Pagi mulai menyingsing di atas kastil tua, memberikan cahaya lembut yang menyapu reruntuhan dan menenangkan atmosfer suram di sekitar. Mael duduk di pinggir jendela besar yang sudah retak, menatap matahari yang terbit perlahan di cakrawala. Sinar itu membawa perasaan lega yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Portal telah ditutup, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dunia terasa tenang.
Namun, di tengah kedamaian itu, ada sebuah kekosongan yang mengganjal. Dia tahu bahwa meskipun mereka telah menang melawan Astaroth dan pasukan iblis lainnya, ada sesuatu yang masih belum selesai. Dunia gaib yang dia lihat, makhluk-makhluk yang menghantui alam manusia, semuanya adalah bagian dari kenyataan baru yang tak bisa dia tinggalkan begitu saja.
"Bagaimana perasaanmu?" Seraphina datang mendekat, suaranya lembut, tapi masih terdengar ada beban dalam nada bicaranya.
Mael menghela napas panjang. "Aku tidak tahu. Harusnya aku lega. Kita berhasil menutup portal, menghentikan invasi iblis. Tapi aku merasa ini belum sepenuhnya berakhir."
Seraphina mengangguk pelan, duduk di sampingnya. "Aku tahu apa yang kau rasakan. Dunia gaib dan dunia manusia terlalu terhubung. Meskipun portal itu sudah tertutup, kekuatan di baliknya masih ada. Dan selama itu ada, kita mungkin akan terus menghadapi ancaman."
Mael mengangguk setuju, memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. "Apakah aku harus terus hidup seperti ini? Melihat hal-hal yang tak bisa dilihat orang lain, melawan kekuatan yang lebih besar dari manusia biasa?"
Seraphina terdiam sejenak sebelum menjawab. "Kau telah diberi anugerah atau mungkin kutukan dengan kemampuan ini. Tapi ingat, kau tidak sendiri. Aku akan selalu ada di sisimu, dan bersama-sama, kita bisa menemukan cara untuk menyeimbangkan kedua dunia ini."
Mael tersenyum kecil. Meskipun jalan di depannya masih gelap dan penuh dengan misteri, setidaknya dia tidak akan menghadapinya sendirian. Seraphina, yang kini lebih dari sekadar pelindung, telah menjadi bagian dari hidupnya yang tak terpisahkan.
---
Beberapa hari berlalu, dan kehidupan Mael perlahan kembali ke rutinitasnya. Kuliahnya di universitas terasa seperti kehidupan yang terputus dari realitas yang baru saja ia hadapi. Namun, setiap kali ia berada di kelas, pikirannya melayang ke peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Terkadang dia melihat bayang-bayang di sudut-sudut ruangan, tapi kini dia tidak lagi ketakutan. Sebaliknya, dia mulai menerima keberadaan dunia gaib itu.
---
Suatu malam, Mael kembali ke apartemennya setelah kelas larut. Jalan-jalan kota terlihat sepi, dan angin dingin berhembus kencang. Ketika dia membuka pintu apartemennya, dia merasakan kehadiran yang tak asing lagi.
"Aku tahu kau akan datang," kata Mael tanpa berbalik.
Dari kegelapan ruangan, sosok Astaroth muncul kembali. Tapi kali ini, tidak ada tanda-tanda kekerasan atau ancaman dalam auranya. Dia berdiri di sana, dengan wujud manusia tampannya, menatap Mael dengan pandangan penuh misteri.
"Kau memang kuat, Mael," kata Astaroth dengan nada rendah. "Tapi kau masih belum mengerti semuanya."
Mael menoleh, menatap mata iblis itu dengan tenang. "Aku tahu ini belum berakhir. Tapi apa yang sebenarnya kau inginkan?"
Astaroth tersenyum tipis. "Aku bukan musuhmu, Mael. Aku adalah bagian dari dunia ini, sama sepertimu. Apa yang kau lihat selama ini hanya bagian kecil dari gambaran yang lebih besar."
Mael mendekat, mempertahankan ketenangannya. "Jadi apa sebenarnya yang kau inginkan? Kekuasaan? Kendali atas kedua dunia?"
Astaroth tertawa pelan. "Aku mencari keseimbangan, Mael. Kau dan aku, kita adalah dua sisi dari koin yang sama. Aku tidak bisa ada tanpa kau, dan kau tidak bisa sepenuhnya menjadi dirimu tanpa memahami kekuatan yang ada di dalam dirimu."
Mael merasakan kata-kata Astaroth menggema dalam pikirannya. Mungkin benar, bahwa ada lebih banyak hal yang ia belum pahami tentang dirinya dan tentang takdir yang telah menantinya.
"Aku akan mencarimu lagi, Mael," kata Astaroth, suaranya semakin pudar saat tubuhnya perlahan menghilang ke dalam bayangan. "Dan saat kau siap, kau akan tahu apa yang harus dilakukan."
Dan dengan itu, Astaroth menghilang, meninggalkan Mael sendirian di apartemennya yang gelap. Tapi kali ini, Mael tidak merasa takut atau terancam. Dia tahu bahwa masa depannya akan penuh dengan tantangan, tapi dia juga tahu bahwa dia memiliki kekuatan untuk menghadapi apa pun yang datang.
"Ini baru permulaan," bisik Mael pada dirinya sendiri. Dan dia tahu bahwa petualangannya di dunia antara manusia dan makhluk gaib baru saja dimulai.
------
Hari-hari setelah pertarungan melawan Astaroth terasa tenang bagi Mael, tetapi hatinya tetap tidak sepenuhnya damai. Meskipun dunianya tidak lagi dihantui oleh iblis-iblis yang berkeliaran, pikirannya sering kali kembali kepada Seraphina, sosok yang tak hanya membantunya dalam pertempuran tetapi juga menjadi pendamping yang setia di sisi terkelam hidupnya.
