Chereads / Chronophobia (Indonesia) / Chapter 44 - Trauma

Chapter 44 - Trauma

Di hari senin tanggal 11 Desember Sastra masuk ke sekolah seperti biasa. Dia meletakkan tasnya lalu berkumpul dengan circlenya. Tidak seperti biasanya mereka berkumpul di pagi itu, apalagi mereka juga tampak serius. Saat Sastra datang dia mendengar Lulu berkata, "Biarin aja wes kita bisa cari pengganti buat dia, kalian beneran mau sama tukang coli itu?" "Ya bisa aja, tapi kan kita udah latihan 2 minggu buat panen karya, gak bisa kalau tiba-tiba diganti. Sekarang dia juga gak masuk dan gak bisa dihubungi," keluh Becca. 

Aku yakin mereka lagi bicarain Martin, tapi kenapa? Oh ya, aku belum dapet kabar apapun tentang dia. Dia juga gak masuk beberapa hari ini, mungkin gak masuk juga ya hari ini? Yang penting aku bisa tenang sekarang, aib Martin sudah terungkap dan dia gak akan bisa melakukan hal-hal buruk lagi pada Isabel.

Sastra berdiri di samping Levin dan Fatih yang juga sedang mengobrol. Mereka semua mengelilingi Becca yang menjadi pusat perhatian. Isabel yang berada di sampingnya tampak masih murung. Setelah melihat video itu dia jadi tertekan, tetapi tidak ada yang benar-benar membantunya melalui hal ini. Entah karena mereka tidak peduli atau karena tidak menyadari kalau pakaian olahraga yang dipakai itu milik Isabel. Meskipun begitu, Becca yang menjadi sahabatnya langsung menyadari perubahan dari emosi Isabel, sehingga hanya dia yang benar-benar membantunya.

Lalu Levin bertanya, "Sebenernya gue agak khawatir, soalnya dari hari jumat dia gak masuk. Gimana kalau hari ini dia juga gak masuk?" "Nah, makannya itu gimana band musik kita nanti, aku udah latihan vokal loh," ucap Becca. Lalu Lily memberikan saran, "Kalau Lily pikir kita mending nunggu apa hari ini dia masuk atau tidak," dengan kesal Becca menyela, "Terus kalau memang Martin gak masuk mau gimana?" Lily pun berhenti dan tampak bingung, "Itu… Aku juga gak tau." 

Kemudian datanglah saran lain dari orang yang tidak terduga, yakni Isabel. Dia berkata, "Kita harus mengecek ke rumahnya Martin dan lihat gimana keadaannya sekarang. Dia pasti depresi setelah video itu tersebar makanya gak masuk sekolah, setidaknya kita harus mencarinya." Semua anak pun terdiam karena Isabel yang menjadi korban Martin masih peduli padanya. Sastra pun membatin, Isabel kenapa kamu masih peduli dengan anak sialan ini? Apa jangan-jangan kamu menyukainya, kenapa?

Lalu Fatih pun memecah keheningan itu dengan berkata, "Ide yang bagus kalau dia gak masuk, nanti pas pulang mending kita lihat keadaannya. Jadi, siapa yang mau ikut?" Tidak ada yang mengajukan diri. Bahkan Isabel yang memberikan usulan itu tidak mengajukan dirinya. Melihat tidak ada respons Fatih pun berkata, "Yaudah nanti aku, Levin sama Sastra yang akan jenguk ke rumah Martin. Sek salah, seingetku dia itu tinggal di kos bukan rumah sendiri." 

"Kos?" tanya Becca yang dijawab, "Ya, dulu aku sama anak-anak lain pernah main ke sana. Tempatnya gak jauh dari sekolah kok. Oh ya kalian berdua bisa kan?" Sastra menjawab, "Bisa-bisa aja," Levin juga menjawab, "Sama aku bisa." 

Ternyata seharian itu Martin tidak masuk ke sekolah lagi dan masih tidak ada kabar darinya. Akhirnya sepulang sekolah Fatih, Levin dan Sastra berkumpul di dalam kelas. Sastra berkata, "Jadi, kita bertiga aja yang ke kos-kosannya Martin?" Kedua temannya mengangguk dan Levin berkata, "Jujur anak kelas kita yang lain pada gak mau buat nyari Martin. Minimal mereka bantu apa gitu buat panen karya, kayak nyari Martin." Fatih paham dengan keluhan Levin lalu menjawab, "Sudah sudah, biar mereka melakukan apa yang mereka mau, yang penting kita bantu nyari Martin. Ayo berangkat sekarang." 

