Kaito berdiri di hadapan semua orang dengan tatapan bingung, merasa berat dengan formalitas yang tiba-tiba muncul. Lady Seraphina, dengan penuh wibawa, menunduk dalam di hadapannya.
"Yang Mulia Kaisar Draconian," kata Lady Seraphina dengan suara lembut namun tegas, "saya, sebagai penguasa Ethereal Lands, memohon audiensi untuk membahas hubungan antara kerajaan kita."
Kaito mengangkat kedua tangannya, mencoba menghentikan tindakan itu. "Lady... hentikan! Kau membuatku takut. Aku tidak mau kau mengubah sikapmu terhadapku hanya karena gelar ini."
Namun Lady Seraphina tetap menjaga wibawanya. "Yang Mulia, ini adalah bentuk penghormatan saya. Sebagai pemimpin Ethereal Lands, saya harus memastikan hubungan kita tetap harmonis. Saya tidak ingin ada perselisihan antara Ethereal Lands dan para Draconian."
Kaito menghela napas panjang. "Bagaimana mungkin hubungan kita memburuk? Aku tidak sanggup jika ada wanita secantik Lady Seraphina memusuhiku."
Mendengar itu, Lady Seraphina menatap Kaito dengan sedikit terkejut, namun senyum tipis muncul di wajahnya. "Jangan panggil aku Lady lagi, Yang Mulia Kaisar. Panggil saja Seraphina."
Kaito terdiam, merasa janggal dengan permintaan itu. "Aaaaah... jangan katakan itu lagi, Seraphina! Kau membuatku semakin bingung."
Tiba-tiba, sebuah pikiran muncul di benak Kaito, dan dia berbicara dengan nada serius. "Lady... sebenarnya aku menyukai—"
Namun sebelum Kaito menyelesaikan kalimatnya, Ai, Aoi, dan Riku melompat bersamaan untuk membungkamnya. "HENTIKAN! Kaito, kau tidak boleh mengatakan hal itu!"
Kaito terjatuh ke lantai, dengan ketiga gadis itu menahannya. Namun Lady Seraphina, yang mendengar sekilas maksud dari kata-kata Kaito, mulai menangis. Tangisannya terdengar lembut, namun penuh emosi yang sulit ditebak.
Semua orang terdiam, tidak ada yang berani bergerak. Lady Seraphina menyeka air matanya, namun tidak bisa menghentikan perasaan yang mengalir deras. "Aku tidak tahu... apakah aku menangis karena sedih, atau bahagia," gumamnya.
Kaito, yang kini kekuatannya telah berlipat ganda, dengan mudah melepaskan diri dari cengkeraman Ai, Aoi, dan Riku. Dia berdiri tegak, menatap langsung ke arah Lady Seraphina.
"Lady Seraphina," katanya dengan suara mantap, "sampai kapan pun, kau adalah Lady-ku. Sejak awal kita bertemu, mataku hanya tertuju padamu. Lyra dan Mira memang terikat denganku, tapi itu bukan berarti mereka adalah kekasihku. Ikatan itu tidak bisa dihitung sebagai cinta, bukan?"
Lady Seraphina menatap Kaito dengan mata berbinar, mencoba mencerna kata-katanya. "Jadi... apakah itu berarti cinta kita masih bisa terwujud?" tanyanya dengan suara pelan.
Kaito mengangguk dengan mantap. "Tentu saja!"
Namun, sebelum suasana menjadi terlalu romantis, Lyra dan Mira yang mendengar pernyataan itu langsung berlari ke arah Kaito dengan wajah marah.
"Apa-apaan ini, Tuan!" teriak Lyra. "Setelah semua yang kau lakukan kepada kami, kau ingin meninggalkan kami begitu saja?"
Mira menambahkan dengan nada tidak kalah marah, "Kami terikat denganmu, Tuan! Kau tidak bisa begitu saja mengabaikan kami!"
Lady Seraphina, yang tidak terima dengan pernyataan Lyra dan Mira, langsung melangkah maju. "Kalian berdua, ingat tempat kalian! Kaito adalah Kaisar, dan aku memiliki hubungan diplomatik dengannya. Jangan membuat segalanya semakin rumit!"
