Chereads / Seven Footsteps of Fate (Indonesia) / Chapter 36 - Transformasi dan Ikatan Baru

Chapter 36 - Transformasi dan Ikatan Baru

Saat upacara selesai, cahaya perlahan memudar, memperlihatkan sosok baru Kaito. Tubuhnya kini memancarkan aura yang luar biasa kuat. Sisik-sisik berwarna emas, perak, dan merah menghiasi sebagian kulitnya, terutama di lengan, bahu, dan punggung. Sepasang sayap naga besar dengan warna yang sama membentang di belakangnya, terlihat kokoh namun anggun.

Di dahinya, sebuah tanda bercahaya berbentuk rune naga muncul, bersinar lembut seperti kristal. Matanya kini berkilau dengan warna emas, memberikan kesan bijaksana namun berapi-api. Rambutnya yang hitam pekat kini memiliki semburat merah dan perak, membuat penampilannya semakin memikat.

Lyra dan Mira tertegun melihat perubahan ini. Lyra, yang awalnya hanya mengagumi Kaito karena keberaniannya, kini merasa jantungnya berdebar lebih cepat.

"Dia… terlihat seperti dewa naga…" bisik Lyra dengan pipi yang memerah.

Mira menatap Kaito dengan mata berbinar, kagum pada sosok yang berdiri di hadapannya.

"Kekuatan itu… benar-benar luar biasa," ujarnya dengan nada penuh hormat.

Kaito, yang kini menyadari perubahan dalam dirinya, memandangi tangannya yang bersisik. Ia mengepalkan tinjunya dan merasakan kekuatan yang mengalir deras di nadinya.

"Ini… luar biasa! Aku benar-benar terlihat keren sekarang, kan?" katanya dengan senyum lebar, mencoba meredakan suasana tegang.

Ignarion tertawa keras.

"Anak muda, kau tidak hanya terlihat keren, kau kini adalah naga sejati!"

Aureon menoleh ke Lyra dan Mira, lalu berbicara dengan nada serius.

"Kalian berdua, sebagai pendamping yang ikut masuk ke ruangan ini, kini memiliki peran yang sangat penting."

Sylveria melangkah maju, menatap kedua gadis itu dengan penuh perhatian.

"Karena kalian berada di sini saat upacara berlangsung, jiwa kalian kini terhubung langsung dengan sang pewaris. Kalian akan menjadi pendamping sejatinya."

Lyra dan Mira saling pandang, lalu menoleh kembali ke para naga agung.

"Apa maksud kalian dengan 'terhubung langsung'?" tanya Mira, suaranya sedikit gemetar.

Aureon menjelaskan dengan tenang.

"Jiwa kalian kini terikat dengan Kaito. Ikatan ini memberikan kalian kemampuan untuk menggunakan sebagian kekuatan pewaris. Namun, ada konsekuensi dari ikatan ini."

Sylveria melanjutkan.

"Jika kalian mati, kekuatan kalian akan terserap ke dalam tubuh Kaito, memperkuatnya lebih jauh. Namun, jika Kaito mati, ia akan tetap hidup selama salah satu dari kalian masih hidup. Meski begitu, itu akan memperpendek umur kalian."

Ignarion menatap mereka dengan tajam.

"Dan jika salah satu dari kalian rela memberikan jiwa sepenuhnya, Kaito akan kembali hidup sepenuhnya. Itu adalah pengorbanan tertinggi."

Lyra dan Mira terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata itu. Namun, ekspresi mereka berubah menjadi penuh tekad.

"Kami memahami konsekuensinya," kata Lyra dengan suara mantap. "Jika itu adalah kehendak para leluhur, kami dengan bangga menerima tugas ini."

Mira mengangguk.

"Melayani sang pewaris adalah kehormatan terbesar. Kami akan menjaga Kaito, bahkan dengan nyawa kami."

Kaito, yang mendengar itu, melangkah maju dengan ekspresi canggung.

"Eh, tunggu dulu! Aku tidak ingin kalian mengorbankan diri kalian untukku. Aku… aku tidak tahu apakah aku bisa menerima tanggung jawab sebesar itu."

