Chereads / Chronophobia (Indonesia) / Chapter 45 - Keterangan

Chapter 45 - Keterangan

Mereka bertiga diantar ke kantor polisi menggunakan mobil polisi yang cukup sempit. Sastra dan Fatih duduk di dekat jendela, sedangkan Levin duduk di tengah. Akhirnya mereka sampai di kantor polisi itu yang letaknya agak jauh. Kemudian mereka diantar ke dalam dan dipersilahkan duduk di bangku. Polisi itu berkata, "Duduk dulu di sini, tunggu habis ini kalian akan dipanggil." Setelah mengatakan itu dia pergi begitu saja.

Sastra, Fatih dan Levin merasa diperlakukan seperti kriminal yang baru saja tertangkap. Di sana mereka juga tidak sendiri dan lumayan banyak orang yang duduk menunggu. Levin yang tidak berani mengatakan bahwa dia tidak menemukan jasadnya langsung, berkata, "Guys, gue gak tau apa-apa loh, gimana nanti kalau ditanyai? Aku jawab apa?" Fatih menjawab, "Jawab sejujurnya aja, yang penting kamu gak bohong dan ngasih tau sesuai yang kamu alami." "Kita gak dipenjara kan?" tanya Levin dengan cemas. "Enggak, kita gak ngapa-ngapain kok, harusnya kita cuma jadi saksi." 

Selama mereka berdua mengobrol Sastra tetap diam seperti patung. Di dahinya terlihat jelas keringat dingin yang banyak. Dia juga terus menatap ke lantai dan tidak merespon lingkungan sekitarnya. Sastra masih merasakan efek dari trauma setelah melihat langsung mayat Martin. Meski kondisi tubuhnya sudah membaik, tetapi pikirannya masih berkabut. Dia mengkhawatirkan tentang apa yang akan terjadi setelah ini. Apa yang akan ditanyakan oleh polisi? Apa yang harus ia jawab? Yang pasti jawaban itu harus memperkuat alibinya dalam kasus ini dan menjauhkannya dari tuduhan tersangka. 

Tidak lama kemudian Levin dipanggil masuk ke dalam salah satu ruangan di kantor itu. Dengan gugup dia menatap kepada kedua temannya lalu masuk ke dalam ruangan. Fatih pun berkata, "Semoga dia bisa menjawab semua pertanyaannya. Kamu gak papa kan, Sas?" Sastra menjawab, "Gak papa."

5 menit kemudian pintu itu terbuka lagi dan Levin keluar dari dalam. Dia berjalan dengan wajah yang lega lalu berkata, "Aman kok tadi, aku cuma ditanyai identitas sama beberapa pertanyaan lain. Trus karena aku bilang aku gak menemukan jasadnya langsung jadi aku cepet keluar. Oh ya, Selanjutnya kamu Sas." Sastra yang dari tadi merasa cemas tidak punya pilihan lain selain menghadapi ini. Dia pun berdiri dan menjawab, "Oke." 

Di dalam ruangan itu Sastra duduk di kursi depan meja. Sebelum duduk dia berkata, "Permisi pak." Orang di depannya tampak sibuk menulis sesuatu di suatu kertas dan hanya menganggukkan kepalanya. Kemudian dia mengambil kertas lain sambil menatap Sastra. Dia berkata, "Gak perlu takut, kamu cuma menjadi saksi aja. Saya akan mengajukan beberapa pertanyaan, yang pertama nama lengkap, alamat rumahmu dan nomor teleponmu?" "Nama saya Sastra Prayata, tinggal di Perumahan Permata Jingga jalan…" 

Kemudian polisi itu mengajukan pertanyaan lain, "Apa hubunganmu dengan korban?" "Saya temannya pak," lalu polisi itu melihat seragam Sastra dan menjawab, "Oh, kamu pasti satu sekolah sama korban, ya. SMA Negeri 13 kan?" "Iya pak," jawab Sastra. 

