Chereads / Pangeran Kegelapan / Chapter 15 - Pertemuan Tak Terduga

Chapter 15 - Pertemuan Tak Terduga

Setelah kehadiran Astaroth di tengah perkuliahan, Mael tahu bahwa waktu semakin sempit. Dunia di sekitarnya mulai terasa semakin rapuh, seperti kain tipis yang hampir sobek. Dia tidak bisa lagi menutup mata terhadap ancaman yang semakin nyata.

Sepulang dari kampus, Mael berjalan dengan langkah cepat menuju apartemennya. Di tengah jalan, dia bisa merasakan energi-energi gelap yang semakin aktif. Makhluk-makhluk gaib berkeliaran di sudut-sudut kota, sebagian memperhatikannya dengan penuh rasa ingin tahu, sebagian lagi dengan ancaman yang terselubung.

Ketika dia tiba di apartemen, Seraphina sudah menunggunya. "Kau terlihat kacau," katanya sambil melipat tangannya di dada.

"Astaroth muncul di tengah kuliahku," jawab Mael, masih terengah-engah. "Dia tahu aku menemukan rahasia keluargaku. Dia bilang semua ini baru permulaan."

Seraphina terlihat khawatir. "Itu artinya waktunya semakin dekat. Astaroth dan iblis lainnya sedang mempercepat rencana mereka. Mereka ingin membuatmu menyerah atau memanfaatkanmu untuk membuka portal sepenuhnya."

"Bagaimana aku bisa menghentikan mereka?" Mael bertanya dengan nada frustasi. "Aku merasa seperti pion di tengah permainan besar ini."

Seraphina menatapnya dalam-dalam. "Kau lebih dari sekadar pion, Mael. Kau adalah kunci. Dan itulah sebabnya mereka begitu tertarik padamu. Tapi kau juga punya kekuatan untuk melawan mereka, lebih dari yang kau sadari."

Sebelum Mael bisa menjawab, tiba-tiba pintu apartemennya bergetar keras, seolah ada sesuatu di luar yang berusaha masuk. Seraphina langsung berdiri, siaga. Mael merasakan hawa dingin yang menyusup ke dalam ruangan, tanda bahwa makhluk dari dunia gaib berada di sekitar mereka.

Pintu itu tiba-tiba terbuka dengan sendirinya. Di ambang pintu berdiri seorang pria. Tingginya lebih dari rata-rata, dengan rambut hitam legam yang jatuh di bahunya. Wajahnya tampan, namun mata hitamnya memancarkan kegelapan yang tidak manusiawi. Mael tahu siapa dia bahkan sebelum dia membuka mulutnya yaitu Astaroth dalam wujud manusia.

Seraphina segera menarik Mael ke belakang, tangannya terangkat seolah siap bertarung. Namun Astaroth hanya tersenyum tipis, seolah menikmati ketegangan yang terjadi.

"Apa kau benar-benar berpikir bisa melarikan diri dari ini, Mael?" tanya Astaroth dengan suara lembut yang penuh tipu daya. "Aku bisa merasakannya, kekuatanmu semakin bangkit. Tapi kau belum sepenuhnya menyadari potensi yang kau miliki."

Mael merasakan getaran aneh di dalam dirinya, kekuatan yang perlahan-lahan mendesak keluar, hampir tidak bisa dikendalikan. "Apa maumu, Astaroth?" tanyanya, berusaha menjaga suaranya tetap tenang.

Astaroth melangkah lebih dekat, tapi Seraphina tidak bergerak sedikit pun, tetap berjaga di antara mereka. "Aku hanya ingin memberimu pilihan, Mael. Kau bisa terus melawan, membuat semuanya lebih sulit untuk dirimu sendiri... atau kau bisa bergabung denganku. Bayangkan kekuatan yang bisa kita miliki bersama. Kau bisa menjadi penguasa, bukan sekadar pejalan antara dua dunia."

Mael mendengar suara itu, seperti bisikan dalam pikirannya yang mencoba merayunya. Tapi dia juga bisa merasakan bahaya di balik tawaran itu, kegelapan yang menyelimuti setiap kata yang diucapkan Astaroth.

"Aku tidak tertarik menjadi penguasa kegelapan," jawab Mael dengan tegas. "Kau hanya ingin memanfaatkanku untuk membuka portal dan membawa kehancuran."