Sylveria menatap Kaito dengan tegas.

"Sebagai pewaris, kau harus belajar menerima pengorbanan. Tugas ini bukan hanya tentang kekuatan, tapi juga tentang tanggung jawab terhadap mereka yang percaya padamu."

Lyra dan Mira berlutut di depan Kaito, kepala mereka menunduk dengan penuh hormat.

"Kami, Lyra dan Mira, bersumpah akan melayani sang pewaris seumur hidup kami. Kehormatan ini adalah anugerah terbesar bagi kami," ujar Lyra dengan suara mantap.

Mira menambahkan dengan lembut.

"Kami percaya padamu, Kaito. Kau adalah pilihan para leluhur, dan kami akan mendukungmu apa pun yang terjadi."

Kaito terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. Ia menatap kedua gadis itu, lalu berkata dengan suara yang lebih serius.

"Kalau begitu, aku juga berjanji. Aku tidak akan mengecewakan kalian. Aku akan melindungi kalian, seperti kalian melindungiku."

Para naga agung tersenyum puas melihat tekad Kaito.

"Dengan ini, upacara telah selesai," kata Aureon. "Jadilah pewaris yang bijaksana, Kaito. Seluruh kaum Draconian kini berada di pundakmu."

Dengan itu, cahaya dari kristal besar perlahan meredup, ketiga naga agungpun ikut lenyap bersamanya, meninggalkan Kaito, Lyra, dan Mira di tengah ruangan dengan perasaan yang bercampur antara kebanggaan, tanggung jawab, dan persahabatan yang baru terjalin.

Setelah keluar dari ruang rahasia, Lyra menatap Kaito dengan penuh hormat. Ia mendekat dan bertanya dengan nada lembut, "Tuan Kaito, apa yang akan kita lakukan selanjutnya?"

Kaito menghela napas, menggaruk kepalanya dengan canggung. "Eh, jangan panggil aku tuan. Rasanya aneh sekali, Lyra."

Mira, yang berdiri di samping Lyra, tersenyum kecil. "Kalau begitu, bagaimana kalau kami memanggilmu Master?" katanya dengan nada sedikit malu sambil menatap Kaito.

Kaito hampir tersedak udara sendiri. "Master?! Itu lebih buruk lagi! Aku bukan tuan atau master kalian. Kita ini teman, jadi panggil saja aku Kaito."

Mira menatap Kaito dengan mata berbinar. "Tapi aku lebih kecil darimu, jadi aku tidak bisa memanggilmu begitu saja. Kalau begitu… Onii-chan?" katanya dengan suara manis.

Kaito terdiam. Wajahnya berubah merah padam, hatinya seperti dihujani kebahagiaan tanpa henti.

"Onii-chan…? Itu… itu terlalu imut!" gumamnya sambil menahan senyum lebar.

Melihat Kaito yang seperti anak kecil mendapat hadiah besar, Lyra ikut tersipu. Dengan wajah memerah, ia berkata pelan, "Kalau begitu… aku juga akan memanggilmu Onii-sama."

Kaito hampir melompat kegirangan, tapi ia buru-buru menenangkan diri. "Eh, tunggu, tunggu! Lyra, kau nggak cocok memanggilku Onii-sama. Bagaimana kalau… darling?"

Wajah Lyra langsung memerah seperti tomat matang. Ia mengalihkan pandangan sambil menggumam, "Baiklah… Darling…"

Kaito hampir meledak karena kebahagiaan. Namun, otaknya yang jahil tidak berhenti di situ. Ia mulai bermain-main dengan mereka, meminta berbagai panggilan lain.

"Coba panggil aku… bos!" katanya sambil menahan tawa.

"Baik, Bos," jawab Lyra dengan nada serius, meskipun wajahnya masih merah.

"Sekarang coba… Yang Mulia!" lanjut Kaito dengan semangat.

"Yang Mulia…" Mira mengulang dengan nada datar, membuat Kaito sedikit kecewa karena kurang dramatis.

Namun, Kaito tidak menyerah. "Oke, yang ini terakhir! Mira, bilang 'Uwu,' dan Lyra, bilang 'Araa Araa.'"