Suasana memanas saat ketiganya mulai berdebat memperebutkan Kaito. Ai, Aoi, dan Riku yang tadi tersungkur jatuh karena menahan Kaito, menyaksikan dengan wajah penuh rasa frustrasi. Dan Kaito, hanya bisa tertawa pasrah melihat dirinya diperebutkan.
Di pintu masuk balkon, Souta dan Ren tiba-tiba muncul dengan wajah lelah. Mereka baru saja kembali setelah ditinggalkan di lapangan sebelumnya.
"Menyebalkan sekali!" gumam Ren kesal sambil melipat tangan.
"Ini membuatku sangat iri!" balas Souta dengan nada datar, menatap langsung ke arah Kaito yang kini dikelilingi oleh para wanita.
Mereka berdua kemudian melihat Ai yang sedang dibangunkan oleh seorang pria Elf tampan. "Dan Ai... malah terlihat sangat mesra dengan seorang Elf. Ren, kenapa hidup kita tidak pernah seperti ini?"
Ren hanya mengangguk setuju, merasa semakin kecewa dengan situasi yang mereka hadapi.
Drama di ruangan itu terus berlanjut, penuh dengan ketegangan, cemburu, dan perasaan yang campur aduk. Kaito, yang kini menjadi Kaisar Draconian, sadar bahwa kehidupannya baru saja menjadi jauh lebih rumit daripada sebelumnya.
Souta bersandar di sudut ruangan, masih memasang wajah cemberut sambil mengamati suasana yang ramai. Namun, raut wajahnya yang masam segera berubah ketika Aoi memanggilnya.
"Souta, kemarilah. Bantu aku berdiri," ujar Aoi sambil tersenyum kecil.
Souta langsung bangkit dengan semangat, menjawab, "Baik, aku akan membantumu!"
Ren, yang berdiri tidak jauh dari mereka, mendengus sambil mencibir. "Hah, apanya yang iri? Kau juga sama saja, dasar pria populer."
Sementara itu, Riku yang tadinya sudah berdiri sendiri, tiba-tiba pura-pura terjatuh kembali. Dia menatap Ren dengan ekspresi datar, lalu berkata, "Aduh... ini buruk. Aku tidak bisa berdiri sendiri. Ren, tolong aku."
Ren memandang Riku dengan alis terangkat. "Ngapain kau?" tanyanya dengan nada bingung.
Riku menjawab dengan santai, "Tidak apa-apa. Aku hanya melihat pria tidak populer yang kesal melihat pria populer."
Ren langsung terdiam, merasa seperti ditampar oleh kenyataan. Dengan kesal, dia menarik Riku untuk berdiri, namun caranya cukup kasar sehingga Riku mengeluh.
"Aduh!" keluh Riku, menatap Ren dengan pandangan mencela. "Hei, kau itu harus memperlakukan wanita dengan lembut. Pria macam apa kau ini?"
Ren mendengus, "Aku tidak butuh perhatian darimu."
Namun, Riku malah tersenyum jahil dan mulai menggoda Ren. "Tapi kau senang kan? Iya kan? Kan? Kan? Hey… iya kan?"
Ren memutar mata, mencoba mengabaikan Riku, namun rona merah di wajahnya tidak bisa disembunyikan.
Di tengah suasana itu, suara Kael'Zarath menggema di aula. Mantan Raja Drakonia berdiri dengan anggun, menyampaikan pengumuman kepada semua tamu.
"Hari sudah malam," katanya dengan nada lembut namun tegas. "Kami akan menyiapkan makan malam. Para tamu dipersilakan membersihkan diri terlebih dahulu. Kamar kalian sudah disiapkan."
Professor Elric, yang telah menyelesaikan urusannya untuk meminta restu dari Lady Seraphina, melangkah maju untuk berpamitan. Wajahnya berseri-seri, penuh semangat untuk melanjutkan penelitiannya.
"Ai, aku akan kembali ke laboratoriumku," kata Elric sambil tersenyum. "Penelitian ini akan menjadi terobosan besar berkat bantuanmu. Terima kasih, muridku."
Ai membalas dengan senyuman tulus. "Semoga berhasil, Master. Saya akan menunggu kabar baik darimu."
Setelah Elric pergi, Aoi dan Riku menarik lengan Ai dan Itsuki menuju kamar mereka. "Ayo, kita mandi dan berganti pakaian sebelum makan malam," kata Aoi.