Astaroth tertawa kecil. "Kau masih terlalu naif, Mael. Dunia ini sudah hancur tanpa aku harus melakukan apa pun. Manusia menyebarkan kehancuran dengan sendirinya. Aku hanya mempercepat apa yang sudah tak terhindarkan."

Seraphina akhirnya angkat bicara, suaranya tegas dan tajam. "Pergi, Astaroth. Mael bukan milikmu, dan dia tidak akan menjadi bagian dari permainanmu."

Astaroth memandangi Seraphina dengan senyum sinis. "Oh, Seraphina, selalu begitu berani. Kau tahu bahwa kau tidak bisa melindunginya selamanya, bukan? Pada akhirnya, dia harus memilih."

Astaroth mundur perlahan, tapi sebelum dia pergi, dia menatap Mael sekali lagi. "Ingatlah ini, Mael. Setiap langkah yang kau ambil hanya membawamu lebih dekat padaku. Kau akan datang padaku, cepat atau lambat."

Dan dengan itu, Astaroth menghilang ke dalam kegelapan, meninggalkan apartemen dengan suasana yang mencekam. Mael terdiam sejenak, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih kencang.

Seraphina mendekatinya, menatapnya dengan penuh kekhawatiran. "Kita harus meningkatkan latihanmu. Ini belum selesai."

Mael mengangguk pelan, masih memikirkan kata-kata Astaroth. Dia tahu bahwa iblis itu benar dan pada akhirnya, dia harus memilih. Tapi dia juga tahu bahwa apapun yang terjadi, dia tidak akan membiarkan dirinya dikuasai oleh kegelapan. Tidak peduli seberapa besar kekuatan yang ditawarkan.

----

Malam itu, Mael tidak bisa tidur. Suara Astaroth terus bergaung di kepalanya, mengusik ketenangannya. Tapi lebih dari itu, kekuatan yang baru saja terbangun dalam dirinya terus bergolak. Indra keenamnya semakin tajam, membuatnya bisa merasakan kehadiran makhluk-makhluk gaib dengan lebih jelas.

Dia duduk di dekat jendela apartemennya, menatap keluar ke kegelapan malam. Di kejauhan, bayangan-bayangan aneh melintas, seperti sosok-sosok arwah yang berkeliaran di antara gedung-gedung kota. Tapi yang paling mengganggu adalah suara-suara dan bisikan halus yang selalu ada di ujung pendengarannya, seolah-olah makhluk-makhluk itu mencoba berkomunikasi dengannya.

"Aku tidak bisa terus begini," bisik Mael pada dirinya sendiri.

Seraphina muncul dari dapur, membawa dua cangkir teh hangat. "Kau harus belajar mengendalikannya," katanya sambil menyerahkan satu cangkir pada Mael. "Indra keenammu akan semakin kuat seiring waktu. Tapi kau harus berhati-hati, Mael. Kekuatan ini bisa membuatmu kehilangan akal jika kau tidak mengendalikannya."

Mael mengangguk, menyesap teh dengan pelan. "Aku bisa merasakan mereka, Seraphina. Makhluk-makhluk itu... mereka ada di mana-mana. Apa mereka mencoba berbicara denganku?"

Seraphina duduk di sebelahnya, menatap keluar jendela. "Beberapa dari mereka, mungkin. Tapi banyak dari mereka hanya tersesat, terperangkap di antara dunia. Kau bisa melihat mereka karena indra keenammu terbangun sepenuhnya sekarang. Tapi itu juga berarti mereka bisa melihatmu."

Mael terdiam, memikirkan kata-kata itu. "Jadi, aku tidak hanya melihat mereka. Mereka tahu aku ada."

Seraphina mengangguk pelan. "Itulah sebabnya kau harus belajar melindungi dirimu. Dunia gaib tidak sepenuhnya baik atau jahat, tapi ada kekuatan yang sangat kuat di sana. Dan semakin kuat indra keenammu, semakin besar risiko yang kau hadapi."

Mael merasakan ketegangan di dalam dirinya, antara rasa penasaran yang mendalam dan ketakutan akan apa yang akan terjadi. "Aku tidak bisa mundur sekarang, kan?"