Sepanjang perjalanan Sastra diam saja dan kurang aktif selama pembicaraan atau diskusi yang berkaitan dengan Martin. Karena dia berusaha menutupi rasa khawatirnya. Bagaimana jika ternyata terjadi sesuatu yang buruk pada Martin. Karena jika ditelusuri lagi pelaku penyebaran video itu adalah Sastra. 

"Males gua, kalau kita nyari Martin pasti disebut antek-anteknya Martin si tukang coli sama anak-anak," keluh Levin. Fatih pun menjawab, "Jangan dihiraukan, mereka itu udah gak bantuin apa-apa dan hanya bisa menghujat. Orang-orang kayak gitu gak perlu dianggap serius." Mereka terus mengobrol tentang berbagai topik dengan lumayan pesimis, tetapi Sastra hanya diam dan kadang menjawab atau tertawa dengan sarkas yang mereka katakan. 

Saat sampai di depan kos mereka bertemu dengan teman-teman mereka yang tinggal di kos itu. Mereka sedang nongkrong di salah satu kamar dan menyeduh kopi untuk menemani sore hari itu. Salah satu dari anak itu pun mengenali mereka dan memanggil Levin, "Eyy Levin, tumben kamu mampir ke kos kita. Sini–sini ikut kita nonton, kamu mau kopi gak?" Levin pun menjawab, "Oh, enggak perlu, gue ke sini mau nyariin Martin. Kalian tau Martin kemana gak, dari minggu kemarin sampai sekarang dia gak dateng ke sekolah?"

Dia langsung menatap ke temannya yang berada di dalam kamar lalu kembali menatap Levin sambil menjawab, "Kita gak tau kemana dia, sejak videonya tersebar dia menghilang begitu aja. Udahlah, ngapain nyariin anak kayak gitu, paling dia pergi keluar kota atau apalah buat melarikan diri. Mending sama kita aja, noh kopinya udah ada." 

"Yaudah gue mau ikut ngopi, kalian lagi nonton apa emang?" kata Levin sambil menghampiri mereka. Sastra yang melihat Levin melupakan tugas utamanya mencari Martin pun memanggilnya, "Ssst, Vin kita harus nyari Martin, kamu ngapain malah ikut sama mereka?" Dengan santai Levin menjawab, "Kalian aja, coba liat ke kamarnya, paling dia sembunyi di sana dan gak mau keluar. Aku mau ngopi dulu." Sastra dan Fatih pun saling menatap, akhirnya mereka terpaksa melanjutkan pencarian tanpa Levin. 

Sastra mengikuti Fatih yang sudah pernah berkunjung ke sini dan menaiki tangga menuju lantai 2. Di ujung lorong setelah menaiki tangga terdapat kamar milik Martin. Fatih berhenti lalu menunjuk ke ruangan itu sambil berkata, "Itu dia kamar Martin, menurutmu dia ada di sana?" "Gak tau, mari kita lihat," jawab Sastra. Lalu keduanya berjalan ke depan pintu kamar itu. Entah kenapa Sastra merasa bulu kuduknya merinding saat berdiri di depan kamar itu. Dia membatin, Firasatku buruk, kayak ada yang gak beres…

Lalu Sastra mengetuk pintunya 3 kali dan memanggil nama Martin, "Martin, kamu di dalam? Kalau iya jawablah…" Tidak ada jawaban, lalu Sastra mengetuk pintunya lagi dan masih tidak ada jawaban. "Mungkin dia gak ada di dalam," kata Fatih. Lalu Sastra mencoba membuka pintunya dengan memutar gagang pintunya. "Pintunya juga terkunci," kata Sastra. Fatih pun berkata, "Mungkin yang dikatakan temennya di bawah tadi bener, dia pergi keluar kota dan meninggalkan kamar kosnya." Sastra tidak langsung mempercayai asumsi kosong itu, dia menjawab, "Mungkin… Mending kita tanya ke ibu kos, mungkin dia meninggalkan pesan atau sesuatu."

