya juga lenyap.
"Ini... ini aku?" gumam Kaito, sebelum berteriak, "Aku kembali menjadi manusia!"
Teriakannya menggema di seluruh ruangan, membangunkan semua orang. Ai, Aoi, dan Riku terlonjak dari sofa, wajah mereka lelah namun penuh kewaspadaan. Lyra dan Lady Seraphina segera berdiri, sementara Mira dan Itsuki mengucek mata mereka, mencoba memahami situasi.
"Ada apa, Kaito?" tanya Aoi dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup.
Kaito menunjuk dirinya di cermin. "Lihat! Aku sudah kembali menjadi manusia lagi!"
Mereka semua menatapnya dengan berbagai ekspresi. Mira tampak bingung, Itsuki hanya mengangguk kecil, sementara Lyra dan Riku terlihat terkejut. Namun, reaksi Ai justru paling datar.
"Hmm, mungkin saja perubahan itu mirip dengan zirah suci milik kita," ucap Ai santai, lalu meregangkan tubuhnya yang pegal.
"Zirah suci?" tanya Kaito, menatap Ai dengan penasaran.
"Ya," jawab Ai sambil menguap. "Bukankah sebelumnya kita juga bisa menyerap zirah suci itu kedalam tubuh? Coba saja keluarkan lagi dari tubuhmu."
Kaito mengangguk, mencoba memusatkan pikirannya. Dalam sekejap, tubuhnya kembali berubah. Sisik berkilau dan tanduk muncul, dan auranya sebagai Draconian kembali terasa. Semua orang di ruangan terdiam, terpesona melihat perubahan itu.
"Jadi benar," gumam Kaito, menatap tangannya yang kini kembali menjadi cakar naga. Dia mencoba lagi, kali ini berusaha mengembalikan wujud manusianya. Dalam sekejap, perubahan terjadi, dan dia kembali seperti semula.
"Luar biasa," ujar Kaito dengan senyum puas. "Ternyata aku bisa berubah kapan saja. Ini sangat praktis!"
Namun, eksperimen Kaito tidak berhenti di situ. Dia mencoba memunculkan zirah suci, lalu kembali ke wujud Draconian, dan kembali lagi ke wujud manusia. Semua itu dilakukan dengan lancar, membuatnya semakin antusias.
Keributan kecil itu terganggu oleh suara langkah kaki di luar pintu. Dalam formasi yang rapi, para pelayan pribadi Kaisar masuk satu per satu, membawa berbagai kebutuhan pagi. Mereka membawa nampan berisi makanan, pakaian, dan minuman.
"Yang Mulia," salah satu pelayan berkata dengan sopan, "kami telah menyiapkan segala sesuatu untuk pagi Anda."
Kaito menatap mereka dengan kagum. Kemewahan ini benar-benar baru baginya. Tanpa pikir panjang, dia mengambil sebuah apel dari nampan yang dibawa salah satu pelayan dan menggigitnya. "Enak sekali," katanya sambil melirik pelayan lain. "Boleh aku minta jus madu itu?"
"Tentu, Yang Mulia," jawab pelayan itu, menuangkan jus ke dalam gelas kristal.
Setelah menikmati sarapan ringan, Kaito melangkah keluar menuju balkon. Dia terkejut melihat taman yang luas di atas gedung istana. Rumput hijau membentang, dihiasi bunga-bunga eksotis dan air mancur kecil.
"Wow," gumam Kaito, "bahkan di atas gedung ada taman seluas ini."
Sementara Kaito menikmati paginya, Ai menatap para wanita yang masih berada di kamar. Dengan suara tegas, dia berkata, "Baiklah, semuanya. Ikut aku. Kita akan mandi bersama."
