Di malam hari itu Sastra mempersiapkan alat dan bahan yang akan dia gunakan dalam rencananya besok. Malam itu tidak jauh berbeda dengan malam-malam biasanya, kegiatan yang sama, orang-orang yang sama dan reaksi yang sama dari orangtua Sastra. Bagaikan mimpi Sastra masih tidak percaya akan melakukan rencananya ini, tetapi mau bagaimana lagi hatinya sendiri berkata demikian.
"Assalamualaikum warahmatullah… Assalamualaikum warahmatullah," ucap ayah Sastra sambil menoleh ke kanan dan kiri. Sastra pun juga melakukan salam untuk mengakhiri solat Isyanya. Lalu setelah solat Sastra bangkit dan salim pada ayahnya. Mereka berdua terlihat dekat dalam hubungan ayah dan anak, meski kenyataannya tidak semanis itu.
Novel pun berdzikir lalu melaksanakan solat ba'diyah isya dengan khusyu. Sastra tidak pernah melakukan solat ba'diyah Isya. Mentok dia hanya mengerjakan solat fardu Isya, karena memang solat ba'diyah hukumnya adalah sunnah. Alih-alih, Sastra pergi ke kamar ayahnya lalu mendekat ke meja di samping tempat tidurnya. Di atas meja itu terdapat banyak barang, seperti kacamata, pena, buku dan lainnya. Namun, ada satu bahan yang ia butuhkan dalam bagian rencananya. Barang itu adalah pil tidur milik ayahnya.
Novel sendiri sering mengalami insomnia karena banyak sekali pikiran di kepalanya. Terlebih lagi traumanya yang membuat Novel kadang mendapatkan mimpi buruk tentang istri pertamanya yang meninggal dalam kecelakaan kereta. Ditambah lagi Novel berada tepat di samping istrinya ketika semua hal itu terjadi. Sehingga dia menyaksikan proses dan situasi di dalam kereta saat terjadi kecelakaan dan saat istrinya meninggal. Tidak hanya istrinya, banyak orang lain yang menjadi korban dan meninggal, Novel yang masih hidup terus membawa rasa bersalah itu hingga mendorong dirinya memiliki keinginan untuk bunuh diri.
Sastra mengambil beberapa pil dari botol obat itu lalu mengembalikannya ke posisi yang semula. Ayahnya tidak tau karena letak kamar dengan mushola agak jauh dan dia sedang solat. Kemudian Sastra kembali ke kamarnya yang berada lumayan dekat. Saat masuk kamar dia langsung disapa oleh Sasbel, burung merpatinya. "Kurr kurr," bunyi burung itu sambil naik turun di sangkarnya. Sastra pun tersenyum melihat tingkah Sasbel, burung itu selalu ada ketika Sastra dalam masalah. Sastra pun berkata, "Sasbel, besok aku mau mengeksekusi rencananya. Aku gak yakin ini akan berhasil atau ini akan memberikan efek yang baik, tapi… Entahlah, aku harap bisa membicarakan ini dengan orang lain. Tapi nanti mereka akan ikut terlibat dan jadi masalah lagi. Cuma ke kamu aku bisa cerita..."
Sasbel hanya diam, tidak menjawab apa-apa layaknya burung merpati. Jika Sasbel menjawab curhatan Sastra maka akan jadi horor, tetapi begitulah, setidaknya ada mahluk hidup yang ada untuknya. Saat melihat Sasbel, Sastra jadi teringat dengan Isabel karena dia yang memberinya nama. Memberinya sebuah identitas, membuatnya tidak lagi hanya sebagai burung merpati yang akan diganti jika tidak dibutuhkan. Dia telah membuat Sasbel spesial layaknya sebuah hadiah bagi Sastra.
Di esok harinya tanggal 6 Desember, Sastra sedang berada di kelas X.B. Setelah ujian akhir semester berakhir anak-anak akan kembali ke kelas asli mereka. Kebanyakan dari mereka akan mempersiapkan penampilan untuk panen karya nanti. Saat itu sudah waktunya pulang dan Sastra sedang duduk di kursinya. Dia pun mendengar Becca berbicara, "Habis ini kita latihan di ruang musik, Martin mana anak laki-laki yang lain?" Lalu Martin menjawab, "Mereka lagi ngambil gitar sama bass, habis ini balik."
