Chereads / Seven Footsteps of Fate (Indonesia) / Chapter 42 - Souta Yang Murung

Chapter 42 - Souta Yang Murung

Souta masih murung terduduk meringkuk di kursi taman, memeluk lututnya dengan wajah muram. Rasa iri bercampur frustrasi membuatnya tampak seperti anak kecil yang kehilangan mainan favoritnya. Aoi, yang melihat keadaan Souta, mendesah pelan. Dia berjalan mendekat dengan langkah tenang, lalu berjongkok di sampingnya.

"Souta, kau tidak perlu terus seperti ini," kata Aoi lembut, menyentuh bahunya. "Kau tahu, iri hati tidak akan membawamu ke mana-mana. Kau harus tenang."

Souta mengangkat wajahnya perlahan, menatap Aoi dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. "Tidak mau... hidup ini terlalu tidak adil? Kenapa aku tidak pernah mendapatkan perhatian seperti itu?"

Aoi tersenyum kecil, merasa kasihan sekaligus geli dengan sikap temannya. "Kadang hidup memang tidak adil, tapi itu bukan alasan untuk menyerah. Ayo, aku akan membantumu merasa lebih baik."

Sebelum Souta bisa menjawab, Ai tiba-tiba muncul dari arah meja pesta teh dengan langkah penuh percaya diri. Tangannya bertolak pinggang, wajahnya dipenuhi ekspresi serius yang tak biasa.

"Baiklah, ini saatnya kami memainkan peran kami sebagai wanita," kata Ai dengan nada tegas.

Souta memandangnya dengan bingung. "Apa maksudmu?"

"Peran kami adalah menghibur pria kesayangan kami yang sedang terpuruk," jawab Ai sambil menunduk sedikit, meraih tangan Souta, dan menuntunnya berdiri. "Ayo, duduk di sini. Aku akan menunjukkan padamu bagaimana menikmati pagi yang cerah ini."

Souta, yang masih kebingungan, membiarkan dirinya dituntun oleh Ai ke bangku tempat pesta teh berlangsung. Ai mempersilakannya duduk, lalu mengambil sepotong kukis dari piring di atas meja.

"Yosh... yoosh... tenanglah Souta," kata Ai sambil mengangkat kukis itu ke mulutnya. "Cobalah bersantai sedikit. Aaaa..."

Souta, yang awalnya enggan, akhirnya membuka mulutnya dengan perlahan. Ai menyuapkan kukis itu dengan senyum lebar, dan Souta langsung berubah ceria seperti anak kecil yang mendapatkan hadiah.

"Hmm... ini enak sekali!" seru Souta, matanya berbinar.

Aoi, yang melihat perubahan drastis itu, ikut tersenyum. Dia mengambil sepotong kue lain dan menyuapkannya ke Souta. "Aaaa..."

Souta dengan senang hati membuka mulutnya lagi, wajahnya kini benar-benar ceria. "Terima kasih, Aoi. Kau benar-benar baik."

Sementara itu, di sudut taman, Kaito memperhatikan adegan itu dengan ekspresi datar. Dia menyeruput jus madunya sambil menghela napas.

"Dasar Souta, mudah sekali dibuat bahagia," gumam Kaito.

Namun, perhatian Kaito beralih ke Ren, yang berdiri tidak jauh darinya dengan wajah penuh cibiran. Ren menyilangkan tangan di dada, menatap Souta dengan ekspresi tidak percaya.

"Apa-apaan dia," kata Ren dengan nada sinis. "Merengek tentang kejamnya dunia, tapi selalu pamer kemesraan di hadapaku."

Kaito menoleh ke Ren dengan senyum kecil. Dia tahu betul apa yang sedang dipikirkan temannya. "Ren, buang jauh-jauh pikiranmu itu," kata Kaito sambil menarik lengan Ren mendekat. "Menghadapi banyak wanita sekaligus tidak semudah yang kau bayangkan."

Ren menatap Kaito dengan tajam. "Kau tidak akan pernah memahami perasaanku, Kaito. Kau tidak pernah berada di posisiku."

Kaito tertawa kecil, menepuk bahu Ren. "Baiklah, kalau kau bersikeras. Aku akan memberikanmu pengalaman yang sangat kau inginkan itu."

Ren mengangkat alis, merasa penasaran. "Apa maksudmu?"

Kaito hanya tersenyum misterius, lalu menarik Ren menjauh dari taman. "Ikuti saja aku. Kau hanya perlu melakukan sesuatu yang aku perintahkan."

Kaito membawa Ren keluar dari area taman istana, menuju lapangan luas yang dikelilingi oleh pepohonan tinggi. Ren, yang masih bingung, mengikuti tanpa banyak bicara.

"Jadi, apa yang ingin kau tunjukkan padaku?" tanya Ren akhirnya, memecah keheningan.

Kaito berhenti di tengah lapangan, berbalik, dan tersenyum lebar. "Kau akan melihat salah satu kemampuan terbaikku. Bersiaplah untuk terkesima."

