"Hey, bangun sudah jam 5, kenapa kamu masih tidur di kelas? Cepet pulang gerbangnya mau ditutup." Suara itu terdengar tegas dengan nada yang mengancam. Seorang satpam berdiri tegak di samping Martin yang tertidur pulas sambil mengorok. Saat tidak mendapat reaksi apapun dari Martin, satpam itu pun menggoyang-goyangkan tubuh Martin. Namun, tetap saja dia masih tertidur lelap. Sehingga dia tidak punya pilihan lain selain mengisi gayung di kamar mandi dengan air. Lalu dia kembali lagi ke kelas dan menuangkan air perlahan ke rambut gondrong Martin.
"AAAH TSUNAMI!" teriak Martin sambil terbangun. Dia merasa sangat terkejut sampai kepalanya ikut pusing. Rambutnya basah dan bajunya juga terkena sedikit air. Dia pun berkata, "Pak, kenapa nyiram saya?" "Supaya cepet bangun, kamu gak liat jam berapa sekarang? Sudah waktunya kamu pulang, bawa tasmu turun, saya mau tutup gerbangnya habis ini. Awas kalau kamu masih ada di sekolah…" Dengan tampang yang garang dia berjalan keluar kelas lalu mengembalikan gayungnya di kamar mandi.
Martin menggendong tasnya lalu ikut keluar kelas sambil menahan rasa pusingnya. Yang ia rasakan saat itu sama seperti saat seseorang sadar kalau dia terlambat dan ketika bangun dia langsung berdiri atau bahkan berlari tanpa duduk terlebih dahulu. Namun, ini lebih parah lagi, karena ada efek samping dari pil tidur yang ia konsumsi. Dia berjalan di lapangan yang sangat sunyi dengan cahaya matahari yang hampir tenggelam. Anak-anak lainnya sudah diperintahkan untuk keluar dan mereka kebanyakan menunggu di luar gerbang.
Martin berjalan meninggalkan sekolah menuju ke kos-kosannya yang berada agak jauh, tetapi masih terjangkau jika dengan berjalan kaki. Tiba-tiba dia berhenti dan menyadari sesuatu yang aneh. HPku kok gak ada? gumamnya dengan wajah yang panik. Martin meraba-raba sakunya dan seluruh bagian tubuh, tetapi tidak menemukan apa-apa. Lalu dia mencarinya di dalam tas juga tidak menemukan apa-apa. Sehingga Martin pun berlari lagi ke sekolah mengira HPnya tertinggal di kelas.
Saat Martin sampai di depan gerbang, ternyata gerbang itu sudah tertutup dan tampak sepi. Dia mendekat ke gerbang lalu mengecek pos satpam yang ternyata juga kosong. Jika tidak ada siapapun berarti Martin harus berusaha mengandalkan dirinya sendiri. Dia mencoba membuka gerbang itu, tetapi sudah digembok.
Martin tidak sama seperti Sastra yang terampil dan dapat membuka gembok dengan mudah. Meskipun begitu dia bisa memanjat pagar dan masuk tanpa harus membuka gerbangnya, tetapi saat itu Martin merasa pusing dan mengantuk berat, sehingga dia tidak punya motivasi untuk memanjat pagar. Dia bergumam, Udahlah aku ambil besok aja, kan ketinggalan di kelas juga. Lagian siapa yang mau ambil HPku, aku ngantuk banget, pas sampai ke kos aku mau tidur lagi…
Keesokan harinya Martin datang ke sekolah dengan semangat pagi yang membara. Dia berharap HPnya masih ada di kelas karena kalau tidak ada habislah dia, itu satu-satunya HP yang ia miliki. Namun, saat Martin menginjakkan kakinya di kelas dia mendapatkan tatapan sinis dari semua anak di sana. Martin tidak terlalu memperhatikan itu dan menganggap hari itu sama dengan hari-hari biasa lainnya. Dia pun menyapa Isabel sambil menyentuh bahunya, "Pagi Lena, oh ya nanti kamu ada…" Belum selesai berbicara Isabel langsung menepis tangan Martin sambil membentak, "Jangan pegang aku, aku jijik, pokoknya jangan bicara sama aku lagi!"