"Apa ada hal aneh pada korban sebelum dia meninggal atau ada penyebab yang mendorongnya bunuh diri yang kamu tau?" Inilah pertanyaan yang dari tadi Sastra khawatirkan. Sastra bisa saja menjawab dengan sejujurnya tentang apa yang terjadi, tetapi dia harus menutupi keterlibatannya dalam kasus ini. Pernyataannya harus sama dengan kesaksian teman-temannya yang lain, seperti Fatih dan Levin. 

Lalu dengan agak ragu Sastra berkata, "Jadi, saya sama 2 temen saya itu rencananya mau ke kos Martin untuk mencarinya karena dia sudah tidak masuk beberapa hari. Alasan lain itu karena Martin harus ikut latihan untuk kegiatan sekolah, yaitu panen karya. Sebelum kejadian ini ada insiden video Martin yang sedang onani tersebar ke semua orang dan dikirim dari HPnya Martin." Alis Polisi itu langsung naik ketika mendengar bagian itu. Kemudian dia maju sedikit untuk mendengarkan lebih seksama. 

Sastra melanjutkan, "Kejadian video itu terjadi di hari rabu malam dan baru banyak anak yang tau pas kamis pagi. Di hari kamis itu juga Martin terakhir kali masuk, dia pas itu marah dan sempat mengancam seluruh kelas untuk menemukan siapa yang mencuri HPnya. Lalu pas ada satpam dan guru datang dia kabur keluar dari sekolah. Itu terakhir kalinya saya lihat Martin sebelum menemukannya meninggal di kamar kosnya." Polisi itu pun menarik kesimpulan dari rangkaian peristiwa yang Sastra ceritakan. Dia berkata, "Jadi, HPnya dicuri dan ada video yang tersebar dan membuatnya bunuh diri?" Sastra pun memasang wajah bingung seakan mengingat-ingat, "Kayaknya gitu pak, saya cuma tau sesuai yang saya ceritakan." 

"Oke, apa ada yang tau siapa yang mencuri HPnya dan menyebarkan videonya?" Sastra pun menggelengkan kepalanya perlahan. Kemudian polisi itu berkata, "Oke terimakasih, kamu bisa pergi jangan lupa foto dulu." Sastra mengikuti instruksinya sebelum akhirnya keluar ruangan dan bergabung dengan teman-temannya. Fatih pun bertanya dengan agak khawatir, "Gimana? Kamu ditanyain apa aja?" "Cuma ditanya identitas, detail kejadian sama beberapa informasi lain." "Itu aja?" tanyanya lagi. "Iya, kalau gak percaya tanya Levin." Sebelum bisa bertanya lagi Fatih pun dipanggil masuk ke dalam ruangan. 

"Kita ini udah boleh pulang kan?" tanya Levin. Lalu Sastra menjawab dengan singkat, "Harusnya." Meski dia sudah memberikan pernyataan saksi, tetapi Sastra masih tetap merasa takut dan masih tidak bisa tenang. Dia bukan lagi ingin pulang, namun dia harus pulang karena sudah tidak tahan lagi berada di kantor polisi itu. Sastra pun membuka HPnya dan mengirimkan pesan kepada Ayu. Biasanya dia pulang di jam-jam ini, sehingga dia ingin meminta tolong untuk sekalian dijemput. 

Satu per satu mulai dari Fatih dan Levin pulang meninggalkan Sastra seorang diri di sana. Saat itu suasana sudah mulai sepi dan di luar jendela sudah gelap. Sastra membuka HPnya dan melihat kalau saat itu adalah pukul 17.54 sore. Lalu dari pintu masuk kantor polisi itu masuklah seorang wanita dengan pakaian vintage. Tidak salah lagi itu adalah Ayu yang datang untuk menjemput Sastra. Ayu pun berbicara kepada salah satu polisi menyatakan niatnya untuk menjemput Sastra. Sastra yang menyadari itu langsung berdiri dan menghampiri Ayu. Dia berkata, "Halo kak, makasih udah dateng jemput aku." "Ah, ini anaknya sudah ketemu, terimakasih pak," kata Ayu sambil menganggukkan kepalanya. 

