Setelah kejadian di perpustakaan, Mael merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Indra keenamnya, yang sebelumnya hanya sekadar bisikan-bisikan bayangan, kini semakin kuat. Dunia yang ia lihat kini tampak lebih jelas, lebih berwarna, tapi dengan nuansa yang lebih gelap. Suara-suara dari entitas gaib yang sebelumnya hanya samar-samar terdengar kini mulai menjadi bisikan yang bisa dia pahami.
Mael mulai melihat arwah-arwah dengan jelas, bahkan di siang hari. Ketika ia berjalan di kampus, bukan hanya iblis yang kini terlihat, tetapi juga roh-roh manusia yang belum berpindah ke dunia lain. Beberapa dari mereka tampak bingung, berkeliaran tanpa tujuan, sementara yang lain tampak menyimpan dendam, menatap manusia dengan amarah membara.
Pada awalnya, kemampuan ini memberinya rasa takut yang mendalam. Saat dia berjalan melalui lorong kampus, dia bisa melihat roh-roh melintas, beberapa di antaranya begitu dekat sehingga ia bisa merasakan hawa dingin mereka menembus kulitnya. Namun, semakin lama, semakin terbiasa Mael dengan kehadiran mereka. Meski begitu, ada bagian dari dirinya yang merasa terasing dari dunia nyata. Tidak ada seorang pun yang bisa melihat apa yang ia lihat, tidak ada yang memahami beban yang ia pikul.
Hari itu, setelah kuliah selesai, Mael duduk di bangku taman kampus, berusaha menenangkan pikirannya. Angin sore bertiup lembut, tetapi hawa di sekitarnya terasa berat dengan kehadiran makhluk-makhluk gaib. Di seberang taman, dia melihat seorang wanita muda, atau setidaknya, sesuatu yang menyerupai wanita. Wajahnya pucat, matanya hampa, dan pakaiannya usang, seolah-olah dia berasal dari zaman yang berbeda.
Wanita itu memperhatikan Mael dari kejauhan, matanya yang kosong seolah menatap langsung ke dalam jiwanya. Dia tahu bahwa dia bukan manusia lagi, tetapi roh yang terjebak di antara dunia. Wanita itu mulai berjalan perlahan mendekatinya, dan setiap langkahnya membuat suhu udara di sekitar Mael semakin dingin.
Mael merasa jantungnya berdegup kencang. Indra keenamnya bekerja dengan lebih kuat dari sebelumnya. Sekarang, bukan hanya makhluk-makhluk seperti Astaroth yang ia lihat, tapi juga roh-roh biasa yang berkeliaran di sekitar manusia tanpa disadari.
Wanita itu akhirnya berdiri tepat di depannya. Tubuhnya tembus pandang, dan Mael bisa merasakan kesedihan mendalam yang memancar dari dirinya. "Kau... bisa melihatku?" suaranya hampir seperti bisikan angin.
Mael mengangguk perlahan, meskipun bibirnya kaku. "Ya, aku bisa melihatmu."
Roh wanita itu tampak terkejut. "Sudah lama... tidak ada yang bisa melihatku." Air mata mengalir di pipi tembus pandangnya. "Aku terjebak di sini... tidak bisa pergi. Aku... aku tidak tahu mengapa."
Mael ingin menolong, tapi dia tidak tahu caranya. Selama ini, dia hanya melihat, bukan berinteraksi dengan roh. Tapi sekarang, dengan indra keenamnya yang lebih kuat, dia mulai merasakan bahwa mungkin dia bisa lebih dari sekadar melihat. Mungkin ada cara untuk membantu mereka yang terjebak di dunia ini.
"Kenapa kau terjebak?" tanya Mael dengan hati-hati.
Wanita itu tampak bingung, seolah-olah tidak sepenuhnya mengingat masa lalunya. "Aku... aku tidak ingat. Hanya... kegelapan... dan rasa sakit."
Tiba-tiba, Mael merasakan sensasi aneh di kepalanya. Seperti ada sesuatu yang menariknya ke dalam pikiran wanita itu. Gambar-gambar kabur mulai muncul dalam benaknya, gambar tentang wanita ini saat masih hidup, berjalan di sepanjang jalanan kota yang sama beberapa dekade yang lalu, sebelum suatu kecelakaan tragis merenggut nyawanya. Dia terjebak dalam lingkaran kematian, tidak bisa menerima kenyataan bahwa hidupnya telah berakhir.
Mael tersentak keluar dari penglihatan itu, napasnya terengah-engah. Penglihatannya kembali fokus pada roh wanita yang berdiri di depannya, masih menunggu jawaban.
