Pintu kayu berat di depan Mael berderit pelan saat Profesor Alaric membukanya. Cahaya remang-remang dari lampu tua yang tergantung di langit-langit menerangi ruangan, menciptakan bayangan panjang yang tampak seperti makhluk hidup. Meja kayu besar, rak buku berdebu, dan beberapa simbol kuno tergurat di atas dinding bata membuat ruangan itu terasa seperti diambil langsung dari zaman dahulu.
Mael melangkah masuk, merasa bahwa tiap langkahnya menuntunnya semakin dalam ke dalam misteri yang ia tak pahami. Profesor Alaric menutup pintu di belakangnya, suaranya bergema lembut.
"Selamat datang, Mael. Dunia yang kau lihat... bukanlah hal baru. Sudah ada sejak lama. Kau hanya baru saja menyadarinya."
Mael menelan ludah. "Apa maksud Anda? Apa yang terjadi padaku?"
Profesor itu tersenyum tipis, mengambil posisi di kursi antik di belakang mejanya. "Kau memiliki kemampuan untuk melihat apa yang tak bisa dilihat oleh orang lain. Dunia ini terdiri dari lapisan-lapisan yang berbeda yang terlihat dan yang tersembunyi. Hanya sedikit yang mampu menembus lapisan itu, dan kau, Mael, salah satu dari mereka."
Mael mencoba memahami kata-kata itu. "Tapi kenapa sekarang? Kenapa aku bisa melihat mereka tiba-tiba? Apa mereka iblis?"
Alaric menatap Mael dengan tajam, seperti seorang guru yang siap memberikan pelajaran berat pada muridnya. "Iblis, roh, entitas dari dunia gaib mereka punya banyak nama, tapi esensinya sama. Mereka adalah makhluk yang hidup di luar jangkauan manusia biasa. Beberapa dari mereka hanya mengamati, sementara yang lain berusaha mempengaruhi dunia ini. Kenapa sekarang? Itu karena penghalang antara dua dunia ini mulai menipis."
Kata-kata itu menggema di kepala Mael. "Penghalang?"
Alaric mengangguk. "Ya, sesuatu telah berubah. Dunia kita dan dunia mereka semakin mendekat. Apa yang dulunya tidak bisa dilihat atau dirasakan oleh manusia biasa kini mulai muncul. Dan kau, Mael, entah kenapa, menjadi salah satu yang pertama menyadari hal ini."
Mael menunduk, memproses semua informasi itu. Sebuah perasaan aneh muncul dalam dirinya campuran antara takut dan penasaran. "Apa yang harus kulakukan? Aku tak bisa mengabaikan mereka. Aku terus melihat mereka di mana-mana."
"Pertama," kata Alaric sambil berdiri dari kursinya dan berjalan mengelilingi meja, "kau harus belajar mengendalikan dirimu. Jika mereka tahu kau bisa melihat mereka, beberapa di antara mereka mungkin akan tertarik padamu. Dan percayalah, Mael, tidak semua makhluk dari dunia itu bersahabat."
Mael merasakan bulu kuduknya meremang. "Apakah... ada cara untuk menyingkirkan mereka?"
Alaric tersenyum tipis, tapi kali ini senyum itu dingin. "Menyingkirkan? Tidak, Mael. Kau tidak bisa menyingkirkan sesuatu yang selalu ada. Tapi kau bisa belajar untuk melindungi dirimu, untuk memahami siapa yang menjadi sekutumu dan siapa yang menjadi musuhmu. Ini bukan hanya soal bertahan hidup. Ini soal memahami dunia yang lebih luas dan lebih berbahaya."
Mael merasakan sesuatu yang berat di dadanya. "Bagaimana cara melindungi diri?"
Alaric mendekat, menepuk pundak Mael. "Itulah yang akan kau pelajari dariku, jika kau mau. Aku telah mempelajari hal-hal ini selama bertahun-tahun. Ada cara-cara kuno, mantra, perlindungan, dan juga sekutu di antara mereka yang bisa kita panggil. Tapi pertama-tama, kau harus membuka pikiranmu. Ini bukan hanya tentang ilmu pengetahuan. Ini tentang kegelapan yang lebih dalam."
Mael merasa seperti terjebak di antara dua dunia. Sebuah jalan terbuka di depannya—jalan yang akan membawanya ke kedalaman kegelapan yang belum pernah ia bayangkan. Tapi tak ada jalan kembali. Ia sudah terlalu jauh terlibat.