Sebelum Ren sempat bertanya lebih jauh, Kaito mulai berkonsentrasi. Energi sihir mulai menyelimuti tubuhnya, menciptakan aura berkilauan yang memancar ke segala arah. Perlahan, tubuh Kaito mulai berubah. Sisik emas, perak, dan merah muncul, menggantikan kulitnya. Tangannya berubah menjadi cakar, dan sayap besar tumbuh di punggungnya. Lalu perlahan tubuh Kaito menjadi semakin besar. Dalam hitungan detik, Kaito telah berubah menjadi naga raksasa yang megah.

Ren mundur beberapa langkah, mulutnya ternganga. "K-Kaito... kau benar-benar berubah menjadi naga?"

Kaito, yang kini dalam wujud naganya, mengaum keras, suaranya menggema ke seluruh penjuru lapangan. "Tentu saja," jawabnya dengan suara berat yang khas naga. "Dan sekarang, aku akan memberimu pengalaman yang tidak akan pernah kau lupakan."

Ren menatapnya dengan ragu. "Apa maksudmu?"

Kaito menunduk, menyodorkan punggungnya. "Naiklah. Aku akan membawamu terbang."

"Apa? Tidak, terima kasih," tolak Ren sambil melangkah mundur. "Aku tidak yakin kau benar-benar tahu cara terbang."

Kaito tertawa kecil, suaranya bergema seperti guntur. "Tenang saja, aku sudah menguasai kekuatanku sepenuhnya. Aku memiliki semua pengetahuan milik naga. Dalam urusan naga, aku adalah ahlinya."

Ren masih ragu, tetapi akhirnya, dengan enggan, dia memanjat punggung Kaito. "Kalau terjadi sesuatu, aku akan menyalahkanmu," gumamnya.

Kaito mengepakkan sayapnya dengan kuat, menciptakan angin kencang yang membuat debu dan dedaunan beterbangan. Dengan satu lompatan besar, dia melesat ke langit, membawa Ren bersamanya.

"Wuuhuu!" teriak Kaito dengan penuh semangat.

Ren, yang awalnya panik, perlahan mulai menikmati sensasi terbang. "Ini luar biasa, Kaito! Aku tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya!"

"Bagus, kan?" jawab Kaito sambil melayang di antara awan. "Melihat dunia dari atas membuat semua masalah terasa kecil, aku selalu ingin melakukan ini sebelumnya."

Namun, tiba-tiba Ren menyadari sesuatu. "Tunggu... jadi kau belum pernah melakukannya?"

"Benar," jawab Kaito santai.

Ren langsung panik. "Apa? Kau bilang sudah tahu cara terbang, tapi ini pengalaman pertamamu?!"

"Tenang saja," kata Kaito sambil menenangkan Ren. "Aku punya surat ijin untuk terbang. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

Ren memegang erat sisik Kaito, wajahnya pucat. "Aku rasa itu tidak membantu!"

Kaito tertawa kecil, lalu tiba-tiba menukik tajam. Ren berteriak histeris, memeluk punggung Kaito sekuat tenaga. Setelah menukik cukup lama, Kaito membuka sayapnya, memperlambat kecepatan mereka, dan mendarat dengan mulus di sebuah lapangan lain.

Di sana adalah tempat biasanya para remaja Draconian berkumpul. Mereka semua menoleh saat melihat Kaito mendarat dalam wujud naganya, dengan Ren di punggungnya.

"Itu... itu Naga Agung!" seru salah satu remaja.

"Dari warna sisiknya... itu seperti Kaisar Naga!" tambah yang lain.

"Bukankah itu Ren? Dia berhasil menunggangi Kaisar Naga?"

Sorak-sorai meledak di antara para remaja. Mereka segera mengerumuni Ren, memujinya dengan antusias. Ren, yang awalnya bingung, kini menjadi pusat perhatian.

"Kau luar biasa, Ren!" seru salah satu gadis Draconian.

"Bagaimana rasanya menunggangi Kaisar Naga?" tanya gadis lain dengan mata berbinar.

Ren, yang dikelilingi oleh banyak orang, hanya bisa tersenyum canggung. Sementara itu, Kaito terbang lagi tanpa mengatakan apa-apa, meninggalkan Ren di tengah kerumunan.

Dalam hati, Kaito tertawa puas. "Kau bilang ingin populer, kan? Sekarang rasakan bagaimana rasanya dikerumuni banyak orang. Hahaha..."

Dia melesat kembali ke istana, menikmati angin sepoi-sepoi yang menyelimuti tubuh naganya.

Pagi itu, suasana di taman istana Drakonia terasa damai. Angin sepoi-sepoi membawa aroma bunga yang mekar, sementara burung-burung kecil berkicau riang. Di bawah naungan pohon besar, sebuah meja penuh dengan camilan dan teh tersaji untuk para tamu istana.

