Keesokan harinya, Mael memutuskan untuk kembali ke kampus. Meski hatinya dipenuhi dengan kekhawatiran tentang kunci, Astaroth, dan dunia gaib, dia tahu bahwa untuk menjaga kehidupan normalnya, dia harus tetap berperan sebagai mahasiswa. Sementara Seraphina bersiap untuk menyelidiki perpustakaan Dr. Alaric, Mael mencoba menjalani hari-harinya di kampus tanpa terlihat mencurigakan.
Universitas itu besar dan megah, sebuah institusi tua yang penuh dengan sejarah, namun sekarang terasa aneh baginya. Sejak dia bisa melihat iblis, kampus itu berubah dalam pandangannya. Makhluk-makhluk gaib berkeliaran di antara para mahasiswa, entitas yang tak terlihat oleh orang lain tapi selalu mengawasi.
Ketika Mael berjalan menyusuri lorong-lorong kampus, dia melihat beberapa entitas yang samar-samar bergerak di sudut pandangannya. Beberapa tampak mengerikan, bayangan gelap dengan mata menyala yang bersembunyi di antara dinding. Namun, yang lebih mengganggu adalah yang tidak begitu terlihat jelas, makhluk yang hanya muncul dalam kilatan singkat, seperti bayangan yang sekilas tampak di tepi penglihatannya.
Mael duduk di kelas filsafat, salah satu mata kuliah favoritnya. Hari ini dosen mereka, seorang pria tua yang bijak, sedang membahas tentang mitologi Yunani dan konsep dualitas antara dunia manusia dan dewa-dewa. Ironisnya, Mael merasa tema itu begitu dekat dengan kehidupannya sekarang.
"Menurut Plato," kata dosen itu, "dunia nyata hanyalah bayangan dari dunia yang lebih sempurna. Kita, manusia, hidup dalam sebuah gua, hanya melihat bayangan dari realitas yang sebenarnya. Bayangkan, jika ada seseorang yang bisa keluar dari gua itu dan melihat dunia luar, seperti apa pengalaman itu baginya?"
Mael merenung dalam-dalam, merasa bahwa perumpamaan gua Plato memiliki kemiripan yang aneh dengan hidupnya. Dia tidak lagi hidup dalam realitas yang sama dengan orang lain. Sejak kemampuannya melihat iblis muncul, dia merasa seperti orang yang keluar dari gua, melihat realitas lain yang lebih gelap dan penuh bahaya.
Di sudut kelas, Mael bisa melihat sosok samar-samar, iblis kecil yang duduk di atas rak buku, memperhatikan para mahasiswa. Wajahnya melengkung dalam seringai jahat, tapi dia tidak menyerang. Iblis-iblis seperti itu kini sering muncul di sekelilingnya, dan Mael harus terbiasa dengan kehadiran mereka, meskipun tetap waspada.
Ketika kuliah berakhir, Kian menghampiri Mael di pintu kelas. Wajahnya terlihat khawatir, seperti biasanya. "Hei, Mael," katanya sambil menepuk bahu Mael. "Kamu baik-baik saja? Kamu terlihat agak... tidak fokus."
Mael mengangguk, meski sebenarnya pikirannya kacau. "Ya, aku baik-baik saja. Hanya sedang banyak yang kupikirkan."
Kian tersenyum tipis. "Aku tahu kita semua sedang stres dengan tugas-tugas kuliah, tapi kalau kamu butuh teman ngobrol, aku ada. Jangan terlalu tertekan, oke?"
Mael tersenyum kecil, berusaha menyembunyikan kecemasan yang sebenarnya dia rasakan. "Terima kasih, Kian. Aku akan ingat itu."
Mereka berjalan bersama ke luar gedung, bergabung dengan arus mahasiswa lain yang sibuk menuju kelas berikutnya atau pulang. Mael merasa sedikit tenang di dekat Kian, seorang teman yang selalu peduli dan penuh perhatian, meskipun dia tidak tahu tentang dunia kegelapan yang kini dihadapi Mael.
Ketika mereka melewati taman kampus, Mael melihat sesuatu yang aneh di kejauhan. Di bawah pohon besar yang terletak di tengah taman, seorang pria berdiri sendirian, mengenakan jubah panjang berwarna hitam. Mael merasakan hawa dingin yang merayap ke kulitnya saat dia menyadari bahwa pria itu bukan manusia biasa.
Itu adalah Astaroth.
Mael berhenti berjalan, pandangannya tertuju pada pria tampan yang kini memandangnya dari kejauhan. Wajah Astaroth yang sempurna tersenyum licik, mata hitamnya yang dalam seperti lubang tak berujung menatap langsung ke dalam jiwa Mael. Tidak ada orang lain yang memperhatikan sosok Astaroth; para mahasiswa hanya berlalu lalang seolah pria itu tidak ada.
