Malam semakin larut, dan keheningan kembali menguasai ruangan setelah Astaroth memudar ke dalam bayangan. Mael berdiri di samping jendela, memandangi jalanan kota yang dipenuhi lampu-lampu jalan, namun terasa begitu jauh dari kenyataan yang baru saja dia hadapi. Di belakangnya, Kian masih memandang dengan raut wajah penuh kekhawatiran.
"Mael," Kian memulai, suaranya pelan, "aku masih tidak yakin tentang ini. Kau tahu, tentang Astaroth. Apa yang membuatmu begitu yakin bisa mempercayainya?"
Mael tidak segera menjawab. Dia memandang keluar, pikirannya berkelana. Astaroth telah memberinya beberapa jawaban, tapi jawaban itu malah membuka lebih banyak pertanyaan. Tentang garis darah kuno, tentang kekuatan dalam dirinya, dan tentang pertempuran besar yang sepertinya tak terelakkan. Tetapi, lebih dari itu, ada ketidakpastian besar yang menguasai hatinya. Apa yang sebenarnya diinginkan Astaroth darinya?
"Aku tidak tahu, Kian," kata Mael akhirnya, jujur. "Tapi saat ini, dia satu-satunya yang bisa membantu kita. Kalau tidak, kita tidak akan punya kesempatan melawan makhluk-makhluk itu."
Kian menghela napas berat. "Aku tahu, tapi kita harus tetap berhati-hati. Iblis tidak memberikan sesuatu secara cuma-cuma."
Mael mengangguk setuju. "Aku paham. Tapi, aku juga tidak bisa diam saja. Belial, Lilith, Azazel mereka tidak akan berhenti sampai mendapatkan apa yang mereka inginkan. Kita harus menemukan cara untuk menghentikan mereka sebelum semuanya terlambat."
Kian terdiam, masih bergelut dengan rasa takut yang bercampur dengan rasa tanggung jawab. Mereka telah melangkah ke dalam sesuatu yang terlalu besar, dan tak ada jalan kembali.
Mael duduk di sofa, wajahnya memancarkan lelah. "Kita harus bersiap. Aku akan mulai mempelajari kekuatan yang ada dalam diriku seperti yang dikatakan Astaroth. Tapi kita juga harus mencari tahu lebih banyak tentang iblis-iblis itu."
"Kita butuh bantuan," Kian berbisik, masih berpikir keras. "Kita tidak bisa melakukannya sendirian."
"Kau benar," jawab Mael, meluruskan punggungnya. "Dan aku punya ide ke mana kita bisa meminta bantuan."
Kian menatapnya dengan rasa ingin tahu. "Siapa?"
"Dr. Alaric," jawab Mael singkat. "Dia profesor yang dikenal sebagai ahli sejarah okultisme dan mitologi kuno. Dia mungkin tahu sesuatu tentang makhluk-makhluk ini. Jika ada seseorang di universitas yang bisa membantu kita memahami asal-usul mereka, dia orangnya."
Kian tampak merenungkan ide itu sejenak. "Dr. Alaric? Kau yakin dia tidak akan menganggap kita gila?"
Mael tersenyum tipis. "Mungkin. Tapi aku pernah menghadiri salah satu kuliahnya. Dia punya pemikiran yang terbuka tentang hal-hal gaib, lebih dari profesor lain di kampus. Kalau ada seseorang yang akan percaya pada cerita kita, aku yakin itu dia."
Kian mengangguk pelan. "Baiklah. Kita temui dia besok."
Malam itu, setelah Kian pergi, Mael mencoba tidur. Namun, pikirannya terus berkutat pada pertemuannya dengan Astaroth, pada bayangan besar yang masih membayang di luar sana, dan pada apa yang menanti mereka di hari-hari mendatang. Dunia di sekitarnya terasa berubah selamanya, dan dia tahu bahwa tidak ada lagi yang sama.
Saat Mael akhirnya tertidur, mimpi-mimpi itu kembali. Dia melihat kegelapan, api yang berkobar di kejauhan, dan suara bisikan yang mengerikan di telinganya. Bayangan dari sosok-sosok yang jauh lebih besar dari yang pernah dia lihat sebelumnya. Belial, Lilith, dan Azazel berdiri di kejauhan, mengamatinya dengan mata yang berkilauan penuh kebencian.
"Kami akan datang untukmu, Mael..." suara mereka bergema di benaknya.
Mael terbangun dengan napas tersengal, keringat dingin membasahi dahinya. Dia tahu, waktunya semakin sedikit. Dan pertempuran yang sebenarnya baru saja dimulai.
---
---
Sesampainya di universitas, Mael dan Kian langsung menuju kantor Dr. Alaric, profesor yang dikenal karena pengetahuannya yang luas tentang okultisme dan mitologi kuno. Mael mengingat pertemuan pertama dengan sang profesor, yang dulu dia anggap sekadar akademisi aneh dengan obsesi pada teks-teks kuno. Namun sekarang, Mael menyadari bahwa Dr. Alaric mungkin adalah kunci untuk memahami semua yang terjadi.
Mereka tiba di depan pintu kantor yang berat dan terbuat dari kayu tua. Mael mengetuk dengan hati-hati, mendengar suara langkah mendekat dari dalam. Pintu terbuka, dan Dr. Alaric, pria berusia paruh baya dengan rambut yang sebagian besar sudah memutih, menyambut mereka dengan pandangan penasaran di balik kacamatanya.