Souta duduk santai di kursinya, menikmati camilan sambil meminum teh yang disajikan oleh Ai dan Aoi. Keduanya duduk di sampingnya, melayani dengan penuh perhatian. Di seberang meja, Lady Seraphina dan Lyra dengan manja melayani Itsuki, yang tertawa polos menikmati perhatian mereka.

Riku duduk di sisi lainnya, asyik berbincang dengan Mira. Percakapan mereka terdengar hangat, meskipun sesekali diselingi dengan tawa kecil Mira yang menutupi mulutnya dengan sopan.

Ai mengambil sebutir anggur dari piring dan menyodorkannya ke mulut Souta. "Silakan, Tuan Souta," katanya dengan senyum manis.

Souta membuka mulutnya lebar-lebar, tetapi karena masih mengunyah camilan sebelumnya, dia tersedak dan mulai terbatuk-batuk.

"Ah! Tuan Souta, cepat minum ini!" seru Aoi, dengan sigap menyodorkan cangkir tehnya.

Souta meneguk teh itu tanpa pikir panjang, tetapi langsung terbatuk lagi karena tehnya terlalu panas. "Agh! Panas!" teriaknya sambil memuntahkan teh tersebut.

Ai yang panik segera menuangkan jus madu dengan tergesa-gesa ke dalam cangkir lain. Namun, karena terburu-buru, sebagian jusnya tumpah, membasahi pakaian Souta.

"Aduh, maafkan aku, Tuan Souta!" Ai berteriak panik sambil menyodorkan cangkir jus yang tersisa. Souta dengan cepat mengambilnya dan meminum jus itu untuk menenangkan tenggorokannya yang terbakar.

"Tambah lagi," kata Souta sambil mengulurkan cangkirnya.

Ai menuangkan jus dengan lebih hati-hati kali ini. Setelah meminumnya, Souta akhirnya merasa lebih baik. "Ah, itu jauh lebih baik. Terima kasih, Ai."

Namun, Ai masih merasa bersalah. Melihat pakaian Souta yang basah kuyup, dia mengeluarkan sapu tangannya dan mulai menyeka tubuh Souta dengan lembut.

Melihat kekonyolan itu, semua yang hadir hanya bisa tertawa terbahak-bahak.

"Maafkan aku, Tuan Souta," kata Ai sambil menunduk malu. "Ayo kita pergi berganti pakaian. Pelayan, tolong bantu Tuan Souta untuk membersihkan diri dan berganti pakaian."

Aoi berdiri, hendak mengikuti mereka. "Aku ikut!"

Namun Ai mengangkat tangan, menghentikannya. "Tidak, ini urusan para pria. Wanita dilarang ikut."

"Hah? Apa yang kau katakan? Kau juga wanita!" protes Aoi, wajahnya kesal.

"Aku tidak dihitung," jawab Ai santai sambil meledek Aoi dan pergi bersama Souta.

"Itu tidak adil!" seru Aoi, tetapi Ai hanya tertawa kecil dan melambaikan tangan tanpa menoleh.

Sementara itu, di langit, Kaito yang sedang terbang dalam wujud naga menyaksikan kejadian itu. Melihat Souta yang basah kuyup, dan kedua wanita yang berdebat itu, membuat Kaito tertawa terbahak-bahak. Dia menukik ke bawah dan mendarat di taman dengan keras, membuat semua orang yang hadir terkejut.

"Apa itu?!" seru Riku, bersiap melindungi Itsuki.

Namun, Lyra dan Mira segera menenangkan mereka. "Jangan khawatir, itu hanya Tuan Kaito."

Riku mendekati Kaito, yang masih berguling-guling di tanah sambil tertawa dalam wujud naganya. "Kau ini, mau berapa kali mengejutkanku?" katanya kesal sambil menendang moncong Kaito.

"Aduh, ampuni aku, Riku!" Kaito memohon sambil tertunduk karena tidak kuasa menahan tawa. Namun, tendangan riku membuat moncongnya terasa gatal. Tak kuat menahan gatal, Kaito bersin, menciptakan tiupan angin yang kuat, mengangkat rok Riku hingga memperlihatkan seluruh pemandangan di bawahnya.

Riku terdiam sejenak, wajahnya memerah. "KAITO!" teriaknya marah.

Kaito yang menyadari apa yang terjadi langsung berubah menjadi asap dan kembali ke wujud manusianya. "Poff..."

Namun, wajahnya masih memerah dan hidungnya mulai mimisan. "Pemandangan indah sekali," gumamnya dengan senyum mesum.

Riku yang malu dan marah mulai memukuli Kaito bertubi-tubi. "Dasar mesum! Kau tidak tahu malu!"

"Aduh, maaf, maaf!" Kaito tertawa sambil mencoba melindungi dirinya.

Suasana yang tadinya tegang berubah menjadi tawa lagi. Lady Seraphina dan Lyra menatap mereka dengan campuran geli dan heran, sementara Aoi hanya bisa menghela napas panjang.