Mereka berlari melewati lorong batu yang panjang, napas terengah-engah, sementara suara berat makhluk itu semakin mendekat di belakang mereka. Mael memegang erat kunci perak yang baru saja mereka temukan, namun ketika mereka sampai di tangga yang menuju keluar dari bawah tanah, sebuah kenyataan yang menghantam mereka dengan keras: pintu yang mereka buka tadi, kini tertutup rapat dan tak bisa digerakkan.
Mael berhenti di depan pintu itu, tubuhnya basah oleh keringat dan napasnya berat. "Apa yang terjadi? Ini seharusnya terbuka!" Seraphina mencoba menariknya, tapi pintu itu tak bergeming sedikit pun.
Dia merasakan kepanikan yang mendesak, suara makhluk dari bayangan makin keras. Waktu mereka tidak banyak. "Ada sesuatu yang tidak beres," kata Mael dengan nada tegang, mencoba menenangkan pikirannya. Kunci perak masih di tangannya, dan pikirannya mulai berputar.
Seraphina menatapnya, matanya penuh kegelisahan. "Mungkin pintu ini tertutup karena kita menyentuh kunci itu. Bisa jadi ini bagian dari jebakan atau ritual yang tidak kita mengerti."
Mael terdiam sejenak, tatapannya terfokus pada kunci perak di tangannya. Kunci itu seolah berdenyut dengan energi yang tak biasa, dan dia merasakan kehadiran kekuatan kuno di dalamnya. Sesuatu yang lebih dalam dari sekadar benda mati.
Dia memegang kunci itu lebih dekat, berusaha memahami apa yang bisa dia lakukan. "Kunci ini…" gumam Mael, "bukan hanya untuk gerbang di sini. Ini bukan tentang pintu fisik. Ini adalah kunci untuk sesuatu yang lebih besar dan mungkin gerbang ke dunia lain."
Sebelum Seraphina sempat bereaksi, makhluk yang mengejar mereka muncul di ujung lorong. Sosok hitam raksasa itu berderak seperti bayangan yang menggeram, seluruh ruang terasa tertelan oleh keberadaannya. Matanya bersinar merah, dan aura kehancuran terpancar darinya.
"Mael!" Seraphina berteriak, mempersiapkan diri untuk bertarung.
Mael menatap makhluk itu, lalu kembali menatap kunci di tangannya. Ketika pandangannya beralih, tiba-tiba sesuatu yang tidak terduga terjadi, kunci itu mulai bersinar. Cahaya perak menyala di sekitar kunci, bergetar seperti detak jantung yang cepat.
Tanpa berpikir panjang, Mael mengangkat kunci itu tinggi-tinggi di udara, berharap untuk memanggil kekuatan dari benda kuno tersebut. Cahaya perak semakin terang, menyilaukan, dan tiba-tiba, simbol-simbol kuno yang ada di sekitar mereka mulai bersinar. Dinding-dinding yang tadinya tampak mati kini hidup dengan energi yang sama, energi yang sama dengan yang mengalir dari kunci.
Dalam hitungan detik, lorong itu mulai berubah. Ruangan yang tadi tertutup rapat mulai bergerak, dinding-dindingnya seolah memutar, membentuk pusaran dimensi yang terbuka. Pintu fisik yang tadinya menghalangi jalan mereka kini menghilang, digantikan oleh celah besar yang terbuka menuju kehampaan.
Makhluk bayangan itu terhenti di tempat, tampaknya terkejut oleh fenomena yang baru saja terjadi. Mata merahnya yang bercahaya meredup sejenak, seolah merasakan bahwa kekuatan yang Mael panggil bukan sesuatu yang dia bisa kendalikan.
Seraphina menatap celah yang terbuka di depan mereka. "Apa yang kau lakukan, Mael? Apa ini?"
"Aku tidak tahu," jawab Mael jujur, suaranya bergetar. "Tapi ini satu-satunya jalan keluar."