Mira memiringkan kepala dengan bingung, tapi akhirnya berkata, "Uwu…" dengan suara pelan.

Lyra, meski ragu, mencoba mengikuti. Dengan nada lembut dan penuh malu, ia berkata, "Araa araa…"

Kaito langsung merasakan gelombang kebahagiaan yang terlalu besar untuk ditanggung. Matanya berputar, mulutnya berbusa, dan ia pingsan di tempat.

Lyra dan Mira saling pandang, kebingungan dengan apa yang baru saja terjadi.

"Apakah ini… efek samping dari menjadi pewaris naga agung?" tanya Mira.

Lyra menghela napas panjang sambil mengangkat bahu. "Entahlah, tapi aku rasa kita harus membawanya ke tempat yang aman dulu."

Keduanya akhirnya mengangkat Kaito yang pingsan sambil tersenyum kecil, merasa puas telah membuat tuan mereka bahagia… meskipun mungkin terlalu bahagia.

Kehebohan di Laboratorium Profesor Elric

Di ruang laboratorium yang dipenuhi buku-buku tua, gulungan perkamen, dan alat-alat penelitian yang aneh, Profesor Elric tampak melompat-lompat kegirangan. Ia memeluk Ai erat, mengangkatnya seperti seorang anak kecil, dan berputar sambil tertawa terbahak-bahak.

"LUAR BIASA! NONA, ANDA JENIUS!" teriak Profesor Elric dengan suara lantang, gema tawanya memenuhi ruangan.

Ai, yang awalnya kaget, akhirnya ikut tertawa kecil. "Profesor, tolong turunkan saya dulu. Saya pusing kalau terus diputar begini," katanya sambil tersenyum kikuk.

"Oh, maaf, maaf!" Profesor Elric segera menurunkannya, tetapi wajahnya masih berseri-seri penuh kegembiraan. "Ini luar biasa! Penelitian bertahun-tahun akhirnya menemukan jawabannya, dan itu semua berkat anda, Nona!"

Di sudut ruangan, Hana berdiri terpaku. Matanya melebar, mulutnya sedikit terbuka. Ia tidak mengerti apa yang baru saja terjadi. Dunia para jenius ini terasa seperti dimensi lain baginya.

"Apa… yang sebenarnya terjadi?" gumam Hana pelan, lebih kepada dirinya sendiri.

Profesor Elric menoleh ke arahnya. "Oh, Hana! Kau tidak akan percaya! Penemuan ini akan mengubah segalanya! Ini adalah langkah besar dalam memahami dasar-dasar energi primordial!"

Hana hanya mengangguk pelan, masih belum paham. "Ya… tentu saja, Profesor…"

Beberapa Jam Sebelumnya

Setelah menyelesaikan negosiasi untuk menjadi murid Profesor Elric, Ai berjalan-jalan di sekitar laboratorium, mengamati papan tulis besar yang penuh dengan coretan rumus dan simbol-simbol misterius. Profesor Elric berdiri di depan papan itu, memegang kapur, tampak frustrasi.

"Ah.. itu, aku benar-benar buntu!" gumam Profesor sambil mengacak rambutnya sendiri. "Rumus ini seharusnya berhasil, tetapi selalu ada celah yang tidak bisa kupecahkan!"

Ai mendekat dengan hati-hati. "Profesor, bolehkah saya melihatnya?"

Profesor Elric menoleh, lalu mengangguk. "Tentu, Nona. Tapi aku ragu anda akan memahaminya. Ini adalah perhitungan energi primordial yang sangat kompleks. Aku sudah bekerja pada ini selama bertahun-tahun."

Ai memandangi papan tulis dengan saksama. Rumus-rumus itu tampak rumit, tetapi ia mulai memahami pola-pola di dalamnya.

"Profesor," katanya setelah beberapa saat, "saya pikir ada yang salah di sini."

Profesor Elric terkejut. "Apa maksud Nona?"

"Di bagian ini," Ai menunjuk salah satu bagian rumus, "perhitungan ini mengabaikan angka nol."