Kemudian keduanya turun ke lantai 1 dan mengetuk kamar ibu kos. Ibu kos itu dengan cekatan membuka pintu kamarnya. Seketika dia mengenali Fatih dan berkata, "Ah, Fatih gimana kabarmu nak? Ada apa ke sini?" Fatih salim terlebih dahulu diikuti Sastra sebelum akhirnya mengungkapkan niatnya, "Kami ke sini buat nyari Martin bu, apa dia pergi dari kos ya? Soalnya di sekolah dia sudah gak masuk sampai hari ini." 

"Oh itu saya gak dapet pesan apa-apa tuh, tapi saya memang belakangan ini gak ketemu Martin. Pasti ini tentang masalah video itu ya, saya juga dikirimi video itu. Saya udah coba tanya ke temen-temennya waktu itu dan waktu saya datangi ke kamarnya anaknya gak ada dan dikunci…" 

Gak ada kabar dan kamarnya dikunci, apa jangan-jangan dia sudah mati? Atau beneran Martin pergi keluar kota? Sial, aku gak tau apa yang terjadi sama anak ini. Gimana kalau ternyata dia sudah mati?

Untuk menenangkan rasa cemasnya Sastra berkata, "Mungkin kita bisa pinjam kunci untuk membuka kamarnya bu, memastikan semuanya aman." Ibu kos itu pun tampak berpikir sejenak baru menjawab, "Hmm, yasudah gak papa sebentar aja, ini kuncinya habis kalian selesai kembalikan lagi, oke?" Keduanya menjawab dengan bersamaan, "Oke bu, terimakasih." Kemudian ibu kos itu memberikan kuncinya pada Sastra dan mereka berdua naik lagi ke atas. 

Mereka berdua kembali berdiri di depan pintu itu dan Sastra merasa detak jantungnya seperti akan copot. Tangannya berkeringat dingin hingga membuat lembap kunci yang ia pegang. Fatih yang tidak sabar berkata, "Cepet buka pintunya Sas, biar kita bisa cepet pulang." Sastra yang dalam keadaan takut menjawab dengan kesal, "Oke oke sabar lah, ini kubuka sekarang." Perlahan Sastra memasukkan kunci ke dalam lubang di dalam pintu itu. Ia memutarnya sampai membuat bunyi 'klik' sehingga tidak terkunci lagi pintunya. 

Kemudian dia memutar gagang pintu itu sampai pintunya terbuka. Aroma busuk langsung menerjang mereka berdua sampai Sastra memalingkan wajahnya sambil menutup hidung dengan tangannya. Lalu Sastra melirik kondisi kamar yang disinari oleh lampu yang masih menyala. Di lantai terlihat tubuh Martin yang tergeletak tidak bernyawa. Darah yang sudah mengering di lantai, meja, kursi bahkan tempat tidur. Warnanya sudah mulai berubah menjadi cokelat dengan mempertahankan aroma besi yang kuat. Di lantai juga terdapat bekas urin dan feses yang keluar dari celana Martin yang sudah mulai mengering dan membusuk. Di lantai terdapat tali pramuka yang Sastra kenali karena pernah digunakan sebagai properti syuting film dan di tempat tidur ada cutter yang berlumuran darah. Kulit Martin mulai membusuk, wajahnya tampak kendur dengan mulut terbuka dan mata melotot yang sudah berubah warna. 

Mata Sastra langsung melotot dengan lebar dan jantungnya terasa seakan berhenti. Sekarang seluruh tubuhnya mengeluarkan keringat dingin. Dia membeku di tempat dan tidak bisa memalingkan pandangannya. Gambaran kondisi jasad Martin dan kondisi kamar itu tidak bisa menghilang dari matanya. Bahkan ketika ia menutup matanya dia masih bisa melihat Martin yang tergeletak tak bernyawa. Pemandangan ini mengingatkannya pada setiap percobaan bunuh diri yang dilakukan ayahnya. Sastra selalu takut kehilangan ayahnya karena bunuh diri, tetapi sekarang temannya sendiri telah meninggal karena bunuh diri.

Di belakangnya Fatih langsung berkata dengan panik, "Aku panggil ibu kos dulu, biar dipanggilkan polisi. Kamu tunggu sini aja Sas." Lalu dia berlari sekencang mungkin ke bawah untuk memanggil bantuan. Sekarang tersisa Sastra dan jasad Martin yang sudah tidak bernyawa. 

