Keesokan harinya, suasana kampus terasa lebih sunyi dari biasanya. Mael duduk di kantin, memperhatikan keramaian dari sudut pandangnya. Meski terlihat sama, semua yang dia lihat terasa berbeda. Sejak mimpi itu, dia mulai melihat hal-hal aneh di tempat-tempat yang dulu terlihat normal. Setiap bayangan terasa penuh makna, setiap sudut seolah menyimpan rahasia yang tidak diketahui oleh orang lain.
Tatapan Mael tertuju pada seorang mahasiswa yang duduk tak jauh darinya. Sosok itu sedang tertawa bersama teman-temannya, tapi di belakangnya, samar-samar, Mael melihat bayangan hitam yang mengelilingi tubuhnya berputar seperti kabut pekat, perlahan bergerak dan membungkusnya.
Mael mengalihkan pandangannya, napasnya tertahan. Bayangan itu nyata. Bukan hanya ilusi atau hasil dari kelelahan. Pikirannya kembali pada mimpi semalam dan makhluk mengerikan yang muncul di sudut kamarnya.
"Apa yang sebenarnya terjadi padaku?" gumamnya pada dirinya sendiri.
Tanpa disadari, Kian, teman sekamarnya yang biasanya ceria, sudah duduk di seberang meja. "Apa yang kau gumamkan, Mael?"
Mael tersentak kaget, menatap Kian dengan pandangan kosong sejenak sebelum tersadar. "Ah, tidak, hanya... hanya sedang berpikir."
Kian menatapnya dengan alis terangkat. "Kau terlihat pucat akhir-akhir ini. Tidur cukup?"
Mael mengangguk pelan, berusaha tersenyum meskipun di dalam hatinya gelisah. "Iya, cuma terlalu banyak tugas, mungkin. Tidak usah khawatir."
Kian menghela napas dan menyesap kopi hitamnya. "Kau harus lebih santai, bro. Kuliah memang bikin stres, tapi jangan sampai kesehatanmu terganggu." Dia berhenti sejenak, lalu memandang Mael lebih dalam. "Kalau ada yang salah, kau tahu kau bisa cerita padaku, kan?"
Mael tersenyum, tapi tak ada kata-kata yang keluar. Bagaimana dia bisa menjelaskan hal-hal yang tidak masuk akal? Bagaimana dia bisa menceritakan bahwa dia melihat iblis dan makhluk-makhluk lain yang seharusnya hanya ada di cerita horor? Tidak, dia harus menyimpannya sendiri. Setidaknya untuk sekarang.
---
Setelah makan siang, Mael berjalan ke perpustakaan, berharap bisa melarikan diri sejenak ke dalam buku-buku dan tugas kuliahnya. Namun, perasaan tak nyaman itu terus menghantui. Setiap kali dia melihat ke arah sudut ruangan, ada bayangan yang bergerak. Bayangan yang seharusnya diam.
Dia memilih meja di sudut terpencil perpustakaan, menumpuk buku-buku teks di hadapannya untuk menutupi pandangannya dari orang lain. Namun, tak lama setelah dia duduk, sosok yang tinggi dan kurus melintas di antara rak-rak buku. Tubuhnya seperti kabut, tetapi matanya merah menyala. Menatap langsung ke arah Mael.
Mael menahan napas, jantungnya berdegup kencang. Sosok itu tidak bergerak seperti manusia. Ia melayang, seolah-olah gravitasi tak berlaku padanya. Tanpa sadar, tangan Mael mengepal erat di atas meja. Keringat dingin mulai muncul di dahinya.
Dia harus keluar dari sini.
Mael berdiri cepat, melangkah tergesa-gesa menuju pintu keluar perpustakaan. Langkahnya tergesa-gesa, hampir berlari. Namun, saat dia sampai di pintu, sesuatu menghentikannya suara yang bergema di kepalanya, berat dan mengerikan.
"Kau tidak bisa lari, Mael..."
Mael membeku di tempatnya. Suara itu datang dari belakangnya, dari arah bayangan di perpustakaan. Tapi dia tidak berani menoleh. Dengan tubuh yang gemetar, dia mendorong pintu perpustakaan dan berlari keluar.
