Kaito, Lyra, dan Mira menyusuri jalanan kota Draconian dengan langkah cepat. Kaito yang penuh semangat terus memimpin di depan, sementara Lyra dan Mira mengikutinya sambil berbicara pelan di belakang.
"Kaito benar-benar penuh energi," ujar Lyra sambil tersenyum kecil.
Mira mengangguk pelan. "Iya… tapi aku rasa itu bagus. Dia benar-benar peduli pada Ai."
Kaito menoleh ke belakang dengan antusias. "Hei, kalian membicarakan aku, ya? Jangan khawatir, aku ini pemandu yang hebat!"
Lyra menggeleng sambil tertawa. "Kalau kau terus berlari seperti itu, kami yang akan kehabisan tenaga duluan."
Kaito tertawa kecil, lalu memperlambat langkahnya. "Baiklah, baiklah. Kita jalan santai. Jadi, Mira, kios ibumu ada di mana persisnya?"
Mira menunjuk ke arah sebuah gang kecil yang menuju ke area yang lebih sepi. "Di sana, tapi… aku tidak yakin mereka masih ada di sekitar sini."
Ketiganya tiba di depan kios yang dimaksud. Itu adalah kios kecil yang menjual berbagai pernak-pernik unik, termasuk jimat dan aksesori naga. Namun, tidak ada tanda-tanda Ai.
"Hmm, tidak ada siapa-siapa," gumam Kaito, menggaruk kepalanya.
Lyra mengamati sekeliling. "Mungkin kita harus bertanya pada orang-orang di sekitar sini?"
Saat mereka sedang berdiskusi, tiba-tiba Mira menunjuk ke sebuah jalan setapak yang menanjak ke arah pegunungan. "Aku ingat… mereka berjalan ke arah sana."
Kaito langsung berseru. "Ayo kita ikuti!"
Lyra menghela napas. "Kaito, tunggu dulu. Bagaimana kalau ini hanya jalan buntu?"
"Tetap saja, kita tidak bisa mengabaikannya!" jawab Kaito tegas, lalu mulai berjalan cepat.
Setelah berjalan beberapa saat, mereka tiba di jalur yang semakin menanjak dan berbatu. Suasana mulai berubah. Pepohonan yang lebat dan angin dingin membuat mereka merasa sedikit canggung.
"Kaito, kau yakin ini jalannya?" tanya Lyra sambil melirik ke arah Mira yang tampak gugup.
"Aku yakin! Intuisiku jarang salah!" jawab Kaito penuh percaya diri.
Namun, tiba-tiba mereka mendengar suara gemerisik dari semak-semak di sekitar mereka. Lyra langsung bersiaga, mengeluarkan tongkat sihirnya. "Ada sesuatu di sini."
"Tenang saja, mungkin hanya binatang kecil," ujar Kaito sambil mencoba menyibak semak-semak.
Tiba-tiba, seekor makhluk kecil berbulu dengan mata bercahaya melompat keluar. Makhluk itu terlihat seperti campuran antara rubah dan naga kecil.
"Makhluk apa ini?" Mira berbisik sambil bersembunyi di belakang Lyra.
Makhluk itu mengeluarkan suara melengking, lalu berlari ke arah jalan setapak yang lebih gelap.
"Kita ikuti!" seru Kaito, tanpa pikir panjang.
"Kaito, tunggu! Kita tidak tahu apa yang ada di sana!" protes Lyra.
Namun, Kaito sudah berlari mengikuti makhluk itu. Lyra dan Mira tidak punya pilihan selain mengejarnya.
Setelah beberapa waktu, mereka tiba di sebuah gua besar dengan pintu masuk yang dihiasi ukiran naga kuno. Aura misterius menyelimuti tempat itu, membuat mereka bertiga terdiam sejenak.
"Ini… apa?" tanya Lyra dengan nada heran.
"Gua ini tidak ada di peta," jawab Mira pelan, matanya membesar karena terkejut.
Kaito mendekati pintu gua dan menyentuh ukiran naga. Tiba-tiba, ukiran itu bersinar terang, dan pintu gua terbuka perlahan dengan suara gemuruh.