"Aku siap," jawabnya akhirnya, suaranya terdengar tegas, meskipun hatinya masih dipenuhi keraguan.
Alaric menatapnya dalam-dalam, lalu mengangguk. "Baiklah, Mael. Kita akan mulai dari yang dasar. Tapi ingatlah satu hal—dunia yang kau masuki ini berbahaya. Setiap langkah harus diambil dengan hati-hati. Banyak yang telah tersesat dalam bayang-bayang, dan aku tidak ingin kau menjadi salah satu dari mereka."
---
Malam itu, Mael kembali ke apartemennya dengan kepala penuh pertanyaan dan kekhawatiran. Langit malam di luar terlihat gelap pekat, seolah dunia itu sendiri menanti sesuatu. Angin berdesir di antara gedung-gedung tinggi, membawa bisikan-bisikan aneh yang semakin mempertegas firasat buruk Mael.
Saat dia berbaring di tempat tidur, matanya terpaku pada sudut ruangan yang selalu terasa gelap. Ia bisa merasakan ada sesuatu di sana mengamati, menunggu. Tapi malam ini, berbeda. Ada kekuatan dalam dirinya, meskipun baru sekecil percikan, yang mulai menyadari apa yang sedang terjadi.
Besok adalah awal dari perjalanan yang tidak ia bayangkan akan diambil. Namun, saat tidurnya perlahan menyeretnya kembali ke dunia mimpi yang penuh bayangan, Mael tahu satu hal: dunia yang ia kenal tidak lagi sama. Dan tidak ada jalan kembali.
---
Malam semakin pekat ketika Mael duduk di kamarnya, lampu temaram di meja belajarnya bergetar halus. Pikiran Mael masih dipenuhi dengan percakapan anehnya dengan Profesor Alaric. Ia tahu ada sesuatu yang lebih besar dari dirinya, dan dalam-dalam hatinya, dia tahu dirinya sedang diawasi tapi oleh siapa atau apa, dia tak bisa menjelaskan.
Suasana di apartemennya sangat sepi. Kian, teman sekamarnya, sedang keluar malam itu, dan Mael sendirian dalam keheningan. Dia menutup buku yang sedang dibacanya, mencoba mengalihkan pikirannya dari segala kegelisahan yang merayap. Namun, saat dia beranjak ke tempat tidur, hawa dingin tiba-tiba menyelimuti ruangan.
"Apakah ini hanya perasaanku?" pikir Mael sambil merapatkan jaketnya.
Kemudian, dari sudut matanya, dia melihat bayangan yang bergerak di sudut kamar, bayangan yang bukan miliknya. Sesuatu sedang muncul dari kegelapan. Napas Mael tercekat, tubuhnya kaku di tempat.
Bayangan itu perlahan membesar, berubah menjadi sosok yang lebih padat. Wujudnya tampak tinggi, berotot, dengan sayap gelap yang besar membentang dari punggungnya. Kulitnya seperti terbakar oleh api yang telah lama padam membara dalam kegelapan namun tak memancarkan cahaya. Mata sosok itu merah menyala, menatap Mael dengan intensitas yang mematikan.
Mael berusaha menarik napas, tapi dadanya terasa berat. Dia tahu sosok itu bukan manusia. Ini adalah sesuatu dari dunia lain, sesuatu yang berasal dari mimpinya dari kegelapan yang selama ini dia hindari.
Sosok itu tersenyum, senyum dingin yang penuh makna. "Mael... Akhirnya kita bertemu."
Mael mencoba berbicara, tapi suaranya tersangkut di tenggorokan. Setelah beberapa saat, dia akhirnya berhasil berbisik, "Siapa... siapa kau?"
Makhluk itu tertawa kecil, suaranya bergema, seperti gemuruh badai yang jauh. "Aku adalah Astaroth, Mael. Kau mungkin pernah mendengar namaku dalam legenda, dalam buku-buku kuno. Tapi aku bukan sekadar mitos. Aku nyata, dan aku telah lama menunggumu."
Mael membeku, jantungnya berdebar semakin kencang. "Menungguku? Kenapa aku?"
Astaroth melangkah maju, setiap langkahnya membuat lantai bergetar halus. "Kau memiliki sesuatu yang istimewa, Mael. Kemampuanmu melihat dunia kami bukanlah kebetulan. Kau telah dipilih sejak lama. Penghalang antara dunia ini dan dunia kami melemah, dan kau adalah jembatan di antara keduanya."
Mael merasa tubuhnya bergetar, campuran ketakutan dan ketertarikan merasukinya. "Aku... tidak mengerti. Apa yang kau inginkan dariku?"