"Bukannya, sudah ada di ruang musik?" Martin pun menjawab lagi, "Harusnya gitu, tapi mereka bilangnya mau ngambil gitar sama bass." Dengan kesal Becca pun mengomel, "Aneh emang, babah wes nang kono dulu ae kita." Kemudian dia berjalan keluar kelas bersama Martin. Sejak tadi Sastra sudah mengamati mereka dari bangku belakang, menatap mereka dari samping matanya saat berpura-pura bermain HP. Lalu dia diam membaca buku dan menunggu kelas sampai kosong. Tinggal beberapa anak saja yang masih berada di kelas, tetapi lama-kelamaan mereka juga akan pergi.
Saat mas-mas OB datang ke kelas sambil membawa alat pembersih untuk membersihkan kelas, baru Sastra membawa tasnya dan keluar dari kelas. Dia memastikan dulu, kalau tas Martin masih berada di kelas. Sesuai dugaannya, dia meninggalkan tasnya di kelas seperti biasa. Sastra juga menggunakan OB sebagai salah satu saksinya yang melihat Sastra keluar kelas dan melihat kalau tas Martin masih berada di kelas.
Lalu Sastra turun ke lantai satu lobby depan ruang guru. Disana ada banyak anak-anak yang belum pulang, Sastra mengambil tempat yang letaknya di dekat taman lalu mengeluarkan tas kain yang berisikan barang-barang yang ia perlukan. Setelah itu Sastra membawa tas kecil itu dan pergi ke kamar mandi. Lebih spesifiknya dia pergi ke kamar mandi perempuan. Kamar mandi sekolahnya berbentuk L yang terdiri dari 2 sisi untuk laki-laki dan sisi satunya untuk perempuan. Sastra memilih kamar mandi yang ada di titik pertemuan 2 kamar mandi itu. Sebelum masuk kamar mandi Sastra mengeluarkan sarung tangan medis lalu mengenakannya. Supaya sidik jarinya tidak menempel di pintu, tembok atau sisi dari kamar mandi itu.
Saat sudah berada di kamar mandi Sastra langsung mengunci pintunya, menggantung tasnya lalu melepaskan pakaiannya. Di dalam tas itu terdapat pakaian batik perempuan, rok dan jilbab. Sastra 'meminjam' seragam batik ini dari kakaknya, yakni Ayu yang tahun lalu bersekolah di SMA ini. Sebelum akhirnya lulus dan masuk ke perguruan tinggi. Seragam sekolahnya dulu masih sama dengan seragam sekolah yang sekarang, sehingga memudahkan Sastra dalam penyamarannya.
Sastra juga 'meminjam' bra dari lemari baju kakaknya dan berencana untuk mengenakannya. Meski dia sendiri tidak yakin dengan detail yang satu ini. Dia pun membatin, Eh, gimana aku pakainya ya? Tinggal diputer gini aja kan, tapi agak susah nempelin di bagian punggungnya, sek eh… Mana sambungannya ini?
Sastra pun kesusahan untuk memakai itu, tangannya sampai sakit karena harus dipelintir ke belakang. Sambil menolehkan kepalanya ke punggung Sastra akhirnya dapat menavigasi tali bra itu dan memasangkannya.
Kenapa aku harus pakai ginian, kayaknya aku terlalu effort dalam crossdressing. Pakai seragam cewek sama jilbab dan masker udah cukup kan. Sudahlah, yang penting aku kembalikan nanti malam sebelum Ayu pulang biar dia gak tau, kan cuma kupinjem.
Setelah itu Sastra mengenakan seragam batik perempuan, jilbab, sarung tangan dan menutup wajahnya dengan masker. Lalu dia keluar dari kamar mandi dan menyembunyikan tas yang berisi seragamnya di ruang alat kebersihan. Di area kamar mandi tidak ada cctv jadi dia bisa leluasa bergerak. Baru di area kelas sampai kantin dan sampai lapangan dipenuhi kamera cctv. Sebelumnya Sastra pergi ke kamar mandi melalui area parkir yang saat itu ramai, meski ada cctv Sastra masih bisa berbaur dengan anak-anak yang ada di sana.