Profesor Elric mengerutkan kening. "Angka nol? Apa maksud Nona dengan angka nol?"

Ai tersenyum kecil. "Angka nol itu penting, Profesor. Dalam matematika, nol bukan hanya menunjukkan ketiadaan, tetapi juga memberikan kerangka untuk memahami perhitungan. Tanpa angka nol, perhitungan ini tidak akan pernah lengkap." Ai menambahkan simbol lingkaran dalam rumus Profesor Elric. "Lihat, disini seharusnya tidak berisi angka, karena tidak ada nilainya, tetapi tidak kosong juga jadi harus diisi Nol!".

Profesor Elric terdiam sejenak, lalu menatap papan tulis dengan mata berbinar. "Nol… ya! Hmm… Coba kita lihat. Nol disini, lalu disini, mari kita hitung, Ya D'or Yang Agung! Nona AI, kau benar-benar jenius!"

Ia segera menghapus sebagian rumusnya dan mulai menulis ulang dengan semangat. Kapur di tangannya bergerak cepat, sementara Ai dan Hana mengawasinya dengan penuh perhatian.

Setelah beberapa jam, Profesor Elric berhenti. Ia memandang papan tulisnya dengan takjub. "Ini… ini berhasil! Rumus ini akhirnya masuk akal!"

Ia berbalik, menatap Ai dengan senyum lebar. "Nona AI, anda telah membuka jalan baru dalam penelitian ini! Aku tidak pernah menyangka murid sepertimu akan membawa perubahan sebesar ini!"

Kembali ke Masa Kini

"Nona Ai," kata Profesor Elric sambil menepuk bahunya, "kau tidak hanya muridku. Kau adalah mitra penelitianku sekarang!"

Ai tersenyum kecil. "Saya hanya memberikan saran, Profesor. Semua ini adalah hasil kerja keras Anda."

"Tidak, tidak! Tanpa saran Nona, aku mungkin akan terjebak di kebuntuan ini selamanya!"

Hana, yang masih bingung, akhirnya mendekat. "Profesor, jadi… apa yang sebenarnya ditemukan?"

Profesor Elric tersenyum penuh semangat. "Hana, ini adalah dasar dari energi primordial! Penemuan ini bisa mengubah cara kita memahami dunia! Dengan ini, kita bisa menciptakan teknologi baru, mungkin bahkan menemukan cara untuk menciptakan energi tanpa batas!"

Hana mengangguk pelan, meskipun ia masih tidak sepenuhnya mengerti. Yang ia tahu, ia baru saja menyaksikan momen bersejarah yang akan dikenang selamanya.

Ruangan laboratorium yang biasanya penuh dengan kesibukan mendadak menjadi saksi bisu dari perdebatan yang tak terduga antara Profesor Elric dan Ai. Hana, yang berdiri di sudut ruangan, hanya bisa mengamati dengan tatapan bingung, mencoba memahami dinamika aneh di antara keduanya.

"Jadi, Nona," ujar Profesor Elric dengan nada serius, "kau benar-benar tidak ingin menjadi rekan kerjaku? Kau tahu, aku jarang menawarkan posisi seperti ini kepada siapa pun!"

Ai menyilangkan tangan di dadanya, wajahnya tegas. "Profesor, saya datang ke sini untuk belajar, bukan untuk menjadi rekan kerja. Kalau Anda tidak mau menerima saya sebagai murid, lebih baik kita akhiri pembicaraan ini sekarang."

Profesor Elric terlihat bingung, hampir putus asa. "Tapi, Nona, dengan kecerdasan Nona, anda sudah berada di level yang setara denganku. Aku tidak bisa menganggap nona hanya sebagai murid!"

"Kalau begitu, anggap saja saya bukan siapa-siapa," balas Ai dengan nada dingin, berbalik seolah siap meninggalkan ruangan.

Hana menahan napas. Adegan ini benar-benar mengingatkannya pada momen sebelumnya, ketika Ai dengan penuh semangat memohon kepada Profesor Elric untuk menerimanya. Namun sekarang, posisi mereka terbalik, dan Ai yang tampak memegang kendali penuh.

