Langit pagi di puncak Abyssal memancarkan cahaya lembut, seakan menyelimuti dunia dengan ketenangan. Udara dingin berhembus pelan, membawa aroma embun yang masih menggantung di dedaunan. Burung-burung kecil berkicau samar, melodi alami yang menjadi latar harmoni pagi itu. Di balkon kamar tamu, sisa kehangatan malam sebelumnya perlahan memudar, digantikan oleh suasana pagi yang damai.
Namun, keheningan itu segera terpecahkan.
"AI! KAU DI MANA?!" suara melengking Aoi menggema di seluruh ruangan, membuat dinding kamar seolah ikut bergetar.
Riku dan Itsuki langsung terbangun dari tidur mereka, wajah mereka penuh kebingungan. "Apa yang terjadi?!" seru Riku, matanya masih setengah tertutup.
"Ai menghilang!" jawab Aoi panik, sambil memeriksa bawah ranjang dan setiap sudut kamar.
Riku, yang baru saja sadar sepenuhnya, ikut bergabung dalam pencarian. "Dia tidak mungkin keluar tanpa bilang apa-apa! Jangan-jangan dia diculik!"
Para pelayan bergegas masuk ke dalam kamar setelah mendengar keributan itu. "Ada apa, Nona?" tanya salah satu pelayan, wajahnya penuh kekhawatiran.
"Ai menghilang! Cepat cari dia! Dia tidak mungkin pergi begitu saja!" seru Aoi dengan nada cemas.
Para pelayan dengan sigap memeriksa ruangan, tapi salah satu dari mereka segera berkata, "Mohon tenang, Nona. Nona Ai bangun sangat awal pagi tadi. Dia meminta diantar ke kamar kecil, lalu pergi keluar bersama pelayan dengan ceria. Kami yakin dia tidak dalam bahaya."
Ketiga orang itu langsung menghela napas lega, tapi wajah mereka berubah kesal.
"Bagaimana mungkin! Ai pergi bersama pelayan dan meninggalkan kita!" keluh Aoi sambil menangis palsu, memeluk Itsuki dengan penuh kesedihan.
"Benar-benar, dia bahkan tidak membangunkan kita! Apa dia tidak peduli lagi dengan perasaan kita?!" tambah Itsuki dengan nada menyedihkan, seolah mereka benar-benar terlupakan.
Riku menghela napas panjang, menatap mereka dengan ekspresi datar. "Baiklah, hentikan dramanya. Kalau kalian benar-benar kesal, ayo kita cari dia."
Mereka bertiga langsung bersemangat, suasana berubah drastis. Dengan penuh semangat, mereka bergegas mandi dan berdandan. Para pelayan membantu mereka bersiap, meskipun sesekali tersenyum kecil melihat tingkah laku para mereka yang dramatis.
Saat keluar dari kamar, mereka bertemu dengan para pria yang baru saja selesai sarapan.
"Selamat pagi!" sapa Kaito sambil melambaikan tangan. "Eh? Aneh sekali? Seperti ada yang kurang?"
Aoi mendengus. "Ai pergi bersenang-senang sendiri tanpa kami. Bisa kau percaya itu?"
Kaito mengangkat alis, lalu tersenyum kecil. "Hah? Kenapa bisa begitu? Kemarin dia bilang ingin bergabung dengan para Draconian remaja. Atau mungkin dia sudah pergi ke tempat itu karena terlalu bersemangat?"
Riku mengangguk. "Kalau begitu, ayo kita cari dia di sana."
Dengan semangat baru, mereka semua berangkat bersama, menyusuri jalan menuju tempat yang telah ditentukan kemarin. Meskipun suasana awal pagi itu penuh kekacauan, kini mereka berjalan dengan antusias, siap menemukan Ai dan menegurnya karena meninggalkan mereka.
Di sisi lain,
Langit pagi di Drakonia mulai cerah ketika Ai dan Hana melangkah menuju markas pusat militer. Jalanan kota Draconian yang megah perlahan berganti dengan jalan berbatu yang lebih kasar, menandakan mereka mendekati wilayah militer. Sesampainya di depan gerbang besar yang dijaga ketat oleh beberapa tentara berseragam zirah tempur, mereka dihentikan.
"Halt! Siapa kalian dan apa tujuan kalian di sini?" suara salah satu penjaga terdengar tegas, membuat Ai sedikit tegang.
