Setelah meninggalkan hutan yang diliputi bayang-bayang pemburu fragment, Van dan Lyria melanjutkan perjalanan menuju wilayah bernama Valeria Basin. Menurut informasi yang dimiliki Lyria, fragment kedua disembunyikan di sebuah kuil tua yang terlupakan di tengah lembah tersebut. Namun, perjalanan ke sana tidaklah mudah. Lembah itu dikenal sebagai wilayah berbahaya yang dihuni oleh makhluk-makhluk buas dan penuh dengan medan berbatu yang sulit dilewati.
Perjalanan ke Valeria Basin memakan waktu tiga hari. Di sepanjang perjalanan, Van terus memikirkan kata-kata Lyria tentang resonansi dengan fragment. Semakin banyak yang ia pelajari tentang dirinya, semakin besar pertanyaan yang muncul. Jika dirinya benar-benar terhubung dengan Outsider, apa artinya itu bagi masa depannya? Bisakah ia dipercaya untuk menjalankan misi ini, atau ia hanya akan membawa kehancuran?
Namun, Van menyadari bahwa tidak ada waktu untuk meragukan diri. Setelah insiden dengan pemburu fragment, ia paham bahwa bahaya selalu mengintai, dan ia harus tetap fokus.
"Valeria Basin berada di depan," kata Lyria, memecah keheningan. "Kuil tempat fragment kedua tersembunyi disebut Sanctum Aurora. Tempat itu dulunya adalah pusat peradaban kuno yang memuja dewa pelindung cahaya. Namun, setelah perang dengan Outsider, tempat itu ditinggalkan dan dikutuk."
Van menatap cakrawala. Dari kejauhan, ia bisa melihat lembah yang dimaksud. Di tengah-tengah lembah, berdiri reruntuhan besar yang terlihat seperti bekas kuil megah. Namun, auranya terasa gelap dan penuh dengan keputusasaan.
"Kutukan apa yang ada di tempat itu?" tanya Van.
Lyria menatap lurus ke depan. "Tidak ada yang tahu pasti. Tapi desas-desus mengatakan bahwa penjaga fragment kedua masih tinggal di sana, menjaga tempat itu dari siapa pun yang mencoba mendekat."
Saat mereka tiba di lembah, udara menjadi lebih dingin, dan kabut mulai menyelimuti tanah. Langit yang tadinya cerah berubah mendung, seolah-olah tempat ini menolak keberadaan mereka. Langkah kaki mereka menggema di antara bebatuan yang retak, dan suara angin yang berdesir terdengar seperti bisikan-bisikan samar.
Ketika mereka semakin dekat ke kuil, Van melihat sesuatu yang aneh. Di tanah, terdapat jejak kaki besar yang tidak menyerupai manusia. Jejak itu tampak baru, menandakan bahwa sesuatu atau seseorang baru saja melewati daerah ini.
"Sepertinya kita tidak sendirian," gumam Van, tangannya sudah bersiap di gagang pedangnya.
Lyria mengangguk. "Hati-hati. Penjaga kuil ini dikenal sebagai Warden of the Light, tetapi selama berabad-abad, ia telah berubah menjadi sesuatu yang lain. Kutukan tempat ini telah mengubahnya menjadi makhluk yang kehilangan akal, hanya berpegang pada tugasnya untuk melindungi fragment."
Van menarik napas dalam-dalam. "Kalau begitu, kita harus bersiap untuk pertarungan."
Ketika mereka memasuki Sanctum Aurora, suasana berubah drastis. Interior kuil yang dulu megah kini dipenuhi oleh tanaman merambat yang membusuk, pilar-pilar yang retak, dan patung-patung dewa yang hampir hancur. Di tengah ruangan utama, terdapat altar besar yang memancarkan cahaya redup.
Namun, sebelum mereka bisa mendekat, suara gemuruh mengguncang ruangan. Dari kegelapan, muncul sosok besar dengan mata yang bersinar kuning. Warden of the Light berdiri di depan mereka, tubuhnya yang seperti golem terbuat dari batu bercampur cahaya. Di dadanya, terlihat fragment kedua, yang memancarkan energi kuat.
"Pergi," suara berat Warden menggema di ruangan itu. "Fragment ini bukan milikmu. Siapa pun yang mencoba mengambilnya akan dihancurkan."
Van menyiapkan pedangnya, sementara Lyria merapal mantra. "Kita tidak punya pilihan," katanya. "Makhluk ini tidak akan mendengarkan alasan. Bersiaplah, Van."
---
Pertarungan melawan Warden dimulai.
Van berlari ke depan, mencoba menyerang Warden dari samping. Namun, makhluk itu bergerak dengan kecepatan yang mengejutkan untuk ukurannya. Dengan satu ayunan lengannya yang besar, ia hampir menjatuhkan Van ke tanah. Van berhasil menghindar di saat terakhir, tetapi dampaknya membuat lantai kuil bergetar.
Sementara itu, Lyria melemparkan serangan sihir ke arah Warden, tetapi pelindung cahaya di tubuhnya memantulkan serangan itu. "Pertahanannya terlalu kuat!" serunya. "Kita harus menemukan cara untuk menghancurkan pelindungnya!"
Van mengamati Warden dengan saksama. Ia melihat bahwa fragment di dadanya adalah sumber energi makhluk itu. "Pelindungnya berasal dari fragment!" teriak Van. "Kita harus menyerang langsung ke pusatnya!"
Dengan taktik baru, Van dan Lyria bekerja sama. Lyria menggunakan sihirnya untuk menciptakan ilusi, mengalihkan perhatian Warden. Saat makhluk itu sibuk melawan bayangan-bayangan palsu, Van melompat ke atas, memusatkan seluruh kekuatannya ke satu serangan.
Mata Van kembali menyala merah. Dalam sekejap, ia merasakan energi yang sama seperti sebelumnya, sebuah kekuatan yang datang dari dalam dirinya. Dengan teriakan keras, ia menusukkan pedangnya tepat ke fragment di dada Warden.
Terdengar suara ledakan, dan cahaya menyilaukan memenuhi ruangan. Warden mengeluarkan raungan terakhir sebelum tubuhnya hancur menjadi pecahan batu.
Setelah pertempuran berakhir, Van berjalan ke tengah ruangan, tempat fragment kedua sekarang tergeletak di lantai. Cahaya dari kristal itu berdenyut perlahan, seolah-olah hidup. Saat Van menyentuhnya, sebuah suara kembali terdengar dalam pikirannya.
"Fragment kedua telah ditemukan. Kau mulai mendekati kebenaran, Van. Tapi perjalananmu baru saja dimulai."
Van menggenggam fragment itu erat, merasa bahwa setiap langkah membawanya lebih dekat ke takdirnya. Lyria mendekatinya, wajahnya terlihat puas tetapi juga cemas.
"Kau melakukan hal yang luar biasa, Van," katanya. "Tapi setiap fragment yang kau temukan akan membuatmu lebih dekat dengan bahaya. Para pemburu tidak akan tinggal diam setelah mengetahui bahwa kita berhasil mendapatkan ini."
Van mengangguk. "Aku tahu. Tapi aku tidak akan mundur. Kita harus melanjutkan perjalanan ini, apa pun risikonya."
Dengan dua fragment di tangan, Van dan Lyria meninggalkan kuil, menyadari bahwa mereka tidak hanya melawan waktu, tetapi juga melawan kekuatan yang lebih besar dari yang pernah mereka bayangkan.