Setelah keributan kecil itu mereda, semua kembali ke tempat duduk masing-masing. Lady Seraphina dan Lyra kembali melayani Itsuki yang masih tertawa riang, sementara Aoi sibuk memastikan semua tamu nyaman. Riku, yang masih kesal dengan ulah Kaito, duduk dengan wajah masam sambil melipat tangan di dada.
Kaito, yang kini sudah kembali ke wujud manusianya, duduk di bangku taman tak jauh dari meja. Dia masih terkikik kecil, mengingat wajah merah Riku tadi.
Namun, suasana kembali memanas ketika Riku menatap Kaito dengan tajam. "Dasar kau! Berhenti tertawa, Kaito! Kau benar-benar membuatku malu!"
Kaito, yang mencoba menahan tawa, malah tertawa lebih keras. "Santai saja, Riku. Kita ini saudara kandung, tidak perlu terlalu serius. Lagipula, aku sudah sering melihat tubuhmu sejak kecil."
"Apa?!" Riku berdiri dengan wajah merah padam. "Beraninya kau mengatakan itu!"
"Apa salahnya? Lagipula, apapun yang terjadi, aku akan selalu berada di pihak mu, terlepas dari segala hobi anehmu itu, aku akan tetap mendukungmu, Hahaha-haha…" Jawab Kaito dengan santai, meskipun dia tahu Riku semakin kesal.
Aoi, yang merasa situasi semakin tidak terkendali, mencoba menenangkan Riku. "Sudahlah, Riku. Jangan terlalu diambil hati. Kaito memang suka bercanda."
Namun, Riku tidak bisa menahan emosinya lagi. Dia tiba-tiba tersungkur di tanah, menutupi wajahnya dengan kedua tangan, dan mulai menangis.
Semua yang hadir terkejut. "Riku!" seru Aoi, segera berlutut di sampingnya.
Lady Seraphina juga mendekat, memeluk Riku dengan lembut. "Apa yang terjadi? Kenapa kau menangis seperti ini?"
Lyra dan Mira menatap Kaito dengan tajam. "Tuan Kaito, bagaimana bisa Anda membuat seorang wanita menangis seperti ini? Bukankah Anda seharusnya melindungi mereka?"
"Bu… bukan begitu!" Kaito tergagap, merasa bersalah. "Aku tidak bermaksud..."
Lady Seraphina mencibir. "Pria rendahan seperti Anda tidak pantas menjadi Kaisar. Anda bahkan tidak bisa menjaga perasaan adik sendiri."
Kaito yang biasanya percaya diri kini tersungkur di tanah, merasa sangat bersalah. "Maafkan aku, Riku. Aku tidak bermaksud menyakitimu."
Di tengah tangisannya, Riku mulai berbicara dengan suara pelan. "Aku... aku tidak mau begini. Aku tidak pernah meminta untuk menjadi wanita."
Semua yang mendengar itu terdiam. Aoi dan Lady Seraphina memeluk Riku lebih erat, mencoba menenangkan perasaannya.
Kaito merangkak mendekati Riku, bersujud di hadapannya. "Riku, maafkan aku. Aku tidak tahu kau merasa seperti ini. Kumohon, jangan menangis lagi."
Riku mengusap air matanya, tetapi tangisannya belum berhenti. Dia memukul Kaito dengan lembut, seperti seekor kucing yang kesal. "Aku tidak suka ini, Kaito. Aku tidak pernah meminta semua ini."
Kaito mengangguk dengan penuh penyesalan. "Aku mengerti, Riku. Jadi tolong, jangan merasa seperti itu. Kau adalah saudaraku, apa pun yang terjadi. Aku akan selalu berada di pihakmu."
Riku menatap Kaito dengan mata yang masih berlinang air mata. "Benarkah? Kau tidak menganggapku aneh karena aku memakai pakaian ini?"