"Wow… ini seperti sesuatu dari legenda," gumam Kaito.
"Ini bukan tempat biasa," ujar Lyra dengan nada waspada.
"Kita harus masuk," kata Kaito tanpa ragu.
"Kaito, tunggu! Kita tidak tahu apa yang ada di dalam!" Lyra mencoba menghentikannya, tapi Kaito sudah melangkah masuk.
Mira menarik lengan Lyra. "Kita tidak bisa membiarkannya masuk sendirian."
Dengan berat hati, Lyra mengangguk. Mereka bertiga akhirnya masuk ke dalam gua, melangkah menuju kegelapan yang dipenuhi misteri.
Di dalam gua, mereka menemukan lorong-lorong berliku yang dipenuhi ukiran-ukiran kuno dan reruntuhan. Suasana semakin tegang saat mereka menyadari bahwa mereka tidak sendirian. Suara langkah kaki bergema di kejauhan.
"Kaito, ini bukan ide yang bagus," bisik Lyra, menggenggam tongkat sihirnya erat-erat.
"Tenang saja. Kita di sini untuk mencari tahu," jawab Kaito dengan suara pelan.
Saat mereka melangkah lebih jauh, mereka tiba di sebuah ruangan besar yang dipenuhi cahaya biru yang bersinar dari sebuah artefak raksasa di tengahnya. Artefak itu berbentuk seperti bola kristal besar yang melayang di udara, dikelilingi oleh rune yang bersinar.
"Ini… apa?" tanya Mira dengan suara gemetar.
Lyra menatap artefak itu dengan mata membelalak. "Ini… rahasia terbesar Draconian…"
Kaito, Lyra, dan Mira berdiri terpaku di depan bola kristal besar yang melayang di tengah ruangan. Cahaya biru yang terpancar darinya menciptakan suasana magis. Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar, mengguncang lantai gua. Tiga sosok besar muncul dari bayangan di sekitar ruangan.
Di tengah, seekor naga besar dengan sisik berwarna emas dan mata yang memancarkan kebijaksanaan menatap mereka dengan tenang. Suaranya dalam dan penuh wibawa.
"Siapa yang berani melangkah ke dalam altar suci ini?"
Di sebelah kiri, seekor naga wanita dengan sisik perak yang berkilauan dan tatapan tajam menatap mereka dengan serius. Suaranya lembut namun tegas.
"Manusia? Dan dua Draconian muda? Bagaimana mungkin mereka bisa melewati segel itu?"
Di kanan, seekor naga pria dengan tubuh gagah dan sisik berwarna merah menyala mengeluarkan suara yang menggelegar.
"Tidak ada yang bisa memasuki tempat ini tanpa kehendak kami! Jelaskan siapa kalian!"
Kaito mundur setengah langkah, wajahnya menunjukkan kebingungan dan ketakutan. "Siapa kalian sebenarnya?"
Naga emas di tengah menundukkan kepalanya sedikit, lalu berbicara dengan nada yang lebih tenang.
"Kami adalah para naga agung, leluhur para Draconian, dan penjaga warisan naga agung. Aku adalah Aureon, Naga Kebijaksanaan."
Naga perak di sebelah kiri memperkenalkan dirinya dengan suara yang penuh wibawa.
"Aku adalah Sylveria, Naga Penjaga. Aku melindungi tradisi dan kehormatan bangsa naga."
Naga merah di kanan mengangkat dadanya dengan bangga.
"Dan aku adalah Ignarion, Naga Keberanian. Aku adalah penjaga kekuatan dan keberanian bangsa kami."
Lyra dan Mira langsung berlutut, menundukkan kepala mereka dengan hormat. "Kami menunduk hormat kepada Naga Agung, leluhur kami."
Namun, Kaito tetap berdiri dengan bingung, menggaruk kepalanya. "Oh… jadi kalian naga legendaris, ya? Tapi kenapa aku bisa masuk ke sini?"
Aureon menatap Kaito dengan pandangan mendalam. "Itulah pertanyaan yang ingin kami tanyakan juga. Tidak sembarang orang bisa membuka segel ruang ini. Hanya mereka yang memenuhi syarat sebagai pewaris kekuatan naga agung yang bisa melakukannya."
