Chereads / Pangeran Kegelapan / Chapter 9 - Pintu Menuju Kegelapan

Chapter 9 - Pintu Menuju Kegelapan

Malam di apartemen Mael terasa lebih dingin dan sunyi dari biasanya. Pikirannya masih penuh dengan apa yang baru saja terjadi di kantor Dr. Alaric. Kematian profesor itu bukan hanya sebuah peringatan itu adalah pengingat bahwa waktu Mael semakin singkat. Astaroth sudah mulai bergerak, dan Mael tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk menemukan cara memutus perjanjian kuno keluarganya.

Mael duduk di meja belajarnya, membuka kembali buku catatan Julius Valerian. Ada sesuatu di dalam catatan itu yang belum dia pahami sepenuhnya. Teks kuno, simbol-simbol yang membingungkan, dan referensi terhadap ritual pemutus semuanya menuntut lebih banyak perhatian. Tapi, bagian yang paling membingungkan Mael adalah tentang "pengorbanan jiwa". Jiwa siapa yang harus dikorbankan? Dan bagaimana caranya?

Saat dia memandangi simbol yang sama di halaman-halaman jurnal, matanya tiba-tiba terfokus pada detail kecil yang dia lewatkan sebelumnya garis tipis yang menghubungkan beberapa simbol dengan bentuk lingkaran yang lebih besar. Lingkaran itu sepertinya merupakan kunci dari ritual pemutus, tetapi ada satu bagian yang tidak lengkap.

Di sudut halaman, ada catatan tambahan dalam tulisan Julius: "Gerbang hanya akan terbuka jika kunci yang hilang ditemukan."

Mael menatap tulisan itu dengan kebingungan. Gerbang? Kunci yang hilang? Semakin banyak yang dia pelajari, semakin jelas bahwa rahasia ini tidak akan mudah diungkap. Namun, sebelum dia bisa memikirkan lebih lanjut, suara ketukan keras terdengar dari pintu depan apartemennya.

Mael menegang. Jarang ada orang yang datang ke apartemennya malam-malam begini. Dengan hati-hati, dia berjalan menuju pintu, merasakan ketegangan di dadanya. Dia membuka pintu dengan sedikit ragu dan di sana berdiri seorang wanita yang terlihat tidak asing Seraphina.

"Mael," katanya tanpa basa-basi. "Kita perlu bicara."

---

Di dalam apartemen, Seraphina duduk berseberangan dengan Mael. Wajahnya terlihat serius, dan dia tampaknya sudah tahu lebih banyak dari yang Mael kira.

"Kamu mungkin sudah tahu bahwa ada hal-hal yang sedang bergerak di luar kendali kita," kata Seraphina sambil menatap lurus ke arah Mael. "Dr. Alaric tewas bukan tanpa alasan. Kekuatan yang mengintai keluargamu semakin dekat, dan kamu terjebak di tengah-tengahnya."

Mael menahan napas. "Apa yang kamu tahu tentang keluargaku?" tanyanya dengan nada curiga.

Seraphina menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Lebih dari yang kamu kira. Aku telah mempelajari tentang perjanjian kuno yang melibatkan keluargamu sejak lama. Tidak banyak yang tahu, tapi garis keturunanmu sudah lama diincar oleh entitas gaib yang lebih besar dari sekadar Astaroth. Julius Valerian tidak hanya membuat perjanjian dengan Anemoi, tapi dia juga membuka gerbang menuju dimensi di mana makhluk-makhluk kegelapan ini berasal."

Mael merasa perutnya terbalik. "Julius membuka gerbang?"

"Ya," Seraphina menjawab dengan tegas. "Itu sebabnya keluargamu dikutuk. Perjanjian itu bukan sekadar perjanjian kekuatan. Itu adalah perjanjian untuk menjaga gerbang itu tetap tertutup, agar makhluk-makhluk itu tidak masuk ke dunia ini. Tapi setiap generasi harus membayar harga, dan sekarang giliranmu."