Kaito tersenyum lembut. "Tidak sama sekali. Bagiku, kau memang harus memakai pakaian itu. Adikku yang selalu kusayangi, harus terlihat lebih cantik. Kau harus selalu tampil dengan sempurna."
Riku terdiam sejenak, lalu berbicara dengan suara pelan. "Tapi... bukannya aku yang menginginkan untuk memakai pakaian seperti ini. Para pelayan yang memilihkan semuanya. Aku hanya memakainya karena aku tidak punya pilihan."
Kaito mengangguk. "Dan itu tidak masalah. Mereka hanya ingin memberikan yang terbaik untukmu. Kau tidak perlu merasa bersalah karena itu."
Riku menarik napas dalam-dalam, lalu melanjutkan. "Lalu... lalu… bukan hanya aku saja yang memakainya. Ai, juga memakai pakaian seperti itu."
Kaito tersentak mendengar itu, tetapi dia tetap mencoba mempertahankan senyumnya. "Itu normal, Riku. Ai juga ingin terlihat cantik, sama sepertimu."
Riku melanjutkan dengan suara yang lebih pelan. "Lalu… lalu… Aoi juga memakainya kok"
Namun, sebelum Riku bisa menyelesaikan kalimatnya, Aoi dengan cepat membungkam mulutnya. "Hei! Kau tidak perlu mengatakan sedetail itu kan?"
Riku yang terkejut mencoba berbicara, tetapi Aoi terus menahan mulutnya. Dia melambaikan tangan ke arah Kaito, meminta bantuan.
Kaito hanya tersenyum kaku, merasa situasi ini semakin rumit.
Setelah suasana kembali tenang, Riku perlahan mendekati Kaito yang masih bersujud. Dia memeluk Kaito dengan erat, lalu menangis pelan.
"Kakak... aku menyayangimu," bisik Riku.
Kaito membalas pelukan itu dengan lembut. "Kenapa kau masih menangis? Tapi aku juga menyayangimu, Riku. Kau adalah adikku, dan aku akan selalu ada untukmu."
Riku mengangguk sambil tersenyum di tengah tangisannya. "Aku menangis karena bahagia, Kak."
Kaito tersenyum hangat. "Kalau begitu, jangan menangis lagi. Kau pantas untuk bahagia."
Riku tiba-tiba menarik diri dari pelukan Kaito, lalu menatapnya dengan mata berbinar. "Kakak, aku mau terbang!"
"Hah?" Kaito terkejut.
"Aku belum pernah menunggangi naga seumur hidupku. Mulai sekarang, kau adalah tungganganku!"
Kaito hampir tersedak napasnya sendiri. "Kenapa tiba-tiba sekali?"
Riku mengerucutkan bibirnya. "Kalau tidak mau, ya sudah!"
"Baiklah, baiklah. Aku akan melakukannya. Tapi, hanya dalam wujud manusia naga. Jadi aku dapat terus menjagamu supaya tidak jatuh," jawab Kaito sambil tersenyum.
"Hah… membosankan," balas Riku sambil memasang wajah kecewa.
Kaito mengerucutkan bibirnya. "Kalau tidak mau, ya sudah!"
"Ah… aku mau!" Riku tersenyum lebar, seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan impiannya.
Semua yang melihat interaksi mereka merasa terharu sekaligus heran. Hubungan keluarga yang hangat itu membuat suasana taman kembali ceria.
Riku berdiri di tengah taman dengan penuh semangat, menatap Kaito yang perlahan berubah kembali ke wujud Draconian-nya. Tubuh Kaito memancarkan aura kekuatan yang luar biasa, dan sayap merah besar dengan garis keemasan terbentang di belakangnya.
"Wow..." Riku terpesona. "Kakak, kau benar-benar terlihat seperti raja naga dari dongeng!"
Kaito tersenyum kecil, lalu berjongkok agar Riku bisa naik ke punggungnya. "Ayo, naik. Tapi jangan menyesal kalau ini sedikit menakutkan."
