Chereads / Pangeran Kegelapan / Chapter 19 - Kembalinya Dr. Alaric

Chapter 19 - Kembalinya Dr. Alaric

Malam terasa semakin sunyi di apartemen Mael setelah momen yang mereka lalui. Mael dan Seraphina duduk bersama di sofa, terbungkus dalam keheningan yang nyaman, namun penuh dengan perasaan baru yang belum pernah mereka eksplorasi sebelumnya. Angin malam berdesir lembut dari jendela yang sedikit terbuka, membawa hawa dingin yang tak menggoyahkan kehangatan di antara mereka.

"Apakah kau pernah memikirkan masa depan?" Seraphina bertanya tiba-tiba, suaranya lembut, namun pertanyaannya menusuk seperti renungan dalam yang tidak mudah dijawab.

Mael menoleh ke arahnya, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Sejujurnya, masa depan terasa seperti sesuatu yang jauh dan kabur. Dengan ancaman dari dunia gaib yang terus menghantui, dan pengetahuannya bahwa kekuatan portal mungkin masih ada di suatu tempat, masa depan baginya selalu tampak tidak pasti, selalu tertutupi oleh bayang-bayang kegelapan.

"Entahlah," jawab Mael dengan jujur. "Aku belum banyak memikirkannya. Rasanya... sulit membayangkan masa depan ketika ada begitu banyak hal yang tidak kita mengerti."

Seraphina mengangguk pelan, tapi matanya tetap tertuju pada Mael. "Kita sudah melewati banyak hal bersama. Apa kau tidak merasa ingin tahu ke mana semua ini akan membawa kita?"

Mael menatap mata hijau Seraphina yang dalam, dan dia bisa melihat ketulusan di dalamnya, kerentanan yang jarang sekali ditunjukkan oleh gadis itu. Dia tidak hanya berbicara tentang dunia gaib atau ancaman yang mereka hadapi. Dia berbicara tentang mereka, tentang hubungan mereka, tentang apa yang akan terjadi setelah semua ini.

"Aku ingin tahu," jawab Mael akhirnya, suaranya tenang tapi tegas. "Aku ingin tahu ke mana semua ini akan membawa kita, Seraphina. Tapi aku juga tahu bahwa jalan di depan tidak akan mudah."

Seraphina menghela napas dalam-dalam, kemudian duduk lebih dekat kepada Mael. "Aku sudah siap menghadapi apa pun yang datang, Mael. Aku hanya ingin kau tahu bahwa apa pun yang terjadi, aku akan selalu ada untukmu. Kita sudah terikat oleh takdir, tapi ini lebih dari itu.Aku,,"

Dia berhenti sejenak, seakan ragu untuk melanjutkan. Mael menatapnya dengan sabar, menunggu kata-kata yang tampaknya sulit keluar.

"Aku... peduli padamu lebih dari yang mungkin seharusnya," lanjut Seraphina akhirnya. "Lebih dari sekadar rekan atau pelindung. Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri lagi."

Kata-kata itu menggema dalam hati Mael, dan dia merasakan dadanya menghangat. Perasaan yang selama ini dia coba abaikan akhirnya tak bisa lagi ditahan. Mael menyentuh tangan Seraphina yang dingin tapi lembut, memegangnya erat, seolah mengatakan bahwa dia juga merasakan hal yang sama.

"Seraphina," katanya dengan suara rendah, tapi penuh keyakinan. "Aku juga merasakan hal yang sama. Mungkin kita berada di tengah kegelapan, tapi kau adalah satu-satunya cahaya yang membuatku tetap bertahan. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi aku tahu bahwa aku ingin kau tetap di sisiku."

Mata Seraphina berkilauan saat mendengar kata-kata Mael, dan dia menatapnya dengan penuh emosi. "Aku juga ingin tetap di sisimu, Mael. Apa pun yang terjadi, kita akan hadapi bersama."

Mereka terdiam sejenak, merasakan kedekatan yang semakin intens. Tak ada lagi jarak di antara mereka, baik secara fisik maupun emosional. Hubungan yang selama ini terbangun melalui pertempuran, ketakutan, dan harapan kini berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tak bisa diabaikan lagi.

Mael merasakan detak jantungnya semakin cepat saat Seraphina menatapnya dengan pandangan yang penuh kasih. Dia tahu bahwa ini bukan hanya tentang melindungi satu sama lain dari bahaya dunia gaib. Ini tentang sesuatu yang lebih manusiawi, sesuatu yang lebih intim.

Dan dalam keheningan malam itu, di bawah bintang-bintang yang samar terlihat di langit kota, Mael dan Seraphina berbagi sebuah ciuman pertama yang lembut, namun penuh makna. Momen itu terasa seperti sebuah janji, janji bahwa apa pun yang terjadi, mereka akan selalu saling mendukung, bersama dalam menghadapi kegelapan yang mungkin masih menanti di masa depan.

