Mael duduk di tempat tidurnya, tubuhnya masih gemetar meski Astaroth sudah menghilang. Udara di kamarnya terasa tebal, seolah-olah makhluk iblis itu masih ada, mengawasinya dari balik kegelapan. Jantung Mael berdebar kencang, pikirannya berputar di antara rasa takut dan kekaguman akan apa yang baru saja terjadi. Dia tidak pernah membayangkan dirinya akan berhadapan langsung dengan sesuatu seperti ini. Dunia yang dia pikir hanya mitos dan cerita ternyata nyata.
lebih nyata daripada yang pernah dia bayangkan.
Mael memegang kepalanya, mencoba menenangkan pikirannya yang bergejolak. Astaroth, sosok yang legendaris dalam banyak kisah kuno, kini menjadi pendampingnya. Iblis yang dikisahkan sebagai penguasa ilmu dan tipu daya telah memilihnya. Tapi kenapa dia? Apa yang istimewa dari dirinya?
"Ini gila," gumam Mael, suaranya hampir tak terdengar.
Dia berdiri dari tempat tidur, berjalan menuju cermin kecil yang tergantung di dinding kamarnya. Tatapannya terpaku pada bayangan dirinya. Wajahnya terlihat lelah, lingkaran hitam di bawah matanya semakin pekat sejak pertama kali mimpi buruk itu dimulai. Namun, ada sesuatu yang lain dalam tatapan matanya sesuatu yang berubah. Dia bisa merasakannya.
"Apa yang terjadi padaku?" bisiknya pada bayangan dirinya sendiri.
Ketika dia menatap lebih dalam ke pantulan itu, sesuatu mulai bergerak di balik cermin. Bayangan. Perlahan-lahan, bayangan itu tampak semakin jelas, membentuk sosok familiar Astaroth.
"Mael," suara dalam cermin itu terdengar, kali ini lebih lembut, hampir menenangkan, "jangan takut. Ini hanyalah awal dari apa yang akan kau alami. Aku akan mengajarimu... memberikanmu kekuatan yang tak pernah kau bayangkan."
Mael mundur selangkah, terkejut dengan kemunculan mendadak Astaroth dalam pantulan cermin. "Kenapa kau muncul lagi?" tanyanya, suaranya bergetar.
Astaroth tersenyum tipis, matanya yang merah menyala menatap Mael dengan penuh intensitas. "Aku tidak pernah benar-benar pergi, Mael. Kau harus memahami sesuatu begitu kau memutuskan untuk menerima bantuanku, aku akan selalu berada di dekatmu. Aku adalah bayanganmu, kekuatan yang akan kau perlukan untuk bertahan."
Mael menggelengkan kepalanya, merasa dadanya semakin sesak. "Ini terlalu banyak. Aku bahkan tidak tahu apa yang harus kulakukan."
Astaroth tertawa pelan. "Tentu saja kau bingung. Manusia selalu takut pada apa yang mereka tidak pahami. Tapi jangan khawatir. Aku di sini untuk membimbingmu. Kau hanya perlu percaya."
Mael terdiam, menatap Astaroth dengan campuran ketidakpercayaan dan keingintahuan. Bagaimana mungkin dia bisa mempercayai makhluk seperti Astaroth? Dia adalah iblis, sosok yang dalam banyak kisah selalu diidentikkan dengan kehancuran dan kesesatan. Namun, di sisi lain, dia merasa seolah tidak ada pilihan lain. Dunia yang ia ketahui telah berubah, dan tanpa bantuan Astaroth, dia tidak akan pernah bisa memahami apa yang sedang terjadi padanya.
"Baiklah," kata Mael pelan, meskipun masih ada keraguan di dalam suaranya. "Apa yang harus kulakukan sekarang?"
Astaroth tersenyum lebih lebar, tampak puas dengan keputusan Mael. "Pertama-tama, kau harus belajar mengendalikan kemampuanmu. Kau bisa melihat dunia gaib, tapi kau belum bisa memahaminya sepenuhnya. Ada banyak makhluk di luar sana yang akan mencoba memanfaatkan ketidaktahuanmu. Kau harus belajar membedakan mana yang sekutu dan mana yang musuh."
"Aku... aku tidak tahu bagaimana cara melakukannya," Mael mengakui.
"Dan itulah mengapa aku di sini," jawab Astaroth. "Aku akan mengajarimu. Malam ini, kita akan mulai dengan hal-hal dasar. Kau harus belajar untuk mendengarkan bisikan dunia gaib, memahami energi yang mengalir di sekitarmu."
Mael mengerutkan alisnya. "Dengarkan? Energi?"
"Setiap makhluk di dunia ini, baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat, memancarkan energi," jelas Astaroth. "Sebagai seseorang yang memiliki kemampuan untuk melihat dunia gaib, kau juga bisa merasakan energi ini. Itu akan membantumu memahami siapa atau apa yang ada di sekitarmu. Sekarang, duduklah. Pejamkan matamu dan fokus."