Setiap malam, mereka sering berbicara panjang lebar di apartemen Mael. Percakapan mereka awalnya hanya tentang dunia gaib, kekuatan portal, atau ancaman yang mungkin masih bersembunyi di balik bayang-bayang. Namun, seiring waktu, pembicaraan mereka menjadi lebih personal. Mereka mulai berbicara tentang masa lalu, tentang perasaan terasing yang mereka rasakan sebelum takdir mempertemukan mereka.
Suatu malam, setelah mereka selesai membahas sisa-sisa energi portal yang mungkin masih ada, Seraphina duduk di sofa Mael, wajahnya tampak lebih rileks daripada sebelumnya. Dia menatap Mael, yang duduk di lantai dengan buku-buku kuno terbuka di hadapannya, dan senyum lembut muncul di wajahnya.
"Kau tahu, Mael, ketika kita pertama kali bertemu, aku tidak pernah membayangkan bahwa kita akan menjadi sedekat ini," kata Seraphina pelan, suaranya hampir seperti bisikan yang melayang di udara malam.
Mael berhenti membaca dan menoleh padanya. Dia bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam nada suara Seraphina malam itu, lebih lembut, lebih hangat. "Aku juga tidak menyangka," jawab Mael sambil tersenyum kecil. "Tapi aku bersyukur kita bisa saling mendukung. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kau tidak ada."
Seraphina tersenyum lebar, tetapi ada ketegangan di matanya. Dia menundukkan kepalanya sejenak sebelum akhirnya berbicara lagi. "Terkadang, aku merasa... terikat padamu, Mael. Tidak hanya karena takdir atau pertempuran ini. Aku merasa ada sesuatu yang lebih."
Kata-kata Seraphina menghentikan Mael. Dia menatap gadis itu dengan mata penuh tanya, menyadari bahwa hubungan mereka telah berkembang jauh lebih dalam daripada sekadar rekan dalam pertempuran. Ada sesuatu yang tumbuh di antara mereka, sesuatu yang lebih dari sekadar kerja sama atau persahabatan.
Mael merasa jantungnya berdegup lebih cepat, tapi dia mencoba tetap tenang. "Aku juga merasakannya," jawabnya dengan suara rendah, hampir tidak percaya bahwa dia mengatakannya. "Semua yang kita lalui bersama... membuatku sadar betapa pentingnya kau bagiku."
Seraphina menatap Mael, mata hijaunya berkilauan dalam cahaya lampu yang redup. Ada kehangatan dalam pandangannya yang membuat Mael merasa terseret ke dalam jurang perasaan yang tak pernah ia alami sebelumnya.
Keheningan melingkupi ruangan, hanya terdengar bunyi halus dari angin yang menghembuskan tirai. Seraphina berdiri perlahan, mendekati Mael. Saat mereka semakin dekat, Mael merasakan aura lembut yang terpancar dari tubuh Seraphina. Rasanya hangat, nyaman, dan menenangkan. Saat dia berada tepat di depan Mael, mereka saling menatap dalam-dalam, mata mereka berbicara lebih banyak daripada kata-kata yang terucap.
"Seraphina..." Mael mulai bicara, tetapi kata-katanya tersangkut di tenggorokan. Dia tidak tahu bagaimana mengungkapkan perasaannya. Tapi sebelum dia bisa melanjutkan, Seraphina meraih tangan Mael, jari-jarinya menyentuh dengan lembut.
"Kita sudah melalui banyak hal bersama," kata Seraphina dengan suara yang nyaris berbisik. "Aku tidak tahu bagaimana masa depan kita, atau apa yang akan kita hadapi, tapi aku tahu satu hal... aku tidak ingin melalui semuanya tanpa kau di sisiku."
Perasaan yang sudah lama terpendam di dalam hati Mael akhirnya terungkap. Dia merasakan desakan yang kuat untuk meraih Seraphina dan mengatakan bahwa dia juga merasakan hal yang sama. Bahwa di antara semua ketakutan, kekacauan, dan pertempuran, satu hal yang membuatnya terus bertahan adalah kehadiran Seraphina.
Dengan lembut, Mael menarik Seraphina ke dalam pelukannya. Mereka berdiri diam, merasakan kehangatan satu sama lain, merasakan detak jantung yang sinkron. Keheningan di antara mereka bukanlah kekosongan, melainkan momen yang penuh dengan makna, momen di mana mereka saling memahami tanpa perlu bicara.
"Seraphina," Mael berbisik di telinga gadis itu, "aku juga merasakannya. Lebih dari yang bisa aku ungkapkan."
Seraphina mengangkat kepalanya dan menatap Mael dalam-dalam. Bibirnya menyunggingkan senyum lembut, dan tanpa berkata apa-apa lagi, mereka berdua tenggelam dalam keheningan penuh perasaan, tahu bahwa perasaan yang berkembang di antara mereka tidak akan mudah diabaikan.
Namun, di balik semua itu, Mael juga menyadari satu hal: perasaan ini, meskipun manis, juga membawa beban. Dunia yang mereka hadapi penuh dengan bahaya, dan ikatan mereka hanya akan membuat mereka semakin rentan. Tapi di saat itu, Mael tidak peduli. Untuk pertama kalinya, dia membiarkan dirinya merasakan kebahagiaan yang telah lama hilang dalam hidupnya.
Malam itu, di bawah langit kota yang tenang, hubungan Mael dan Seraphina tumbuh lebih dalam, memperkuat ikatan yang tidak hanya akan membantu mereka menghadapi kegelapan, tetapi juga memberikan alasan baru untuk terus bertarung.