Mael menggeleng, mencoba memahami semua informasi yang baru saja disampaikan. "Jadi, jika aku ingin memutus perjanjian ini, aku harus menemukan kunci yang hilang?"

Seraphina mengangguk. "Kunci itu adalah sesuatu yang hilang dari keluarga Valerian sejak lama. Sebuah artefak kuno, yang dipercaya bisa menutup gerbang untuk selamanya. Namun, tidak ada yang tahu di mana artefak itu sekarang."

Mael memijat pelipisnya, frustrasi. "Bagaimana aku bisa menemukannya kalau bahkan Julius tidak tahu?"

Seraphina berdiri dari kursinya, berjalan menuju jendela. "Ada satu tempat yang mungkin bisa memberi petunjuk. Di luar kota ini, ada reruntuhan kuil kuno yang ditinggalkan selama berabad-abad. Kuil itu pernah menjadi tempat pemujaan bagi Anemoi, dan mungkin masih menyimpan rahasia yang bisa membantu kita menemukan kunci yang hilang."

Mael terdiam, mempertimbangkan pilihan yang ada di depannya. Mencari kuil kuno terdengar seperti langkah yang nekat, tapi jika itu satu-satunya petunjuk yang dia miliki, dia harus mencobanya.

"Kapan kita berangkat?" tanya Mael akhirnya.

Seraphina tersenyum tipis. "Segera setelah kamu siap. Tapi ingat, ini bukan perjalanan biasa. Kuil itu dilindungi oleh kekuatan kuno yang mungkin lebih berbahaya daripada yang bisa kamu bayangkan. Kita tidak akan berhadapan dengan makhluk biasa."

Mael berdiri, merasakan ketegangan di tubuhnya berubah menjadi tekad. "Aku tidak peduli seberapa berbahaya itu. Jika ini adalah satu-satunya cara untuk memutus kutukan ini, maka aku akan melakukannya."

Seraphina menatapnya dalam-dalam, seolah ingin memastikan bahwa Mael benar-benar memahami risikonya. "Baiklah, Mael. Mari kita pergi mencari kunci yang hilang, sebelum kegelapan menelan kita semua."

---

Perjalanan menuju kuil kuno itu memakan waktu lebih lama dari yang Mael perkirakan. Hutan yang mereka lalui semakin pekat dan penuh dengan keheningan yang menakutkan. Malam mulai menyelimuti ketika mereka akhirnya tiba di depan reruntuhan kuil yang tampak angker. Dinding-dinding batu yang sudah runtuh ditumbuhi lumut, sementara patung-patung kuno yang memuja Anemoi berdiri tegak, meskipun sebagian besar sudah rusak oleh waktu.

Di pusat kuil itu, ada altar batu besar yang tampaknya pernah digunakan untuk ritual kuno. Seraphina melangkah maju, memeriksa ukiran-ukiran di sekelilingnya. Mael berdiri di belakangnya, merasakan energi yang aneh mengalir di udara.

"Ada sesuatu yang sangat salah di sini," kata Mael, merasa ngeri.

Seraphina mengangguk. "Ini bukan tempat yang seharusnya kita kunjungi tanpa persiapan. Tapi kita tidak punya banyak pilihan. Di bawah altar ini, ada ruangan bawah tanah. Di sanalah rahasia artefak itu disimpan."

Mael menatap altar itu, merasa perutnya mual. Dia tahu bahwa apa pun yang mereka hadapi di bawah sana, itu akan membawa mereka lebih dekat pada kebenaran. Dan semakin dekat mereka, semakin besar risikonya.

Dengan napas berat, Mael dan Seraphina mulai menggali, membuka jalan menuju kegelapan yang tersembunyi di bawah kuil itu.

-----

Suara batu yang menggeser terdengar bergema ketika Mael dan Seraphina berhasil membuka pintu bawah tanah yang tersembunyi di bawah altar kuno. Udara lembap dan dingin menyembur dari dalam, seolah-olah tempat itu telah tersegel selama berabad-abad. Mael merasakan ketegangan dalam setiap otot tubuhnya, namun dia tahu, jika mereka ingin menemukan kunci untuk memutus perjanjian kuno keluarganya, mereka harus melangkah lebih jauh ke dalam.

