Di hari Jumat Sastra kembali dari masjid dengan mata yang sangat berat. Dia berjalan sempoyongan dengan menahan rasa kantuk. Sesampainya di kelas Sastra langsung ingin tidur. Sayangnya, kelasnya saat itu masih digunakan untuk kegiatan agama Kristen. Sastra pun hanya bisa menunggu di lorong depan kelas X.C bersama anak laki-laki yang lain. Teman-temannya banyak yang beruntung dan mendapat nasi kotak sesudah solat jumat. Mereka yang mendapatkan nasi kotak akan memakannya langsung, tetapi ada juga mereka yang langsung bermain sepak bola setelah solat.
Sastra bersandar di pagar sambil memandang ke lapangan yang ramai. Dia membatin, Haruskah aku mengajak Isabel melihat bunga-bunga yang bermekaran di West? Mungkin, ini akan menjadi hadiah terakhirku untuknya… Beberapa saat kemudian pintu kelasnya terbuka dan kegiatan di dalam sudah selesai. Sastra menunggu agar semua anak di dalam kelas keluar terlebih dahulu. Sebelum akhirnya masuk dan menemui Isabel. Saat itu Isabel sedang menyiapkan buku dan alat tulisnya yang akan digunakan di pelajaran selanjutnya. Sastra pun berkata, "Halo Bel, kamu ada waktu sebentar?" Lalu Isabel menjawab, "Ya, kenapa?"
"Besok minggu aku mau nunjukkan kamu sesuatu, jadi pas rekaman videonya selesai bisa stay dulu gak?" Lalu Isabel balik bertanya, "Emang mau ngapain? Nunjukin apa?" "Kan kejutan, tunggu aja nanti minggu, kamu mau gak ?" tanya Sastra. Isabel tampak berpikir terlebih dahulu sebelum menjawab, "Boleh aja, tapi habis itu aku pulang." Sastra merasa senang saat Isabel setuju untuk ikut dengannya. Namun, Sastra hanya bisa menjawab, "Oke," kemudian pergi. Jika terlalu lama berbicara dengan Isabel rasanya akan canggung, alhasil keduanya hanya akan diam.
Pelajaran selanjutnya adalah pelajaran agama, sehingga anak-anak yang nonis akan meninggalkan kelas dan pindah ke perpustakaan. Sedangkan yang beragama Islam akan melakukan pelajaran di kelas. Pelajaran berakhir di jam 2, kemudian dilanjutkan dengan pramuka wajib. Sastra menjalani semua kegiatan sekolah itu hingga akhirnya waktu pulang tiba. Sastra mengendarai sepeda listrik birunya lagi menuju ke West area. Lalu sampai di jalan dimana paling banyak bunga-bunga yang bermekaran. Di sana Sastra berkeliling sebentar untuk mencari tempat yang pas. Lalu Sastra berhenti di depan pohon, dia telah sampai di tempat yang ia cari, tempat yang paling tepat untuk hari minggu nanti.
Di hari minggu pagi Sastra melakukan jogging seperti biasa. Kali ini Sastra melakukan 2 putaran melintasi jalur yang biasanya. Secara bertahap Sastra membangun staminanya dengan gaya jogging dan berlari. Saat sampai di rumah Sastra langsung minum segelas air, dia bisa merasakan aliran airnya yang sejuk di lehernya. Lalu Sastra mengambil pakaian gantinya dan mandi. Dia tidak langsung mandi setelah selesai berolahraga, tetapi menunggu sebentar sambil bermain HP hingga badannya dingin.
Setelah mandi Sastra pergi ke kamarnya untuk mempersiapkan semuanya. Meski ini hanya dilakukan untuk main-main saja, tetapi Sastra tetap ingin memberikan yang terbaik. Dia membuka lemarinya lalu mengeluarkan kamera beserta baterai dan memori cardnya. Saat ia memasukkan baterainya Sastra menemukan bahwa kamera itu masih belum terisi penuh. Sambil menunggu jam 12 tiba, Sastra memutuskan untuk mengisi daya baterainya. Sebenarnya dia tidak membutuhkan hal lain selain kamera. Sastra juga tidak butuh berpakaian terlalu rapi, karena bukan dia yang akan difoto.