NO NO NO NO NO NO NO NO NO NO NO NO NO NO NO! Gak mungkin pasti ini hanya halusinasi kan? Gak mungkin Martin mati beneran, Martin… Dia sudah membusuk. Dia sudah mati, dia bunuh diri… Gara-gara aku, karena aku nyebarkan video itu…

Sastra langsung merasa mual yang tak tertahankan, dia langsung berlari ke toilet dan muntah di wastafelnya. Semua makanan dan minuman yang ia konsumsi seharian itu dikeluarkan dan terbuang ke dalam wastafel. Dia mengeluarkan semuanya hingga perutnya kosong. Tanpa ia sadari air mata mengalir ke pipinya dan napasnya pun semakin cepat. Sastra kemudian menyalakan keran air dan membasuh bekas muntahnya serta membasuh wajahnya. 

Di saat itu ibu kos beserta anak-anak lainnya datang ke atas untuk melihat kondisi kamar itu. Saat ibu kos melihatnya dengan matanya sendiri, dia langsung berteriak, "Astagfirullah! Ya Allah, kenapa Martin meninggal seperti ini?!" Lalu dari belakang Fatih berkata, "Saya sudah panggilkan polisi bu, mereka akan segera datang." Levin, Fatih dan anak-anak kos lainnya melihat ruangan Martin dan mereka semua menunjukan ekspresi syok yang nyata. Mereka tidak menyangka Martin yang selalu ceria akan meninggal dalam keadaan mengenaskan. 

Dari depan wastafel Sastra melirik ke arah kerumunan orang itu, dengan wajah yang pucat ia berjalan mendekati mereka. Levin pun menyadari keadaan Sastra dan bertanya, "Kamu kenapa Sas, keliatan pucat banget?" Sastra melambaikan tangannya dan menjawab, "Gak papa, aku cuma muntah aja barusan. Jangan khawatir, kalian harus khawatirkan Martin daripada aku." "Enggak bisa, kita semua memang syok, tapi kalau kamu sampai muntah dan kesehatanmu memburuk nanti jadi masalah baru. Ayo kita turun, ku ambilkan air di bawah," kata Fatih. Dengan senyuman pahit Sastra menjawab, "Makasih." 

Mereka sungguh tidak tau kalau pelaku penyebaran video itu adalah orang yang sedang mereka tolong. Pelaku yang menyebabkan Martin bunuh diri adalah teman mereka sendiri. Sastra yang menjadi satu-satunya orang yang tau, mendapatkan efek yang paling besar. Dia mendapatkan trauma hingga tidak bisa menyingkirkan gambaran kondisi mayat Martin dari pikirannya. Tiba-tiba Sastra tersadar bahwa polisi akan segera datang yang berarti akan dilakukan investigasi. 

Aku harus akting normal pas polisinya dateng, aku gak bisa kelihatan ketakutan atau terlihat merasa bersalah. Setidaknya aku bisa melewati pertanyaan-pertanyaan mereka, harusnya aku menjadi saksi. Fuck! Kenapa harus jadi begini?! Aku gak bisa mempertahankan aktingku dalam kondisi pikiran yang kayak gini…

30 menit kemudian di luar kos terdengar suara sirine mobil polisi yang tidak berhenti. Beberapa polisi keluar dari mobil itu lalu segera mengerjakan tugas mereka masing-masing. Kepala dari polisi itu berkata, "Segera amankan TKP, jangan biarkan orang dari luar untuk masuk." Kemudian mereka segera menuju lantai 2 dan memasang garis polisi untuk sementara. Di luar bangunan itu juga dipasang garis polisi yang menutup akses keluar masuk. 

Sastra, Fatih dan Levin sedang duduk di kursi memperhatikan polisi-polisi itu yang bekerja dengan cekatan. Kos-kosan yang tadinya sepi sekarang menjadi ramai dan suasananya menegangkan. Lalu ada 1 polisi mendatangi mereka dan bertanya, "Kalian yang pertama kali menemukan jasadnya?" Fatih menjawab, "Iya pak." Lalu dengan suara yang tegas pak polisi itu berkata, "Kalian harus ikut ke kantor polisi untuk memberikan keterangan."