Hana dengan tenang melangkah maju, memberi salam hormat. "Kami datang atas nama Ethereal Lands. Ini adalah Nona Ai, salah satu utusan resmi Ethereal Lands."
Ai langsung merasa wajahnya memanas. "U-utus... apa?" gumamnya pelan, merasa kikuk dengan gelar yang baru saja disebutkan Hana.
Para penjaga tampak tersentak kaget, mereka segera membungkuk dalam-dalam. "Kami mohon maaf, Nona! Kami tidak menyadarinya dari awal. Mohon maaf atas kelancangan kami!"
Ai melambaikan tangan panik. "T-tidak apa-apa! Tolong jangan terlalu formal seperti itu!"
Melihat wajah Ai yang memerah, Hana tersenyum kecil. "Sudah, mari kita lanjutkan. Tidak perlu khawatir, Nona Ai."
Setelah suasana mereda, para penjaga mengantar mereka ke titik keberangkatan. Untuk mencapai wilayah militer yang terletak di puncak gunung lain, mereka harus terbang menggunakan bantuan para penjaga yang berubah ke bentuk naga. Ai, yang belum pernah terbang di atas naga, tampak terpana sekaligus gugup.
"Pegang erat, Nona," ucap salah satu penjaga sebelum melesat ke udara.
Angin pagi yang dingin menerpa wajah Ai saat mereka melintasi lembah yang memisahkan kedua puncak. Pemandangan pegunungan dari ketinggian sungguh memukau, namun perjalanan terasa begitu cepat hingga mereka segera tiba di zona militer.
Hana menuntun Ai melewati lorong-lorong besar yang dipenuhi tentara Draconian. Suasana begitu sibuk, dengan tentara yang membawa zirah, mengasah senjata, dan berdiskusi dengan suara keras. Ai merasa dirinya kecil di tengah keramaian itu, tapi tetap mengikuti Hana dengan penuh rasa ingin tahu.
Setelah beberapa menit berjalan, mereka tiba di sebuah ruangan besar. Dari luar, terlihat sebuah kubus raksasa dengan sekat mekanik putih yang memisahkan bagian dalam laboratorium dari pintu utama. Dinding kaca tebal melindungi laboratorium, memungkinkan siapa pun melihat isi ruangan.
Ai terpana melihat interior laboratorium yang penuh dengan peralatan canggih, rak-rak buku, papan tulis yang dipenuhi tulisan aneh, dan meja-meja yang dipenuhi material, termasuk sisik naga dan gulungan kertas. Di tengah kesibukan itu, mata Ai tertuju pada sosok tinggi ramping dengan rambut putih panjang dan telinga runcing yang berdiri membelakangi mereka.
Dengan suara pelan, Ai bergumam, "Elf itu... cantik sekali, bahkan dari belakang."
Hana menahan tawa. "Semua elf memang cantik, tapi Elric adalah seorang pria."
Ai tertegun. "A-apa?!" Dia menoleh ke Hana dengan wajah memerah, lalu melirik ke arah Elric. "Dia tidak mendengarnya, kan?" bisiknya panik.
Hana tersenyum sambil mengalirkan sedikit mana ke bola energi di pintu. Pintu terbuka perlahan, dan Hana berkata dengan sopan, "Tuan Elric, kami membawa tamu dari Ethereal Lands."
Elric menoleh, menampilkan wajah yang begitu halus namun tegas. Matanya yang tajam namun lembut memandang ke arah mereka. Ai menundukkan kepalanya, masih terkejut dengan fakta bahwa sosok "cantik" itu ternyata adalah seorang pria.
Saat Elric berbalik, Ai masih tertunduk malu, tidak berani menatap langsung wajah elf yang ia kira adalah seorang wanita. Namun, suara Elric yang dalam dan menenangkan terdengar, memecah keheningan.
"Ah jadi ini dia tamu utusan dari Ethereal Lands, Ada urusan apa Nona menemuiku pagi-pagi seperti ini?" tanya Elric dengan nada ramah, meski ada sedikit kebingungan di wajahnya.
Ai dengan penuh semangat menoleh, siap menjawab. "Ah, sebenarnya aku..." Namun, begitu matanya bertemu dengan wajah Elric, kata-katanya terhenti seketika.