Tanpa ragu, Mael melangkah masuk ke dalam celah itu, diikuti oleh Seraphina yang enggan tapi tahu bahwa mereka tidak punya pilihan lain. Begitu mereka melangkah, suara gemuruh memenuhi telinga mereka, dan mereka tersedot ke dalam pusaran kegelapan yang tak bisa dijelaskan.
Saat Mael dan Seraphina jatuh ke dalam dimensi baru ini, semua yang mereka kenal perlahan menghilang. Waktu, ruang, dan bahkan perasaan mereka tentang realitas mulai terurai. Hanya kegelapan dan bisikan-bisikan samar dari makhluk-makhluk yang telah mengejar mereka kini juga memasuki dunia ini, dan kali ini, tidak ada tempat untuk bersembunyi.
----
Mael dan Seraphina berdiri dalam kebingungan, kabut tebal menyelimuti dunia asing ini, membuat pandangan mereka terbatas. Suara langkah yang perlahan tapi mantap terdengar di kejauhan. Mael merasakan udara di sekitarnya menjadi berat, seperti ada kehadiran besar yang mendekat.
Lalu, dari balik kabut, muncul sosok yang berbeda dari makhluk-makhluk bayangan yang mengintai. Seorang pria muncul, tingginya menjulang, mengenakan jubah hitam elegan yang berkibar perlahan di tengah udara dingin. Wajahnya tampan, dengan rahang tegas, kulit pucat sempurna, dan mata berkilauan berwarna merah darah. Rambut hitamnya panjang, lurus, dan jatuh di bahu dengan rapi. Dia tampak seperti seorang bangsawan, tapi aura di sekitarnya jelas bukan manusia.
Mael langsung mengenali siapa dia.
"Astaroth," bisik Mael, matanya terbelalak saat ia melihat makhluk yang selama ini hanya hadir dalam bayangan dan bisikan.
Astaroth tersenyum, senyuman yang menawan namun penuh tipu daya. Dia berjalan mendekat dengan langkah tenang, setiap gerakannya penuh kontrol. "Aku terkesan, Mael. Kau akhirnya menemukan jalan ke sini, ke tempat di mana kegelapan dan cahaya bertemu," suaranya halus, hampir seperti musik yang menghipnotis.
Seraphina merapatkan diri ke Mael, sikapnya siaga. "Apa yang kau inginkan, Astaroth?" tanyanya tajam.
Astaroth menatap Seraphina dengan tatapan yang lembut namun tajam, seolah-olah dia memandang seseorang yang kurang penting. "Kau tak perlu khawatir, anak manusia. Aku tidak datang untukmu."
Dia mengalihkan pandangannya kembali ke Mael, dan di balik ketenangannya, ada kekuatan yang mengintimidasi. "Mael, pewaris darah kuno, kau telah lama hidup dalam bayang-bayang, mencari kebenaran tentang dirimu dan keluargamu. Dan kini, kau berada di hadapan kebenaran itu sendiri. Di dunia ini, dunia kami, kau tidak bisa lagi melarikan diri dari takdirmu."
Mael menelan ludah, mencoba mempertahankan ketenangannya meski tubuhnya gemetar. "Aku tidak pernah meminta ini," katanya pelan namun tegas. "Aku hanya ingin memutus kutukan ini, menghentikan apa yang leluhurku mulai."
Astaroth terkekeh, suaranya menggema di antara kabut. "Kutukan? Itu kata yang menarik. Tapi kau salah, Mael. Ini bukan kutukan. Ini adalah anugerah yang diberikan kepada keluargamu. Darah Valerian membawa kekuatan besar dan dengan kekuatan itu, juga tanggung jawab."
Mael mengepalkan tangan, perasaan bingung dan marah berkecamuk di dalam dirinya. "Jika itu anugerah, kenapa semua ini membawa penderitaan? Kenapa semua ini terasa seperti kutukan yang menghancurkan hidupku?"
