Malam itu, Mael berjalan pulang dengan pikiran yang berat. Kata-kata Dr. Alaric berputar di benaknya, menyulut kekhawatiran baru. Kekuatan dalam dirinya, ikatannya dengan Astaroth, dan kemungkinan bahwa keluarganya terlibat dalam sesuatu yang lebih besar dari sekadar kehidupan biasa semua itu mulai membentuk gambaran besar yang belum sepenuhnya bisa dia pahami. Tapi yang jelas, dia harus menemukan jawaban.
Kian, yang berjalan di sampingnya, masih terlihat tegang. "Kita benar-benar berada di tengah-tengah sesuatu yang sangat berbahaya, Mael," katanya pelan. "Dan kita tidak tahu apa yang kita hadapi."
Mael menatap temannya sejenak sebelum menjawab. "Itu sebabnya kita harus terus mencari tahu. Kita tidak bisa mundur sekarang."
Ketika mereka sampai di apartemen, Mael merasa ada yang berbeda. Udara di dalam ruangan terasa lebih dingin dari biasanya, dan suasana mencekam seperti menyelimuti setiap sudut. Mael mengaktifkan lampu, tapi tidak mampu mengusir perasaan bahwa ada sesuatu yang mengintai mereka di balik bayang-bayang.
"Kau merasakannya juga, kan?" tanya Kian, suaranya berbisik.
Mael mengangguk. "Ya, sesuatu ada di sini."
Tiba-tiba, bayangan di sudut ruangan bergerak. Sosok tinggi dengan aura mengancam perlahan muncul, dan Mael mengenali wujudnya dengan segera Astaroth.
"Kau tidak akan pernah bisa kabur dari ini, Mael," suara Astaroth bergema, dingin namun penuh kekuatan. "Sudah terlalu lama kau berada di luar jangkauan takdirmu. Tapi sekarang kau dihadapkan pada kenyataan bahwa takdir tidak bisa dihindari."
Mael menatap iblis itu dengan sorot mata yang waspada. "Apa yang kau inginkan dariku?"
Astaroth tersenyum tipis, penuh misteri. "Kau sudah tahu jawabannya, anak manusia. Darahmu adalah bagian dari sejarah yang lebih besar. Keluargamu, keturunanmu, semuanya terhubung dengan dunia ini. Itulah mengapa kau bisa melihat kami. Itulah mengapa kau bisa merasakan kekuatan yang mengalir di dalam dirimu. Namun, itu baru awal."
"Kau bilang aku punya kekuatan," Mael mengingat, nadanya menantang. "Lalu bagaimana aku menggunakannya?"
Astaroth memandang Mael dengan pandangan yang tajam, seolah menilai keseriusan pemuda itu. "Kekuatanmu akan terbangun perlahan, melalui ujian dan konflik. Tapi ingat ini, Mael: kekuatan datang dengan harga. Dan setiap kali kau menggunakannya, kau akan semakin dekat dengan kegelapan yang menunggu untuk menelanku."
Mael mengertakkan giginya. "Kalau begitu, aku akan belajar. Tapi aku tidak akan membiarkan diriku ditelan oleh kegelapan."
Astaroth tertawa kecil, terdengar seperti suara gemuruh di kejauhan. "Manusia selalu begitu sombong. Kita lihat sejauh mana tekadmu itu akan membawamu."
Setelah berkata demikian, sosok Astaroth menghilang kembali ke bayangan, meninggalkan Mael dan Kian berdiri dalam keheningan. Kian masih terlihat terpukul oleh pertemuan itu, sementara Mael tampak lebih tegar, meski hatinya dipenuhi kebimbangan.
"Kau baik-baik saja?" tanya Kian akhirnya.
Mael mengangguk. "Aku baik-baik saja. Tapi aku tahu ini belum berakhir. Ini baru permulaan."
Malam itu, Mael tidak bisa tidur. Kata-kata Astaroth terus terngiang di pikirannya, menciptakan ketakutan akan masa depan yang penuh dengan misteri. Di sisi lain, ada juga semangat baru dalam dirinya, keinginan untuk melawan, untuk memahami, dan untuk melindungi dunia dari ancaman yang tidak bisa dilihat oleh orang lain.
Dia tahu, mulai sekarang, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
---
Keesokan paginya, Mael terbangun dengan tubuh yang terasa lelah, namun pikirannya tetap tajam. Setelah pembicaraan dengan Dr. Alaric dan pertemuan kedua dengan Astaroth, dia tahu bahwa dia harus mulai mencari tahu lebih banyak tentang keluarganya. Ada sesuatu yang disembunyikan dalam sejarah keluarganya, sesuatu yang menjadi kunci dari semua kekacauan ini.
"Kita harus mulai mencari tahu tentang keluargamu," kata Kian begitu Mael masuk ke dapur. "Seperti yang dikatakan Dr. Alaric, mungkin di sanalah letak jawabannya."
Mael mengangguk. "Ya, tapi aku tidak tahu harus mulai dari mana. Orangtuaku tidak pernah bercerita banyak tentang asal-usul keluarga kami."