Hana, pelayan mereka selama di Drakonia, mengikuti dari belakang dengan tenang. Souta dan Ren, seperti biasa, pergi ke kamar masing-masing dalam keheningan, menyadari bahwa mereka tidak memiliki teman berbagi kamar.
Namun, suasana paling canggung terjadi di kamar khusus Kaisar, tempat Kaito kini tinggal. Kamarnya berada di puncak istana Drakonia, megah dan luas, namun penuh ketegangan.
Saat Kaito sedang mandi, Lyra dan Mira, kedua pelayannya yang terikat jiwa dengannya, memaksa untuk ikut bersamanya.
"Tuan, tubuh kami adalah tubuh Anda juga," kata Lyra dengan nada tegas. "Tidak masalah mandi bersama tubuh sendiri?"
Mira menambahkan dengan lembut, "Mira sering mandi bersama ibu. Jadi, Mira akan mandi bersama Kak Kaito."
Namun, yang paling membingungkan adalah kehadiran Lady Seraphina. Dia berdiri di sudut kamar mandi dengan ekspresi penuh protes.
"Lady, kau seharusnya berada di kamarmu sendiri," ujar Kaito dengan nada lelah.
Lady Seraphina mendengus kesal. "Bagaimana mungkin aku melakukannya, sedangkan kedua wanita ini terus menempel kepadamu?"
Lyra mendesis ringan. "Lady, kami ini milik Tuan Kaito. Kami tidak melanggar aturan apa pun."
Melihat situasi yang semakin memanas, Kaito berdecak kesal. "Aaaahh... Kalau kalian masih berani ribut satu sama lain, aku akan melemparkan kalian keluar dari kamarku!"
Ketiganya langsung terdiam, wajah mereka berubah menjadi lembut dalam sekejap. Lady Seraphina mendekati Mira dan mengelus rambutnya dengan penuh kasih. "Mira, kau imut sekali, seperti bayi."
Mira tersenyum manis. "Aku mencintaimu, Lady."
Lyra, yang tidak mau kalah, memegang pundak Lady Seraphina. "Lady, biarkan aku memijatmu. Aku terkenal sebagai tukang pijat yang cinta damai."
Ketiganya tertawa bersama, menciptakan suasana damai yang aneh namun menenangkan.
Kaito tersenyum kecil sambil menggelengkan kepala. "Nah, kalau kalian akur seperti ini, kan enak dilihat."
Setelah selesai membersihkan diri, mereka semua menuju ruang makan istana. Namun, kali ini singgasana termegah tidak lagi diduduki oleh Lady Seraphina.
Atau, lebih tepatnya, Lady Seraphina masih duduk di atas singgasana, karena dia kini duduk di pangkuan Kaito, yang mengambil tempat di singgasana tersebut.
Kael'Zarath, mantan raja, berdiri di samping mereka, melayani Kaito dengan hormat.
Makan malam berlangsung dalam suasana megah namun penuh kehangatan. Para tamu menikmati berbagai hidangan khas Draconian yang disajikan dengan penuh keindahan. Namun, di tengah semua itu, Kaito merasa canggung.
"Kael'Zarath," Kaito memulai, memecah keheningan. "Aku sebenarnya tidak menginginkan kedudukan yang tinggi ini. Bisakah urusan kekaisaran Draconian kuserahkan kembali padamu? Aku masih ingin pergi bersama teman-temanku."
Kael'Zarath menatap Kaito dengan senyum penuh pengertian. "Yang Mulia, seorang Leluhur tidak perlu turun tangan dalam urusan kenegaraan. Tugas Leluhur adalah memimpin kami secara spiritual dan melindungi bangsa Draconian. Urusan pemerintahan sehari-hari akan tetap menjadi tanggung jawab kami."
Lady Seraphina, yang duduk nyaman di pangkuan Kaito, ikut angkat bicara. "Yang Mulia Kaisar, aku juga ingin membicarakan sesuatu."
Kaito menghela napas. "Lady Seraphina, berapa kali harus kukatakan? Panggil aku Kaito saja."
Lady Seraphina tersenyum kecil. "Baiklah, Kaito. Aku ingin meminta agar kalian semua tetap pergi bersamaku, Ai juga harus menunda pendidikannya bersama Professor Elric. Ada misi penting yang harus kita selesaikan dari Ethereal Lands, jadi, aku membutuhkan kalian semua."