"Ada apa?" tanya Kian, melihat Mael yang tiba-tiba membeku.
Mael tidak menjawab. Astaroth mengangkat tangan perlahan, dan dalam sekejap, dia menghilang seperti asap hitam yang tertiup angin. Mael merasa detak jantungnya semakin cepat, tapi dia berusaha tetap tenang.
"Mael, kamu oke?" Kian kembali bertanya, kini lebih cemas.
Mael mengangguk cepat, meskipun di dalam dirinya, perasaan waspada dan takut bercampur aduk. "Aku... aku baik-baik saja. Hanya sedikit pusing."
Kian mengerutkan kening, tapi dia tidak mendesak lebih jauh. "Mungkin kamu butuh istirahat. Jangan terlalu memaksakan diri."
Mael setuju, tapi pikirannya masih penuh dengan bayangan Astaroth. Iblis itu jelas mengawasi setiap gerakannya, bahkan di tengah keramaian kampus. Mael merasa seolah tidak ada tempat yang aman lagi baginya, tidak di dunia nyata, dan tidak di dunia gaib.
Namun, dia tahu bahwa pertempuran ini belum selesai. Sementara Mael mencoba menjalani kehidupan normalnya sebagai mahasiswa, iblis-iblis seperti Astaroth terus bergerak di bawah permukaan, mengintai dan menunggu saat yang tepat untuk menyerang.
"Kita harus bertindak cepat," pikir Mael. "Semakin lama aku menunda, semakin dekat mereka dengan dunia kita."
Kian mengajaknya untuk makan siang, tapi Mael menolak dengan alasan ingin beristirahat. Setelah berpisah, Mael berjalan cepat ke arah perpustakaan universitas, tempat di mana Seraphina sudah menunggu untuk mulai menyelidiki ruangan rahasia Dr. Alaric. Sesuatu memberitahunya bahwa jawaban tentang takdirnya ada di sana, di antara buku-buku kuno yang ditinggalkan oleh profesor itu.
Dengan langkah cepat, Mael memasuki gedung perpustakaan, mempersiapkan dirinya untuk menjelajahi masa lalu kelam yang penuh dengan rahasia dan kegelapan.
*****
Mael melangkah ke dalam gedung perpustakaan yang megah dengan perasaan berat di dadanya. Bangunan ini, yang sebelumnya hanya tempat sunyi penuh buku dan kesibukan akademis, sekarang terasa seolah menyimpan sesuatu yang lebih gelap. Dia berjalan menuju lantai bawah tanah, tempat yang biasanya tidak banyak mahasiswa kunjungi. Langkah-langkah kakinya bergema di sepanjang koridor kosong yang terasa semakin sepi.
Seraphina sudah menunggunya di depan pintu kayu tua yang terletak di bagian belakang perpustakaan. Tatapannya serius, menunjukkan betapa pentingnya momen ini. "Aku sudah menemukan akses ke ruang bawah tanah milik Dr. Alaric," katanya tanpa basa-basi. "Tapi kita harus berhati-hati. Tempat ini mungkin dijaga oleh sesuatu yang tidak terlihat."
Mael mengangguk, memegang erat kunci perak di tangannya. Mereka tahu, apa pun yang mereka hadapi di dalam sana, itu bukan hanya sekadar manuskrip atau buku kuno. Mereka sedang mencari petunjuk tentang dunia gaib, tentang rahasia kunci, dan tentang peran Mael dalam semua ini.
Pintu kayu itu berat dan tua, tampaknya jarang dibuka. Seraphina mengulurkan tangannya dan dengan perlahan mendorongnya. Suara kayu berderak menyambut mereka, dan di baliknya terbentang sebuah lorong gelap yang berakhir pada sebuah ruangan besar. Cahaya remang-remang dari lilin tua di dinding memberikan nuansa mistis, hampir seperti mereka memasuki ruangan yang terlupakan oleh waktu.
Ruangan itu dipenuhi dengan rak-rak tinggi, penuh dengan buku-buku tebal berdebu, gulungan kertas kuno, dan artefak aneh yang tidak bisa dikenali oleh mata awam. Di tengah ruangan, sebuah meja kayu besar dengan ukiran simbol-simbol kuno menjadi pusat perhatian. Pada meja itu, tergelar sebuah peta dunia gaib, dengan garis-garis merah yang tampaknya mewakili kekuatan-kekuatan tertentu di dunia ini.