Kian berpikir sejenak, lalu berkata, "Bagaimana dengan dokumen keluarga? Mungkin ada sesuatu yang bisa kita temukan di sana."
Mael terdiam, lalu ingat akan kotak tua yang pernah dilihatnya di rumah orangtuanya. Kotak itu disimpan di loteng, dan dia selalu menganggap isinya hanyalah kenangan lama yang tidak penting. Tapi sekarang, mungkin di dalamnya tersimpan petunjuk tentang siapa dia sebenarnya.
"Kita akan pergi ke rumah orangtuaku," kata Mael tegas. "Ada kotak lama di loteng yang mungkin bisa membantu kita."
Mereka pun segera berangkat. Jalan menuju rumah orangtua Mael terasa lebih sunyi dari biasanya, seolah alam pun ikut menahan napas. Kian mencoba menenangkan suasana dengan beberapa obrolan ringan, tapi Mael tetap fokus pada satu hal: menemukan kebenaran di balik sejarah keluarganya.
Saat tiba di rumah, mereka langsung menuju loteng. Ruangan itu gelap dan berdebu, dengan sinar matahari yang menembus dari celah-celah atap tua. Di sudut ruangan, kotak kayu tua yang pernah Mael lihat masih terletak di tempatnya.
Mael membuka kotak itu dengan hati-hati. Di dalamnya, mereka menemukan berbagai benda, foto-foto lama, surat-surat, dan buku catatan yang sudah menguning karena usia. Tapi ada satu benda yang langsung menarik perhatian Mael: sebuah buku bersampul kulit yang terlihat jauh lebih tua dari semua benda lain di sana.
Dia mengambil buku itu dan membukanya. Halaman-halamannya dipenuhi tulisan tangan yang sulit dibaca, namun di tengah-tengah buku, ada sebuah simbol yang langsung dikenalinya simbol yang pernah dilihatnya di mimpinya, di dunia yang dipenuhi bayangan.
"Kian, lihat ini," kata Mael, menunjukkan simbol itu.
Kian mendekat dan menatap simbol tersebut dengan penuh rasa ingin tahu. "Apa itu?"
Mael menghela napas dalam-dalam, hatinya berdebar. "Aku tidak tahu pasti, tapi aku merasa ini kunci dari semuanya. Kita harus mempelajarinya lebih lanjut."
Dan dengan itu, mereka menyadari bahwa petualangan mereka baru saja memasuki fase yang lebih dalam dan berbahaya.
----
Mael memandangi simbol kuno yang tergambar di halaman tengah buku bersampul kulit itu. Bentuknya rumit, sebuah lingkaran besar dengan garis-garis yang menyilang di tengahnya, menghubungkan beberapa bentuk geometris yang tidak beraturan. Di sekitar lingkaran, terdapat tulisan dalam bahasa yang tidak dikenalnya, sebuah bahasa yang seolah hidup di antara bayang-bayang.
Kian merapatkan diri untuk melihat lebih dekat. "Ini pasti ada kaitannya dengan sesuatu yang besar, Mael. Mungkin ini salah satu dari simbol gaib yang disebutkan dalam teks kuno."
"Ya," jawab Mael, tangannya gemetar saat membalik halaman selanjutnya. "Tapi kita harus tahu lebih banyak tentang ini. Kita tidak bisa sembarangan."
Di bagian akhir buku itu, ada catatan yang ditulis dengan tinta pudar, sepertinya oleh seseorang yang memahami makna simbol itu. Mata Mael tertuju pada satu kata yang muncul berulang kali di catatan tersebut: Anemoi.
"Anemoi?" gumam Mael, mengerutkan kening.
"Bukankah itu istilah Yunani untuk dewa angin?" tanya Kian. "Tapi kenapa ada hubungannya dengan simbol ini?"
Mael menatap Kian dengan kebingungan yang sama. "Aku tidak tahu. Tapi sepertinya ini lebih dari sekadar tentang angin. Ini mungkin nama kelompok atau entitas yang kita belum pahami."
"Kita harus membawanya ke Dr. Alaric," Kian menyarankan. "Dia mungkin bisa membantu kita menerjemahkan ini. Terutama bahasa kuno di sekeliling simbol ini."
Mael mengangguk. "Kau benar. Tapi kita juga harus berhati-hati. Aku tidak tahu apakah mengungkap lebih banyak tentang ini adalah hal yang bijak."
Sambil memikirkan langkah selanjutnya, Mael menyimpan buku itu di tasnya. Pikiran tentang simbol kuno itu terus menghantui mereka sepanjang perjalanan kembali ke universitas.
---
Ketika mereka tiba di universitas, Mael dan Kian segera menemui Dr. Alaric. Profesor itu tengah duduk di kantornya, memeriksa teks kuno yang terbuka di atas mejanya, ketika mereka tiba.
"Profesor, kami menemukan sesuatu," kata Mael tanpa basa-basi.
Dr. Alaric menatap mereka dengan alis yang terangkat. "Apa yang kalian temukan?"