Pemandian pribadi di dalam kamar Kaisar merupakan sebuah seni yang memancarkan kemewahan. Kolam air panas besar dengan uap yang mengepul memenuhi ruangan, dikelilingi oleh pilar-pilar marmer putih berhiaskan ukiran naga. Di sudut ruangan, ada pancuran air berbentuk kepala naga yang mengalirkan air hangat ke kolam.
Ai duduk di tepi kolam, memandang dengan penuh wibawa. Dia tidak masuk ke dalam air, melainkan duduk di lantai marmer yang lebih tinggi. Posisi itu membuatnya terlihat seperti seorang pemimpin besar yang sedang memberikan pidato penting kepada para bawahannya.
"Dengarkan aku, wahai makhluk rendahan!" seru Ai, suaranya bergema di ruangan.
Lady Seraphina, Lyra, Mira, Aoi, dan bahkan Riku serta Itsuki yang ikut masuk ke pemandian, menatapnya dengan bingung. Mereka duduk di dalam kolam, menikmati air hangat, tetapi ekspresi mereka berubah serius mendengar nada tegas Ai.
Lady Seraphina, yang sedari awal selalu memenuhi semua keinginan Ai, segera menundukkan kepala. "Apa yang ingin Anda sampaikan, Nona Ai?"
Ai tersenyum sombong, lalu mengangkat dagunya. "Aku ingin menegaskan satu hal yang sangat penting. Mulai hari ini, kalian semua harus tunduk padaku!"
"Eh?" Lyra dan Mira saling berpandangan, bingung.
"Kenapa kami harus tunduk kepada Anda?" tanya Lyra, mencoba memahami maksud Ai.
Dengan gerakan dramatis, Ai berdiri dan menunjuk dirinya sendiri. "Karena aku adalah Ai Takayama! Aku adalah Paman! Eh, maksudku... bibi Kaito Tanaka! Itu berarti kedudukanku lebih tinggi daripada Kaito sendiri! Jadi secara teknis, aku adalah Bibi Kaisar!"
"Bibi Kaisar?" Mira memiringkan kepalanya, mencoba mencerna informasi itu.
"Benar!" jawab Ai dengan penuh percaya diri. "Sebagai bibi Kaisar, aku memiliki otoritas tertinggi di atas kalian semua. Jadi, tunduklah padaku!"
"Ooooh..." Serempak, Lady Seraphina, Lyra, dan Mira langsung bersujud di dalam air, memberikan penghormatan besar kepada Ai.
"Hidup! Yang Mulia Bibi Kaisar!" teriak mereka dengan penuh hormat.
Ai tertawa puas, tangannya bertolak pinggang. "Bagus, bagus! Kalian cepat belajar. Aku suka itu."
Namun, Aoi yang sejak tadi hanya memperhatikan, menggelengkan kepala. "Apa-apaan ini? Kenapa kalian semua mengikuti permainan Ai?"
Dia menoleh ke arah Riku dan Itsuki, berharap mereka memiliki akal sehat. Namun, betapa terkejutnya Aoi ketika melihat Riku dan Itsuki juga bersujud di depan Ai, mengikuti yang lain.
"Hei! Kalian berdua kenapa malah ikut-ikutan?" teriak Aoi dengan frustrasi.
Itsuki menoleh dengan wajah polos. "Tapi... Kak Ai bilang dia bibi Kaisar. Jadi, kita harus menunjukkan rasa hormat, kan?"
"Benar sekali," tambah Riku sambil mengangguk. "Lagipula, semua yang dia katakan memang benar?"
Aoi menghela napas panjang, merasa semakin putus asa. Namun, Ai tidak berhenti di situ. Dia berdiri tegap di tepi kolam, menunjuk ke arah mereka semua dengan gaya dramatis.
"Dengarkan titah pertamaku sebagai Bibi Kaisar!" serunya dengan nada tinggi.
Semua orang di pemandian langsung menegakkan tubuh, menunggu perintahnya.