Lalu keduanya berjalan bersama keluar dari kantor polisi itu menuju sepeda motor Scoopy yang akan mereka kendarai. "Papa akan marah kalau tau kamu habis dari kantor polisi, sebenarnya apa yang terjadi sampai kamu ada di sini?" Ayu mengenakan helmnya lalu memberikan helm lain yang ia bawa kepada Sastra. 

"Temenku bunuh diri dan aku jadi saksi yang nemukan jasadnya," jawabnya singkat. Ayu berhenti sejenak sebelum membalas, "Aku turut berduka." Seperti biasa Ayu tampak dingin pada Sastra dan tidak terlalu bersimpati padanya. Sastra memaklumi hal itu lalu naik ke motor. Setelah mesin motornya menyala Ayu langsung berangkat pergi menuju rumah mereka. Selama perjalanan Sastra melihat pemandangan jalan yang ia lewati. Semuanya tampak hidup dan terus berjalan. Padahal di sisi lain kota ini temannya, Martin bunuh diri karenanya dan dunia ini seakan tidak peduli. 

Saat sampai di rumah dan Ayu sedang menutupi motornya dengan penutup motor, Sastra bertanya, "Kamu pernah punya temen yang bunuh diri ta?" Ayu tidak menoleh dan hanya menjawab, "Enggak, aku gak pernah mengalami itu. Mending jangan terlalu kamu pikirkan, orang yang bunuh diri itu masuk neraka…" Alih-alih mendapatkan kata-kata yang dapat menenangkannya, Sastra mendapatkan kritik religi tentang tindakan martin yang bunuh diri.

Dalam Islam bunuh diri diharamkan dan siapapun yang melakukannya akan masuk ke dalam neraka. Tidak memedulikan alasan apapun yang menyebabkan bunuh diri itu dan tindakan ini dianggap bodoh. Namun, apa manusia benar-benar bersalah atas tindakan bodoh ini? Jika bukan karena faktor eksternal, yaitu dunia yang mendorong mereka melakukan ini, mengabaikan keadaan mereka hingga mereka bunuh diri. Menyalahkan dunia saja tidak cukup dalam permasalahan ini karena ada faktor internal, yaitu keputusan manusia untuk mengakhiri hidup mereka dengan bunuh diri. Semuanya bermuara pada keputusan bebas manusia, namun apakah keputusan ini nyata? Apakah semua keputusan yang manusia buat berasal dari diri mereka sendiri atau hanya ilusi dari takdir yang absolut?

"Udah, ayo masuk sudah malam, pasti makan malam sudah disajikan." Sastra dan Ayu pun akhirnya makan malam berdua di meja makan, sedangkan ayahnya sedang menonton TV di ruang tamu. Lalu Novel menyadari kalau Sastra pulang terlambat tanpa sepeda listriknya. Dia bertanya, "Sastra, tumben kamu pulang terlambat dan… Mana sepeda listrikmu? Kamu tinggal di sekolah?" Sastra menelan makanan yang ada di mulutnya baru menjawab, "Aku tadi habis dari kantor polisi, pah," Novel langsung menyela, "Kantor polisi?! Ngapain sampai ke sana? Kamu habis ngapain?" "Tunggu bentar pah, aku di sana sebagai saksi. Aku menemukan jasad temenku yang bunuh diri." 

"Bunuh diri? Siapa itu yang bunuh diri?" tanya Novel dengan nada tinggi. Sastra menjawab, "Temenku pah, namanya Martin…" Tiba-tiba dari dapur muncullah Endah sambil berkata, "Bunuh diri? Kalau gitu kita harus nyumbangkan sesuatu ke keluarganya, kok bisa sampai bunuh diri gitu? Kasian anaknya." "Martin, ayah dan ibunya dua-duanya sudah meninggal, jadi dia hidup sendiri di kos," kata Sastra. "Oh, kalau gitu lupakan aja, mending kita pikirkan tentang rencana liburan kita di Paris… Mungkin kita bisa mengunjungi bagian daerah atau kota-kota lain yang ada di Prancis." 