---

Hari-hari berikutnya berlalu dengan cepat. Mael dan Seraphina semakin dekat, dan hubungan mereka berkembang lebih dari sekadar rekan dalam pertarungan. Di kampus, Mael mulai menyadari bahwa dunianya tidak lagi terfokus hanya pada kuliah dan tugas-tugas akademik. Firasat akan sesuatu yang lebih besar terus membayangi, tetapi kehadiran Seraphina di sisinya membuat segalanya terasa lebih ringan.

Di waktu-waktu senggang, mereka berbagi cerita tentang masa lalu masing-masing. Seraphina bercerita tentang hidupnya sebelum terlibat dalam konflik dunia gaib, tentang kesepiannya sebagai pelindung tanpa siapa pun untuk bersandar. Sementara Mael menceritakan masa lalunya yang dipenuhi perasaan terasing, selalu merasa berbeda dari orang lain, meskipun tidak tahu mengapa sampai kemampuan melihat dunia gaib terungkap.

Perasaan di antara mereka terus tumbuh, dan Mael menemukan dirinya merasa lebih terhubung dengan Seraphina daripada siapa pun yang pernah ia temui sebelumnya. Tapi di balik semua itu, ada sesuatu yang selalu mengganjal di pikirannya, fakta bahwa hubungan mereka dibentuk oleh kekuatan di luar kendali mereka. Dunia gaib masih mengintai, dan Mael tahu bahwa kedamaian yang mereka rasakan saat ini mungkin tidak akan bertahan selamanya.

Suatu malam, setelah hari yang panjang di kampus, Mael dan Seraphina duduk di atap gedung apartemennya, menatap bintang-bintang yang bersinar redup di atas. Angin dingin berhembus, tapi Mael merasa hangat dengan Seraphina di sisinya.

"Apa menurutmu kita akan selalu seperti ini?" tanya Seraphina tiba-tiba, memecah keheningan malam.

Mael menatapnya, matanya penuh keraguan. "Aku ingin percaya bahwa kita akan selalu bersama, tapi aku tahu kita belum selesai menghadapi semua ini. Dunia gaib tidak akan tinggal diam."

Seraphina menatap langit, seolah mencari jawaban di antara bintang-bintang. "Aku tahu. Tapi apapun yang terjadi, aku akan selalu memilih untuk berada di sisimu, Mael."

Mael merasakan hatinya menghangat mendengar kata-kata itu. Dia tahu bahwa apa pun yang terjadi di masa depan, dia tidak akan pernah sendirian lagi. Mereka berdua, bersama-sama, akan menghadapi apa pun yang datang, baik itu kekuatan dari dunia gaib atau tantangan dari dunia manusia.

Malam itu, Mael menyadari bahwa di tengah semua kegelapan, dia telah menemukan sesuatu yang jauh lebih berharga, cinta yang tulus dari Seraphina, dan ikatan yang tak akan mudah diputuskan.

----

Pagi itu di kampus terasa berbeda. Udara lebih dingin dari biasanya, dan atmosfer di sekitar terasa lebih berat. Mael berjalan menuju ruang kelas, masih memikirkan percakapan terakhirnya dengan Seraphina di atap apartemen. Mereka semakin dekat, dan perasaan itu semakin nyata setiap harinya. Namun, di balik perasaan hangat yang baru dia temukan, Mael merasa ada sesuatu yang tak beres.

Saat dia melangkah melewati koridor universitas, bisikan-bisikan samar mulai terdengar di telinganya. Dia berhenti sejenak, memicingkan mata, berusaha fokus pada suara itu. Sebagai seseorang yang sekarang terbiasa dengan dunia gaib, dia bisa merasakan perubahan kecil di udara. Sesuatu sedang terjadi.

Sesampainya di depan kelas, dia melihat Sophie, salah satu temannya, berdiri di sana, terlihat gelisah. Matanya bergerak cepat seolah mencari sesuatu atau seseorang.

"Mael," panggilnya dengan suara serak, "Kau sudah dengar?"

Mael mengerutkan kening. "Dengar apa?"

Sophie menelan ludah dan mendekatkan suaranya. "Dr. Alaric. Dia kembali."

Mael merasa seolah dunia di sekitarnya berhenti sejenak. Dr. Alaric? Bukankah dia sudah tewas dalam pertarungan dengan para iblis? Setelah Astaroth mengungkapkan bahwa Alaric telah menjadi alat kekuatan kegelapan, Mael mengira pria itu sudah lenyap dari dunia ini, sebuah korban dari ambisinya sendiri. Tapi jika dia benar-benar kembali...

"Bagaimana mungkin?" tanya Mael, mencoba menyembunyikan rasa takut yang mulai menggerogoti pikirannya.

"Seseorang melihatnya tadi pagi di perpustakaan fakultas," jawab Sophie dengan suara bergetar. "Dia terlihat... berbeda. Tapi aku yakin itu dia."

Mael segera merasakan energi aneh yang menyelimuti suasana pagi itu. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia segera melangkah pergi, meninggalkan Sophie di belakang, dan menuju perpustakaan. Jika benar Dr. Alaric kembali, itu hanya berarti satu hal: ancaman yang jauh lebih besar tengah menanti.