"Kau meninggal dalam kecelakaan," kata Mael dengan suara tenang. "Dan sekarang kau terjebak karena kau tidak bisa menerima kenyataan itu."
Roh itu tampak terpukul, namun ada secercah pemahaman di matanya yang kosong. "Apakah... apakah aku bisa pergi sekarang?"
Mael tidak tahu pasti, tapi dia merasakan ada sesuatu yang berubah. "Aku... aku tidak yakin, tapi kau harus melepaskannya. Terimalah bahwa kau sudah tiada."
Wanita itu menatapnya sejenak, sebelum akhirnya senyum kecil terukir di wajahnya yang pucat. "Terima kasih..." katanya pelan, dan perlahan tubuhnya mulai memudar, hingga akhirnya lenyap, seolah-olah dia akhirnya menemukan kedamaian.
Mael terdiam, terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Dia tidak hanya melihat roh, tapi juga membantu mereka menemukan jalan keluar. Indra keenamnya kini tidak hanya memberinya kemampuan untuk melihat kegelapan, tetapi juga memberi dia kekuatan untuk mempengaruhinya.
Namun, sebelum Mael bisa merenungi lebih jauh tentang apa yang baru saja terjadi, dia mendengar suara langkah kaki mendekat. Ketika dia menoleh, Seraphina sudah berdiri di dekatnya, menatapnya dengan pandangan serius.
"Kau semakin terhubung dengan dunia gaib," katanya. "Kekuatanmu semakin tumbuh. Tapi dengan setiap kebangkitan, bahaya semakin mendekat."
Mael mengangguk. "Aku bisa merasakannya. Bukan hanya iblis yang aku lihat sekarang, tapi juga roh-roh yang terjebak."
Seraphina duduk di sampingnya, wajahnya serius namun tenang. "Kau harus berhati-hati. Indra keenammu adalah anugerah, tapi juga bisa menjadi kutukan. Semakin kuat kau, semakin banyak entitas yang akan tertarik padamu, bukan hanya roh, tapi juga makhluk lain yang lebih berbahaya."
Mael menatap cakrawala, merasakan kekuatan baru yang tumbuh dalam dirinya, tapi juga berat tanggung jawab yang menyertainya. "Aku tahu. Tapi aku tidak punya pilihan lain. Ini adalah bagian dari takdirku, kan?"
Seraphina mengangguk. "Dan takdirmu lebih besar dari yang kau bayangkan, Mael. Dunia manusia dan dunia gaib semakin mendekat. Waktunya hampir tiba. Dan kau adalah kunci untuk keduanya."
Mael tahu bahwa jalan yang akan dia tempuh semakin sulit. Indra keenamnya adalah pedang bermata dua, alat untuk membantunya dalam pertempuran, tapi juga sumber bahaya yang semakin besar. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah dia siap untuk menghadapi apa yang akan datang?
*****
Setelah kejadian di taman, Mael semakin menyadari bahwa dunianya kini terbelah. Di satu sisi, dia masih seorang mahasiswa biasa yang harus menghadapi ujian, tugas, dan kehidupan sosial di kampus. Di sisi lain, dia semakin terhubung dengan dunia gaib, tempat makhluk-makhluk kegelapan berkeliaran bebas. Dan dengan setiap hari yang berlalu, batas antara kedua dunia itu semakin kabur.
Suatu malam, ketika dia berada di apartemennya, Mael merasakan getaran aneh di seluruh tubuhnya. Ada sesuatu yang menariknya keluar. Di luar, langit tampak gelap, lebih gelap dari biasanya, seolah-olah malam itu membawa pesan yang berbeda. Dia tahu ada sesuatu yang salah, tapi tidak tahu apa.
Saat dia melangkah keluar dari pintu apartemen, udara malam terasa tegang, seolah-olah ada kekuatan yang sedang mengintai. Dia menelusuri lorong, langkahnya semakin cepat saat nalurinya membimbingnya ke arah bahaya yang tidak terlihat.
Tiba-tiba, di ujung jalan yang sepi, sesosok pria berdiri dengan tubuh tegap. Mael tahu siapa pria itu, meskipun dia belum pernah bertemu dengannya secara langsung. Sosok itu adalah Astaroth, iblis yang selama ini hanya muncul dalam mimpinya. Tapi kali ini, dia hadir secara fisik, menyamar sebagai pria tampan dengan tatapan menusuk yang mampu membuat siapa pun merasa takut.
"Mael," suara Astaroth terdengar dalam keheningan malam. "Kau akhirnya mulai mengerti siapa dirimu."
Mael berhenti, tubuhnya tegang. "Apa yang kau inginkan dariku?"