Sastra sudah belajar berjalan layaknya wanita yang menggoyangkan pinggul dan badannya. Jadi, sekarang dia praktikkan hasil latihannya, tetapi jika diperhatikan dia masih terlihat seperti laki-laki. Meski begitu pada dasarnya Sastra memiliki wajah yang tampan, wajah tampan dan cantik itu hampir mirip karena sama-sama indah. Jadi, ketika dia menutupi wajahnya dengan masker yang terlihat adalah tatapan matanya yang indah.
Saat sampai di dekat kamar mandi di depan lapangan, Sastra berhenti dan memastikan tidak ada siapapun di sekitarnya. Pasti ada seseorang yang berada di dekatnya, tetapi Sastra hanya memastikan tidak ada yang menyadari tindakannya. Lalu dia mematikan saklar listrik di area itu dan menuju lantai 2. Saat berada di kelas, Sastra melihat keadaan kelas yang kosong seperti kuburan. Hanya terdengar suara dari air dan angin yang berasal dari sungai di belakang sekolah.
Tas Martin berada di atas mejanya, seperti biasa dia meninggalkan tasnya ketika ada kegiatan sepulang sekolah. Tas itu juga diletakkan di atas meja karena mas OB yang membersihkan kelas selalu meletakkan tas atau barang lain di atas meja supaya memudahkannya menyapu kelas. Lalu Sastra menghampiri tas itu dan mengeluarkan 3 pil tidur. Dia juga mengambil botol minum Martin yang tersisa sepertiga lalu menggunakannya untuk menghaluskan pil-pil itu. Dengan 1 dosis pil saja bisa membuat orang mengantuk dalam dan tertidur dalam waktu 30 menit, tetapi Sastra menginginkan efek yang instan sehingga dia memasukkan 3 pil sekaligus untuk mendapatkan efek yang lebih kuat. Setelah selesai melakukan itu, Sastra mengembalikan botol minumnya lagi ke dalam tas lalu pergi keluar kelas.
Sekarang aku hanya perlu menunggu Martin kembali ke kelas, dia pasti balik ke kelas buat mengambil sesuatu… Mungkin buat ngambil minum, gak mungkin dia gak minum kan? Tapi gimana kalau ternyata dia gak balik ke kelas? Kalau dia gak balik ke kelas dan gak meminum obatnya berarti aku harus melakukan rencana B, semoga dia datang ke kelas sesuai prediksiku. Aku gak mau melakukan rencana B…
Tidak lama setelah Sastra duduk di depan kelas X.C, Martin berjalan melewatinya sesuai dengan prediksi. Dia tidak menyadari kalau Sastra sedang duduk dan menyamar sebagai perempuan karena saat itu Martin tidak terlalu memperhatikannya. Dia masuk ke kelas dengan terburu-buru lalu duduk di kursinya. Dengan lega dia berkata, "Akhirnya aku bisa istirahat sebentar, capek dah latihannya. Mending aku minum dulu dan main game bentar."
Martin mengambil botol minumnya yang tampak normal dan airnya bening lalu meneguknya sampai habis. Setelah itu dia mengeluarkan suara, "Ahh," karena dahaganya telah tersapu habis dan dia merasa sangat lega. Lalu Martin meyalakan HPnya dan masuk ke dalam game ML. Aslinya dia kabur dari latihan untuk sementara, tetapi karena malas untuk melanjutkan latihannya dia memutuskan untuk bermain game. Lagipula latihan musiknya bisa dilanjutkan tanpanya.
Saat Martin sedang asyik bermain dan menembaki musuh, dia tiba-tiba merasa mengantuk. Perasaan ini tidak datang secara langsung, tetapi prosesnya perlahan. Fokus Martin terhadap gamenya pun berkurang dan matanya jadi berkunang-kunang. Lalu dia pun tertidur dengan kepala di atas meja bersandar di tasnya yang lumayan empuk. HPnya juga diletakkan di atas meja dengan game yang masih menyala.