Mael dengan cepat mengeluarkan buku bersampul kulit dari tasnya dan menunjukkannya kepada Dr. Alaric. Sang profesor mengambil buku itu dengan hati-hati, melihat simbol yang tergambar di tengah halaman dengan penuh minat.
"Ini luar biasa," gumam Dr. Alaric. "Simbol ini adalah sesuatu yang jarang sekali dilihat, bahkan di antara teks-teks okultisme. Ini adalah simbol kuno yang berkaitan dengan dunia iblis dan dimensi gaib yang hanya bisa diakses oleh segelintir orang yang memiliki kemampuan khusus, seperti kau, Mael."
"Lalu apa arti kata Anemoi ini?" tanya Mael, menunjukkan catatan yang ditemukan di buku itu.
Dr. Alaric menghela napas panjang. "Anemoi dalam mitologi Yunani adalah para dewa angin, ya. Namun, dalam konteks okultisme, ini lebih dari sekadar dewa-dewa alam. Ini adalah sekelompok entitas gaib yang mewakili kekuatan primordial. Mereka bukan sekadar angin, tapi manifestasi dari perubahan, kekacauan, dan keseimbangan alam semesta."
Kian, yang mendengarkan dengan penuh perhatian, menggelengkan kepalanya. "Apa hubungannya dengan Mael?"
Dr. Alaric menatap Mael dengan tatapan serius. "Jika kau memang memiliki darah yang terikat dengan dunia ini, mungkin keluarga atau leluhurmu membuat perjanjian dengan salah satu dari entitas ini. Anemoi mungkin terlibat dalam perjanjian kuno yang memberi keluargamu kekuatan, tapi dengan harga tertentu."
"Kekuatan apa?" tanya Mael dengan tegang. "Dan harga apa yang harus dibayar?"
"Belum jelas," jawab Dr. Alaric pelan. "Tapi perjanjian semacam itu biasanya melibatkan pengorbanan besar. Kadang-kadang, keturunan keluarga tersebut harus menanggung akibatnya, menjadi penjaga atau pelayan dari kekuatan-kekuatan itu."
Mael merasa hatinya berdebar lebih cepat. "Jadi aku terikat pada mereka? Pada Anemoi?"
Dr. Alaric mengangguk pelan. "Mungkin. Tapi ada sesuatu yang lebih dalam di sini. Simbol ini bukan hanya tentang Anemoi. Ini juga berkaitan dengan iblis-iblis yang sekarang kau hadapi, seperti Astaroth."
Kian menyela dengan penuh kebingungan. "Apa maksudnya? Bagaimana Anemoi dan para iblis itu terhubung?"
Dr. Alaric meletakkan buku itu di atas mejanya dan mulai menjelaskan dengan hati-hati. "Dalam beberapa teks kuno, para Anemoi disebut sebagai pengendali keseimbangan antara kekuatan terang dan gelap. Mereka tidak benar-benar memihak. Namun, para iblis adalah bagian dari sisi gelap itu. Jika keluargamu terlibat dengan para Anemoi, itu mungkin menjelaskan mengapa iblis-iblis seperti Astaroth tertarik padamu."
Mael merasa pandangannya semakin kabur. Segala sesuatu yang terjadi padanya selama ini mimpi-mimpi, pertemuan dengan Astaroth, kemampuannya melihat makhluk gaib semakin masuk akal, tapi juga semakin menakutkan.
"Lalu apa yang harus aku lakukan?" tanya Mael akhirnya.
Dr. Alaric memandang Mael dengan serius. "Kau harus menemukan asal usul perjanjian keluargamu. Hanya dengan mengetahui hal itu, kau bisa mulai mengerti bagaimana membebaskan dirimu dari takdir yang terikat dengan dunia ini. Tapi ingat, setiap langkah yang kau ambil akan semakin memperdalam keterlibatanmu dengan kekuatan yang kau hadapi. Dan sekali kau melangkah lebih jauh, tidak ada jalan kembali."
Mael menunduk, merasa beban di bahunya semakin berat. Namun, di balik rasa takut dan kebingungan, ada tekad kuat yang perlahan tumbuh di dalam dirinya. Dia tahu bahwa apapun yang akan terjadi, dia harus melawan. Dan dia tidak akan menyerah sampai dia menemukan jawabannya.
Dr. Alaric memberinya tatapan penuh arti. "Mulailah dari sejarah keluargamu. Itu akan membawamu pada petunjuk berikutnya."
Mael mengangguk. "Aku akan mencari tahu."
Kian meletakkan tangan di bahu Mael, memberikan dukungan tanpa kata. Meskipun mereka masih tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, Mael merasa sedikit lebih siap. Di dalam hatinya, dia tahu bahwa perjalanan ini baru dimulai, dan dia harus mempersiapkan diri untuk menghadapi kegelapan yang lebih besar di depan.
Dan simbol kuno itu adalah simbol yang menghubungkannya dengan kekuatan-kekuatan di luar dunia ini dan menjadi kunci dari segala sesuatu yang menanti mereka.