"Mulai hari ini, kalian semua harus menjauh dari Kaito!" kata Ai dengan tegas. "Pendamping Kaisar haruslah wanita yang bermartabat. Maka dari itu, kalian tidak boleh tidur di kamar yang sama dengannya lagi!"
"Baik, Yang Mulia!" jawab mereka serempak, meski beberapa dari mereka tampak bingung.
"Ngomong-ngomong," lanjut Ai sambil melipat tangan di depan dada, "karena kalian semua wanita, kalian akan masuk ke dalam kelompok wanita. Jadi, kalian harus menuruti perintah pemimpin kelompok wanita."
"Baik, Yang Mulia!" jawab mereka semua serempak,
"Ijin Yang Mulia Bibi Kaisar, kalau boleh tahu siapa pemimpin kelompok wanita, Yang Mulia?" tanya Mira dengan penuh rasa ingin tahu.
"Tentu saja Aoi!" jawab Ai cepat, menunjuk adiknya itu dengan bangga.
"Eh? Aku?" Aoi menunjuk dirinya sendiri, terkejut.
"Ya! Kau satu-satunya yang paling masuk akal di antara kita semua. Jika bukan kau, siapa lagi?" Jawab Ai penuh percaya diri, membuat Aoi semakin bingung harus berkata apa.
Setelah pidato besar Ai selesai, suasana pemandian kembali tenang. Mereka segera selesai mandi dan mengenakan gaun mewah yang telah disiapkan oleh para pelayan. Ai, yang merasa puas dengan pengaruhnya, memimpin rombongan wanita keluar dari kamar menuju taman istana untuk pesta minum teh.
Rombongan wanita berjalan menuruni tangga dengan anggun, masing-masing mengenakan gaun mewah yang berkilauan di bawah cahaya pagi. Di depan, Ai berjalan dengan penuh percaya diri, seolah dia adalah pemimpin parade kerajaan. Di belakangnya, Lady Seraphina, Lyra, Mira, Aoi, Riku, dan Itsuki mengikuti dengan ekspresi beragam.
Namun, ketika mereka tiba di taman istana yang luas, suasana menjadi sedikit canggung. Ren dan Souta, yang kebetulan sedang menikmati sarapan pagi di sudut taman, langsung terbelalak melihat pemandangan itu.
Mata Ren membesar, sementara mulut Souta menganga lebar. Mereka berdua terdiam, tak percaya dengan apa yang mereka lihat.
"Ren... apa aku sedang bermimpi?" bisik Souta, mencoba memproses kejadian di depan matanya.
Ren menggeleng perlahan. "Kalau kau bermimpi, aku juga bermimpi. Tapi ini nyata."
"Semua wanita itu... keluar dari kamar Kaisar..." Souta menelan ludah, suaranya bergetar. "Artinya... mereka semua tidur bersama Kaito tadi malam?"
Souta, yang tidak bisa menerima kenyataan itu, langsung berjongkok di pojokan taman, memeluk lututnya. "Kenapa... kenapa aku tidak dilahirkan sebagai Kaisar..." gumamnya dengan suara pelan, tetapi penuh emosi.
Ekspresi Ren menjadi serius. Dia menepuk pundak Souta dengan lembut. "Tenang, Souta. Dunia ini memang kejam. Tapi kau harus kuat."
Ren menghela napas, menatap temannya dengan simpati. "Souta, jangan menyerah. Suatu hari nanti, mungkin kau juga bisa memiliki rombongan wanita seperti itu."
"Tidak mungkin!" Souta mengangkat wajahnya yang penuh air mata. "Kaito bahkan tidak perlu berusaha keras! Kenapa dia bisa mendapatkan semua itu?"
Sementara itu, Ai dan rombongan wanita tidak menyadari keributan kecil di sudut taman. Mereka berjalan menuju meja yang telah disiapkan untuk pesta minum teh. Pelayan istana dengan sigap menyajikan teh terbaik dan berbagai camilan lezat.