Mael merasa ragu, tapi dia menurut. Dia duduk di lantai kamarnya, bersila, dan menutup matanya. Udara di sekitar terasa semakin dingin, dan dia berusaha mengabaikan rasa takut yang merambat di punggungnya.
"Dengarkan dengan hati-hati," suara Astaroth terdengar dari sekelilingnya, meskipun Mael tahu bahwa makhluk itu masih ada di dalam cermin. "Fokus pada napasmu dan rasakan apa yang ada di sekitarmu."
Mael menarik napas dalam-dalam, mencoba fokus. Awalnya, yang dia dengar hanyalah detak jantungnya sendiri dan desiran lembut angin dari luar jendela. Namun, seiring waktu, dia mulai merasakan sesuatu yang lain getaran halus yang datang dari segala arah, seolah-olah udara di sekitarnya hidup.
"Rasakan itu, Mael?" bisik Astaroth. "Itulah energi yang mengalir di antara dunia. Kau sekarang berada di ambang memahami kekuatan ini."
Mael tetap diam, berusaha memusatkan perhatiannya pada getaran yang semakin kuat. Semakin dia fokus, semakin dia merasakan kehadiran makhluk-makhluk di sekitarnya. Bayangan-bayangan yang sebelumnya samar kini terasa lebih jelas. Ada sesuatu yang mengintai di sudut-sudut ruangan, menonton setiap gerakannya.
"Mereka melihatmu," lanjut Astaroth. "Mereka tahu bahwa kau bisa merasakan mereka sekarang. Tapi jangan takut. Kau memiliki kekuatan yang mereka inginkan. Selama kau tetap tenang, mereka tidak akan menyakitimu."
Mael membuka matanya perlahan, perasaan aneh memenuhi dadanya. Ruangan di sekitarnya terasa berbeda,lebih hidup, lebih terisi dengan sesuatu yang tak kasatmata. Dia bisa merasakan kehadiran makhluk-makhluk itu, meskipun dia tidak bisa melihat mereka dengan jelas.
"Ini... ini nyata," bisik Mael dengan suara pelan. "Aku benar-benar bisa merasakannya."
Astaroth tersenyum di dalam cermin. "Tentu saja ini nyata. Dunia ini lebih luas dan lebih kompleks dari yang pernah kau bayangkan. Kau baru saja mulai menggores permukaannya."
Mael berdiri, tubuhnya masih gemetar oleh pengalaman barunya. "Apa yang akan terjadi selanjutnya?"
Astaroth menatapnya dengan mata yang penuh misteri. "Selanjutnya, kau akan mempelajari lebih banyak hal tentang dunia ini, Mael. Kau akan menemukan siapa sekutumu, siapa musuhmu, dan kau akan belajar bagaimana menggunakan kekuatan yang sekarang kau miliki. Tapi ingat setiap langkah yang kau ambil membawa konsekuensi. Dunia ini penuh dengan pilihan, dan setiap pilihan memiliki harga."
Mael merasa dadanya kembali sesak. Dia tahu apa yang dikatakan Astaroth benar. Tidak ada jalan kembali. Dunia yang sekarang dia masuki penuh dengan bahaya, tetapi juga dengan kekuatan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Pertanyaannya adalah, apakah dia siap menghadapi apa yang akan datang?
Dan di saat itu, dia menyadari bahwa hidupnya tak akan pernah sama lagi.
----
Mael berdiri dalam keheningan kamarnya, mencoba memahami apa yang baru saja dia alami. Bayangan dunia yang selama ini hanya dia bayangkan dalam mimpi buruk, kini menjadi nyata di hadapannya. Ia mulai merasakan beban baru yang tak bisa dijelaskan dengan logika biasa. Dunia ini lebih besar dari yang pernah dia pahami, dan dia tahu sekarang bahwa setiap langkah akan membawa konsekuensi berat.
Tatapan Mael beralih kembali ke cermin di mana Astaroth menghilang. Ada kekosongan di dalam dirinya, seolah-olah sesuatu yang sudah lama tertahan kini terlepas. Sensasi aneh yang menghantui jiwanya semakin kuat.
"Mael…" bisik suara dari sudut kamar, lembut namun jelas.
Mael berbalik, dan di sana, di antara bayang-bayang, muncul sosok yang lain. Kali ini bukan Astaroth. Makhluk ini lebih kecil, berbentuk manusia tapi dengan kulit yang mengilat seperti logam, dan matanya berwarna hitam pekat tanpa ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Sosok itu berdiri dengan tegak, tubuhnya hampir tak bergetar, seperti patung yang hidup.
"Siapa kau?" tanya Mael, suaranya lebih tegas dibanding saat bertemu Astaroth.
Makhluk itu melangkah maju, suaranya rendah dan menyeramkan. "Aku hanya pengamat. Seperti banyak lainnya yang akan segera datang. Kau telah membuat keputusan besar, Mael, dan sekarang kau akan menarik perhatian."