Kemudian di pukul 11.35 siang, Sastra sudah berangkat menuju taman menggunakan sepeda listriknya. Taman itu lumayan sepi dengan beberapa penjual bakso dan anak-anak yang bermain. Suasana yang pas untuk syuting video tugas, tetapi masih belum ada yang datang. Sastra pun menyalakan ponselnya dan melihat bahwa pesan yang ia kirimkan pada Isabel belum dijawab. Mungkin dia masih di perjalanan atau masih melakukan kegiatan yang lain. Sehingga Sastra pun duduk di bangku taman untuk merakit kameranya.
Suara motor terdengar lalu berhenti di depan taman. Ternyata itu adalah Isabel, tetapi dia datang kurang lebih 20 menit setelah Sastra tiba di taman. Sastra melihat Isabel yang diantarkan oleh ayahnya dan ketika ayah Isabel mengangguk pada Sastra, dia juga mengangguk dengan sopan. "Akhirnya aku udah sampai, halo Sas," sapa Isabel. Lalu ia duduk di samping Sastra dan memangku tas kecilnya. "Aku nunggu dari tadi, lama banget datengnya," kata Sastra. Lalu Isabel bertanya, "Emangnya kamu dateng jam berapa?" "Jam 11 lebih 30 an kayaknya," jawab Sastra. "Ya jelas lama, kan kita janjinya mulai jam 12 siang, yang lain juga belum dateng kok," kata Isabel dengan kesal. Wajah kesal Isabel membuat Sastra ingin tertawa, tetapi ia menahannya dan menjawab, "Yawes, semuanya salahku lagi…"
"Tapi kan emang kamu yang dateng terlalu awal," balas Isabel. Sambil mengatakan itu Isabel mendorong Sastra perlahan. Kemudian Sastra mengubah topik pembicaraannya, "Tadi kamu ngapain aja sebelum dateng ke sini?" "Ngapain ya? Habis dari gereja aku pulang dulu terus langsung ke sini. Oh ya, aku sudah sampai di taman aslinya, tapi ayahku ngajak aku ke jalan yang lurus dari pintu masuk itu loh, buat liat bunga-bunga katanya."
Hah? Dia sudah liat bunga-bunga di sana duluan? Terus kejutannya gimana dong? Sialan emang bapaknya itu, merusak rencana aja…
Kemudian Sastra berkata, "Loh, kamu sudah liat bunga di West toh? Padahal itu kejutan yang mau aku tunjukkan." Dengan nada yang agak terkejut Isabel menjawab, "Oh, itu yang mau kamu tunjukkan? Ya, gak papa kita ke sana aja lagi, ayahku juga cuma lewat aja gak sampai jauh." "Oke deh, nanti kubonceng naik sepeda listrikku," ucap Sastra. Otomatis Isabel menoleh ke arah sepeda listriknya yang terparkir di pinggir taman. "Emang muat?" tanya Isabel, yang dijawab, "Muat lah, dulu dipakai berdua sama Fatih dan Levin aman-aman aja. Kalau cuma kamu ya bisa-bisa aja, kan kamu gak berat-berat amat." Mendengar itu Isabel agak marah dan protes, "Aku gak se berat itu ya." Sastra hanya menjawab, "Terserahmu…"
Beberapa menit kemudian anggota kelompok lainnya pun datang. Mereka memulai syuting tidak lama setelah semua anak sudah berkumpul. Hasil videonya juga tidak terlalu jelek. Selama proses pengambilan video Sastra menyadari sesuatu, yakni Isabel mengenakan dress yang ia belikan. Warna putih itu cocok dengan Isabel dan rambut cokelatnya yang terurai menambah pesonanya. Beberapa kali angin berhembus membuat gaun dan rambut Isabel berkibar dengan indah. Lalu Sastra berkata padanya, "Aku baru tau kalau kamu pakai baju yang kubelikan, Bel." Dia tersenyum lalu menjawab, "Akhirnya kamu sadar, padahal udah dari tadi aku pakainya. Ya, baguskan? Seleramu lumayan bagus, apa jangan-jangan kamu minta bantuan kakak perempuanmu."