Martin pun tertegun melihat reaksi Isabel yang histeris dan di luar karakternya. Dia tidak sama seperti biasanya yang selalu ceria, malah dia menunjukkan rasa jijik dan benci pada Martin. Isabel terus menatap ke bawah atau ke arah lain dan tidak mau melihat Martin yang berdiri di sampingnya. Martin berpikir, Mungkin dia lagi gak enak badan, atau mungkin dia lagi menstruasi jadinya emosian. Positif thinking aja dulu…
"Oh maaf maaf, yaudah aku duduk dulu kamu jangan marah gitu, Lena." Martin pun pergi ke belakang dimana di sana sudah ada Sastra yang duduk di bangkunya. Dia berkata, "Pagi Sas, tumben kamu dateng agak telat, eh aku ya yang agak telat, hehe." Sastra diam, dia tidak melihat ke arah Martin dan hanya fokus kepada HPnya. Martin tersenyum lalu bertanya, "Btw, kamu lihat HPku gak? Kayaknya kemarin pas aku ketiduran di kelas HPnya ketinggalan, tapi belum ketemu, baru kucari sekarang. Kemarin ngantuk banget aku…" "Aku gak liat HPmu dari tadi," jawab Sastra.
Lalu Martin menengok ke lokernya dan loker Sastra, mencari-cari HPnya. Hasilnya pun nihil dan Martin mulai panik, tetapi saat ia bertanya pada teman-temannya, "Kalian ada yang lihat HPku gak? HPku hilang, dari kemarin pulang gak ada." Beberapa anak menoleh dan menatapnya, sedangkan sisanya diam tidak menghiraukannya. Mereka kebanyakan sibuk dengan urusan masing-masing atau sedang mengobrol dengan teman lainnya. Lalu salah satu anak berkata, "Mungkin hilang pas kamu coli tadi malam, heheh. Siapa tau kan?" Mereka yang berada di dekatnya pun tertawa lalu menambahkan, "Iya emang dia tukang coli."
Martin menjadi bingung melihat teman-temannya yang memanggil dirinya dengan sebutan-sebutan itu. Bahkan mereka sampai menertawakannya, tetapi masalahnya belum selesai karena HPnya masih hilang. lagu Indonesia Raya pun diputar dan Martin tidak sempat untuk mencari tau alasan mereka mengatakan itu. Lalu setelah lagunya berakhir Martin menghampiri Levin untuk mengajaknya turun ke aula. Dia berkata, "Vin, ayo ke aula buat doa, oh ya kenapa banyak anak yang ngeliatin aku kayak gitu? Sebenarnya ada apa?" Levin berjalan meninggalkan Martin sambil berkata, "Cari tau sendiri." Martin pun ganti mencoba menanyakan hal yang sama pada teman-teman perempuannya, tetapi mereka memberi reaksi yang sama. Malah mereka bersikap lebih dingin dan merasa jijik di dekat Martin. Dia pun tidak mendapatkan informasi apapun dan terpaksa turun ke aula sendirian.
Sama saja saat Martin berada di aula dia dikucilkan dan duduk sendiri di belakang. Teman-teman dekatnya yang selalu ramah dan friendly padanya berubah dingin dan menatapnya dengan jijik. Bahkan, mereka yang berasal dari kelas berbeda pun bersikap yang sama. Martin menatap ke depan dari belakang dan melihat beberapa anak bergosip tentangnya sambil sesekali melirik ke belakang.
Saat Martin kembali di kelas dia juga mendapat perlakuan yang sama, bahkan lebih parah lagi karena sebagian besar anak tidak mau berkomunikasi dengannya. Di hari Kamis, pelajaran pertama adalah P5, tetapi karena projek filmnya sudah selesai maka kebanyakan anak-anak hanya bersantai. Apalagi ini adalah bulan Desember dan ujian akhir semester sudah usai dilaksanakan. Tidak ada lagi pelajaran hingga panen karya dan pengambilan raport. Hanya saja kebanyakan anak akan melunasi hutang tugas-tugas yang belum mereka selesaikan. Guru-guru setiap mata pelajaran akan mengirimkan list anak-anak yang belum mengerjakan tugas tertentu. Martin pun ingin melakukan hal yang sama, tetapi dia tidak bisa melakukannya sendiri. Masalah lainnya adalah semua anak bersikap dingin padanya bahkan mereka mulai memanggilnya dengan sebutan tukang coli, atau nama-nama buruk lainnya.