Riku, tanpa ragu, melompat naik ke punggung Kaito. Lyra dan Mira yang berdiri di dekatnya terlihat cemas.
"Tuan Kaito," kata Lyra, "tolong berhati-hati. Jangan sampai membuat Nona Riku trauma dengan ketinggian."
"Jangan khawatir," jawab Kaito dengan santai. "Aku tahu apa yang kulakukan."
Aoi, yang melihat adegan itu, hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum. "Riku benar-benar seperti anak kecil kalau sedang senang."
Lady Seraphina mendekati Aoi. "Itu hal yang baik. Di dunia ini, tidak banyak orang yang bisa menikmati momen seperti ini."
Kaito mengepakkan sayapnya sekali, menciptakan angin kencang yang membuat dedaunan beterbangan. Dengan satu lompatan besar, dia terbang ke langit, membawa Riku bersamanya.
"Waaaah!" Riku memeluk leher Kaito erat-erat, matanya membelalak melihat pemandangan dari atas. "Ini luar biasa, Kak! Aku bisa melihat seluruh istana!"
Kaito tertawa kecil. "Aku sudah bilang ini akan menyenangkan. Tapi pegang erat-erat, kita akan terbang lebih tinggi."
Dengan kecepatan luar biasa, Kaito melesat ke langit, melewati awan-awan putih yang lembut. Riku berteriak kegirangan, menikmati setiap detik perjalanan itu.
Dari kejauhan, Aoi, Lady Seraphina, dan yang lainnya mengamati mereka.
"Riku benar-benar terlihat bahagia," kata Aoi sambil tersenyum.
"Iya," jawab Lady Seraphina. "Tuan Kaito mungkin sering bertingkah sembrono, tetapi dia tahu bagaimana membuat orang yang dicintainya merasa istimewa."
Sementara itu, di langit, Kaito melambatkan laju terbangnya, membiarkan Riku menikmati pemandangan di bawah.
"Kak," kata Riku dengan suara lembut, "terima kasih."
Kaito menoleh sedikit ke belakang, "untuk apa?"
Riku memeluk leher kaito dengan lembut, "untuk semuanya. Untuk selalu ada di sisiku, untuk tidak pernah meninggalkanku. Aku tahu aku sering menyusahkanmu, tapi kau selalu sabar."
Kaito langsung tersenyum hangat. "Kau adalah adikku, Riku, Itu sudah menjadi tugasku. Kau tidak pernah menyusahkanku, kau justru membuat hidupku lebih berwarna."
Riku terdiam sejenak, lalu berkata, "Kak, aku ingin terbang seperti ini selamanya."
"Selamanya?" Kaito tertawa kecil. "Kalau begitu, kau harus belajar menjadi naga juga."
"Apa aku bisa?" tanya Riku dengan mata berbinar.
"Siapa tahu," jawab Kaito sambil tersenyum. "Di dunia ini, segalanya mungkin terjadi."
Ai dan Souta akhirnya kembali dari kamar, setelah Souta selesai membersihkan diri dan berganti pakaian. Wajah Souta terlihat segar, meskipun sedikit gugup karena tadi sempat terjadi kepanikan.
Ketika mereka tiba di taman, Ai langsung melihat suasana yang sedikit aneh. Riku masih berada di gendongan Kaito sambil memeluknya, wajahnya masih sedikit tersenyum karena pengalaman yang dia rasakan sebelumnya, sementara Kaito tampak mencoba menurunkannya. Aoi dan Lady Seraphina berdiri tidak jauh, terlihat lega karena situasi sudah mulai membaik.
Ai mengangkat alis, bingung dengan apa yang baru saja terjadi. "Ada apa ini? Apa yang aku lewatkan?" tanyanya dengan nada heran.
Namun sebelum ada yang sempat menjawab, Kaito tiba-tiba menoleh dan melihat Souta berdiri di samping Ai. Matanya langsung berbinar, dan senyumnya melebar.
