Kaito, Souta, Ren, Aoi, Riku, dan Itsuki akhirnya tiba di tempat perkumpulan para Draconian remaja. Tempat itu berupa lapangan luas di puncak bukit, dikelilingi oleh pepohonan tinggi yang memberikan bayangan teduh. Di tengah kerumunan, dua naga besar berdiri saling berhadapan. Tubuh mereka berkilauan di bawah sinar matahari pagi, sisik-sisiknya memantulkan warna-warni yang memukau.
Para remaja Draconian yang mengelilingi arena tampak sangat antusias, bersorak-sorai sambil menunggu aksi kedua naga tersebut.
"Apakah mereka akan bertarung?" tanya Itsuki dengan penuh rasa ingin tahu, matanya terpaku pada kedua naga yang terlihat siap menyerang.
Namun, saat semua orang mengira akan terjadi duel sengit, salah satu naga membuka mulutnya dan menghembuskan lingkaran asap besar yang sempurna ke udara. Lingkaran itu melayang perlahan, membentuk pola yang indah.
"Eh?" Aoi memiringkan kepalanya, bingung.
Naga lainnya tidak mau kalah. Ia mengeluarkan semburan api yang membentuk hati besar di udara. Semburan itu bercahaya terang, membuat semua remaja bersorak riuh dengan kekaguman.
"Ini… bukan duel?" Souta mengerutkan dahi, merasa tertipu oleh suasana tegang sebelumnya.
Ren hanya tertawa kecil. "Sepertinya mereka lebih suka pamer daripada bertarung."
Aoi menghela napas, menggelengkan kepala. "Aku tidak habis pikir dengan mereka. Kita datang jauh-jauh untuk melihat ini?"
Namun, saat ia berbalik untuk mengomentari Kaito, ia menyadari bahwa pemuda itu sudah tidak ada di sampingnya. "Tunggu… di mana Kaito?"
Mereka melihat ke arah kerumunan dan menemukan Kaito sudah melebur di antara para remaja Draconian, ikut bersorak dengan lantang di tepi arena. Wajahnya penuh semangat, seperti anak kecil yang menemukan mainan baru.
"Luar biasa! Lingkaran itu sempurna! Dan hati itu… benar-benar mengagumkan!" seru Kaito dengan suara keras, membuat beberapa remaja Draconian menoleh ke arahnya.
Para remaja akhirnya menyadari kedatangan kelompok mereka. Dengan cepat, mereka menyambut Aoi, Souta, Ren, Riku, dan Itsuki dengan sorakan meriah.
"Ah, kalian teman Kaito ya? Selamat datang!" salah satu remaja Draconian melambaikan tangan dengan ramah.
Aoi hanya bisa memijat pelipisnya. "Kaito benar-benar melebur terlalu cepat…"
Sementara itu, Souta dan Ren mulai tertawa, merasa terhibur oleh kehebohan yang terjadi. Riku dan Itsuki saling pandang, mencoba menyesuaikan diri dengan suasana riuh tersebut.
"Yah, setidaknya mereka ramah," ujar Ren sambil tersenyum.
"Ramah? Mereka seperti pesta yang tidak pernah berhenti," balas Aoi dengan nada lelah, meskipun senyum kecil mulai muncul di wajahnya.
Kerumunan remaja Draconian semakin riuh, membuat suasana di tempat itu penuh dengan tawa dan kegembiraan.
Aoi dan Riku hampir tidak punya waktu untuk memproses apa yang terjadi ketika beberapa gadis Draconian dengan penuh semangat menarik mereka menjauh dari kelompok. Mereka dibawa ke lingkaran perbincangan yang dipenuhi tawa ceria. Para gadis itu mulai mengajukan berbagai pertanyaan, dari asal mereka, apa yang mereka pikirkan tentang Draconian, hingga detail kecil seperti pakaian yang mereka kenakan.
"Wah, kalian dari Ethereal Lands, ya? Pasti tempatnya indah sekali!" salah satu gadis berseru sambil tersenyum lebar.
Riku, yang biasanya pendiam, hanya mengangguk dengan kikuk. "Iya… indah, tapi tidak seramai di sini."
Aoi, di sisi lain, mencoba menjawab pertanyaan dengan tenang meskipun merasa kewalahan. "Tentu saja, Ethereal Lands punya keunikan tersendiri, tapi tempat ini juga sangat menarik."