Seraphina menyalakan obor kecil yang mereka bawa, dan cahaya kuning menyinari tangga batu yang mengarah ke bawah. Mereka mulai melangkah dengan hati-hati, setiap langkah terasa seperti memasuki dunia yang lebih dalam dari sekadar dunia fisik. Aroma lembap bercampur dengan bau logam dan debu kuno menyelimuti udara. Mael bisa merasakan sesuatu yang bergerak dalam bayang-bayang, seolah-olah mereka sedang diawasi.

Setelah beberapa menit berjalan menuruni tangga, mereka tiba di sebuah ruangan besar yang dipenuhi simbol-simbol kuno. Ukiran di dinding menggambarkan adegan-adegan dari legenda yang pernah dibaca Mael dalam buku-buku kuno para Anemoi yang turun dari langit, membawa angin dan badai, mengikatkan diri mereka pada dunia manusia dengan perjanjian-perjanjian gelap. Di tengah ruangan, ada sebuah lingkaran besar yang terbuat dari batu hitam, dan di atas lingkaran itu, sebuah monolit berdiri, menjulang tinggi dan berlumuran dengan tulisan dalam bahasa yang tak bisa dimengerti Mael.

Seraphina melangkah maju, memandangi monolit itu dengan mata terbelalak. "Ini… ini pusatnya," bisiknya. "Di sinilah perjanjian keluargamu dibuat. Monolit ini adalah saksi dari perjanjian Julius dengan Anemoi. Dan di sini juga, kunci yang hilang disembunyikan."

Mael merasakan energi aneh bergetar di ruangan itu. "Bagaimana kita menemukannya?"

Seraphina mengeluarkan pisau kecil dari sabuknya dan melangkah lebih dekat ke lingkaran batu. "Kunci itu hanya bisa ditemukan dengan darah pewaris," katanya, tanpa menoleh pada Mael. "Ini adalah satu-satunya cara untuk membuka gerbang menuju tempat di mana artefak itu disembunyikan."

Mael mengernyit, merasa tidak nyaman dengan gagasan itu. Namun, sebelum dia bisa berkata apa-apa, Seraphina menyentuh monolit dengan ujung pisau, dan dengan satu gerakan cepat, dia menggoreskan pisau itu di telapak tangannya, membiarkan darahnya menetes ke lingkaran batu hitam.

Cahaya merah samar mulai merembes dari lingkaran batu, seolah-olah darah Seraphina telah membangunkan sesuatu yang selama ini tertidur. Getaran kuat memenuhi ruangan, dan lingkaran itu mulai berputar perlahan. Mael merasakan tanah di bawah kakinya bergoyang, dan tiba-tiba, sebuah pintu lain terbuka di dinding belakang ruangan.

Seraphina menoleh ke Mael, wajahnya terlihat tegang. "Ini dia. Kunci itu ada di dalam sana. Tapi kita harus berhati-hati. Makhluk-makhluk yang menjaga artefak tidak akan membiarkan kita mengambilnya begitu saja."

Mael mengangguk, merasakan detak jantungnya semakin cepat. Dia tidak tahu apa yang akan mereka hadapi di balik pintu itu, tapi dia tahu bahwa mereka sudah terlalu jauh untuk mundur sekarang.

Mereka melangkah masuk ke dalam ruangan yang baru terbuka, dan segera, Mael merasakan suhu udara turun drastis. Ruangan itu gelap dan hanya diterangi oleh obor kecil yang mereka bawa. Di ujung ruangan, sebuah altar besar berdiri dengan sebuah kotak batu di atasnya tersegel dengan simbol yang sama seperti yang ada di buku catatan Julius Valerian.