Ai, yang sedang menikmati makan malamnya, langsung terhenti. "Tunggu, maksudnya aku harus meninggalkan penelitianku?"
"Kami tidak akan memintamu meninggalkan penelitianmu sepenuhnya," jawab Lady Seraphina. "Hanya menundanya. Penelitianmu adalah aset penting, tetapi misi ini membutuhkan kehadiranmu."
Ai tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk. "Baiklah, aku akan mempertimbangkannya. Tapi aku harus berdiskusi dulu dengan Professor Elric."
Pembicaraan kemudian beralih ke berbagai hal ringan, dan suasana menjadi lebih santai. Namun, perhatian kembali tertuju pada Kaito ketika Lyra dan Mira mulai mengeluh.
"Tuan, kenapa Anda tidak mengatakan apa-apa soal kami sejak tadi?" tanya Lyra sambil menatap Kaito dengan tatapan tajam.
Mira menambahkan dengan nada manis, "Iya, Kak Kaito. Kau bahkan tidak menyebutkan kami sebagai bagian dari rencanamu."
Kaito menggaruk kepalanya dengan canggung. "Kalian ini terlalu sensitif. Aku hanya tidak ingin membuat suasana menjadi lebih rumit."
Namun, sebelum Kaito bisa melanjutkan, Lady Seraphina menyela. "Tentu saja, mereka penting bagimu, bukan? Bukankah mereka sudah terikat denganmu, Kaito?"
Lyra dan Mira saling melirik, lalu tersenyum penuh kemenangan.
"Benar Lady," jawab Lyra dengan nada menggoda. "Kami adalah bagian dari hidup Tuan Kaito sekarang, Jadi kami harus tetap bersamanya."
Kaito hanya bisa menghela napas panjang, merasa lelah dengan semua perhatian yang tertuju padanya.
Sementara itu, di meja lain, Souta dan Ren duduk bersebelahan. Ren memandang Souta dengan ekspresi masam.
"Kenapa kau selalu mendapatkan perhatian dari Aoi?" tanya Ren tiba-tiba.
Souta mengangkat bahu. "Mungkin karena aku lebih menarik darimu?"
Ren mendengus. "Dasar pria populer. Kau tidak tahu bagaimana rasanya menjadi aku."
Namun, sebelum Souta bisa menjawab, Riku tiba-tiba menyela. "Ren, kau harus lebih percaya diri. Siapa tahu, suatu hari nanti kau juga akan menjadi populer."
Ren menatap Riku dengan curiga. "Kau hanya mencoba membuatku merasa lebih baik, bukan?"
Riku tersenyum kecil. "Mungkin. Tapi aku serius. Kau punya pesona tersendiri, Ren."
Ren terdiam sejenak, lalu mengalihkan pandangannya. "Hmph, aku tidak butuh perhatianmu."
Namun, rona merah di wajahnya tidak bisa disembunyikan, membuat Riku tersenyum puas.
Makan malam akhirnya selesai, dan para tamu mulai kembali ke kamar masing-masing. Namun, sebelum beranjak, Kael'Zarath mendekati Kaito.
"Yang Mulia, jika ada yang Anda butuhkan, jangan ragu untuk memanggil saya," kata Kael'Zarath dengan hormat.
Kaito mengangguk. "Terima kasih, Kael'Zarath. Aku akan mengingatnya."
Dengan itu, semua orang berpisah menuju kamar mereka.
Malam telah larut, dan seluruh istana Drakonia mulai sunyi. Para tamu telah diarahkan ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Namun, suasana di kamar Kaito tidak semudah itu menjadi tenang.
Kaito, yang kini menempati kamar khusus Kaisar di puncak istana, hanya bisa menghela napas saat melihat Lyra, Mira, dan Lady Seraphina masih bersikeras berada di sana.
"Lady, Lyra, Mira," kata Kaito dengan nada lelah, "bukankah kalian seharusnya sudah kembali ke kamar masing-masing? Ini kamar Kaisar, dan aku butuh istirahat."
Lady Seraphina menatap Kaito dengan senyum tipis. "Sebagai Kaisar Draconian, bukankah wajar jika pelayanmu tetap berada di dekatmu? Lagipula, aku juga punya alasan untuk berada di sini. Aku adalah penghubung antara Ethereal Lands dan Draconian. Hubungan kita harus tetap kuat."
