Mael menutup ponsel, pikiran dan perasaannya saling bertentangan. Kian,sahabatnya. Sepertinya mulai merasakan sesuatu yang serupa. Dia bukan lagi satu-satunya yang bisa melihat bayangan-bayangan aneh, makhluk-makhluk tak kasatmata yang berkeliaran di sekitar mereka. Dunia gaib yang awalnya tampak seperti mimpi buruk pribadi, perlahan-lahan menjerat orang-orang di sekelilingnya.
Angin dingin dari jendela yang terbuka menyelinap ke dalam kamar, menggigilkan tubuh Mael yang masih terguncang oleh pengalaman barusan. Pikiran Mael terus berputar di sekitar pertemuannya dengan Astaroth. Iblis itu telah memberinya peringatan yang mengerikan tentang makhluk lain yang lebih kuat, lebih mematikan. Belial, Lilith, Azazel nama-nama itu membekas di pikirannya. Makhluk-makhluk ini mungkin akan datang, dan dia harus siap.
Suara langkah kaki terdengar dari luar apartemen. Kian datang lebih cepat dari yang Mael perkirakan. Ketika pintu diketuk, Mael merasakan sesuatu yang aneh. Ada perasaan waspada yang tiba-tiba muncul, seolah dia tahu apa yang akan dia hadapi di balik pintu itu bukan sekadar sahabat lamanya.
Dia membuka pintu, dan di sana berdiri Kian. Wajahnya terlihat kusut, matanya merah seperti kurang tidur. Kian masuk tanpa menunggu undangan, menatap Mael dengan tatapan yang gelisah dan takut.
"Ada apa denganmu?" Mael bertanya, mencoba menyembunyikan kegelisahan dalam suaranya.
Kian menggelengkan kepalanya, berjalan ke arah jendela dan memandangi kota yang berkilauan di bawah. "Mael... apa yang sebenarnya terjadi di dunia ini? Aku... aku melihat sesuatu. Sesuatu yang seharusnya tidak ada."
Mael terdiam sejenak. "Apa yang kau lihat?"
Kian mengusap wajahnya dengan kedua tangan, berusaha menenangkan diri sebelum berbicara. "Bayangan. Sosok hitam yang melayang di atas jalanan. Aku melihat mereka di antara orang-orang, tapi... tidak ada yang memperhatikan. Mereka seolah tidak ada, tapi aku tahu mereka benar-benar ada di sana."
Mael merasakan bulu kuduknya berdiri. Bayangan-bayangan itu makhluk-makhluk gaib yang selama ini dia pikir hanya dia yang bisa melihatnya ternyata juga muncul di hadapan Kian.
"Kapan kau mulai melihatnya?" tanya Mael dengan hati-hati.
"Beberapa hari yang lalu," jawab Kian cepat. "Tapi malam ini... mereka semakin jelas. Aku bisa mendengar mereka berbisik, Mael. Mereka membicarakan sesuatu. Aku tidak mengerti apa yang mereka katakan, tapi aku tahu itu bukan bahasa manusia."
Mael menelan ludah. Ini semua terasa seperti deja vu. Apa yang dialami Kian persis seperti yang dialami Mael beberapa hari sebelumnya mimpi tentang dunia gaib, bisikan dalam bahasa kuno, dan makhluk yang berkeliaran tak terlihat oleh manusia biasa. Apakah Kian juga telah dipilih oleh entitas dari dunia lain?
"Kian," Mael berkata pelan, "aku juga mengalami hal yang sama."
Kian menoleh, menatap Mael dengan terkejut. "Apa maksudmu?"
"Aku bisa melihat mereka. Sejak beberapa waktu lalu, aku mulai melihat makhluk-makhluk yang sama. Mereka bukan bayangan biasa. Mereka... iblis. Roh-roh jahat yang bersembunyi di antara kita."
Kian terdiam sejenak, berusaha mencerna kata-kata Mael. "Jadi, semua ini nyata? Aku tidak gila?"
Mael menggelengkan kepala. "Kau tidak gila. Dunia yang kita kenal... ada lapisan lain di baliknya. Dunia yang penuh dengan hal-hal yang tidak pernah kita bayangkan. Aku juga tidak tahu kenapa kita bisa melihatnya, tapi... sepertinya kita telah terlibat dalam sesuatu yang jauh lebih besar."
Kian menatap Mael dengan mata yang membelalak. "Tapi kenapa? Kenapa kita? Apa yang harus kita lakukan?"