Sementara itu, Itsuki menjadi pusat perhatian di sudut lain. Anak kecil itu dikerumuni oleh para gadis yang terpesona oleh kelucuannya. Beberapa peri kecil yang hadir di perkumpulan itu bahkan terbang mengelilinginya, tertawa riang.
"Lucu sekali! Kamu seperti boneka kecil yang hidup!" salah satu gadis Draconian berkomentar sambil mencubit pipi Itsuki dengan lembut.
Itsuki hanya bisa tersenyum malu-malu, merasa seperti berada di tengah parade pujian yang tidak bisa ia hindari.
Di sisi lain, Ren dan Souta dibawa ke pinggir arena oleh beberapa remaja laki-laki Draconian. Mereka diajak mengamati teknik sihir dan pertunjukan kekuatan yang sedang dipamerkan.
"Jadi, kalian juga bisa sihir ya? Ayo tunjukkanlah sesuatu!" salah satu remaja Draconian menantang mereka dengan antusias.
Ren hanya mengangkat bahu. "Sihirku tidak terlalu mengesankan, tapi aku bisa mencoba."
Souta, yang lebih kompetitif, tersenyum penuh percaya diri. "Aku bisa tunjukkan sesuatu yang lebih baik dari Ren."
Di tengah arena, Kaito menjadi bintang pertunjukan tanpa diminta. Dia dengan penuh semangat menampilkan tarian break dance yang memukau. Tubuhnya bergerak lincah, melompat dan berputar dengan gaya yang memikat perhatian semua orang.
Namun, Kaito tidak berhenti di situ. Dengan gerakan dramatis, ia mengaktifkan sihir apinya, menciptakan ilusi bahwa tubuhnya diselimuti oleh kobaran api.
"Aku terbakar! Tolong aku!" serunya dengan nada bercanda, membuat semua orang tertawa terbahak-bahak.
Api itu bergerak mengikuti irama tariannya, menciptakan pola-pola indah yang seolah menari bersama Kaito. Para remaja Draconian bersorak-sorai, kagum pada kreativitas dan keberaniannya.
"Luar biasa! Siapa dia?!" salah satu dari mereka bertanya dengan penuh semangat.
"Kaito, tentu saja," jawab seorang gadis dengan nada penuh kekaguman.
Pertunjukan Kaito membuat suasana semakin meriah, membawa tawa dan kekaguman di antara kerumunan. Di tepi arena, Aoi hanya bisa memegang dahinya, merasa pusing melihat tingkah sahabatnya yang selalu mencari perhatian.
"Dia benar-benar tidak bisa diam," gumamnya sambil menggelengkan kepala.
Riku, yang duduk di dekatnya, hanya tertawa kecil. "Setidaknya dia membuat semua orang senang."
Keseruan di arena terus berlanjut, dan kali ini giliran Ren untuk memamerkan keahliannya. Dengan tenang, ia melangkah maju ke tengah kerumunan, mengangkat satu tangan, dan memanggil kekuatan sihir airnya.
Dalam sekejap, sebuah bola air besar terbentuk di udara, memantulkan cahaya matahari seperti kristal. Ren menggerakkan tangannya dengan lincah, mengubah bola air itu menjadi berbagai bentuk, menjadi seekor naga kecil yang terbang mengelilingi arena, lalu berubah menjadi burung yang mengepakkan sayapnya, dan akhirnya menjadi hujan rintik-rintik yang menyegarkan.
"Aku tidak hanya bisa menciptakan air," kata Ren dengan nada percaya diri, "tapi juga cairan lain."
Dia mengangkat tangannya lagi, dan kali ini cairan berwarna biru muda muncul, membentuk sebuah gelas yang kemudian mengeras menjadi es. Dengan senyuman kecil, ia menyerahkan gelas es itu kepada salah satu gadis Draconian yang menonton.
"Keren sekali! Kau pasti sudah latihan keras, ya?" salah satu dari mereka berseru kagum.
Ren hanya mengangguk sambil tersenyum kecil. "Latihan tidak pernah mengkhianati hasil."
Kini giliran Souta. Dengan busur di tangannya, ia melangkah ke tengah arena. "Baiklah, biar aku tunjukkan sesuatu yang lebih nyata," katanya dengan nada penuh percaya diri.