"Haha, ketahuan deh, aku emang gak tau kamu suka desain yang bagaimana, cuma tau ukuranmu aja." Isabel tidak keberatan sama sekali, malah ia bersyukur karena Sastra tidak memilih sendiri. "Ayo lanjut, habis ini selesai," kata Isabel. Kemudian mereka melanjutkan tugas mereka.
Tiba-tiba kelompok Tiana dan Becca datang dan ternyata ikut membuat video di taman itu juga. Entah kenapa masalah Sastra terus berdatangan. Pertama dari ayah Isabel dan sekarang teman-temannya yang lain datang. Sastra menjadi ragu apa dia bisa mengajak Isabel nanti, tetapi Sastra tidak punya pilihan lain selain menunggu. Dari jauh Becca berkata sambil turun dari atas motor, "Isabel, kamu di sini juga buat videonya?" "Iya, kalian juga di sini? Harusnya bilang dulu dong biar bisa main," jawab Isabel. Lalu Tiana turun dari motornya setelah terparkir dan menghampiri Isabel bersama Becca.
Sastra pun ikut bergabung dengan mereka, supaya Isabel tidak lupa dengan rencananya saat selesai tugas. Dia berkata pada kedua temannya itu, "Halo guys, bagus kalian ada di sini, jadi lebih rame." Kata-katanya tampak jelas seperti orang yang pencitraan dan terdengar dipaksakan. Namun, mereka tetap menjawab dengan hangat, "Iya, kalian udah selesai belum videonya?" Isabel menjawab, "Ini hampir selesai." Lalu Becca menyela, "Nanti pas pulang kita pergi kemana gitu, yuk." Saat Becca mengatakan itu, Sastra langsung melirik Isabel. Isabel juga bisa merasakan tatapan Sastra, ia tersenyum lalu berkata, "Boleh, tapi nanti aku mau melakukan sesuatu dulu sebelum pulang. Nanti balik lagi ke sini kok…" Mereka pun mengerti dan tidak memaksanya lebih lanjut.
Saat pengerjaan tugas selesai, Isabel datang menemui Sastra dan berkata, "Nanti tunggu aku di tempat yang agak jauh." "Dimana?" tanya Sastra. Yang dijawab, "Hmm, gimana kalau deketnya kolam renang, iya di situ aja." Sastra hanya menjawab, "Oke, nanti kutunggu di sana." Setelah itu Sastra mengendarai sepeda listrik birunya lalu berhenti di tanah kosong samping kolam renang. Dari jauh Sastra bisa melihat Isabel yang berjalan ke arahnya. Lalu Isabel bertanya dengan lelah, "Kenapa kamu jauh banget?" "Kan, kamu nyuruhnya di sini," kata Sastra. Lalu Isabel langsung naik ke kursi penumpang sepeda itu sambil berkata, "Yaudah, ayo langsung aja."
Saat Isabel sudah siap, Sastra langsung memutar gas sepeda itu lalu belok ke kiri. Dari jalan itu mereka langsung bisa menuju West tanpa harus melewati jalan utama. Sepeda itu bergerak lurus langsung ke jalan yang paling banyak pohon dengan bunga bermekaran. Mereka pun sampai di tempat yang sudah ditentukan Sastra. Rumput hijau di tanah kosong itu memantulkan cahaya matahari membuatnya tampak bersinar. Sastra menjadi ingin berbaring dan berguling di atasnya seperti di film-film, tetapi ia menyadari keadaannya saat itu. Dia sudah tidak mempunyai hubungan apa-apa lagi dengan Isabel.
Lalu Sastra turun dari sepedanya dan menyiapkan kamera. "Kamu mau ngefoto aku, tah?" tanya Isabel. Dia masih duduk di atas sepeda listrik yang terparkir itu. Roknya sedikit terangkat dan dia menatap Sastra dengan penasaran. "Ya," jawab Sastra, tetapi Isabel merasa malu karena belum siap. Dia berkata, "Tunggu dulu aku belum merapikan rambutku, rokku juga." "Ya, rapikan dulu, aku mau ngefoto pemandangannya. Mumpung tanah kosongnya ini masih ada dan pas bunganya lagi bermekaran." Sastra berjalan keluar dari bayangan pohon lalu mengarahkan kameranya ke depan. Dari layar kamera terlihat bentangan tanah hijau dengan pepohonan yang berwarna-warni di setiap sisinya. Namun, lebih mendominasi warna pink seperti pohon sakura.