Sialan cewek ini, padahal temenku baru bunuh diri dia malah mikirkan tentang rencana liburan di Paris. Bisa-bisanya dia kayak gitu…

Malam itu Sastra tidak bisa tidur karena terus berpikir tentang kejadian tadi sore. Dia masih bisa samar-samar melihat siluet dari mayat Martin yang penuh dengan darah. Gambaran itu tidak mau hilang, bahkan ketika ia sudah menutup matanya dan mencoba tidur. Saat ini dirinya dipenuhi rasa takut, trauma dan rasa bersalah yang berat. Sebelumnya Sastra dapat akting dengan baik dan menahan emosinya untuk sementara, tetapi saat ia masuk ke dalam kamar semua emosi itu keluar seperti bendungan yang hancur dan mengalirkan air dengan deras. 

Apa yang terjadi sekarang? Apa yang akan polisi lakukan? Investigasi apa yang akan mereka lakukan pertama kali? Fuck, aku gak tau apa-apa, Martin bunuh diri karena aku… A-aku cuma mau melakukan hal yang benar dan menyebarkan sifat asli dan perilaku aslinya Martin, seharusnya gak jadi seperti ini. Seharusnya dia gak bunuh diri dan mati seperti itu… Semua ini salahku salahku salahku salahku salahku salahku salahku!

Pada akhirnya Sastra kelelahan dan tertidur di kasurnya. Keesokan harinya dia mendengar suara ketukan di pintu sebelum akhirnya Bella masuk ke kamar. "Permisi kak, sudah waktunya bangun sekolah." Bella memiliki kamarnya sendiri di rumah itu, bahkan dia jarang meninggalkan rumah kecuali pergi ke pasar atau mengantarkan sesuatu. Serta saat hari raya dia bisa pulang atau ketika dia meminta cuti. Dia membuka gorden dari jendela kamar itu serta mematikan lampu tidur yang masih menyala. 

Sastra membuka matanya yang penuh kekosongan lalu menjawab, "Hari ini aku sakit, tolong izinkan ke sekolah. Jangan ganggu aku sementara waktu ini, aku pengen sendiri…" Dengan sopan Bella menjawab, "Oh, kalau begitu saya akan sampaikan izinnya dan nanti saya antarkan sarapannya ya kak, semoga cepet sembuh." Pintu itu kembali tertutup dan kamar itu menjadi hening. Kecuali satu suara dari sangkar burung merpati. Sasbel bersuara "Kurr kurr," sambil melihat ke luar jendela yang sudah tampak terang. 

Di tempat lain lebih tepatnya di kantor Polresta Malang seorang pria yang tampak berumur 30 tahun an berdiri di dekat jendela terbuka sambil menghisap rokoknya. Dia sedang membaca berkas dari kasus bunuh diri Martin yang ditemukan kemarin. Kasus ini diserahkan kepada pihak Sat Reskrim kota Malang karena adanya keterlibatan pihak lain yang mendorong Martin bunuh diri. Lalu perempuan di depannya bertanya, "Jadi pak, gimana pendapat bapak tentang kasus bunuh diri satu ini? Apa perlu diselidiki lebih dalam?" Pria itu menurunkan puntung rokoknya dan menjawab, "Hmm, ini lebih ke kasus skandal akhirnya bunuh diri, tapi lumayan jarang-jarang ada kasus seperti ini di kalangan remaja, belakangan ini. Oh ya, panggil aku detektif Ranu Kumbolo bukan pak-pak, kamu ini masih perlu banyak belajar."

Cewek yang bernama Lydia itu menggelengkan kepala melihat kelakuan atasannya yang selalu ingin terlihat seperti detektif di novel atau film-film. Dia membatin, Mungkin ini alasannya dia sampai sekarang masih melajang dan belum punya pasangan, huuh kasian juga pasangannya nanti kalau dia ngeselin gini.