---

Perpustakaan fakultas berada di sayap barat kampus, tempat yang jarang dikunjungi mahasiswa kecuali mereka yang benar-benar serius belajar. Mael memasuki ruangan besar yang dipenuhi rak-rak buku, suasana di dalam terasa sunyi, namun bukan sunyi yang biasa. Ada ketegangan yang menggantung di udara.

Dia berjalan perlahan di antara rak-rak, merasakan kehadiran sesuatu yang familiar namun tidak menyenangkan. Setiap langkahnya terasa berat, seolah sesuatu menariknya kembali, tapi rasa penasaran dan kewaspadaannya mendorongnya maju.

Di tengah ruangan, di depan jendela besar yang memandang keluar ke halaman kampus, dia melihat sosok itu, Dr. Alaric. Dia berdiri dengan punggung menghadap Mael, mengenakan mantel hitam yang panjang, berbeda dari pakaian profesornya yang dulu. Rambutnya sedikit lebih panjang, tubuhnya lebih tegap, tapi aura yang terpancar darinya tidak salah lagi, itu adalah Alaric.

"Dr. Alaric," panggil Mael, suaranya tegang tapi jelas.

Pria itu berbalik perlahan. Wajahnya masih seperti yang Mael ingat, tapi ada sesuatu yang berubah. Mata Alaric terlihat lebih gelap, lebih tajam, seolah-olah ada kegelapan yang bersembunyi di balik tatapannya.

"Mael," Alaric menyapa dengan nada tenang tapi dingin. "Aku sudah lama menunggu pertemuan ini."

Mael mengepalkan tangannya, mencoba menahan perasaan tidak nyaman yang mulai merasuk. "Bagaimana kau bisa kembali? Kau seharusnya sudah mati."

Dr. Alaric tersenyum tipis, seolah-olah dia menganggap pertanyaan itu terlalu sederhana. "Kematian hanyalah ilusi, Mael. Kau seharusnya sudah tahu itu. Apa yang terjadi padaku bukan akhir, melainkan permulaan baru."

Mael melangkah lebih dekat, matanya tidak pernah lepas dari Dr. Alaric. "Apa yang kau inginkan?"

"Apa yang selalu kuinginkan," jawab Alaric, suaranya rendah namun menggema di ruangan itu. "Kekuatan. Penguasaan atas dunia gaib. Dan sekarang, aku punya lebih banyak dari itu."

Mael menelan ludah. Dia bisa merasakan energi jahat yang kuat memancar dari pria itu, jauh lebih besar daripada yang dia rasakan sebelumnya. "Jadi, kau bekerja sama dengan iblis. Itu sebabnya kau kembali."

"Aku tidak bekerja sama dengan mereka," Alaric mengoreksi dengan nada lembut namun dingin. "Aku memanfaatkan mereka. Sama seperti aku akan memanfaatkan kekuatanmu, Mael."

Mael terkejut mendengar pernyataan itu. "Apa maksudmu?"

"Kau masih belum mengerti, ya?" Dr. Alaric tersenyum lebih lebar, matanya bersinar dengan kegelapan. "Kau adalah kunci, Mael. Kunci untuk membuka pintu menuju kekuatan yang lebih besar. Kekuatan yang tidak bisa dijangkau oleh manusia biasa."

Mael merasa darahnya membeku mendengar itu. Kunci? Kekuatan? Semua ini terasa seperti jebakan. Dan tiba-tiba, dia ingat simbol kuno yang ia lihat sebelumnya, serta sejarah kelam keluarganya yang terhubung dengan dunia gaib.

"Simbol itu..." Mael bergumam, potongan-potongan informasi mulai menyatu di kepalanya. "Ini semua sudah direncanakan sejak lama, bukan? Keluargaku, aku... kita semua terlibat dalam sesuatu yang lebih besar."

Dr. Alaric mengangguk pelan. "Keluargamu adalah bagian dari perjanjian kuno, Mael. Perjanjian yang melibatkan dunia gaib. Kau bukan hanya pewaris kemampuan itu, kau adalah kunci untuk membuka jalan bagi kekuatan yang lebih besar. Dan aku akan memastikan bahwa kekuatan itu menjadi milikku."

Mael mundur selangkah, menyadari bahwa Dr. Alaric tidak hanya kembali untuk menghancurkannya, tetapi juga untuk memanfaatkan kekuatan yang ada dalam dirinya.

"Kau tidak akan berhasil," kata Mael dengan tegas, meskipun di dalam hatinya dia tahu bahwa ancaman ini jauh lebih besar dari yang dia duga.

Dr. Alaric tersenyum lagi, senyum yang penuh dengan kemenangan. "Kita akan lihat, Mael. Kita akan lihat."

Sebelum Mael bisa bereaksi, Dr. Alaric menghilang begitu saja, seolah dia bukan makhluk dari dunia ini. Mael berdiri terpaku di tempatnya, hatinya berdegup kencang. Kembalinya Dr. Alaric hanya menandakan satu hal, yaitu pertempuran besar sedang mendekat, dan kali ini, taruhannya lebih tinggi dari sebelumnya.