Astaroth tersenyum kecil, seolah-olah pertanyaan Mael adalah sesuatu yang sudah dia duga. "Kau adalah kunci antara dua dunia. Dunia manusia dan dunia gaib, kedua dunia itu semakin dekat, dan saat waktunya tiba, kau akan menjadi penguasa di antara mereka."
Mael menggelengkan kepalanya. "Aku tidak ingin menjadi penguasa apa pun. Aku hanya ingin hidup normal."
"Normal?" Astaroth tertawa pelan. "Tidak ada yang normal tentang dirimu, Mael. Garis keturunanmu membawa warisan yang jauh lebih besar daripada yang bisa kau bayangkan. Dan semakin kau menolaknya, semakin banyak yang akan kau rugikan."
Mael merasakan amarah membakar di dalam dirinya. "Aku tidak peduli dengan warisan itu! Aku tidak akan membiarkan kalian menggunakan kekuatanku untuk kepentingan kegelapan."
Mendengar itu, Astaroth berhenti tertawa. Tatapan matanya berubah dingin, penuh dengan ancaman yang tak terucapkan. "Kau pikir kau bisa melawan kami? Dunia ini sudah mulai runtuh, dan kau tidak akan bisa menghentikan apa yang sudah ditetapkan."
Seketika, udara di sekitar mereka berubah. Getaran aneh kembali terasa, dan Mael merasakan kekuatan Astaroth semakin nyata, seolah-olah dunia gaib mulai meresap ke dalam realitas. Mael memejamkan mata, berusaha memusatkan indra keenamnya yang kini semakin kuat.
Dan tiba-tiba, dari balik bayangan di sekitar mereka, sosok-sosok lain mulai muncul—iblis-iblis dengan wajah menakutkan, siap untuk menyerang. Mereka mendekati Mael, matanya bersinar merah seperti api yang membara.
Tapi kali ini, Mael tidak merasa takut seperti dulu. Dia tahu bahwa kekuatannya tidak hanya terletak pada kemampuannya melihat mereka, tapi juga pada hubungannya dengan dunia yang tidak terlihat. Dia bisa merasakan energi mengalir melalui tubuhnya, sebuah kekuatan yang dia belum sepenuhnya mengerti, tapi cukup untuk membuatnya sadar bahwa dia lebih dari sekadar pengamat.
Ketika salah satu iblis melompat ke arahnya, Mael mengangkat tangannya secara naluriah, dan sebelum dia menyadarinya, sebuah cahaya terang muncul dari telapak tangannya, menahan serangan itu di udara. Iblis itu terlempar kembali dengan raungan menyakitkan, membuat Astaroth sedikit tersenyum puas.
"Aku tahu kau memiliki kekuatan itu," katanya pelan. "Tapi itu hanya permulaan. Kau masih harus belajar mengendalikan kekuatan itu, Mael. Dan saat kau siap, aku akan ada di sini."
Dengan ucapan itu, Astaroth dan iblis-iblis lainnya memudar dalam kegelapan, meninggalkan Mael sendirian di jalan yang kini kembali sunyi. Mael berdiri diam, masih terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Dia tahu bahwa ini bukan sekadar pertemuan singkat ini adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar.
Dia menatap tangannya yang tadi memancarkan cahaya. Indra keenamnya tidak hanya membantunya melihat arwah dan iblis, tapi juga memberinya kekuatan yang belum pernah dia bayangkan sebelumnya. Namun, kekuatan itu juga datang dengan risiko yang besar.
Saat dia kembali ke apartemennya, pikiran Mael penuh dengan pertanyaan. Siapa dia sebenarnya? Apa yang diinginkan Astaroth darinya? Dan bagaimana dia bisa mengendalikan kekuatan yang sekarang tumbuh di dalam dirinya?
Ketika dia masuk ke dalam apartemennya, Seraphina sudah menunggunya di ruang tamu, wajahnya penuh dengan kecemasan. "Kau bertemu Astaroth, kan?" tanyanya dengan suara rendah.
Mael mengangguk, masih merasa linglung. "Dia tahu tentang kekuatanku. Dan sekarang aku bisa... aku bisa melawan mereka."
Seraphina memandangnya dengan serius. "Itu berarti kau semakin dekat dengan takdirmu. Tapi kau harus ingat, kekuatan ini bukan hanya untuk melawan. Ada konsekuensinya."
Mael tahu bahwa apa pun yang menantinya di masa depan, tidak akan mudah. Tapi sekarang, dengan kekuatan yang baru dia sadari, dia mulai merasa siap. Dunia gaib dan dunia manusia semakin terhubung, dan dia berada di tengah-tengah pertarungan untuk menentukan nasib kedua dunia itu.
Tapi satu hal yang pasti, dia tidak akan membiarkan dirinya jatuh ke dalam kegelapan.