Saat istirahat Martin pergi ke kamar mandi laki-laki di bawah ruang klub Arcana. Di sana dia bertemu dengan beberapa anak dari geng Triloka. Totalnya berjumlah 4, mereka terdiri dari Agung dan 3 bawahannya. Agung yang bersandar di tembok melepaskan vape yang menempel di mulutnya. Lalu dia meniup asapnya hingga mengepul di atas kepalanya.
Saat melihat Agung, Martin langsung berinisiatif untuk menjabat tangannya. "Oh, halo kak Agung, gimana kabarnya," kata Martin. Saat Martin mengulurkan tangannya, Agung hanya diam sambil memasukkan vapenya ke dalam saku celana. Dia berkata pada bawahannya, "Bangun kalian, anaknya sudah datang. Lakukan sesuai yang kukatakan tadi, pukuli dia." "Siap bos," jawab ketiga anak geng Triloka yang sedang duduk di lantai. Mereka pun berdiri lalu 2 anak mengunci tangan Martin sampai dia tidak bisa bergerak. Mereka juga mendorongnya ke tembok dengan keras.
Setelah itu salah satu anak mulai memukulinya dengan keras di bagian perut Martin. Dia berusaha untuk melepaskan diri, tetapi tenaganya tidak cukup kuat dan dia harus menahan rasa sakit yang ada di perutnya. Martin pun mengerang, "Kalian mau ngapain? Kita ini satu geng bukan? Apa yang aku lakukan? Aku gak ngapa-ngapain kok dipukuli?" "Gak ngapa-ngapain? Kamu jelas-jelas mencoreng nama baik geng Triloka!" teriak Agung.
"Mencoreng nama baiknya gimana? Aku gak tau kenapa hari ini aneh banget, sebenarnya apa yang terjadi?" Agung tidak lagi mempertahankan sikap dinginnya, dia maju ke depan dengan tatapan hina lalu berkata, "Ini, lihat sendiri, kamu pikir ini tidak mencoreng nama baik geng Triloka? Bayangkan ada anak geng Triloka yang melakukan skandal seperti ini, bagaimana reputasi kita di mata guru, murid dan masyarakat sekitar? Lanjut pukuli dia sampai pingsan!"
Pupil Martin membesar seraya bulu kuduknya berdiri dan kepalanya terasa berat. Dia menjadi syok berat setelah mengetahui kalau tersebar video dia sedang melakukan onani di kelas. Tatapannya menjadi kosong dan dia tidak memedulikan rasa sakit yang ia terima dari pukulan-pukulan di perutnya. Lalu setelah puas memukuli Martin, Agung berkata, "Sudah cukup, atas perintah Adelard kamu dikeluarkan dari geng Triloka. Kamu dilarang menginjakkan kaki lagi di Underground Lair atau sekedar masuk ke restoran steak. Kamu juga tidak diperbolehkan mengikuti turnamen lagi." Lalu mereka keluar dari kamar mandi meninggalkan Martin yang babak belur di lantai.
Untuk sejenak Martin memikirkan keanehan dari Agung yang berkata kalau dia sudah mencoreng nama baik geng Triloka. Seharusnya dari dulu geng Triloka sudah mempunyai reputasi buruk karena adalah geng motor, ada boxing bawah tanah, berdagang vape, jualan stiker dan lain-lain. Namun, bukan itu masalah utama yang ia khawatirkan, sekarang masalahnya adalah siapa yang menyebarkan video itu?
Dengan susah payah Martin berdiri lalu berjalan ke kelas sambil memegangi perutnya. Kali ini dia penuh dengan amarah dan akan menghajar orang yang menyebarkan video itu. Saat tiba di kelas dia mengesampingkan rasa sakit di perutnya dan berteriak, "Siapa yang menyebarkan video itu dan mencuri HPku? Ayo mengaku atau aku hancurkan seluruh kelas ini!" Kelas yang sedang jam kosong itu langsung terdiam. Martin yang dibutakan dengan amarahnya langsung mengambil kursi guru yang terbuat dari kayu lalu melemparkannya ke tengah kelas. Kursi itu menimbulkan bunyi 'brak' yang keras saat bertabrakan dengan meja. Anak-anak yang duduk di sana otomatis langsung menyingkir ke pinggir kelas.