Lyra menambahkan dengan nada menggoda, "Benar, Tuan. Kami adalah pelayan Anda. Sudah menjadi tugas kami untuk melayani Anda, bahkan di malam hari."
Mira mengangguk polos. "Mira biasanya tidur bersama Ibu. Jadi, Mira juga ingin tidur bersama Kak Kaito."
Kaito menepuk dahinya, merasa kalah dalam perdebatan ini. "Baiklah, tapi kalian harus berhenti berdebat. Aku benar-benar ingin tidur."
Namun, Lady Seraphina tidak mau kalah. "Aku yang akan tidur di samping Kaito. Sebagai pemimpin Ethereal Lands, aku harus memastikan hubungan ini tetap harmonis."
Lyra mendesis, "Lady, bukankah Anda terlalu memaksakan diri? Kami adalah pelayan Tuan Kaito, jadi kami yang lebih berhak berada di sampingnya."
Mira, dengan polosnya, berkata, "Mira hanya ingin tidur di tengah. Kak Kaito, Mira takut tidur sendirian."
Kaito, yang sudah berada di ambang kelelahan, akhirnya berteriak, "Cukup! Jika kalian terus ribut seperti ini, aku akan tidur di lantai saja!"
Ketiga gadis itu langsung terdiam, saling melirik dengan canggung. Akhirnya, mereka memutuskan untuk berdamai, setidaknya untuk malam itu.
Lady Seraphina mengambil tempat di sisi kiri Kaito, sementara Lyra di sisi kanan, dan Mira dengan senang hati meringkuk di pelukan Kaito.
Kaito hanya bisa menghela napas panjang. "Kenapa aku merasa seperti ini lebih melelahkan daripada pertempuran?" gumamnya pelan.
Namun, sebelum Kaito bisa benar-benar terlelap, Lyra menggoyahkan lengannya. "Tuan, apakah Anda benar-benar tidak menganggap kami sebagai kekasih?" tanyanya dengan nada lirih.
Kaito membuka matanya sedikit, menatap Lyra yang tampak serius. "Aku tidak pernah mengatakan kalian bukan orang penting bagiku. Hanya saja, aku tidak ingin hubungan kita menjadi rumit."
Mira, yang mendengar percakapan itu, memeluk lengan Kaito erat-erat. "Kak Kaito, Mira tidak peduli apa statusnya. Mira hanya ingin selalu bersama Kak Kaito."
Lady Seraphina, yang mendengarkan dari sisi lain, tersenyum kecil. "Kaito, mungkin kau tidak menyadarinya, tapi kau sudah menjadi pusat dari hidup mereka. Dan mungkin... hidupku juga."
Kaito terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Dia hanya menutup matanya, berharap bisa segera tertidur.
Namun, suasana itu tidak berlangsung lama.
"Hey, kalian semua, kenapa terlihat begitu damai di sini?" suara Aoi tiba-tiba terdengar dari pintu.
Kaito membuka matanya, melihat Aoi, Ai, Riku, dan Itsuki berdiri di ambang pintu dengan ekspresi penuh kejahilan.
"Kami datang untuk memastikan kau tidak diganggu oleh mereka," kata Aoi sambil menunjuk Lady Seraphina, Lyra dan Mira.
Ai mengangguk setuju. "Benar. Kami tidak bisa membiarkan Kaito menderita."
Riku, dengan nada datar, menambahkan, "Sebenarnya aku hanya penasaran dengan kamar khusus milik Kaisar."
Kaito hanya bisa menatap mereka dengan ekspresi lelah. "Tolong... biarkan aku tidur. Hanya itu yang aku minta."
Namun, Itsuki, yang tampak mengantuk, masuk ke dalam kamar tanpa izin. "Kalau begitu, Kak Kaito, aku juga mau tidur di sini. Kamarnya terlalu besar untuk kau gunakan sendirian."
"Kau serius?" tanya Kaito dengan putus asa.
Itsuki mengangguk, lalu dengan santainya merebahkan diri di tengah tempat tidur bersama Kaito. Ai, Aoi, dan Riku akhirnya mengikuti, mengambil posisi di sofa dan lantai.
Kaito menatap langit-langit, merasa seperti seluruh dunia sedang mengujinya. "Kenapa aku merasa seperti ini akan menjadi kebiasaan?" gumamnya sebelum akhirnya menyerah dan memejamkan mata.