Namun, sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, bayangan-bayangan mulai bergerak di sekeliling mereka. Dari sudut-sudut ruangan, muncul makhluk-makhluk hitam besar dengan tubuh yang berkilauan seperti asap pekat. Mata mereka menyala merah, dan mereka melayang di udara, bergerak cepat ke arah Mael dan Seraphina.

"Apa itu?" tanya Mael, suaranya gemetar.

"Penjaga kegelapan," jawab Seraphina dengan nada tegas. "Mereka adalah roh-roh yang terikat untuk melindungi artefak ini. Mereka tidak akan membiarkan kita melewati mereka."

Tanpa peringatan, salah satu makhluk itu menyerang, meluncur cepat ke arah Mael. Refleksnya membuatnya melompat mundur, namun makhluk itu bergerak dengan kecepatan luar biasa, dan sebelum Mael bisa menghindar, bayangan itu melingkari tubuhnya, merasuki setiap sudut pikirannya.

Kepalanya terasa berputar, dan Mael tiba-tiba berada dalam dunia yang berbeda dunia yang dipenuhi dengan api dan kegelapan. Di sekelilingnya, ribuan makhluk gaib berdiri, menatapnya dengan tatapan yang menusuk. Di tengah-tengah mereka, Astaroth muncul, dengan senyuman sinis di wajahnya.

"Kau sudah terlalu jauh, Mael," kata Astaroth. "Gerbang ini bukan untuk manusia. Kegelapan ini akan menelanku, seperti ia telah menelan leluhurmu."

Mael menelan ludah, mencoba melawan rasa takut yang menjalar di seluruh tubuhnya. "Aku tidak akan berhenti sampai aku memutus kutukan ini."

Astaroth tertawa, suaranya bergetar di udara. "Kau pikir kunci ini akan membebaskanmu? Tidak, Mael. Kau hanya membuka gerbang menuju kehancuranmu sendiri. Kau adalah bagian dari siklus ini, dan tidak ada jalan keluar."

Mael merasa pikirannya mulai terombang-ambing di antara kenyataan dan ilusi yang diciptakan oleh kegelapan. Namun, dalam kehampaan itu, suara Seraphina terdengar, memanggilnya kembali.

"Mael! Lawan mereka!"

Seketika, kesadaran Mael kembali. Dia menarik napas dalam-dalam dan dengan kekuatan yang tersisa, dia memaksa dirinya untuk tetap berdiri. Bayangan penjaga itu masih melingkari tubuhnya, tetapi Mael mengulurkan tangan dan, dengan segenap tekad, dia menyentuh kotak batu di altar.

Begitu tangannya menyentuh kotak itu, ledakan cahaya terang menerangi ruangan. Bayangan-bayangan yang melingkari tubuhnya segera tersentak mundur, berteriak dalam kesakitan, sebelum akhirnya menghilang sepenuhnya. Suasana menjadi sunyi, dan Mael tersungkur, napasnya terengah-engah.

Seraphina berlari mendekat, membantu Mael berdiri. "Kamu berhasil," katanya dengan nada lega.

Mael menatap kotak batu di altar, yang sekarang mulai terbuka dengan sendirinya. Di dalamnya, sebuah kunci perak kecil tergeletak di atas kain hitam yang sudah lapuk oleh waktu.

"Ini dia," bisik Mael. "Kunci yang hilang."

Tapi sebelum mereka bisa merayakan kemenangan mereka, suara berat memenuhi ruangan. Dari bayangan di sudut ruangan, muncul sosok lain lebih besar, lebih gelap, dan lebih mengerikan dari penjaga sebelumnya. Matanya bersinar merah menyala, dan suara geramnya membuat Mael merasakan ketakutan yang lebih dalam.

"Kalian tidak akan pergi dari sini dengan kunci itu," suara itu bergema, memenuhi setiap sudut ruangan.

Seraphina menarik Mael mundur. "Kita harus lari sekarang!"

Dengan kunci di tangannya, Mael dan Seraphina berlari kembali ke tangga yang mereka lewati sebelumnya, sementara suara makhluk itu semakin mendekat, membawa kegelapan yang lebih pekat dari sebelumnya.