"Panggilkan guru atau satpam cepet!" teriak salah satu anak. Kemudian satu anak laki-laki akan melarikan diri keluar, tetapi Martin tidak akan membiarkan hal itu. Saat Martin bergerak dan akan mengejar anak itu muncullah Sastra yang mendorongnya dari samping. Martin pun kehilangan momentumnya dan hampir terjatuh. Dia pun langsung berteriak, "Jangan jadi pahlawan Sastra! Minggir atau kamu aku pukul, gak hanya kamu tapi semua anak di kelas ini!"
"Sadar Martin, kamu gak seharusnya melakukan ini, anak-anak di kelas gak ada hubungannya dengan video itu, kita juga gak tau siapa yang yang nyebarkan video itu," kata Sastra. Namun, Martin masih dipenuhi oleh amarah dan menjawab, "Kalau bukan dari kelas ini siapa? Siapa yang mencuri HPku dan nyebarkan videonya! Minggir Sastra jangan halangi aku…" Keduanya saling mendekat dan menatap dengan tajam. Sastra tau kalau dia tidak bisa mengalahkan Martin secara fisik, sehingga dia berusaha memainkan emosinya. Sastra berkata, "Aku gak akan membiarkan kamu merusak kelas dan menyakiti anak-anak kelas hanya karena video onanimu itu. Harusnya kamu malu karena tindakanmu itu. Sekarang kamu malah menuduh temen-temenmu sendiri, sekarang semua orang sudah tau deng…
Thud!
Sastra dapat merasakan pukulan keras yang membuat rahangnya hampir bergeser. Membuatnya terpelanting ke meja di belakangnya. Tangan Kanannya ada di atas meja dan dia menatap turun ke bawah sambil menahan rasa sakit. Martin pun berkata, "Diam, ga usah banyak bacot! Lihat ini, siapapun yang mencoba menghentikanku akan bernasib kayak Sastra! Jadi, lebih baik kamu mengaku sebelum kuhancurkan kelas ini!" Selagi Martin ceramah, tiba-tiba Sastra mengambil tempat pensil yang ada di meja lalu melemparkannya tepat ke wajah Martin. Martin tidak sempat menghindar dan harus melindungi wajahnya dengan tangan. Sastra pun mengambil kesempatan itu untuk memukul wajah Martin sekeras-kerasnya hingga terjatuh.
Di saat itu pula satpam sampai di depan kelas bersama guru dan anak yang memanggil mereka tadi. Martin langsung bangkit lalu berlari menuruni tangga. "Berhenti!" teriak satpam itu, tetapi Martin terus berlari melintasi lapangan hingga akhirnya sampai di depan gerbang. Gerbang itu tertutup, tetapi tidak terkunci sehingga Martin bisa menggesernya lalu melarikan diri dari sekolah.
Aku gak mau dipermalukan lagi, aku sudah kebawa emosi sampai buat masalah di kelas. Kalau sudah begini gak akan ada yang nolong aku…
Kemudian Martin berhenti di salah satu warung di jalan Suhat untuk beristirahat. Dia melihat ke jam dinding yang ada di sana yang menunjukkan pukul 13.47 siang. Warung itu adalah warung bakso yang sebenarnya tidak terlalu disukainya. Namun, Martin tidak punya pilihan lain. Dia duduk di sana merenung sambil menatap mangkok bakso yang masih panas. Wajahnya datar tanpa ekspresi karena dia sedang meratapi nasibnya. Aksinya membuat masalah dan aksi mencari simpatinya tadi hanya membawa masalah yang lebih besar. Lebih buruknya lagi dia tidak mendapatkan bantuan, petunjuk dan semua orang membencinya.
Dalam satu hari aja HPku hilang, videoku onani di kelas tersebar, aku dikeluarkan dari geng Triloka dan semua orang sekarang benci padaku. Aku harus ngapain sekarang? Melaporkan hal ini ke polisi? Mencari pelakunya sendiri? Tapi kalau memang pelakunya ketangkap aku tetep gak bisa kembali ke kehidupan lamaku. Semua orang sudah menonton video itu… Terus apa yang harus kulakukan sekarang?
Martin pun mengangkat kepalanya lalu melihat ke orang-orang di sekitarnya. Mereka semua sedang menikmati makan siang dengan bakso favorit mereka. Di bagian meja depan ada keluarga dengan anak balita yang sedang mereka suapi. Ada juga orang yang sedang berpacaran dan makan bakso. Ada lagi orang yang tampak tua sedang menyantap baksonya sendirian. Semua orang tampak senang atau setidaknya mereka tidak terlihat memiliki masalah. Martin pun merasa semakin sendirian karena hanya dia yang tidak sebahagia mereka. Setelah lama terdiam tiba-tiba muncul senyuman di bibir Martin.