Dia melemparkan sebuah apel ke udara, menarik busurnya, dan menembakkan anak panah dengan kecepatan kilat. Panah itu melesat dan menembus apel dengan sempurna, membuat semua orang bersorak kagum.
Souta tidak berhenti di situ. Dia melemparkan beberapa apel lagi ke udara, dan dengan sigap menembakkan panah berturut-turut. Semua apel tertembus dengan akurasi yang luar biasa.
"Sekarang, kalian yang lemparkan apel," katanya sambil tersenyum menantang.
Para remaja Draconian dengan penuh semangat mulai melemparkan apel ke udara. Souta, dengan konsentrasi penuh, menembakkan panahnya dengan kecepatan yang mengagumkan. Setiap apel tertembus dengan sempurna, bahkan ada beberapa panah yang berhasil menusuk tiga hingga lima apel sekaligus.
Sorakan semakin membahana, namun di tengah aksi Souta, sebuah apel yang terlempar dengan sudut aneh meleset dari targetnya dan jatuh tepat di kepalanya.
"Ugh!" Souta meringis sambil memegang kepalanya, membuat kerumunan pecah dalam tawa.
"Hebat sekali, pemanah ulung kita!" Kaito berseru sambil tertawa terbahak-bahak.
Souta hanya bisa mengusap kepalanya dengan wajah sedikit kesal, tapi akhirnya ikut tertawa bersama yang lain. Suasana di arena semakin hangat, dipenuhi tawa dan sorakan dari para remaja Draconian yang menikmati momen itu.
Suasana penuh keceriaan di antara para remaja Draconian terus berlanjut, dengan tawa dan sorakan yang menggema di udara. Namun, Aoi yang sedari tadi terlihat gelisah akhirnya menyadari sesuatu.
"Riku…" bisiknya dengan nada khawatir. "Kita terlalu larut di sini. Kita belum menemukan Ai!"
Riku, yang tengah berbincang santai dengan beberapa gadis Draconian, mengangkat alisnya dan menoleh ke Aoi. "Benar juga… Tapi bagaimana kita pergi tanpa menyinggung mereka?"
Aoi menggigit bibirnya, berpikir keras. Situasi ini semakin rumit, apalagi para gadis tampak begitu antusias mengajak mereka berbicara. Namun, tiba-tiba Riku mendekat dan berbisik sesuatu di telinga Aoi.
Aoi menatap Riku dengan ekspresi tidak percaya. "Serius? Ide itu?"
Riku mengangguk mantap. "Percaya saja padaku. Kita harus keluar dari sini."
Dengan rencana yang sudah disepakati, Aoi pun menghela napas panjang dan mendekati para gadis. Dia memasang senyum canggung sambil menarik tangan Itsuki yang masih dikelilingi oleh para gadis Draconian.
"Maaf, semuanya," kata Aoi dengan nada lembut namun tegas. "Kami harus pergi sekarang. Itsuki… eh… dia butuh istirahat. Anak kecil sepertinya tidak bisa terlalu lama berada di tempat ramai seperti ini."
Para gadis Draconian menatap mereka dengan wajah bingung. Salah satu dari mereka bahkan sempat memiringkan kepala. "Istirahat? Tapi dia terlihat baik-baik saja…"
Riku segera menambahkan dengan ekspresi serius, "Itsuki… dia baru saja pulih dari demam. Jadi kegiatan luar ruangan bisa membuatnya… eh… kelelahan tiba-tiba."
Para gadis saling bertukar pandang, jelas tidak yakin dengan alasan itu. Namun, ketika melihat Itsuki yang tampak kebingungan sambil memegang tangan Aoi, mereka akhirnya mengangguk dengan ragu.
"Kalau begitu, hati-hati di jalan," kata salah satu gadis, meski ekspresinya masih penuh tanda tanya.
Aoi dan Riku segera membungkuk sopan, menarik Itsuki, dan dengan langkah cepat meninggalkan kerumunan.
Begitu mereka cukup jauh, Aoi mendesah lega. "Riku, ide itu benar-benar konyol. Tapi entah bagaimana berhasil."
Riku hanya mengangkat bahu sambil tersenyum kecil. "Yang penting kita keluar dari situasi itu, kan?"