Astaroth melangkah lebih dekat, matanya berkilauan, dan sejenak, Mael merasakan kekuatan besar yang tak terlukiskan dalam sosok pria ini. "Setiap kekuatan besar selalu memiliki harganya. Julius Valerian, leluhurmu, membuat kesepakatan dengan kami bukan karena paksaan, tapi karena ambisinya. Dia ingin lebih dari sekadar kehidupan manusia biasa. Dan kau, Mael, adalah penerus ambisi itu, terlepas dari apa yang kau inginkan."
Seraphina memotong pembicaraan, suaranya penuh kemarahan. "Jadi, apa yang kau inginkan dari Mael? Apa yang kau kejar?"
Astaroth meliriknya sekilas, senyum tipis terbentuk di bibirnya. "Mael adalah kunci bagi kami untuk mengikat dunia manusia dan dunia kegelapan ini secara penuh. Dia bukan hanya pewaris darah Valerian, tapi juga pewaris dari takdir besar yang telah lama ditunggu."
Mael menggelengkan kepala, tidak mempercayai apa yang didengarnya. "Aku tidak akan menjadi alat untuk iblis seperti kalian. Jika kalian pikir aku akan tunduk pada takdir ini, kalian salah."
Astaroth tertawa kecil, kali ini terdengar lebih tulus namun menyeramkan. "Tunduk? Oh, Mael. Aku tidak ingin kau tunduk. Aku ingin kau memilih. Kekuatan yang kau warisi bisa membebaskanmu atau menghancurkanmu. Kau bisa melawan takdir ini dan berakhir seperti leluhurmu terperangkap dalam penderitaan abadi. Atau kau bisa menerima kekuatan ini, menguasainya, dan menjadi lebih dari sekadar manusia."
Mael merasakan pergulatan batin yang hebat dalam dirinya. Kata-kata Astaroth menggema di pikirannya, menimbulkan keraguan, meskipun dia tahu bahwa Astaroth memiliki agenda tersembunyi.
"Tidak ada kebaikan yang datang dari kesepakatan dengan iblis," gumam Mael, menatap langsung ke mata merah Astaroth. "Aku tidak akan mengulang kesalahan keluargaku."
Astaroth hanya tersenyum lebih lebar, menunjukkan giginya yang tajam. "Kita lihat saja, Mael. Kau memiliki waktu, tapi tidak lama. Kegelapan akan segera menyelimuti duniamu, dan saat itu tiba, pilihan akan jatuh padamu."
Dengan kata-kata itu, Astaroth mulai memudar, tubuhnya menghilang ke dalam kabut seolah-olah dia hanyalah bayangan di angin. Sebelum benar-benar menghilang, dia berbisik, "Aku akan menunggumu di akhir jalan ini, Mael. Sampai kita bertemu lagi."
Dan kemudian, dia benar-benar lenyap.
Seraphina berdiri di samping Mael, terdiam sejenak, meresapi apa yang baru saja terjadi. "Apa maksudnya, Mael?" dia bertanya dengan nada cemas. "Apa kau benar-benar pewaris takdir ini?"
Mael menatap kunci perak di tangannya, perasaan campur aduk melintas di dalam dirinya. Dia merasakan tanggung jawab besar yang perlahan-lahan menghimpitnya, takdir yang diwariskan kepadanya, dan pilihan-pilihan yang tampaknya semakin sempit.
"Aku tidak tahu," jawabnya pelan. "Tapi satu hal yang pasti… aku tidak akan membiarkan iblis seperti Astaroth mengendalikan hidupku. Aku akan menemukan cara untuk memutus perjanjian ini, meskipun harus melawan takdir."
Seraphina menatapnya, ada keteguhan di matanya. "Aku akan bersamamu. Apapun yang terjadi."
Mael mengangguk. Mereka masih di dunia yang asing ini, penuh bahaya yang belum mereka pahami sepenuhnya. Tapi satu hal yang kini jelas pertarungan yang lebih besar baru saja dimulai.