Mungkin jalan keluarnya adalah bunuh diri, tidak ada lagi yang bisa kulakukan. Orangtuaku semuanya juga sudah meninggal, aku mau meminta bantuan ke siapa lagi. Meminta tolong pada tuhan? Dia tidak akan menolongku, sudah jelas-jelas aku onani menggunakan baju Isabel dan aku mengharapkan pertolongan? Aku sudah melakukan dosa yang besar, bahkan mungkin ini hukuman dari tuhan.
Pada pukul 4 sore Martin berdiri di pinggir jembatan Suhat yang saat itu sedang ramai dengan pengendara. Saat itu adalah waktu pulang sekolah atau kerja dan banyak orang-orang yang menggunakan jalan itu untuk menuju Suhat. Martin melihat ke sungai yang berada di bawah jembatan itu. Dari tempat ia berdiri dia dapat melihat betapa tingginya jembatan itu hingga ke dasar sungai. Siapapun yang melompat ke sana akan mati jika terkena organ vital, seperti kepala. Kepala mereka akan pecah seperti semangka dan langsung mati.
Namun, di jembatan itu sudah dipasangi semacam pagar dan banyak kabel yang menghalanginya untuk melompat. Martin menyentuh besi penghalang itu sambil merasa sangat kosong. Dia berada di jembatan sebelah kiri dari jalan Suhat yang tidak memiliki pagar yang tinggi. Dengan perasaan hampa Martin pun mencoba memanjatnya. Hingga rencananya gagal ketika seseorang menariknya dari belakang sampai terjatuh. Dia berkata, "Mas, sampeyan lapo manjat nang pinggir jembatan, ati-ati bahaya mas."
Martin dengan tatapan kosongnya hanya berdiri lalu meninggalkan pria itu. Setelah 20 menit berjalan akhirnya dia sampai di kos-kosannya. Di lantai satu dia bertemu dengan beberapa teman kosnya. Mereka sedang mengobrol di teras kos dan seakan menunggu Martin pulang. Saat mereka melihat Martin, salah satu dari mereka pun berkata, "Akhirnya biang keroknya udah dateng. Semuanya lihat tuh Martin yang dengan watadosnya kembali ke kos-kosan." Martin tetap diam dan mereka lanjut berbicara, "Kamu gak tau kita sudah susah-susahnya kita ngumpulin uang buat kamu latihan turnamen, kamu kalah kita maklumi, tapi sekarang kamu sampai dikeluarkan dari geng dan gak bisa tarung lagi, gimana itu hah?"
"Sudahlah kita mending pergi aja ngapain ngurusin anak ini," kata mereka yang mulai berdiri. Setelah itu mereka berjalan keluar kos dan beberapa anak mendorong Martin. Martin tidak menanggapi mereka dan hanya bisa bergumam, "Maaf…"
Perasaannya semakin berat seraya dia memasuki kamar tidurnya yang tidak terlalu besar. Terdapat kasur dengan frame kayu dan bantal empuk, di sampingnya ada meja yang berisikan barang-barang sekolah atau barang lainnya. Martin pun duduk di kasur itu sambil merenung sejenak. Lalu saat merenung dia melihat tali pramuka dengan simpul gantung yang masih belum berubah. Martin pun teringat dengan syuting adegan terakhir film P5 yang saat itu terpaksa menggunakan tali pramukanya. Dia pun berpikir, Mungkin aku bisa menggunakan ini untuk gantung diri.
Lalu Martin mengambil kursi dan menggantung tali itu di lampu langit-langit kamar. Dia tidak langsung menggantung dirinya, tetapi menggeser kursi itu ke depan meja lalu membuka laptopnya. Sejak kemarin malam dia langsung tidur dan tadi pagi dia juga langsung berangkat ke sekolah, sehingga dia tidak sempat untuk membuka laptopnya. Sesuai dugaan Martin semua akunnya sudah tidak terhubung dengan laptopnya. Bahkan ketika dia membuka WA juga sudah tidak terhubung dengan laptopnya. Dia duduk di dalam keheningan kamarnya memutuskan apa yang akan ia lakukan.