Astaroth berhenti, berdiri hanya beberapa langkah dari Mael. "Aku tidak ingin apa pun darimu. Aku di sini untuk membantumu. Kau berada di ambang sesuatu yang besar, sesuatu yang bisa mengubah hidupmu atau menghancurkannya. Jika kau ingin bertahan, kau butuh bimbingan. Dan aku... adalah pendampingmu."
Pendamping? Mael menelan ludah. Ini tidak masuk akal. Seorang iblis seperti Astaroth, salah satu dari nama yang sering disebut dalam legenda kelam menyebut dirinya sebagai pendamping?
"Kau... Kau iblis. Kenapa aku harus percaya padamu?" Mael akhirnya berkata, suaranya masih gemetar.
Astaroth tersenyum lagi, kali ini lebih lembut, namun tetap penuh ancaman. "Ya, aku iblis. Tapi bukan semua iblis menginginkan kehancuranmu. Beberapa dari kami tertarik pada keseimbangan tertarik pada permainan yang lebih besar. Dunia ini berada di titik balik, Mael. Kau bisa menjadi pemain dalam permainan itu, atau kau bisa menjadi korban. Pilihannya ada padamu."
Mael mencoba mencerna kata-kata itu. "Jadi... kau ingin aku menjadi sekutumu?"
Astaroth menggeleng pelan. "Bukan sekutu, Mael. Aku tidak butuh sekutu. Aku menawarkan bimbingan. Kekuatan. Kau memiliki potensi, tapi tanpa arah, kau akan tersesat. Ada makhluk lain di luar sana, makhluk yang lebih kuat dan lebih kejam dariku. Mereka akan memanfaatkanmu, menghancurkanmu, kecuali kau belajar bagaimana menghadapi mereka."
Sebuah perasaan aneh mengisi Mael, campuran ketakutan, ketidakpastian, dan daya tarik yang tak bisa ia tolak. Dia tahu ini berbahaya. Namun, di satu sisi, dia merasakan sesuatu dalam dirinya yang ingin tahu lebih dalam, yang ingin memahami apa yang sebenarnya terjadi di balik tabir realitas ini.
"Jika aku menerima... apa yang akan terjadi padaku?" tanya Mael, meskipun dalam hatinya, dia sudah tahu jawabannya.
Astaroth menatapnya dengan mata merah menyala. "Jika kau menerima bantuanku, kau akan menjadi lebih dari yang kau bayangkan. Tapi ingat, Mael, jalan ini berbahaya. Sekali kau melangkah, tidak ada jalan kembali. Kau akan hidup di antara dua dunia, selalu berada di ambang kegelapan."
Mael terdiam. Dia tahu ini bukan keputusan yang bisa diambil dengan enteng. Namun, pilihan untuk mundur juga tak lagi ada. Dunia yang dulu ia kenal telah berubah, dan dia sekarang berada di tengah-tengah sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Jika dia menolak, dia akan tetap menjadi target. Namun, jika dia menerima... mungkin ada kesempatan untuk bertahan.
Dengan napas panjang, Mael menatap Astaroth. "Baik. Aku terima tawaranmu."
Astaroth tersenyum lebar, seperti seekor predator yang berhasil menjebak mangsanya. "Bagus, Mael. Sangat bagus. Ini hanyalah permulaan dari perjalananmu. Kau akan belajar banyak, melihat banyak hal yang tak pernah kau bayangkan. Dan aku akan selalu berada di sisimu memandu, mengarahkan, dan memastikan kau siap menghadapi apa yang akan datang."
Bayangan di sekeliling Astaroth tampak bergerak liar, seolah bereaksi terhadap keputusan Mael. Udara di ruangan itu semakin berat, dan meskipun dia merasa takut, Mael juga merasakan kekuatan yang perlahan mulai bangkit dalam dirinya.
Pertemuan ini adalah awal dari sesuatu yang lebih gelap dan lebih besar dari yang pernah Mael bayangkan.
---
Saat bayangan Astaroth memudar, Mael terdiam, duduk sendirian dalam kegelapan kamarnya. Apa yang baru saja terjadi telah mengubahnya selamanya. Dia bukan lagi mahasiswa biasa. Dia sekarang terikat dengan sesuatu yang kuno, kuat, dan berbahaya.
Dan mulai saat ini, dunia gaib bukan lagi sekadar mimpi buruk baginya. Itu adalah kenyataan kenyataan yang harus dia hadapi setiap hari.