"Baiklah, baiklah!" seru Profesor Elric akhirnya, mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. "Anda menang, Nona. Aku akan menerimamu sebagai muridku. Tapi hanya karena aku tidak ingin kehilangan kesempatan bekerja dengan seseorang sepertimu."

Ai berbalik dengan senyum kecil yang hampir tak terlihat. "Bagus. Kalau begitu, mulai sekarang saya akan memanggil Anda... Master. Dan anda panggil saya, Ai."

Profesor Elric hampir tersedak. "Master? Apa-apaan itu? Nona bisa memanggilku Profesor, atau Guru, seperti murid lainnya."

"Tidak," jawab Ai dengan nada tegas. "Saya sudah memutuskan. Anda adalah Master saya, dan saya adalah murid anda, jadi sebut aku dengan nama."

Profesor Elric menghela napas panjang, mengusap wajahnya. "Baiklah, baiklah. Kalau itu yang kau inginkan. Tapi aku tidak yakin aku akan terbiasa dengan panggilan itu."

Hana, yang sejak tadi menyaksikan adegan ini, hanya bisa menggelengkan kepala dengan kagum. Ia berbisik pada dirinya sendiri, "Nona Ai benar-benar luar biasa. Bahkan Profesor Elric, yang terkenal keras kepala, bisa ditaklukkan olehnya."

Namun, sebelum suasana bisa kembali tenang, Profesor Elric tiba-tiba meraih tangan Ai dengan semangat. "Kalau begitu, Ai, kita harus pergi sekarang!"

Ai tersentak, mencoba melepaskan tangannya. "Pergi ke mana, Profesor? Eh, maksud saya, Master?"

"Kita akan menemui Raja Kael'Zarath dan pemimpin Ethereal Lands," jawab Profesor Elric sambil tersenyum lebar.

Ai terdiam sejenak, memproses apa yang baru saja didengarnya. "Tunggu, kenapa kita harus menemui mereka?"

"Untuk meminta restu, tentu saja!" jawab Profesor Elric seolah itu hal yang paling masuk akal di dunia.

Wajah Ai langsung memerah. "R-restu? Untuk apa?!"

Profesor Elric menatapnya dengan kebingungan. "Tentu saja restu agar kau bisa menjadi muridku secara resmi. Kau pikir untuk apa lagi?"

Ai tidak menjawab. Otaknya langsung melompat ke kesimpulan yang salah. Restu? Apakah ini semacam lamaran? Apakah aku akan menikah? pikirnya panik. Wajahnya semakin memerah, dan ia hanya bisa mengangguk dengan kaku sambil mengikuti Profesor Elric keluar dari laboratorium.

Hana, yang melihat perubahan ekspresi Ai, hanya bisa menahan tawa kecil. "Sepertinya Nona Ai salah paham," gumamnya sambil mengikuti mereka dari belakang.

Di sepanjang perjalanan, Ai terus berjalan dengan langkah setengah goyah, pikirannya masih dipenuhi oleh bayangan kemungkinan lamaran yang tidak pernah ia duga.

"Nona Ai, kau baik-baik saja?" tanya Hana, yang berjalan di sampingnya.

"Ah, ya, tentu saja," jawab Ai cepat, meskipun wajahnya masih merah.

Profesor Elric, yang berjalan di depan, tampak tidak menyadari kegelisahan Ai. "Aku yakin Raja Kael'Zarath akan sangat terkesan denganmu, Ai. Kau adalah murid pertamaku dan akan mendapatkan restu langsung dari kerajaan."

Ai hanya mengangguk pelan, tidak tahu harus berkata apa.

Saat mereka tiba di gerbang istana, para penjaga yang mengenakan baju zirah hitam dengan lambang naga di dada mereka membungkuk hormat kepada Profesor Elric.

"Selamat datang, Profesor Elric." kata para penjaga.

Profesor Elric mengangguk dengan senyum puas. "Terima kasih. Ayo, Ai. Ini akan menjadi momen yang luar biasa."

Mereka melangkah masuk ke dalam istana, melewati lorong-lorong megah menuju ruang tahta untuk menghadap raja Kael'Zarath.