---
Saat malam tiba, Mael kembali ke apartemennya, tubuhnya kelelahan. Dia terbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamarnya yang gelap. Di sudut ruangan, bayangan tampak bergerak, seperti ada sesuatu yang hidup di dalamnya.
"Tidak mungkin ini nyata," pikir Mael, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Namun, setiap kali dia menutup mata, bayangan-bayangan itu semakin jelas. Wajah-wajah mengerikan muncul di benaknya, makhluk-makhluk yang berbisik dalam bahasa yang tak bisa dia mengerti. Suara-suara itu terus memanggil namanya, memancingnya untuk masuk lebih dalam ke dalam kegelapan.
Dengan napas terengah-engah, Mael membuka matanya lebar-lebar. Kamar itu kosong, tapi dia tahu lebih baik. Sesuatu sedang mengawasinya.
---
Mael terbangun dengan keringat membasahi tubuhnya. Dia tidak bisa lagi membedakan antara mimpi dan kenyataan. Mimpi-mimpi itu menjadi semakin nyata, dan setiap hari, dia semakin yakin bahwa dia berada di ambang sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih mengerikan dari yang bisa dia bayangkan.
Apa pun yang telah dia lihat, makhluk-makhluk itu, bisikan-bisikan kegelapan, semua itu nyata. Dan dia tak bisa lari darinya.
Di dalam hatinya, Mael tahu ini hanya awal dari sesuatu yang mengerikan. Pertanyaan terbesar yang menghantui pikirannya kini bukan lagi kenapa ini terjadi padaku?, melainkan bagaimana aku bisa bertahan?
Apa pun yang sedang terjadi, Mael harus menemukan cara untuk melawannya sebelum bayangan-bayangan itu sepenuhnya mengambil alih hidupnya
Malam semakin larut, namun tidur menjadi hal yang mustahil bagi Mael. Setiap kali dia memejamkan mata, dunia di sekitarnya seakan berubah. Suara gemerisik dari sudut-sudut ruangan, desahan napas yang tidak berasal dari dirinya, dan bayangan-bayangan yang menari di balik tirai gelap kamarnya membuat dadanya terasa semakin sesak.
Saat dia berbalik untuk kesekian kalinya di tempat tidur, suara itu kembali muncul seperti bisikan yang tertiup dari balik dinding, rendah dan penuh kekuatan. "Mael... Kau tidak bisa lari..."
Dia terlonjak bangun, matanya terbuka lebar, jantungnya berdetak keras. Ruangan itu sunyi. Terlalu sunyi. Dia duduk di tempat tidur, menarik napas dalam-dalam dan berusaha meredakan gemuruh di dadanya. Bisikan itu, suara yang sama dengan yang ia dengar di perpustakaan, menghantuinya lagi.
Pikiran Mael kacau. Apakah ini nyata? Ataukah dia sudah kehilangan akal? Sejak mimpi itu, dunianya berubah menjadi labirin ketakutan yang tak bisa dia pahami.
Mata Mael bergerak ke sudut kamar, ke arah bayangan yang terasa lebih pekat daripada biasanya. Di sana, samar-samar, dia melihat sesuatu. Sesosok tubuh samar yang menyatu dengan kegelapan. Tubuh itu bergerak perlahan, semakin dekat, seperti makhluk yang merayap dari kedalaman mimpi buruknya.
"Siapa kau?" Mael berbisik, meskipun dia tahu tak ada jawaban.
Makhluk itu berhenti sejenak, matanya menyala merah dalam bayangan, memandang Mael dengan intensitas yang tak manusiawi. Dan saat Mael berpikir bahwa ia akan menerjang ke arahnya, makhluk itu lenyap begitu saja, menyisakan keheningan yang lebih menakutkan daripada kehadirannya.
---
Esok paginya, Mael bangun dengan tubuh yang lelah dan lingkaran hitam di bawah matanya. Saat dia berjalan menuju kelasnya, setiap langkah terasa berat. Meskipun hari itu cerah, dia merasa terasing dari dunia di sekitarnya. Cahaya matahari terasa tidak bisa menembus kegelapan yang mulai menyelimuti pikirannya.