Mael tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu. Dia sendiri masih berusaha memahami semua ini. Namun, pertemuannya dengan Astaroth memberinya sedikit petunjuk. Dia tahu bahwa mereka tidak bisa menghadapinya sendirian. Akan ada lebih banyak makhluk seperti Astaroth yang datang dan beberapa dari mereka mungkin tidak akan datang untuk menawarkan bantuan.
"Kian, kau harus berhati-hati," kata Mael, suaranya dipenuhi kewaspadaan. "Makhluk-makhluk ini... mereka bisa berbahaya. Beberapa dari mereka mungkin mencoba memanfaatkan kita."
Kian mengerutkan alisnya. "Memanfaatkan kita? Untuk apa?"
Mael menghela napas. "Aku belum tahu pasti, tapi... mereka sepertinya menginginkan kekuatan yang kita miliki. Kekuatan untuk melihat mereka. Astaroth, salah satu iblis yang menemuiku, bilang kalau kita adalah kunci. Tapi aku belum tahu apa yang dia maksud."
"Astaroth?" Kian mengulangi, wajahnya menegang. "Kau... bertemu iblis?"
Mael mengangguk, menceritakan secara singkat pertemuannya dengan Astaroth, tentang bagaimana iblis itu menawarkan bantuan dan peringatan tentang makhluk-makhluk lain yang akan datang. Dia juga menjelaskan bagaimana Astaroth telah mengajarinya untuk mulai memahami energi gaib yang mengalir di sekitarnya.
Kian mendengarkan dengan seksama, wajahnya berubah dari rasa takut menjadi campuran rasa penasaran dan ketakutan yang dalam. "Jadi, kita sekarang berada di tengah-tengah perang antara makhluk-makhluk ini?"
"Kurasa begitu," jawab Mael. "Dan kita belum tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan dari kita."
Tiba-tiba, suara keras terdengar dari luar apartemen, seperti sesuatu yang menghantam jendela. Keduanya terdiam, tubuh mereka menegang. Mael berlari ke jendela dan melihat ke luar. Di sana, di sudut jalan yang gelap, ada bayangan besar yang melayang. Lebih besar dari yang sebelumnya pernah dia lihat. Bayangan itu tampak menyelimuti cahaya jalanan, seolah-olah menarik kegelapan ke dalam dirinya.
Kian menghampiri Mael, melihat hal yang sama. "Itu... itu mereka, kan?"
Mael mengangguk. "Ya. Mereka datang."
Bayangan besar itu bergerak perlahan, seperti menelusuri jalan, seolah mencari sesuatu. Mael merasakan jantungnya berdetak cepat. Apa yang sebenarnya mereka cari? Dan lebih penting lagi, apakah mereka sudah menemukan apa yang mereka cari?
"Mael," suara Kian bergetar, "apa yang harus kita lakukan?"
Mael menatap sahabatnya, merasakan gelombang ketakutan yang sama. Tapi di tengah semua itu, ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang membuat Mael sadar bahwa dia tidak bisa terus berlari. Dunia ini, dengan segala kegelapan dan bahaya yang menyertainya, kini menjadi bagian dari dirinya. Dan untuk pertama kalinya, dia merasa bahwa tidak ada jalan keluar.
"Kita harus melawan," kata Mael akhirnya, suaranya lebih tegas dari yang dia kira. "Apapun yang mereka cari... kita harus menghentikan mereka sebelum semuanya terlambat."
Kian menatap Mael dengan penuh keraguan. "Tapi bagaimana kita bisa melawan mereka?"
Mael tidak memiliki jawaban pasti. Tapi dia tahu satu hal dengan Astaroth di sisinya, dia memiliki kekuatan yang bisa dia gunakan. Dan meskipun dia masih belum memahami sepenuhnya, dia tahu bahwa dia tidak bisa menghindari pertarungan ini.
Malam itu, di bawah bayangan yang semakin pekat, Mael dan Kian membuat keputusan penting. Mereka akan menghadapi kegelapan ini, apapun risikonya. Sebuah perjalanan baru telah dimulai, dan mereka tidak punya pilihan selain maju ke depan.
----
Suasana di dalam apartemen Mael terasa semakin mencekam. Bayangan besar yang bergerak di luar jendela seakan memproyeksikan ancaman yang lebih besar dari yang bisa mereka bayangkan. Di dalam, Mael dan Kian terdiam dalam ketegangan. Kegelapan kini bukan lagi konsep yang abstrak, melainkan sesuatu yang bisa dirasakan, dilihat, dan didengar.
"Kau bilang kita harus melawan, Mael," ujar Kian dengan suara serak. "Tapi kita bahkan tidak tahu siapa atau apa yang akan kita hadapi."