Sylveria melangkah maju, menatap Kaito dengan penuh selidik. "Apa kau sadar apa yang telah kau lakukan, manusia? Kau telah memanggil kami dari keabadian."
Ignarion menyeringai, menunjukkan taringnya yang tajam. "Tampaknya dia bahkan tidak tahu apa yang telah dia capai. Sungguh menggelikan."
Kaito tersentak. "Tunggu, tunggu! Jadi maksud kalian, aku… pewaris kekuatan itu?"
Aureon mengangguk perlahan. "Benar. Segel ini hanya dapat dibuka oleh mereka yang memiliki jiwa yang sesuai dengan warisan kami. Karena itu, kami akan memberikan kekuatan naga agung kepadamu."
Lyra yang masih berlutut menatap Kaito dengan tak percaya. "Kaito… kau dipilih oleh para leluhur?"
Mira menggenggam tangan Lyra dengan gemetar. "Ini… ini adalah kehormatan terbesar."
Kaito, masih bingung, mengangkat tangannya. "Tunggu, aku? Pewaris? Tapi aku cuma… aku bahkan bukan Draconian!"
Ignarion mengeluarkan tawa kecil. "Itu tidak penting. Yang penting adalah keberanianmu, tekadmu, dan jiwamu yang murni."
Sylveria menambahkan, "Dan meskipun kau manusia, kau telah membuktikan dirimu layak."
Aureon mengangkat salah satu cakarnya, dan bola kristal di tengah ruangan mulai bersinar lebih terang. Rune-rune di sekitarnya mulai berputar dengan cepat, menciptakan pusaran energi.
"Kaito, kami akan memulai upacara pelantikan. Bersiaplah menerima kekuatan yang telah diwariskan sejak awal penciptaan bangsa naga," ujar Aureon.
Kaito menelan ludah, lalu berdiri tegak. "Baiklah. Aku siap."
Kristal itu meledakkan cahaya yang menyelimuti Kaito. Tubuhnya melayang di udara, sementara rune-rune mengelilinginya. Suara para naga agung bergema di seluruh ruangan.
"Kami memberimu kekuatan naga agung, yang terdiri dari tiga aspek utama: kebijaksanaan, keberanian, dan perlindungan."
Aureon berbicara, suaranya menggema.
"Dengan kebijaksanaan naga, kau akan mampu memahami dan menguasai sihir tingkat tertinggi. Pengetahuan kuno bangsa naga kini ada di dalam dirimu."
Sylveria menambahkan.
"Dengan perlindungan naga, tubuhmu akan menjadi lebih kuat dari baja, dan kau akan mampu melindungi mereka yang kau sayangi."
Ignarion menyeringai.
"Dan dengan keberanian naga, kau akan memiliki kekuatan untuk menghadapi musuh terkuat, bahkan melampaui batas manusia."
Tubuh Kaito mulai bersinar dengan cahaya emas, perak, dan merah. Sisik naga muncul di sebagian kulitnya, dan di punggungnya terbentuk sepasang sayap naga yang besar dan kuat.
Kaito merasa energinya meningkat drastis. Ia merasakan kekuatan sihir mengalir dalam dirinya, kekuatan fisiknya berlipat ganda, dan pikirannya dipenuhi dengan pengetahuan baru.
Saat upacara selesai, Kaito turun perlahan ke tanah. Para naga agung menatapnya dengan bangga.
"Kini, kau adalah pewaris kekuatan naga agung. Gunakanlah dengan bijak," ujar Aureon.
Kaito memandang tangannya yang kini bersinar. Ia mengepalkan tinjunya dan tersenyum. "Ini… luar biasa."
Sylveria mendekat. "Tapi ingat, kekuatan besar ini juga membawa tanggung jawab besar."
Ignarion menepuk tanah dengan ekornya. "Jangan khawatir, bocah. Kami akan membimbingmu."
Kaito menatap mereka bertiga dengan penuh semangat. "Terima kasih. Aku tidak akan mengecewakan kalian!"