Itsuki yang sedari tadi diam akhirnya bersuara. "Kak, kenapa aku jadi alasan?"
Aoi mengusap kepala Itsuki dengan lembut. "Maaf, Itsuki. Tapi kau adalah alasan terbaik yang kami punya."
Ketiganya melanjutkan perjalanan, meninggalkan Kaito, Souta, dan Ren yang masih asyik dalam kerumunan. Meski suasana hati mereka ringan, Aoi dan Riku tidak melupakan misi utama mereka—menemukan Ai.
Setelah puas memamerkan keahliannya di tengah arena, Kaito duduk di tepi lapangan, mengusap peluh di dahinya. Beberapa remaja Draconian bergabung, menciptakan suasana santai yang penuh tawa dan obrolan ringan. Topik mereka bervariasi, mulai dari sihir hingga pengalaman sehari-hari, membuat Kaito merasa diterima dan akrab dengan mereka.
Di tengah percakapan, seorang gadis Draconian dengan rambut panjang berwarna merah tua mendekat, memperkenalkan dirinya sebagai Lyra. "Kaito, apakah kau sibuk akhir-akhir ini?" tanyanya dengan senyum manis.
Kaito, yang langsung merasa tersanjung mendapat perhatian dari seorang gadis naga, balas tersenyum lebar. "Sibuk? Tidak juga! Ada sesuatu yang ingin kau ajak aku lakukan?"
Lyra tertawa kecil. "Aku ingin mengajakmu berkeliling. Ada beberapa tempat menarik yang mungkin kau suka."
Kaito hampir melompat kegirangan, tapi ia berhasil menahan diri. "Tentu saja! Aku sangat ingin melihat-lihat!" jawabnya dengan semangat yang sulit disembunyikan.
Namun, kegembiraan Kaito tiba-tiba terganggu oleh kesadaran mendadak. Ia menoleh ke sekeliling, menyadari bahwa Aoi, Riku, dan Itsuki tidak ada di dekatnya. Ia menggaruk kepala, merasa bersalah. "Ah, aku lupa… Kami sebenarnya sedang mencari Ai. Apa kau melihatnya?"
Lyra mengerutkan kening, tampak bingung. "Ai? Bukankah dia datang bersamamu?"
Kaito menggeleng cepat. "Dia yang berjanji akan datang ke sini. Tapi sepertinya dia tidak muncul."
Sebelum Lyra bisa menjawab, seorang gadis lain dengan perawakan pendek dan suara lembut, yang hampir tidak terdengar, menyela. "Aku… aku melihatnya tadi pagi…"
Kaito menoleh, mencoba menangkap kata-kata gadis itu. "Apa? Kau bilang melihat Ai? Siapa namamu?"
Gadis itu menjawab pelan, "Namaku Mira…"
Kaito, yang kesulitan mendengar, mendekat. "Ulangi sekali lagi, Mira. Apa yang kau lihat?"
Mira menarik napas dalam dan berbicara sedikit lebih keras. "Aku melihat Ai tadi pagi. Dia berjalan di kota bersama seorang pelayan. Aku melihatnya ketika mereka melintas di depan kios ibuku."
Kaito menatap Mira dengan mata berbinar. "Di mana itu? Kau tahu ke mana mereka pergi?"
Mira menggeleng pelan. "Aku tidak tahu pasti. Tapi kios ibuku ada di arah timur istana."
Mendengar itu, Kaito melompat berdiri, wajahnya berseri-seri. "Mira, kau harus mengantarku ke sana! Tolong!"
Mira sangat terkejut ketika Kaito tiba-tiba melompat kepadanya. Wajahnya memerah dan panik ketika bahunya di cengkeram oleh Kaito.
Mira tampak ragu sejenak, tapi Lyra menepuk bahunya dengan lembut. "Ayo, kita bantu dia. Tidak ada salahnya."
Akhirnya, Mira dan Lyra setuju untuk menemani Kaito. Dengan semangat yang membara, Kaito memimpin mereka keluar dari kerumunan, meninggalkan Souta dan Ren yang masih sibuk menikmati keramaian. Tanpa menoleh ke belakang, Kaito berseru, "Tunggu aku, Ai! Aku akan menemukanmu!"