Namun, Kaito yang baru saja selesai mandi dan mengenakan pakaian kasual, muncul dari balkon kamarnya dan melihat mereka. Dia terbang turun dengan santai ke arah taman dengan segelas jus madu di tangannya.
"Hei, kalian semua kelihatan bersemangat sekali," sapa Kaito sambil mengangkat alis. "Kalian sedang membicarakan aku ya?"
Semua wanita terdiam, saling berpandangan. Ai, yang merasa bertanggung jawab sebagai "Bibi Kaisar," mencoba mengendalikan situasi.
"Tidak ada yang terjadi, Kaito," jawab Ai dengan nada datar, sambil menyesap tehnya. "Sebaiknya biarkan kami nikmati pagi ini dan jangan banyak bertanya."
Kaito mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang aneh. "Kenapa kalian semua tiba-tiba terlihat seperti mengabaikanku? Apa kalian merencanakan sesuatu?"
Riku, yang duduk di ujung meja, mengangkat bahu. "Tidak ada yang penting. Lebih baik kau fokus pada tugasmu sebagai Kaisar."
"Tugas?" Kaito mengangkat alis. "Bukankah aku baru saja menjadi Kaisar? Apakah aku akan langsung diberi tugas yang berat?"
Aoi, yang sejak tadi hanya diam, akhirnya berbicara. "Sebenarnya, tugasmu sekarang adalah menikmati pagi ini tanpa membuat masalah. Jadi, tolong jangan ribut."
Kaito mendengus, "Ah… itu sungguh tugas yang sangat berat," tetapi memutuskan untuk tidak mempermasalahkan hal itu. Dia duduk di bangku taman yang tidak jauh dari meja mereka, menikmati jus madu sambil memandang langit.
Namun, suasana tenang itu tidak bertahan lama. Souta, yang akhirnya berhasil mengumpulkan keberanian, berdiri dan berjalan ke arah mereka.
"Kaito!" teriak Souta dengan suara penuh emosi.
Kaito menoleh, terkejut melihat temannya mendekat dengan wajah penuh determinasi. "Souta? Selamat pagi… ada apa?"
Souta menunjuk Kaito dengan dramatis. "Bagaimana kau bisa mendapatkan semua itu? Kenapa dunia ini begitu tidak adil?"
Kaito mengerutkan dahi, bingung. "Semua itu? Apa maksudmu?"
"Apa lagi!" Souta menunjuk ke arah rombongan di meja teh. "Tentu saja para wanita itu! Kenapa mereka semua keluar dari kamarmu pagi ini?"
Rombongan wanita langsung terdiam, wajah mereka memerah karena malu. Ai mencoba menahan untuk tidak menyemburkan teh di mulutnya, sementara Lyra dan Mira saling berpandangan dengan ekspresi bingung.
"Aah... itu tidak seperti yang kau pikirkan," kata Kaito, mencoba menjelaskan.
"Tidak seperti yang kupikirkan?" Souta memotong dengan suara keras. "Aku melihat semuanya! Kau hanya kebetulan menjadi Kaisar, tetapi semua wanita cantik itu mengelilingimu. Aku hanya ingin tahu... kenapa bukan aku saja?"
Ren, yang berdiri tidak jauh, menutup wajahnya dengan tangan, merasa malu dengan tingkah temannya. "Souta, kau mempermalukan dirimu sendiri..." gumamnya pelan.
Sementara itu, Ai akhirnya tidak bisa menahan diri lagi. Dia tertawa terbahak-bahak, memukul meja dengan tangan. "Ahaha-haha… Souta cemburu, dia benar-benar lucu sekali! Dia iri pada Kaito? Itu… itu konyol sekali!"
Keributan itu menarik perhatian pelayan istana, yang berdiri di kejauhan dengan ekspresi bingung. Namun, mereka memutuskan untuk tidak ikut campur dan melanjutkan tugas mereka dengan tenang.