Wajah Elric benar-benar memukau. Rambut putih panjangnya jatuh dengan sempurna di kedua sisi wajahnya, berkilauan seperti sutra di bawah cahaya. Matanya yang tajam berwarna perak memancarkan kebijaksanaan dan ketenangan, seolah-olah ia bisa membaca jiwa seseorang hanya dengan sekali pandang. Hidungnya mancung dengan lekukan halus, dan bibirnya tipis dengan warna alami yang begitu memikat. Kulitnya, pucat sempurna seperti porselen, tanpa cela sedikit pun, mengingatkan pada keindahan pahatan dewa-dewi. Semua itu berpadu dengan postur tubuh tinggi dan ramping yang membuatnya tampak seperti model yang keluar dari dunia fantasi.
Dalam hati, Ai berbicara pada dirinya sendiri, "Mungkin siapa pun akan mengira aku telah kehilangan jati diriku sebagai seorang pria. Tapi, jika mereka berhadapan langsung dengan seorang elf seperti ini, aku yakin mereka akan setuju. Elf, baik wanita maupun pria, benar-benar mempesona melampaui batas akal manusia."
Namun, di luar pikirannya, Ai hanya berdiri kaku, mematung sambil terus memandangi Elric tanpa berkedip.
Hana yang berdiri di samping Ai mulai panik. "Nona Ai? Nona Ai! Anda baik-baik saja?" Hana menyenggol Ai, mencoba menyadarkannya dari keterpesonaan yang terlalu dalam.
Ai akhirnya tersadar, matanya berkaca-kaca. Ia menoleh ke Hana dan dengan suara lirih penuh kekaguman berkata, "Hana... aku baru saja melihat surga."
Hana hampir terjatuh mendengar pernyataan itu. Dengan panik, ia menopang Ai yang terlihat goyah karena terlalu terpesona. Elric yang sedari tadi bingung dengan reaksi Ai, akhirnya mendekat untuk membantu Hana.
"Apakah dia baik-baik saja?" tanya Elric, suaranya terdengar tulus.
"Dia hanya terlalu... kagum," jawab Hana dengan canggung, menghindari detail lebih jauh.
Dengan kerja sama mereka, Ai akhirnya dibaringkan di sofa kecil di sudut laboratorium. Setelah beberapa menit, Ai mulai merasa tenang, meskipun ia tetap menahan diri untuk tidak menatap wajah Elric secara langsung.
"Maafkan aku atas reaksi tadi," ucap Ai sambil menunduk, masih malu. "Aku tidak terbiasa melihat... seseorang seperti Anda."
Elric tersenyum tipis, senyum yang cukup membuat Ai merasa seperti dunia berhenti berputar sejenak. "Tidak apa-apa. Itu reaksi yang cukup umum, meskipun aku jarang bertemu tamu dari luar Drakonia."
Hana menambahkan dengan nada bercanda, "Nona Ai memang mudah terpesona. Tapi biasanya tidak separah ini."
Ai melirik tajam ke arah Hana, lalu kembali menunduk. "Jadi... Tuan Elric," Ai mencoba mengalihkan topik, "Anda benar-benar tinggal di sini untuk mempelajari pakaian Draconian? Bukankah itu pekerjaan yang sangat unik untuk seorang elf?"
Elric mengangguk. "Benar. Aku tertarik pada kombinasi sihir dan teknologi pakaian Draconian. Kemampuan pakaian Draconian memiliki potensi besar, tetapi untuk membuka potensi sepenuhnya, diperlukan penelitian mendalam dan teknik yang sangat spesifik. Itu sebabnya aku bekerja di Drakonia. Selain itu, aku suka tantangan."
Ai mencoba menahan rasa kagumnya, tetapi setiap kali Elric berbicara, suaranya yang tenang dan nada bicaranya yang lembut membuatnya semakin terpikat. "Itu... luar biasa," ucap Ai pelan, masih berusaha menghindari tatapan langsung ke wajah Elric.
Melihat Ai mulai lebih tenang, Elric kembali ke pertanyaan awalnya. "Jadi, Nona Ai, apa sebenarnya tujuan Anda menemuiku pagi ini?"
Setelah Elric menanyakan tujuan kedatangan Ai, akhirnya Ai dapat teralihkan, "Ah tentang itu. Aku ingin tahu tentang teknologi rune dan bagaimana pengaplikasiannya dalam membuat pakaian khusus Draconian."
Elric tersenyum tipis, lalu mulai menjelaskan dengan sabar. "Dasar dari teknologi rune adalah logika. Bayangkan sebuah saluran bercabang, jika kita menempatkan pemicu di cabang itu, kita dapat memindahkan aliran yang melewati saluran tersebut. Namun, tentu saja, membuat pakaian transformasi naga tidak sesederhana itu."