Mael mengangguk pelan. Ia sadar sepenuhnya bahwa mereka masih buta terhadap apa yang sebenarnya terjadi. Namun, entah bagaimana, di dalam dirinya, ada dorongan kuat untuk tidak menyerah begitu saja. "Aku tahu," katanya dengan nada tenang, meski ketegangan jelas tergambar di wajahnya. "Tapi kita tidak punya pilihan lain. Jika kita tidak melawan, mereka akan terus mendekat."
Kian mengusap wajahnya, masih berusaha menerima kenyataan yang mendadak menghantam hidup mereka. "Baiklah, jika kita memang harus melawan, apa rencanamu?"
Mael menatap Kian dengan serius. "Pertama-tama, kita perlu tahu lebih banyak tentang apa yang kita hadapi. Astaroth menyebutkan nama-nama lain Belial, Lilith, dan Azazel. Aku rasa mereka adalah iblis yang sama kuatnya, atau bahkan lebih kuat dari Astaroth. Kita perlu tahu bagaimana mereka bergerak, apa yang mereka inginkan, dan cara menghadapinya."
Kian mendengarkan dengan cermat, mengangguk pelan meski rasa takut masih mencengkeramnya. "Tapi... bagaimana kita bisa mengetahui semua itu? Kita bahkan tidak tahu di mana harus mulai."
Mael terdiam sejenak, lalu melirik ke sudut kamarnya, tempat di mana Astaroth muncul sebelumnya. Ia menelan ludah. "Aku akan memanggilnya kembali."
Kian memutar kepalanya cepat, kaget. "Apa? Memanggil Astaroth? Mael, dia iblis! Kau benar-benar ingin mengundangnya lagi ke sini?"
"Astaroth menawarkan bantuannya," jawab Mael tegas. "Aku tahu dia berbahaya, tapi untuk sekarang, dia satu-satunya yang kita punya. Kita perlu jawaban, dan dia mungkin satu-satunya yang bisa memberikannya."
Kian menggigit bibirnya, ragu, tapi akhirnya mengangguk setuju. "Baiklah. Tapi kau harus hati-hati, Mael. Kita tidak tahu motif sebenarnya dari iblis-iblis ini."
Mael tidak membalas, dia tahu Kian benar. Dengan napas panjang, Mael menutup matanya dan mulai memusatkan pikiran. Pikirannya kembali ke pertemuan pertamanya dengan Astaroth, ingatan akan kehadiran dingin yang datang saat ia muncul dari kegelapan.
Perlahan, ia merasakan ruangan menjadi lebih dingin, angin aneh seolah berputar di sekeliling mereka. Di sudut kamarnya, bayangan mulai bergerak, memanjang dan menggeliat seperti asap. Suara desisan lembut mulai terdengar, diiringi dengan bisikan-bisikan yang berasal dari tempat yang tak terlihat.
Kian mundur sedikit, jelas terkejut dengan apa yang terjadi. "Mael... apa yang kau lakukan?"
Mael tidak menjawab. Dia terus memusatkan pikirannya, mencoba menghubungi entitas yang ia tahu kini bersemayam di dalam pikirannya. "Astaroth... aku membutuhkanmu."
Hampir seketika, dari bayangan yang bergerak, sebuah sosok muncul. Astaroth, dengan postur tubuhnya yang tinggi, mata gelap dan sayap-sayap hitam pekat, berdiri di sana dengan keanggunan yang mengerikan. Udara di sekitarnya terasa berat, dipenuhi energi kegelapan.
"Apa yang kau inginkan dariku kali ini, Mael?" suara Astaroth bergetar di ruangan itu, dingin dan penuh kekuasaan.
Kian menatap Astaroth dengan wajah ngeri, berusaha menahan ketakutannya. Namun, Mael tetap tenang, meski hatinya berdegup kencang. "Aku butuh jawaban," ujar Mael dengan tegas. "Tentang iblis-iblis lain yang kau sebutkan—Belial, Lilith, dan Azazel. Apa yang mereka inginkan? Dan kenapa mereka mendekat?"
Astaroth tertawa pelan, suara tawanya seperti bayangan yang menghantui. "Ah, mereka. Penguasa kegelapan yang lainnya. Masing-masing dari mereka menginginkan sesuatu yang berbeda, tapi tujuan mereka sama—mereka ingin memanfaatkan kekuatanmu, Mael. Kekuatan yang kini menghubungkanmu dengan dunia kami. Kau adalah jalan bagi mereka untuk melewati batas antara alam ini dan alam gaib."