"Tidak," jawab Seraphina lembut. "Tapi kau tidak sendiri, Mael. Aku akan membantumu melewati ini."

Malam itu, Mael akhirnya tidur dengan lebih tenang. Namun, di dalam hatinya, dia tahu bahwa perang antara cahaya dan kegelapan sudah dimulai. Indra keenamnya adalah berkah dan kutukan. Kekuatan yang bisa menyelamatkannya, atau menghancurkannya jika dia tidak bisa mengendalikannya. Tapi apapun yang terjadi, dia bertekad untuk melawan.

------

Keesokan harinya, Mael memutuskan untuk kembali menjalani rutinitas kuliah seperti biasa. Namun, dia tahu bahwa hari-harinya tak lagi sama. Indra keenamnya yang telah bangkit membuat setiap sudut kota, setiap wajah yang ia temui, memiliki dimensi lain. Wajah-wajah itu tak lagi hanya milik manusia biasa; sebagian dari mereka diikuti oleh bayangan gaib, arwah, atau energi aneh yang Mael belum sepenuhnya mengerti. Beberapa dari makhluk itu tampak acuh, melayang atau berdiri di latar belakang, sementara yang lain menatap Mael, seolah tahu bahwa dia bisa melihat mereka.

Saat dia tiba di kampus, suasana yang biasa menjadi lebih suram. Mahasiswa yang lalu-lalang tak menyadari kehadiran makhluk-makhluk dari dunia lain yang terus mengawasi. Mael merasakan getaran di udara, kegelapan yang merembes lebih dalam ke dunia manusia. Semakin jelas bahwa ada sesuatu yang besar akan terjadi, dan dia harus bersiap.

Di kelas, dosennya membahas konsep filsafat eksistensialisme, tentang pencarian makna hidup di tengah kekosongan. Namun, bagi Mael, pelajaran itu terasa terlalu dekat dengan kenyataan yang dia hadapi. Dia bukan hanya mencari makna hidup, tapi mencoba memahami eksistensi di antara dua dunia. Dunia manusia dan dunia gaib kini saling bertautan di matanya, dan dia berada di tengah-tengahnya.

Seusai kuliah, Kian menghampiri Mael dengan ekspresi khawatir. "Kau terlihat pucat, Mael. Kau baik-baik saja?"

Mael mencoba tersenyum, meskipun dalam hatinya dia tahu Kian tidak akan pernah benar-benar mengerti. "Hanya kurang tidur," jawab Mael singkat, berusaha mengalihkan pembicaraan.

Kian mengerutkan alis, tapi tidak mendesak lebih jauh. "Jika ada yang bisa kubantu, kau tahu di mana mencariku."

Mael mengangguk, lalu berpamitan dengan Kian dan menuju ke perpustakaan. Namun, sebelum dia sampai di pintu, suara lain menginterupsi langkahnya.

"Mael," sebuah suara berat dan tenang memanggil namanya.

Mael berbalik dan melihat Dr. Alaric, dosen yang sudah tewas namun kini tampak berdiri di hadapannya seperti biasa. Mael terdiam sejenak, antara kaget dan penasaran. Dr. Alaric seharusnya tidak ada di sini. Ia menghilang setelah kematiannya, dan kini tiba-tiba muncul kembali seolah tak ada yang terjadi.

"Dr. Alaric..." Mael berbisik, matanya menyipit penuh keraguan.

"Ada banyak hal yang belum kau pahami, Mael," kata Dr. Alaric, matanya menatap tajam ke arah Mael. "Bukan hanya tentang keluargamu, tetapi juga tentang dunia ini. Kau pikir kau sudah tahu banyak, tapi kenyataannya, kita semua adalah bagian dari permainan yang jauh lebih besar."

Mael mencoba membaca emosi dari wajah Dr. Alaric, tapi tidak ada apapun selain ketenangan yang mengerikan. "Bagaimana... kau masih hidup? Aku melihatmu mati. Bagaimana mungkin kau ada di sini?"

"Ada hal-hal di dunia ini yang tidak bisa dijelaskan oleh logika sederhana," jawab Dr. Alaric dengan nada penuh teka-teki. "Dan aku bukanlah apa yang kau pikirkan."