Sastra mengambil beberapa foto lalu mengganti objek fotonya. Dia memotret bunga-bunga dan pohon yang ada di dekatnya. Lalu Isabel berkata, "Sas, kamu mau foto tanaman apa aku? Aku sudah siap dari tadi." "Oh, aku sampai lupa, oke kamu tetep di sepedanya aja aku foto." kata Sastra. Isabel pun meletakkan tangannya di stang sepeda lalu bertanya, "Begini?" Sastra langsung jongkok dan membidik ke arah Isabel. Pertama dia mengambil 1 foto lalu 2 dan 3. Hingga akhirnya dia puas dengan hasil fotonya. Isabel tampak cantik di bawah bayangan pohon yang penuh bunga. Dia seakan-akan menyatu dengan bunga-bunga yang jatuh di bawahnya. Setiap kali memotretnya, Sastra tidak bisa memalingkan pandangannya dari senyuman Isabel. Waktu terasa berhenti seakan mengizinkan Sastra untuk menangkap momen indah itu.
"Ah, udahlah aku malu difoto naik sepeda listrik gini," kata Isabel sambil turun dari sepedanya. "Emang kenapa kan bagus sepedaku unik," jawab Sastra dengan percaya diri. Aslinya Isabel menyukai sepeda itu, hanya saja dia merasa canggung. Isabel pun mendekat ke Sastra lalu meminjam kameranya. Dia berkata, "Lupakan sepedanya, aku mau nyoba ngefoto juga." Dia berjalan ke berbagai arah lalu memotret apapun yang ia anggap indah.
Setelah itu Isabel mengembalikan kameranya pada Sastra. Ternyata dia telah memotret lebih dari 10 foto. "Kita udah kan? Ayo balik," ajak Isabel. "Oke," lalu keduanya naik ke atas sepeda listrik dan mulai berkendara. Dari lokasinya Sastra bergerak ke arah kanan lalu lurus sampai ke jalan utama. Dari sana jalannya downhill hingga ke bundaran depan gerbang masuk perumahan. Lalu Sastra belok kiri melewati taman dan terus tidak berhenti. Dari kursi penumpang Isabel menepuk pundaknya dan berkata, "Sas, tamannya udah kelewatan. Gimana sih, puter balik!" Sastra tetap memfokuskan pandangannya ke depan. Dia berkata, "Iya, habis ini kita putar balik… Di depan sana tuh."
Saat sampai di bundaran depan rumah Sastra, ia berputar, tetapi tetap lurus menuju ke East area. Kebetulan ada banyak mobil terparkir yang penumpang di dalamnya baru saja keluar. Mungkin ada suatu acara di salah satu rumah di sana, tetapi Sastra tetap menerobos rombongan orang itu dengan kecepatan penuh. Sampai Isabel berkata, "Ih, salahmu ini harusnya puter balik di depan tadi. Banyak orang di sini." Sambil tertawa Sastra menjawab, "Iya iya, habis ini kita sampai di taman."
Akhirnya saat di jalan seberang taman Isabel meminta Sastra untuk berhenti. "Udah, aku turun di sini aja." Kemudian Sastra berhenti di pinggir jalan supaya Isabel bisa turun. Usahanya untuk mengulur waktu akhirnya sampai pada titik akhir. "Makasih ya Sas, sekarang aku harus pergi." Sebelum Isabel pergi Sastra dengan cepat meraih tangannya. Ini rasanya seperti kesempatan terakhir baginya. Jadi, Sastra berkata, "I love you, Isabel…"
Kali ini Isabel tidak membalas apa-apa. Dia hanya tersenyum dan menjawab, "Kamu masih mau sama aku toh." Ucapannya terdengar seperti candaan, tetapi Sastra benar-benar mengatakan isi hatinya. Mungkin sudah tidak ada kesempatan lagi baginya. Dia menatap Isabel selagi ia berjalan menyeberang ke taman, tetapi terdapat perasaan tenang dan puas jauh di dalam lubuk hati Sastra.