Chapter 32 - Hana

Setelah acara perjamuan yang penuh dengan kejutan dan kesan, rombongan dari Ethereal Lands diantar menuju gedung tamu yang telah dipersiapkan untuk mereka. Untuk mencapainya, mereka harus melintasi sebuah jembatan besar yang menghubungkan istana dengan gedung tamu.

Jembatan itu sangat megah, terbuat dari batu hitam berkilauan dengan ukiran naga di sepanjang sisi pagar. Lebarnya cukup untuk empat naga besar berjalan berbaris, memberikan kesan kokoh dan agung. Di bawah jembatan, lereng pegunungan Abyssal tampak sangat terjal, dengan jurang yang seakan tak berujung.

"Jembatan ini benar-benar luar biasa," ujar Kaito sambil menatap ke bawah. "Tapi aku rasa aku tidak akan mencoba melihat terlalu lama ke bawah..."

"Aku setuju," jawab Souta sambil menepuk bahunya. "Fokus saja ke depan. Lagipula, pemandangan langit sore ini jauh lebih menarik."

Langit di puncak gunung Abyssal memancarkan warna jingga keemasan, dengan awan yang tampak seperti lukisan. Dari ketinggian ini, mereka bisa melihat hamparan pegunungan yang tak berujung, dengan hutan hijau gelap dan sungai yang mengalir seperti pita perak.

"Bisa tinggal di tempat seperti ini setiap hari pasti menyenangkan," gumam Aoi sambil menghirup udara segar.

"Tapi mungkin kita akan bosan kalau terlalu lama," balas Riku sambil tertawa kecil. "Kita kan butuh lebih dari sekadar pemandangan indah."

Setelah menempuh perjalanan yang terasa singkat karena keindahan di sekitar mereka, mereka akhirnya tiba di gedung tamu. Bangunan itu berdiri megah, terbuat dari batu hitam dan dihiasi dengan ornamen emas berbentuk naga. Pilar-pilarnya tinggi menjulang, dan pintu masuknya dihiasi dengan ukiran naga yang tampak hidup.

Saat mereka masuk, para pelayan sudah menunggu dengan hormat, siap melayani kebutuhan mereka.

"Selamat datang di gedung tamu. Kami telah menyiapkan kamar terbaik untuk Anda semua," ujar salah satu pelayan dengan ramah.

Mereka kemudian ditunjukkan ke kamar masing-masing. Namun, seperti biasa, Ai, Aoi, Riku, dan Itsuki memutuskan untuk berbagi kamar.

"Kamar ini benar-benar besar!" seru Riku dengan mata berbinar.

Ruangan itu lebih mirip rumah daripada kamar. Ada ruang santai yang dilengkapi dengan sofa empuk dan meja kecil, kamar mandi besar dengan bak mandi yang terbuat dari batu marmer, serta ruang makan pribadi dengan meja panjang. Di balkon, terdapat taman kecil dengan bunga-bunga berwarna cerah dan gazebo untuk bersantai.

"Ini lebih besar dari sekedar kamar," ujar Itsuki sambil tertawa kecil.

"Dan langit-langitnya," tambah Ai sambil menatap ke atas. "Tinggi sekali. Rasanya seperti kita jadi anak kecil."

Para pelayan yang bertugas di kamar mereka juga selalu siaga, siap memenuhi kebutuhan kapan saja.

Setelah mengagumi kamar mereka, keempatnya memutuskan untuk beristirahat penuh. Perjalanan panjang dan acara yang padat membuat tubuh mereka terasa lelah.

"Aku tidak percaya kita bisa tidur di tempat seperti ini," ujar Aoi sambil meregangkan tubuh di sofa.

"Yah, setidaknya kita bisa menikmati malam ini dengan tenang," jawab Ai sambil berdiri di dekat jendela, menikmati udara malam yang sejuk.

"Besok pasti akan lebih menarik lagi," tambah Riku sambil merebahkan diri di tempat tidur besar yang terasa sangat empuk.

Malam itu, mereka habiskan dengan berbicara ringan sebelum akhirnya tertidur, menikmati kenyamanan yang diberikan oleh para Draconian di negeri yang megah ini.

Paginya,

Ai perlahan membuka mata. Kegelapan kamar masih pekat, hanya diterangi sedikit cahaya dari lentera kecil di sudut ruangan. Ia menghela napas panjang, merasa tubuhnya sudah cukup istirahat.

"Aku benar-benar bangun lebih awal dari biasanya," gumamnya pelan.

Saat mencoba turun dari ranjang, Ai mendapati dirinya terkepung oleh teman-temannya yang tidur mengelilinginya. Aoi memeluk lengannya, Itsuki meringkuk di sisi lain, dan Riku entah bagaimana berhasil menjadikan kakinya sebagai bantal.

"Serius, kalian ini seperti anak kucing," bisiknya sambil berusaha bergerak pelan agar tidak membangunkan mereka.