Elric mengambil selembar kertas dan menggambar sebuah diagram sederhana. "Setiap rune adalah representasi dari mekanisme sihir yang kompleks. Mereka bekerja seperti pintu yang mengatur aliran mana. Sistem mekanisme rune sangat presisi dan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dipahami."
Ai memperhatikan dengan saksama, dan dalam hatinya, ia tersentak. "Ini... ini sangat mirip dengan konsep gerbang logika di dunia pemrograman!" pikirnya, semakin penasaran dengan teknologi rune.
"Aku ingin melihat contoh alatnya," pinta Ai dengan antusias.
Elric mengangguk dan berjalan ke salah satu rak besar di laboratorium, mengambil sebuah artifak kecil berbentuk bola kristal dengan rune bercahaya biru di permukaannya. "Ini adalah salah satu artifak yang sudah disempurnakan. Di dalamnya terdapat mekanisme sihir yang dapat mengidentifikasi kekuatan sihir seseorang. Ketika mana dimasukkan, artifak ini akan menunjukkan tingkat kekuatan sihir dalam lima kelas, dari A hingga E."
Ai yang semakin penasaran meminta izin untuk mencobanya. Elric menyerahkan artifak itu sambil mengamati.
Saat Ai menyentuh artifak dan mengalirkan mana ke dalamnya, ia merasakan sesuatu yang berbeda. Bukan hanya sensasi menyentuh benda fisik, tetapi juga jaringan-jaringan penghubung yang bercabang, seperti akar yang mengarahkan aliran mana ke jalur tertentu. Di dalam pikirannya, ia melihat pola-pola itu membentuk sistem yang teratur, seperti algoritma komputer yang familiar baginya.
"Ini... ini seperti pemrograman komputer! Rune adalah kode, dan aku bisa memahaminya!" pikir Ai dengan mata berbinar.
Dengan penuh semangat, Ai melompat dari tempatnya dan membungkuk dalam-dalam di depan Elric. "Tuan Elric! Tolong jadikan aku muridmu! Atau asistenmu! Atau bahkan pelayan pribadimu! Aku ingin belajar teknologi rune!"
Elric terkejut, mundur selangkah sambil mengangkat tangan. "Tunggu, tunggu! Aku tidak berani lancang menerima seorang utusan Ethereal Lands sebagai murid. Itu terlalu besar tanggung jawabnya!"
Namun, Ai tidak menyerah. Dengan mata bersinar penuh tekad, ia memohon lagi. "Aku benar-benar ingin belajar! Aku akan melakukan apa saja!"
Elric mencoba menjelaskan. "Teknologi rune itu sangat rumit. Bahkan untuk memahami dasarnya saja bisa memakan waktu bertahun-tahun."
"Aku tidak peduli!" jawab Ai dengan penuh keyakinan.
"Aku memiliki banyak hal yang harus dilakukan. Tidak ada waktu untuk mengajar!"
"Aku bisa belajar hanya dengan melihat!" Jawab Ai dengan antusias.
Elric menghela napas. "Aku terlalu sibuk. Aku bahkan tidak punya waktu untuk beristirahat."
Ai tersenyum lebar. "Kalau begitu, aku akan menjadi asistenmu. Aku akan membantu meringankan pekerjaanmu. Aku juga bisa merawatmu!"
Elric terlihat semakin kewalahan. Ai berlutut dan meringkuk di lantai, memohon dengan suara penuh emosi. "Guru—tidak, maksudku Master! Anda juga boleh memperlakukanku sesuka hati Anda, asalkan aku bisa belajar teknologi rune, kumohon!"
Hana, yang berdiri di dekat mereka, menahan tawa sambil menutupi mulutnya. "Nona Ai, Anda benar-benar serius, ya?"
Elric akhirnya menghela napas panjang, menyerah pada kegigihan Ai. "Baiklah, aku akan mempertimbangkannya. Tapi hanya jika Raja Drakonia dan Pemimpin Ethereal Lands mengizinkannya."
Mendengar itu, Ai melompat kegirangan, memeluk kedua tangan Hana dengan penuh semangat. "Hana! Dia menerimaku! Aku akan belajar teknologi rune!"
Hana tersenyum lembut. "Selamat, Nona Ai. Sepertinya tekad Anda akhirnya membuahkan hasil."
Elric hanya bisa menggelengkan kepala sambil memijat keningnya, merasa bahwa beban hidupnya tidak bisa lebih berat dari ini.