Mael mencoba untuk tidak gentar. "Perhatian siapa?"
Makhluk itu tersenyum samar, bibirnya yang kaku hampir tidak bergerak. "Mereka yang menginginkan kekuatan yang ada padamu. Kau sekarang menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari sekadar dunia ini. Di antara kedua alam, kau adalah kunci, dan banyak yang ingin memiliki kunci itu."
"Dan kau?" Mael merasakan napasnya tertahan. "Apa yang kau inginkan?"
Sosok itu tidak segera menjawab. Sebaliknya, ia menatap Mael dengan tatapan yang tampaknya bisa melihat ke dalam jiwanya. "Aku tidak menginginkan apapun darimu, untuk saat ini. Hanya menyampaikan pesan."
"Pesan?"
Makhluk itu melangkah semakin dekat, hingga jarak antara mereka hanya beberapa langkah. Suaranya berubah menjadi lebih seram, lebih mendalam. "Mereka akan datang. Yang lain. Tidak semua seperti Astaroth. Beberapa akan lebih kejam, lebih lapar. Kau harus siap."
Mael merasakan tubuhnya bergetar. "Siapa mereka?"
"Penguasa kegelapan, roh-roh yang sudah ada sejak dunia ini masih muda. Mereka yang pernah disebut dalam legenda, mitos yang kau anggap dongeng belaka. Kau akan bertemu Belial, Lilith, dan Azazel. Mereka tidak akan memberimu pilihan seperti Astaroth. Mereka hanya akan menghisap kekuatanmu, dan pada akhirnya, menghancurkanmu."
Mael menelan ludah. "Lalu, apa yang harus kulakukan?"
Makhluk itu menunduk sedikit, seolah menghormati Mael. "Kau memiliki kekuatan sekarang. Dan dengan kekuatan itu, kau harus memilih siapa yang kau percayai. Tapi berhati-hatilah, Mael. Setiap keputusan memiliki harga, dan beberapa harga terlalu mahal untuk dibayar."
Kemudian, tanpa kata-kata lebih lanjut, makhluk itu memudar dalam kegelapan, lenyap begitu saja seperti asap yang ditiup angin. Mael berdiri sendiri, terdiam dalam kegelapan yang pekat. Napasnya semakin berat, dan jantungnya berdebar kencang.
Di luar, terdengar suara angin yang menghempas kaca jendela. Mael berjalan pelan ke arah jendela, membuka tirai, dan menatap kota di bawahnya. Lampu-lampu jalanan memancarkan cahaya kuning pucat, membelah malam yang semakin kelam.
Dunia ini berubah, pikirnya. Atau mungkin, akulah yang telah berubah.
Tapi sebelum ia sempat merenung lebih jauh, ponselnya berbunyi. Mael menoleh cepat, mengambil ponsel dari meja. Nama Kian muncul di layar.
"Halo?" Mael mengangkat telepon, suaranya masih terdengar gugup.
"Mael, kau di apartemen?" suara Kian terdengar di ujung sana, penuh antusiasme seperti biasa.
"Ya, aku di sini," jawab Mael, berusaha menormalkan nadanya.
"Aku mau pulang. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu."
Mael mengernyit. Kian biasanya tidak terdengar serius seperti itu. "Tentang apa?"
"Sulit dijelaskan lewat telepon. Aku hanya... ada sesuatu yang aneh terjadi malam ini, dan aku rasa kau perlu tahu."
Mael merasa perutnya bergejolak. "Aneh seperti apa?"
"Mael, kau tidak akan percaya kalau aku bilang. Tapi aku pikir... aku mulai melihat hal-hal yang aneh. Seperti... bayangan. Orang-orang yang tidak terlihat oleh orang lain. Dan... ah, sulit dijelaskan. Aku akan segera pulang."
Darah Mael membeku. Apa yang dialami Kian terdengar seperti awal dari apa yang sudah dia alami. Bayangan, sosok-sosok tak kasatmata, kehadiran dunia lain—apakah Kian juga mulai melihat apa yang Mael lihat?
"Baik," kata Mael pelan. "Aku menunggumu."
Ketika Mael menutup telepon, pikirannya kembali berputar. Dunia ini, kenyataan yang baru saja dia terima, mungkin tidak hanya terbatas pada dirinya. Dan jika Kian bisa melihat hal-hal yang sama, maka ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi.
Di luar, angin malam terus bertiup, membawa serta bisikan dari dunia yang tak terlihat. Mael berdiri di tengah ruangan, mencoba mempersiapkan dirinya untuk apa yang akan datang.
Dan dalam hatinya, dia tahu bahwa ini baru permulaan.
---
Di bawah cahaya bulan yang suram, Mael tahu hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Kegelapan mulai menyelimuti, tidak hanya di sekelilingnya, tapi juga dalam jiwanya. Dan sekarang, dengan Astaroth di sisinya dan bayangan dari dunia gaib semakin dekat, dia tahu ada banyak hal yang harus dia pelajari sebelum semuanya terlambat.