Setelah perjuangan kecil untuk keluar dari "kepungan," Ai akhirnya berhasil berdiri. Ia melangkah keluar kamar dan mendekati salah satu pelayan yang berjaga di lorong.

"Permisi," panggil Ai dengan suara lembut.

Pelayan itu, seorang wanita muda dengan rambut cokelat gelap yang diikat rapi, langsung menunduk hormat. "Ya, Nona. Ada yang bisa saya bantu?"

"Aku ingin ke kamar kecil. Bisa tolong antar aku?"

"Tentu saja. Silakan ikuti saya," jawab pelayan itu sambil tersenyum ramah.

Setelah menyelesaikan urusannya, Ai mendapati dirinya tidak lagi mengantuk. Ia menatap pelayan itu yang masih menunggunya.

"Apa kamu bisa buatkan aku teh hangat? Dan sajikan di balkon. Aku ingin menikmati pagi," pinta Ai.

"Segera, Nona," jawab pelayan itu dengan cekatan.

Tak lama, pelayan itu datang dengan nampan berisi teh hangat dan beberapa cangkir tambahan. Ia mengatur meja kecil di balkon yang menghadap pemandangan luar biasa indah. Langit mulai memancarkan warna lembut keemasan, tanda matahari akan segera terbit.

"Terima kasih," ucap Ai sambil menuang teh ke dalam cangkir.

"Sama-sama, Nona. Jika ada yang Anda butuhkan lagi, saya ada di sini," jawab pelayan itu sambil menunduk.

Ai mengangkat alisnya. "Kau tidak perlu terlalu formal. Duduklah. Temani aku minum teh pagi ini."

Pelayan itu tampak terkejut. "T-tapi, Nona... saya tidak pantas..."

"Sudah kubilang, duduklah. Aku tidak menggigit," ujar Ai sambil tersenyum. "Lagipula, minum teh sendirian itu membosankan."

Pelayan itu akhirnya menurut dan duduk dengan canggung di seberang meja.

"Namamu siapa?" tanya Ai sambil menyeruput tehnya.

"Saya Hana, Nona," jawab pelayan itu pelan.

"Aku Ai. Senang bertemu denganmu, Hana," jawab Ai sambil mengulurkan tangan.

Hana ragu sejenak, tapi akhirnya menjabat tangan Ai. "Senang bertemu dengan Anda juga, Nona Ai."

"Jadi, Hana, sudah berapa lama kau bekerja di sini?" tanya Ai, mencoba memulai percakapan.

"Baru sekitar lima tahun, Nona," jawab Hana sambil tersenyum. "Saya sebenarnya berasal dari desa kecil di pegunungan ini."

"Benarkah? Apa desa itu masih ada?"

Hana mengangguk. "Masih, meski tidak sebesar dulu. Kebanyakan penduduknya pindah ke kota untuk bekerja."

Ai mengangguk pelan. "Hmm, aku bisa mengerti. Tapi pasti menyenangkan tumbuh di tempat seperti ini. Pegunungan, udara segar, dan pemandangan luar biasa."

"Memang, Nona. Tapi saya juga senang bisa bekerja di sini. Banyak hal baru yang saya pelajari," jawab Hana dengan antusias.

"Seperti apa?" Ai bertanya sambil menyandarkan tubuhnya di kursi.

"Seperti bertemu orang-orang hebat dari berbagai tempat, termasuk Anda dan rombongan Anda," jawab Hana sambil tersenyum kecil.

Ai tertawa kecil. "Aku tidak tahu apakah kami bisa disebut hebat. Tapi aku senang kau berpikir begitu."

Percakapan mereka berlanjut dengan santai. Ai bertanya tentang kehidupan sehari-hari di Drakonia, sementara Hana dengan senang hati menjelaskan. Mereka tertawa bersama ketika Hana bercerita tentang naga-naga kecil yang suka usil, dan Ai membalas dengan cerita lucu tentang Kaito yang selalu sial.

"Ah, aku senang bisa mengobrol denganmu, Hana. Kau membuat pagi ini terasa lebih menyenangkan," ujar Ai sambil menuang teh untuk Hana.

"Terima kasih, Nona Ai. Saya juga senang bisa berbicara dengan Anda. Anda benar-benar berbeda dari yang saya bayangkan," jawab Hana dengan tulus.

"Aku harap itu berbeda dalam artian baik," balas Ai sambil tertawa.

Mereka terus mengobrol hingga langit berubah menjadi cerah, dan suara burung mulai terdengar di kejauhan. Pagi itu menjadi awal yang hangat dan ceria bagi Ai, ditemani oleh seorang teman baru yang menyenangkan.

Ai mengaduk tehnya perlahan, lalu menatap Hana dengan mata penuh rasa ingin tahu. "Hana, aku jadi penasaran. Kemarin aku terlalu lelah untuk berpikir, tapi sekarang aku ingin tahu lebih banyak tentang kalian, Draconian."