Saat duduk di kelas, Profesor Alaric, dosen yang terkenal karismatik namun penuh misteri, mulai menjelaskan materi tentang mitos kuno. Kali ini, mereka membahas tentang iblis dalam berbagai budaya. Mael mencoba fokus, tapi pikirannya terus kembali pada sosok yang dilihatnya semalam. Ia mendengar potongan kalimat dari sang profesor tentang entitas gelap, makhluk bayangan, dan bagaimana mereka mempengaruhi manusia dari balik tabir yang tak terlihat.
Mael merasa aneh, seolah-olah materi yang diajarkan hari itu lebih dari sekadar pelajaran akademik. Ada sesuatu yang lebih mendalam, sesuatu yang berhubungan langsung dengan apa yang dia alami.
"Dalam beberapa teks kuno, para iblis bukan hanya dianggap sebagai makhluk yang menghuni neraka, tapi juga sebagai 'pengamat'. Mereka mengintai manusia dari bayang-bayang, menunggu saat yang tepat untuk mempengaruhi pikiran dan jiwa mereka," kata Profesor Alaric sambil berjalan di antara barisan mahasiswa.
Kata-kata itu menggema di kepala Mael. Pengamat? Itu terdengar seperti apa yang ia lihat makhluk-makhluk yang selalu ada di bayang-bayang, menunggu sesuatu.
Saat kelas berakhir, Mael menunggu sampai ruangan hampir kosong sebelum mendekati Profesor Alaric. Dia harus bertanya, harus tahu lebih banyak.
"Profesor Alaric?" Mael memanggil dengan suara pelan, ragu-ragu.
Profesor itu menoleh, menatap Mael dengan mata yang tampak seolah mampu menembus setiap rahasia. "Ada yang bisa kubantu, Mael?"
Jantung Mael berdegup kencang. Dia merasa seperti seorang anak kecil yang akan mengakui sesuatu yang memalukan. "Apa yang Anda katakan tadi... tentang 'pengamat'... apakah itu hanya mitos, atau ada kebenaran di baliknya?"
Alaric menatapnya dalam-dalam, lalu tersenyum tipis, seakan sudah menunggu pertanyaan itu. "Seperti semua mitos, Mael, ada sebagian yang berdasarkan kebenaran. Pertanyaannya adalah, seberapa besar kita mau mempercayai apa yang tidak bisa kita lihat dengan mata telanjang?"
Mael ragu sejenak sebelum berbicara lagi. "Dan... jika seseorang mulai melihat... hal-hal yang tidak seharusnya terlihat?"
Tatapan Profesor Alaric berubah, menjadi lebih tajam. "Apakah kau ingin tahu jawabannya, Mael? Karena begitu kau memulai perjalanan ini, tidak akan ada jalan untuk kembali."
Mael menelan ludah, tubuhnya tegang. "Aku harus tahu."
Profesor Alaric mendekat, suaranya berubah menjadi bisikan yang dalam dan penuh rahasia. "Kalau begitu, temuilah aku nanti malam di ruanganku. Ada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan di depan publik, tapi aku bisa membimbingmu... jika kau siap."
Mael menatapnya, hatinya dipenuhi kebingungan sekaligus rasa penasaran. Apa pun yang dia alami, apa pun kebenaran di balik semua ini, dia tahu hanya ada satu cara untuk mengetahuinya. Dia harus menemui Profesor Alaric malam ini, meskipun perasaannya dipenuhi ketakutan akan apa yang mungkin dia temukan.
---
Saat malam tiba, Mael kembali ke kampus dengan hati yang diliputi rasa was-was. Setiap langkah yang dia ambil menuju ruang Profesor Alaric terasa seperti langkah menuju sesuatu yang tak bisa dia kendalikan. Pintu ruangan profesor tampak besar dan berat, seolah-olah memisahkan dunia manusia biasa dari dunia yang lebih gelap.
Saat dia mengetuk pintu, Mael menyadari bahwa inilah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar daripada dirinya. Sesuatu yang telah menunggu sepanjang hidupnya, tersembunyi di balik bayangan.