"Mael? Kian? Kalian datang tanpa janji. Ada sesuatu yang bisa saya bantu?" Suaranya tenang, namun ada sorot perhatian di matanya yang menunjukkan ketertarikan mendalam.
Mael dan Kian saling bertukar pandang, lalu Mael maju dan menjelaskan dengan hati-hati. "Kami butuh bantuan, Profesor. Ini menyangkut sesuatu yang... aneh, dan kami pikir Anda mungkin satu-satunya orang yang bisa membantu kami."
Dr. Alaric memandang mereka dengan penuh rasa ingin tahu. "Masuklah. Mari kita bicarakan lebih lanjut."
Mereka memasuki kantor kecil itu, penuh dengan rak-rak buku yang tersusun rapi, kebanyakan berisi teks-teks kuno dan manuskrip dari berbagai budaya dan era. Mael dan Kian duduk di kursi yang tersedia, sementara Dr. Alaric mengambil tempat di balik mejanya, menunggu penjelasan lebih lanjut.
"Apa yang terjadi?" tanya Dr. Alaric, suaranya berubah lebih serius saat melihat raut wajah Mael yang tegang.
Mael mulai menceritakan kejadian-kejadian yang terjadi dalam beberapa hari terakhir tentang mimpi-mimpinya, kemampuannya yang tiba-tiba melihat makhluk gaib, dan pertemuannya dengan Astaroth. Saat dia menyebutkan nama-nama Belial, Lilith, dan Azazel, Dr. Alaric terlihat semakin tertarik.
"Menarik," gumam Alaric setelah mendengar cerita itu selesai. "Nama-nama yang kau sebutkan... Belial, Lilith, Azazel mereka bukan iblis biasa. Mereka penguasa dalam hierarki yang jauh lebih tinggi. Belial adalah iblis dari penipuan dan kejahatan, Lilith mewakili kehancuran dan pemberontakan, sementara Azazel adalah simbol dari pengkhianatan."
Mael mencondongkan tubuh ke depan. "Jadi kau tahu tentang mereka?"
Dr. Alaric mengangguk. "Tentu saja. Aku sudah lama mempelajari makhluk-makhluk seperti mereka. Namun, sangat jarang ada seseorang yang bisa berinteraksi langsung dengan mereka apalagi kau yang manusia biasa. Ini membuatku bertanya-tanya... ada apa dengan dirimu, Mael?"
Mael menelan ludah, teringat pada apa yang Astaroth katakan sebelumnya. Tentang garis darah tua yang mengalir dalam dirinya. "Astaroth bilang bahwa aku bukan manusia biasa. Katanya, aku punya hubungan dengan mereka dengan iblis karena sesuatu dalam darahku."
Dr. Alaric terdiam sejenak, merenungkan kata-kata itu. "Ah... kalau begitu, ini lebih masuk akal. Mungkin kau adalah bagian dari warisan kuno. Dalam beberapa legenda, ada keluarga-keluarga yang memiliki keterkaitan dengan dunia gaib, biasanya karena kesepakatan yang dibuat nenek moyang mereka dengan makhluk-makhluk kegelapan. Apakah keluargamu pernah membicarakan sesuatu yang aneh tentang asal usul mereka?"
Mael menggeleng, bingung. "Tidak ada yang pernah bercerita tentang hal-hal seperti itu."
Dr. Alaric menghela napas panjang. "Kalau begitu, kita harus mencari tahu lebih lanjut tentang sejarah keluargamu. Mungkin di sanalah kita akan menemukan jawaban kenapa kau terpilih untuk melihat dunia ini. Sementara itu, aku bisa membantumu memahami lebih lanjut tentang makhluk-makhluk yang kau hadapi. Tapi satu hal yang harus kau ingat, Mael iblis-iblis ini tidak pernah memberi sesuatu tanpa meminta imbalan. Jika kau terikat dengan Astaroth, kau harus berhati-hati."
Mael mendengarkan dengan serius, sementara Kian tetap diam, memproses semua informasi yang baru saja mereka dapatkan.
"Jadi, bagaimana aku bisa melawan mereka?" tanya Mael. "Aku tidak bisa hanya mengandalkan Astaroth, bukan?"
Dr. Alaric tersenyum tipis. "Kau benar. Kau harus mempelajari kekuatanmu sendiri. Ada cara untuk melindungi dirimu, meskipun kau mungkin belum siap untuk itu sekarang. Aku bisa mengajarkanmu beberapa ritual kuno, yang bisa digunakan untuk melindungi dirimu dan orang-orang di sekitarmu dari pengaruh makhluk gaib. Tapi, ini hanya langkah awal."
Mael menatap Alaric dengan penuh rasa syukur. "Terima kasih, Profesor. Aku akan melakukan apa pun yang diperlukan."
Dr. Alaric mengangguk. "Kita mulai dari sini, Mael. Ini hanya awal dari perjalananmu. Kau harus siap menghadapi banyak bahaya di sepanjang jalan. Iblis-iblis itu tidak akan tinggal diam."
Di luar jendela kantor, bayangan mulai memanjang seiring matahari yang mulai terbenam, dan kegelapan malam perlahan menyelimuti kota. Mael tahu bahwa waktu mereka semakin singkat. Pertarungan belum dimulai, namun perasaan bahwa sesuatu yang jauh lebih besar sedang bergerak di balik tirai dunia ini semakin menguat di dalam hatinya.