"Ini adalah tempatnya," bisik Seraphina. "Dr. Alaric pasti menghabiskan banyak waktu di sini, meneliti dan mempersiapkan dirinya untuk menghadapi iblis. Tapi, dia tidak pernah memberitahuku tentang hal ini."
Mael melangkah lebih dekat ke meja dan melihat lebih dekat pada peta itu. Garis merah dan simbol-simbol yang tercoret di atasnya terlihat seperti petunjuk yang kompleks. Ada tanda-tanda yang ia kenali, simbol yang sama seperti yang ia lihat dalam mimpi dan dunia gaib.
Namun, sesuatu di pojok ruangan menarik perhatiannya. Sebuah peti besi besar, terkunci rapat dengan gembok yang tampak lebih baru dibandingkan benda-benda lain di ruangan itu. "Lihat ini," kata Mael, berjalan ke arah peti itu. "Apa yang disimpan di dalam sini?"
Seraphina menghampirinya, mengamati gemboknya dengan seksama. "Ini bukan sembarang gembok. Ini dibuat dengan mantra pelindung. Dr. Alaric pasti tidak ingin siapa pun membukanya tanpa kunci yang tepat."
Mael mengeluarkan kunci perak yang ia temukan di apartemennya. Entah kenapa, ia merasa bahwa kunci ini memiliki hubungan dengan peti tersebut. "Mungkin ini kuncinya," katanya, memasukkan kunci itu ke dalam gembok. Dengan suara klik yang lembut, gembok itu terbuka.
Mereka membuka peti itu perlahan, dan di dalamnya terdapat beberapa benda, sebuah buku harian kulit yang tebal, beberapa gulungan manuskrip, dan sebuah kotak kecil berisi simbol yang aneh. Tapi benda yang paling menarik perhatian Mael adalah sebuah cincin perak, dengan simbol kuno yang sama seperti yang ia lihat di peta.
Mael mengangkat cincin itu dan merasakan aliran energi aneh melaluinya. "Ini... ini adalah bagian dari teka-teki ini. Simbol ini sama seperti yang ada di kunci."
Seraphina mengambil buku harian itu dan mulai membacanya. "Ini catatan pribadi Dr. Alaric. Sepertinya dia menyimpan rahasia tentang keluarga dan sejarah mereka yang lebih gelap dari yang kita kira."
Mael mendekat, ingin mendengar lebih banyak. Seraphina membuka halaman-halaman lama itu dengan hati-hati, suaranya hampir berbisik saat dia membaca salah satu entri.
"'Keluarga Mael telah lama menjadi bagian dari perang melawan iblis. Garis keturunan mereka terhubung dengan para pemburu kuno, tetapi juga dengan dunia kegelapan itu sendiri. Leluhur mereka membuat perjanjian rahasia dengan kekuatan jahat, dan Mael adalah bagian dari perjanjian itu, entah dia sadar atau tidak. Kunci perak adalah simbol dari perjanjian itu, alat yang bisa membuka gerbang antara dunia manusia dan dunia gaib.'"
Mael merasa tubuhnya kaku mendengar kata-kata itu. "Jadi ini bukan kebetulan. Kemampuanku, kunci ini... semuanya sudah ditakdirkan?"
Seraphina menatapnya dengan cemas. "Sepertinya begitu. Keluargamu telah menjadi bagian dari dunia ini sejak lama. Tapi, yang lebih mengkhawatirkan adalah bagian selanjutnya dari catatan ini."
Dia melanjutkan membaca, suaranya semakin rendah. "'Jika Mael tidak segera menemukan dan menghancurkan sumber kekuatan yang menghubungkannya dengan dunia gaib, dia akan terjerat dalam takdir keluarganya. Iblis seperti Astaroth akan terus mengejar dan menggunakan kekuatan ini untuk menguasai dunia kita. Mael adalah kunci bagi kedua dunia, dan juga ancaman terbesar bagi mereka.'"
Keheningan menyelimuti ruangan itu. Mael merasa darahnya berdesir. Takdir keluarganya ternyata jauh lebih kelam daripada yang pernah ia bayangkan. Dan kini, beban itu jatuh di pundaknya.
"Aku adalah ancaman bagi kedua dunia..." Mael bergumam pelan.
Seraphina menutup buku harian itu dengan wajah serius. "Kita harus berhati-hati. Jika Astaroth tahu tentang ini, dia tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan kendali penuh atas kekuatanmu."
Mael mengangguk, memandangi cincin di tangannya. Ia menyadari bahwa langkah berikutnya bukan hanya tentang melarikan diri dari iblis, tapi juga memahami peran sebenarnya dalam pertempuran yang lebih besar ini. "Aku harus menemukan cara untuk menghancurkan perjanjian ini. Kalau tidak, kegelapan akan menang."