Sastra pun datang ke kelas untuk memastikan kalau Martin sudah tertidur pulas. Rencana selanjutnya adalah mengambil HP Martin yang akan dijadikan alat untuk menyebarkan video itu. Sastra masih menatap Martin dengan perasaan jijik dan benci, tetapi setidaknya dia dapat membalas perbuatannya dan memberikannya hukuman yang layak. Sampai saat itu Sastra selalu mengenakan sarung tangannya, tidak meninggalkan sidik jari apapun bahkan di HP Martin. Sebelum HPnya mati Sastra masuk ke bagian settings lalu mengganti passwordnya. Namun, untuk mengganti password baru Sastra membutuhkan password yang lama sehingga dia memakai sidik jari Martin. Lalu Sastra hanya mengganti password angkanya saja menjadi 123456 dan membiarkan password yang menggunakan sidik jari Martin.
Setelah mengatur ulang HPnya dan mendapatkan HP Martin, Sastra langsung pergi keluar kelas. Dia kembali ke kamar mandi lalu mengganti pakaiannya menjadi seragam laki-laki. Rencananya sampai di sana berhasil tanpa ada masalah, dalam hati Sastra bersyukur dan memuji dirinya. Detak jantungnya pun perlahan menjadi tenang, sekarang dia hanya perlu menyebarkan videonya saja. Sastra pun mengambil tasnya di lobby lalu pulang ke rumah dengan mengendarai sepeda listrik birunya.
Di depan komputernya Sastra mematung dan berpikir. Sudah tidak ada lagi jalan kembali setelah dia melakukan ini. Namun, sebelum dia melanjutkan ke tahap berikutnya Sastra mengevaluasi semua yang telah ia lakukan mulai dari tahap awal.
Kemarin malam aku menyiapkan barang-barang yang diperlukan, mulai dari pil, seragam kakakku, sarung tangan medis, masker, dan lain-lain. Aku juga sudah mengembalikan seragam kakakku dan menghancurkan semua barang mulai dari sarung tangan dan maskernya. Tadi di sekolah aku mematikan kamera cctv untuk wilayah kelas, tapi masih ada rekaman cctv pas aku berjalan dari kamar mandi ke kelas pakai seragam cewek. Ada Juga rekaman pas aku ke kamar mandi dan balik dari kamar mandi pakai seragam asliku.
Aku gak perlu menghilangkan rekaman cctv cewek, tapi aku harus menghapus rekaman yang memperlihatkan wajahku sendiri. Oke, habis itu aku melakukan rencana tahap kedua dengan memberi Martin obat tidur. Aku juga mengambil HPnya dan sekarang aku bisa membuka HPnya sendiri. Meski begitu aku masih gak tau password akun-akunnya, habis ini kucari.
Nah, sekarang adalah tahap terakhir dari rencana utama. Nanti akan ada rencana cadangan kalau ada situasi mendadak. Aku hanya perlu memindahkan video itu ke HP Martin habis itu kukirimkan ke semua kontaknya. Sek, kalau ke semua kontaknya nanti masalah ini gak hanya diketahui sama orang-orang dari sekolah… Gak papa wes, yang penting aku gak bisa dilacak. Agar gak bisa dilacak aku harus menggunakan flashdisk ini. Kalau aku kirimkan pakai internet nanti akan ada historynya dan bisa dilacak ke perusahaannya.
Sastra pun mengeluarkan flashdisk dari dalam laci mejanya. Di dalamnya hanya ada video Martin yang sudah dipindahkan dari HPnya. Sastra sendiri sudah menghapus semua jejak video itu yang ada di HPnya. Selanjutnya Sastra menghubungkan flashdisk itu ke HP Martin lalu memindahkan videonya. Video itu juga sudah diedit dengan menghapus audio dan hanya menyisakan visualnya saja. Karena saat menonton ulang videonya Sastra mendengar ada suara dari kampanye calon ketua OSIS.
Sekarang Sastra hanya perlu mengirimkan video itu ke semua orang. Semua kontak yang ada di HP Martin, mulai dari guru, temannya, siapapun itu tidak terkecuali Sastra. "Sudah gak ada jalan kembali," kata Sastra. Lalu dia mengirimkan video itu kepada semua orang. Sastra tidak tau kalau aksinya ini akan menimbulkan efek yang sangat buruk. Dia terlalu dibutakan dengan keinginannya untuk menebus kesalahannya pada Isabel dan gagal untuk melihat konsekuensi yang akan segera datang.