Mael merasa jantungnya berdetak semakin cepat. "Kenapa aku? Apa yang membuatku begitu penting?"
Astaroth menatap Mael dengan pandangan tajam, seolah mencoba menembus jiwa manusia itu. "Kau berbeda, Mael. Kau bukan manusia biasa. Di dalam darahmu, ada sesuatu yang kuat, sesuatu yang membuatmu mampu melihat kami dan berinteraksi dengan dunia kami. Mungkin kau belum menyadarinya, tapi kau memiliki warisan kuno yang mengalir dalam dirimu sesuatu yang dicari oleh makhluk seperti kami selama berabad-abad."
"Warisan kuno?" tanya Mael, bingung. "Apa maksudmu?"
Astaroth mendekat, dan dengan nada yang lebih rendah, ia berbisik, "Keturunan dari garis darah tua, yang terhubung dengan makhluk-makhluk seperti kami. Kau adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar dari dirimu sendiri, Mael."
Mael tercengang. Kian yang berdiri di sampingnya juga tampak terkejut, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Garis darah tua? Jadi, Mael punya hubungan dengan... iblis?"
Astaroth tertawa lagi, kali ini lebih keras. "Oh, bukan hanya dengan iblis, Kian. Garis darah Mael terhubung dengan kekuatan primordial, sesuatu yang ada sebelum peradaban manusia terbentuk. Sesuatu yang lebih gelap, lebih dalam."
Mael merasa seluruh tubuhnya merinding. Jika yang dikatakan Astaroth benar, ini berarti dia telah terikat dengan dunia gaib sejak lahir, dan takdirnya jauh lebih rumit dari yang pernah ia bayangkan. Tapi meskipun begitu, dia tahu dia tidak bisa mundur.
"Katakan padaku," Mael berkata, nadanya lebih tegas. "Bagaimana aku bisa melindungi diriku dan Kian dari Belial, Lilith, dan Azazel? Apa yang harus aku lakukan untuk melawan mereka?"
Astaroth menatapnya dengan tajam, senyum samar muncul di bibirnya. "Kau harus mempelajari kekuatan yang ada dalam dirimu. Belajar mengendalikannya. Dan untuk itu, kau membutuhkan bimbinganku."
Mael terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Astaroth. Apakah dia bisa mempercayai iblis ini? Namun, pilihan yang dia miliki semakin terbatas. Jika apa yang dikatakan Astaroth benar, maka ada ancaman yang jauh lebih besar daripada sekadar kegelapan yang melayang di luar apartemennya.
"Apa yang kau inginkan dariku sebagai imbalannya?" Mael bertanya dengan hati-hati.
Astaroth tersenyum, senyum yang penuh misteri dan tipu muslihat. "Aku hanya menginginkan satu hal, Mael. Kesetiaanmu. Jika kau setia padaku, aku akan membantumu. Bersamaku, kau bisa menjadi lebih kuat dari makhluk-makhluk lainnya. Kau bisa mengalahkan Belial, Lilith, bahkan Azazel."
Kian yang berdiri di belakang Mael tampak tidak nyaman mendengar tawaran itu. "Mael, kau tidak bisa begitu saja mempercayainya. Dia iblis!"
Mael menghela napas panjang. Ia tahu Kian benar, namun saat ini, Astaroth adalah satu-satunya yang menawarkan jalan keluar. Dia memandang ke arah Astaroth, lalu berkata dengan mantap, "Aku setuju."
Senyum Astaroth melebar, matanya berkilauan dengan cahaya gelap. "Bagus, Mael. Kau tidak akan menyesal."
Dengan itu, Astaroth memudar kembali ke bayang-bayang, meninggalkan Mael dan Kian dalam keheningan. Mael merasakan udara menjadi lebih ringan, namun beban di pundaknya semakin berat. Dia telah membuat keputusan yang akan mengubah hidupnya selamanya.
Kian menatap Mael dengan penuh kekhawatiran. "Apa yang baru saja kau lakukan, Mael?"
Mael menatap temannya, mencoba meredakan kegelisahan di dalam dirinya. "Aku tidak punya pilihan, Kian. Jika kita ingin bertahan, kita harus tahu lebih banyak, dan Astaroth adalah satu-satunya yang bisa membantu kita sekarang."
Kian menggelengkan kepalanya, masih tampak tidak yakin. "Aku harap kau benar."
Mael tersenyum lemah, meskipun di dalam hatinya, dia tahu bahwa pertarungan yang akan datang tidak akan mudah. Dunia yang dia kenal sudah tak seperti dulu lagi.