Martin membuka aplikasi Word lalu mulai menulis. Dia menulis 1 paragraf singkat karena tidak benar-benar tau apa yang ingin ia tulis. Dia menuliskan, "Bagi siapapun yang membaca ini berarti aku sudah mati. Kalian tidak perlu khawatir tentangku, lebih tepatnya kalian tidak perlu merasa jijik lagi padaku karena aku sudah tidak ada. Isabel aku minta maaf karena sudah melakukan hal itu padamu, teman-temanku aku minta maaf karena tidak bisa memenuhi ekspektasi kalian. Ayah ibu aku minta maaf karena aku sudah tidak sanggup hidup lagi, aku minta maaf kalau aku harus menemui kalian lebih awal. Semuanya aku minta maaf…"
Martin pun menangis, air matanya terus menetes seraya dia menuliskan setiap kata di dalam paragraf itu. Paragraf itu bukanlah karya tulis maupun makalah yang berisikan banyak pengetahuan atau ilmu. Paragraf itu sudah cukup menggambarkan emosi yang dirasakan Martin. Hingga akhirnya ia menangis lebih keras lagi, tetapi tidak bersuara. Dia hanya memeluk dirinya sendiri dan merasakan kehangatan yang hanya datang dari tubuhnya. Dia pun bergumam, "Pada akhirnya aku sendirian."
Lalu Martin mendorong kursi tepat di bawah tali pramukanya, lalu mengunci pintu dan menaruh kuncinya di atas meja. Dia naik ke atas kursi dan mengalungkan tali itu di lehernya. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya menendang kursi itu. Brak! Kursi itu terjatuh lalu Martin pun tergantung di tali pramuka itu. Matanya melotot saat tali itu mulai mencekik lehernya. Dia mencoba untuk bernapas, tetapi kesusahan karena tenggorokannya tertekan. Lalu setelah beberapa menit badannya mulai melemas dan dia tidak bernapas lagi.
Tiba-tiba tali yang menggantungnya lepas dari lampu itu dan membuatnya jatuh ke lantai. Martin yang setengah pingsan langsung sadar lagi. Dia batuk-batuk dan mencoba bernapas dengan kesusahan. Rasa sakit di lehernya masih terasa nyata dan Martin kecewa karena percobaan keduanya gagal. Namun, dia tidak menyerah, dia bangun lagi lalu mengambil cutter dari laci mejanya. Yang dia lakukan bukanlah bentuk pantang menyerah, tetapi lebih tepatnya, pkeinginan untuk mati yang dipenuhi perasaan putus asa.
Martin pun duduk di kasurnya lalu mengarahkan cutter yang ujung tajamnya menyentuh pergelangan tangan kirinya. "Satu, dua, tiga… Ah anjing!" dia gagal dan merasa takut untuk menyayat tangan nya. Lalu dia mencoba lagi, "Satu, dua, tiga…" Kali ini dia berhasil dan sayatannya lumayan dalam hingga mengenai pembuluh arterinya. Darah yang merah menyala langsung menyembur keluar perlahan hingga sampai menciprat ke wajahnya. Darah itu tidak mau berhenti dan terus mengalir.
Seketika Martin menjadi panik dan mencari cara untuk menghentikan darah itu. Dia berdiri untuk mencari kain atau baju, tetapi saat dia berdiri darah itu jatuh menetes ke lantai dan membentuk genangan. Aku gak mau mati, aku gak mau mati, haduh aku harus gimana ini?! Pikirannya kacau dan dia semacam mengalami panic attack, seperti yang sering dialami Sastra.
Aku gak mau mati, aku gak mau, aku gak mau mati, aku gak mau mati, aku gak mau mati, aku gak mau mati....
Darah itu sudah menyebar kemana-mana dan saat Martin tidak bisa menemukan sesuatu untuk menghentikan pendarahan itu dia mencoba untuk keluar kamar. Saat ia memutar gagang pintu kamarnya ternyata dia baru ingat kalau pintunya terkunci. Sehingga dia langsung berlari untuk mengambil kuncinya yang terletak di atas meja. Sayangnya, dia terpeleset oleh genangan darah di lantai lalu jatuh ke depan. Dahinya membentur pinggiran meja dan kepala bagian belakangnya membentur kursi. Dia pun tergeletak di lantai tidak sadarkan diri. Darah mulai mengalir dari kepalanya membasahi rambut gondrongnya itu. Lama-kelamaan Martin kehabisan darah dan akhirnya mati.