Mael ingin bertanya lebih lanjut, namun sebelum dia sempat bicara, suasana di sekitarnya berubah. Ruang kampus yang sebelumnya ramai dengan mahasiswa mendadak sunyi. Udara terasa lebih dingin, dan bayangan-bayangan panjang muncul di sudut-sudut bangunan. Mael bisa merasakan kehadiran makhluk gaib semakin nyata, lebih menekan.

Dr. Alaric menatap Mael sekali lagi sebelum berkata, "Kau harus memilih jalanmu segera, Mael. Waktu hampir habis." Setelah itu, sosoknya perlahan memudar, seperti asap yang ditiup angin.

Mael berdiri kaku, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Segalanya semakin membingungkan. Dr. Alaric, yang seharusnya sudah mati, kini muncul lagi dengan pesan misterius. Apa yang dimaksud dengan permainan besar ini? Dan apa yang dimaksud dengan pilihan yang harus dia buat?

Mael meninggalkan kampus dengan hati yang semakin berat. Pertemuannya dengan Dr. Alaric membuatnya sadar bahwa apa yang dihadapinya jauh lebih kompleks daripada yang dia bayangkan. Tidak ada waktu untuk ragu-ragu lagi—dia harus memahami kekuatannya dan menemukan cara untuk menghentikan rencana Astaroth sebelum semuanya terlambat.

Ketika dia kembali ke apartemennya, Seraphina sudah menunggu di sana, seperti biasanya. Namun, kali ini ada ekspresi yang berbeda di wajahnya—lebih serius, bahkan sedikit khawatir.

"Kau bertemu Dr. Alaric lagi, bukan?" tanyanya langsung.

Mael mengangguk, masih terpengaruh oleh kejadian itu. "Dia bilang aku harus memilih. Dan ada sesuatu yang lebih besar terjadi, sesuatu yang belum kupahami."

Seraphina menatap Mael dalam-dalam, seolah berusaha menilai kesiapan mentalnya. "Dia benar. Waktu semakin sedikit, dan kau berada di tengah perang yang sudah lama dimulai. Tapi sebelum kau membuat pilihan, kau harus tahu semua yang terjadi."

Mael duduk di sofa, memandangi Seraphina dengan serius. "Jelaskan semuanya padaku, sekarang."

Seraphina menarik napas panjang. "Baiklah. Ini tentang ritual yang dilakukan Lucian, leluhurmu, yang memicu semua ini. Saat itu, Lucian berusaha membuka portal untuk menyelamatkan seseorang yang sangat dicintainya. Tapi dia gagal, dan sebagai gantinya, dia membuka celah yang memungkinkan iblis-iblis seperti Astaroth masuk ke dunia kita. Sejak saat itu, keluargamu dikutuk untuk terus berurusan dengan dunia gaib."

Mael mendengarkan dengan seksama, setiap kata terasa seperti potongan teka-teki yang perlahan-lahan mulai terhubung.

"Dan kini," lanjut Seraphina, "Astaroth ingin menggunakan kekuatanmu untuk menyelesaikan apa yang gagal dilakukan Lucian. Dia ingin portal itu terbuka sepenuhnya, membiarkan kegelapan merasuki dunia manusia. Tapi kau bisa menghentikannya. Kau punya kekuatan untuk menutup portal itu, tapi untuk melakukannya, kau harus memahami siapa dirimu sebenarnya, dan menerima sepenuhnya takdirmu."

Mael menundukkan kepala, beban tanggung jawab ini semakin jelas. "Bagaimana aku bisa menghentikannya, jika aku sendiri tidak yakin dengan kekuatanku?"

"Kita akan berlatih," kata Seraphina tegas. "Tapi yang paling penting, kau harus mempercayai dirimu sendiri. Kegelapan akan selalu mencoba merayumu, tapi kau lebih kuat dari yang kau kira."

Malam itu, Mael tidak tidur. Dia tahu bahwa masa depan dunia ini tergantung pada pilihan-pilihannya. Kekuatan yang tersembunyi dalam dirinya, sejarah keluarganya yang kelam, dan ancaman dari dunia gaib, semuanya kini terhubung. Di luar sana, kegelapan semakin mendekat, tapi Mael tahu bahwa dia harus siap untuk menghadapi semuanya.

Kegelapan mungkin datang, tapi dia tidak akan menyerah tanpa perlawanan.