"Kita hari ini pergi ke rumah sakit dulu aku mau lihat hasil otopsi dari jasadnya, baru setelah itu kita ke tkp untuk reka ulang bagaimana proses dia bunuh diri," kata detektif Ranu. Lalu Lydia menjawab, "Siap pak, maksudnya detektif." 

Mereka berdua mengendarai mobil polisi dengan Lydia yang menyetirkan mobilnya. Jalan di pagi itu sudah lumayan lancar karena jam menunjukkan pukul 8 pagi dan kebanyakan anak-anak sudah masuk sekolah dan para pekerja sudah masuk kantor. Lalu setelah sampai di rumah sakit detektif Ranu langsung pergi ke bagian penyimpanan jasad hasil otopsi. Lydia terlebih dahulu mengambil berkas hasil otopsi, sedangkan detektif Ranu sudah tidak sabar lagi untuk melihat jasadnya secara langsung.

"Di sini dikatakan jasadnya sudah meninggal sejak 4 hari yang lalu, penyebab kematian adalah kehabisan darah, ada luka benturan di kepala, jejak tali di leher," sebelum bisa meyelesaikan kata-katanya detektif Ranu langsung merebut berkas itu. Dia lebih suka membacanya sendiri dan menginterpretasikannya sendiri daripada dibacakan oleh orang lain. Lalu setelah selesai membaca itu dia mengundurkan niatnya untuk mengobservasi jasadnya sendiri. Dia berkata, "Percuma saja kalau aku amati langsung jasadnya dari dekat, dia sudah masuk masa dekomposisi dan banyak bagian tubuh yang sudah tidak sama lagi. Kita lanjut ke tkp aja dari sini." 

Setelah kunjungan di rumah sakit keduanya kembali berkendara menuju kos tempat Martin tinggal. Saat sampai di sana Ranu berkata, "Kamu tanyai dan wawancarai ulang penghuni kos-kosan ini, aku mau lihat ke kamarnya dulu." Ranu menaiki tangga menuju ke kamar Martin kemudian berhenti tepat di depan kamar itu. Terdapat garis polisi yang menutupi jalannya, tetapi dia tetap masuk tidak lebih dari pintu kamar. Dari sana dia bisa melihat bercak darah yang belum hilang dan kondisi kamar yang masih sama. Hanya saja kamar itu sudah ditandai dengan angka-angka sesuai dengan barang bukti yang ditemukan.

Waktu kematian kira-kira tanggal 7, di tanggal itu juga video Martin disebarkan. Dari kesaksian teman-temannya Martin mengaku kalau HPnya dicuri sebelum video itu tersebar berarti di hari sebelumnya ada anak yang mencuri HPnya dan menggunakannya sebagai sarana menyebarkan video. Hingga akhirnya di tanggal 7 dia mengamuk dan bunuh diri, tapi apa itu kebenarannya? Jika dilihat dari pola darah dan barang bukti yang ada di tkp kelihatannya pertama Martin berusaha gantung diri, tapi gagal kemudian menyayat tangannya.

Pintu kamar ini dikunci dari dalam dan saat darah di tangannya mulai keluar dia panik. Saat akan mengambil kunci yang terletak di meja dia terpeleset hingga jatuh dan mati, itu yang menyebabkan luka di kepalanya. Tapi apa motif dari pelaku pencurian HP Martin dan penyebaran video itu? Benci, amarah atau cemburu? Biasanya anak remaja banyak didominasi dengan perasaan seperti ini. Hmm, mereka kebanyakan cinta monyet terus galau jika sudah putus. Yang pasti pelakunya masih memiliki HP Martin, sekarang aku harus melanjutkan penyelidikannya di sekolah SMA 13…

Setelah berpikir kritis, menganalisa tkp dan membuat deduksi detektif Ranu masih perlu membuktikan hipotesis-hipotesis yang ia buat. Dia pun turun ke bawah lalu berkata pada asistennya Lydia, "Lydia, atur pertemuan dan perizinan untuk besok, kita akan melakukan kunjungan ke SMA 13."