Hana tersenyum ramah. "Tentu saja, Nona Ai. Apa yang ingin Anda ketahui?"

"Perubahan bentuk naga kalian. Itu luar biasa! Kapan kalian mulai bisa berubah menjadi wujud manusia?" tanya Ai sambil menopang dagunya dengan tangan.

"Oh, itu biasanya saat kami mencapai usia 150 tahun, Nona. Itu adalah masa remaja bagi kami," jawab Hana dengan nada santai.

Ai terkejut. "150 tahun itu masa remaja? Jadi berapa umurmu sekarang, Hana?"

Hana tertawa kecil. "Saya baru berumur 210 tahun, Nona. Masih muda untuk ukuran Draconian."

Ai mengangguk sambil berpikir. "Hmm... Jadi kalian berubah dari telur ke naga kecil, lalu akhirnya bisa berubah jadi manusia. Ngomong-ngomong, kalian lahir dari rahim ibu atau menetas dari telur?"

"Tentu saja dari telur, Nona," jawab Hana dengan bangga.

Ai langsung membayangkan sesuatu yang kocak, menggambarkan sekumpulan Hana yang muncul dari telur di sarang, lalu mencicit seperti anak burung yang kelaparan. "Hana... aku ingin sekali melihatnya. Lucunya..!"

Hana terkikik mendengar komentar itu. "Lucu? Saya rasa bayi naga tidak akan terlihat lucu, Nona. Kami lebih mirip cicak kecil waktu itu."

Ai tertawa manis. "Aku tetap yakin itu lucu. Bayangkan saja, Hana kecil mengintip dari dalam telur, matanya besar dan penasaran."

Mereka tertawa bersama. Setelah suasana sedikit tenang, Ai menatap Hana dengan penuh rasa ingin tahu. "Ngomong-ngomong soal pakaian, kenapa pakaian wanita Draconian sangat, yah? Aku melihatnya kemarin di kota."

Hana menghela napas, seolah sudah sering menjelaskan ini. "Pakaian kami, Nona, terbuat dari sisik kami sendiri. Setiap tahun, sisik naga yang lecet akan rontok dan diganti dengan yang baru. Namun, Draconian wanita seperti saya memiliki sisik yang sangat terawat, jadi jarang sekali ada sisik yang rontok."

Ai mengangguk, mencoba memahami. "Jadi kalian tidak punya cukup bahan untuk membuat pakaian lengkap?"

"Tepat sekali, Nona. Selain itu, kualitas sisik harus sangat bagus untuk dijadikan pakaian. Pembuatannya pun memakan waktu yang lama dan membutuhkan sumber daya yang mahal. Hanya penyihir tingkat tinggi dengan spesialisasi dalam pembuatan rune yang bisa melakukannya," jelas Hana dengan tenang.

"Kalau begitu, siapa yang menyiapkan pakaian itu untuk kalian?" tanya Ai penasaran.

"Pakaian kami diimpor dari negara-negara lain yang telah mengembangkan teknologi rune. Produksinya sangat terbatas, karena kami Draconian tidak terlalu pandai dalam sihir. Tapi untungnya ada satu elf yang mau bekerja di Drakonia. Dialah yang bertanggung jawab dalam perawatan pakaian kami," jawab Hana sambil tersenyum.

Ai langsung terkejut. "Elf? Kau bilang elf? Di sini?!"

Hana mengangguk. "Ya, Nona. Namanya Elric. Dia biasanya berada di laboratoriumnya, mengkaji dan mempelajari bahan pakaian kami."

Ai tampak semakin penasaran. "Aku ingin bertemu dengannya. Aku belum pernah bertemu elf sebelumnya!"

Hana tertawa kecil melihat antusiasme Ai. "Kalau begitu, saya bisa mengantar Anda ke laboratoriumnya nanti. Tapi sekarang, mari nikmati teh kita dulu."

Ai menatap pakaian Hana dengan penasaran. "Jadi pakaianmu ini juga terbuat dari sisik naga?"

Hana menggeleng sambil tersenyum. "Oh, tidak, Nona. Pakaian seragam para pelayan hanyalah pakaian biasa. Jadi jika kami berubah bentuk, pakaian ini pasti akan robek. Tapi jangan khawatir, kami para naga sudah terbiasa telanjang sepanjang hidup kami."

Ai tertawa mendengar jawaban ceria Hana. "Kau benar-benar jujur, ya, Hana. Aku suka itu."

"Terima kasih, Nona Ai," jawab Hana dengan senyum lebar.

Ai berdiri dari kursinya. "Baiklah, Hana. Kalau begitu, mari kita pergi ke laboratorium Elric sekarang. Aku sudah tidak sabar untuk bertemu dengannya."

"Baik, Nona. Silakan ikuti saya," jawab Hana dengan sopan sambil berdiri.

Mereka berjalan menuju laboratorium, bercanda sepanjang jalan. Ai merasa pagi itu benar-benar menyenangkan, ditemani oleh Hana yang ceria dan ramah.