"Souta!" seru Kaito dengan nada dramatis, sambil menunjuk temannya itu. "Bagaimana mungkin! Dunia ini memang tidak adil! Kau bahkan secara kebetulan tidak menjadi Kaisar, tapi kau selalu dikelilingi para wanita!"
Souta terkejut dengan tuduhan itu, lalu mengerutkan keningnya. "Apa maksudmu, Kaito?"
Kaito melanjutkan dengan nada yang semakin teatrikal, menirukan suara Souta saat histeris pagi tadi. "Hah? Kenapa kau selalu beruntung? Kenapa bukan aku saja?!"
Souta yang akhirnya menyadari maksud Kaito langsung memasang wajah kesal. "Baiklah, Kaito, hentikan itu. Aku salah karena pernah mengatakan itu padamu sebelumnya."
Namun Kaito tidak berhenti di situ. Dia mendekat ke arah Souta, melipat tangan di dada, dan berkata dengan nada sok bijak. "Apa kau baru sadar sekarang? Sejak awal, wanita selalu ada di sekitarmu. Kau saja yang tidak pernah menganggapnya. Makanya kau harus lebih berani seperti aku, dan kau akan menjadi lebih populer!"
Ai, yang mendengar percakapan mereka, langsung mendekat dengan langkah cepat. Dengan satu gerakan tegas, dia memukul kepala Kaito dan Souta secara bersamaan.
"Aww! Kenapa kau memukulku, Ai?" protes Kaito sambil mengusap kepalanya.
Souta juga mengerang kecil. "Kenapa aku juga kena?!"
Ai menatap mereka berdua dengan tajam, tangannya masih terangkat seolah siap memukul lagi jika mereka membantah. "Kalian berdua ini benar-benar ya! Memangnya kalian anggap para wanita itu apa? Hanya penghias? Sesuatu yang bisa kalian diskusikan seperti barang koleksi?"
Kaito mencoba membela diri. "Tunggu dulu, Ai! Itu hanya candaan! Tidak ada maksud buruk, sungguh!"
Souta, yang merasa situasi tidak menguntungkan baginya, langsung mengangkat tangan seolah menyerah. "Aku tidak ikut-ikutan! Ini semua ulah Kaito!"
Namun Ai tidak terpengaruh. Dia melipat tangan di dadanya, dan menatap mereka dengan ekspresi yang penuh kritik. "Candaan atau tidak, kalian harus lebih menghargai perasaan orang lain, terutama para wanita di sekitar kalian. Jangan lupa, aku, Riku, dan Aoi juga ada di sini!"
Riku, yang tadinya hanya diam, tiba-tiba tertawa kecil. "Ai benar. Kalian berdua memang sering lupa kalau kami juga mendengar semua itu."
Kaito, yang merasa sedikit malu, menggaruk belakang kepalanya sambil tertawa canggung. "Baiklah, aku minta maaf. Aku tidak bermaksud menyinggung siapa pun."
Souta mengangguk cepat. "Aku juga. Maafkan aku."
Ai menghela napas panjang, lalu melonggarkan sikapnya. "Bagus kalau kalian sadar. Sekarang, mari kita fokus pada hal yang lebih penting. Apa kalian lupa kalau kita sedang menjadi tamu di istana Drakonia ini? Jangan membuat masalah lagi."
Kaito dan Souta mengangguk bersamaan, seperti anak kecil yang baru saja dimarahi oleh guru mereka.
Riku, yang melihat ekspresi mereka, tidak bisa menahan tawanya lagi. "Kalian benar-benar lucu. Seperti dua anak kecil yang dimarahi ibu mereka."
Semua orang, termasuk Aoi dan Lady Seraphina, tertawa kecil mendengar komentar itu. Suasana yang sempat tegang kembali mencair, dan mereka semua mulai menikmati waktu bersama di taman.
Bersambung…