Sastra cilik merasakan seluruh tubuhnya terendam dalam air. Dia menengadahkan kepalanya ke atas supaya bisa menghirup udara. Sastra bisa merasakan kakinya menyentuh dasar kolam yang berlumut sehingga licin. Ia juga menggerak-gerakkan tangannya supaya tetap bisa mengapung di permukaan air. Saat Sastra melihat ke tepi kolam, ternyata ada banyak sekali anak-anak yang menonton kejadian itu. Wajah mereka penuh dengan rasa bahagia, tidak ada satupun yang iba melihat keadaan Sastra. Bahkan mereka tega untuk menertawakan Sastra. Sastra pun terpaksa naik ke tepi kolam sendirian karena tidak ada yang menolongnya. Salah satu dari mereka berkata, "Dasar anak kodok, ahaha." "Betul dia sampai ikut nyebur ke kolam buat nemui keluarganya," jawab yang lain. Lalu ada lagi yang berkata, "Ssst, jangan kenceng–kenceng dia denger loh."
Mereka tidak berhenti tertawa meski mengetahui Sastra mendengar setiap omongan mereka. Dia sudah tidak tahan lagi berada di kerumunan itu, Sastra pun pergi ke UKS. Seragamnya sudah basah kuyup sehingga tidak akan bisa digunakan lagi. Di sana dia bertemu dengan guru UKS yang sedang duduk. Saat melihat keadaan Sastra yang basah dia langsung berdiri sambil berkata, "Ya Allah, kamu kenapa nak?" Sastra menjawab dengan sedikit tertawa, "Saya kecebur kolam, bu." "Oke, sekarang ganti baju olahraga ini dulu sebelum masuk angin, tapi besok kembalikan ya" ucap guru itu. Lalu Sastra menerima baju dan celana olahraga yang cukup kecil. Baginya ukuran itu sudah pas dengan tubuhnya karena masih kelas 4 SD. "Terimaksih, Bu," kata Sastra sambil menganggukkan kepalanya. Setelah itu Sastra pergi ke kamar mandi untuk mengganti bajunya. Dia juga membawa kresek untuk menyimpan seragam basahnya.
Seharusnya aku gak ikut penasaran liat kodok-kodok di kolam. Pasti ini ulah Adrian, siapa lagi kalau bukan dia yang mendorongku. Anak-anak jadi menertawakanku juga ulahnya, aku lihat sendiri tadi. Dia yang bilang kalau aku anak kodok, sialan.
Sastra mengenakan seragam olahraga itu sampai pulang. Saat pulang Sastra dijemput oleh pelayannya yang mengendarai sepeda motor. Pelayannya itu lumayan kaget dengan penampilan Sastra, tetapi lebih kaget lagi ibu Sastra saat melihatnya. Saat di rumah Ibu Sastra memegang kedua bahunya sambil bertanya, "Kenapa kamu pakai baju olahraga Sas, hari ini kan gak ada. Terus kenapa seragam sekolahmu basah?" "Tadi kecebur kolam, Mah," kata Sastra. Lalu ibunya berkata, "Kok bisa coba ceritain." Sastra dengan wajah yang polos bercerita, "Tadi ada kerumunan anak-anak yang ngeliatin kodok di kolam, nah aku juga ikut liat. Tapi ada temanku yang gak suka sama penampilan sulapku, mah. Dia yang dorong aku jatuh ke kolam. Habis itu aku dipinjami seragam olahraga sama bu guru UKS."
"Siapa namanya yang dorong kamu?" tanya ibu Sastra. "Adrian, Mah," jawabnya. Lalu Sastra lanjut mengeluh, "Padahal aku sudah susah-susah latihan trik sulap dan kutampilkan ke temen-temenku. Tapi ada aja yang gak suka sama aku…"
Mendengar itu Ibu Sastra mengelus kepala Sastra dengan lembut. Dia menatap Sastra dengan senyuman yang tulus lalu berkata, "Tidak semua orang akan menyukai kita Sastra. Mungkin sebagian orang akan menyukai apa yang kita lakukan dan sebagian lainnya tidak suka, tapi itu tidak apa-apa. Yang penting kita sudah melakukan apa yang kita bisa, itu sudah cukup." Lalu Sastra menjawab, "Oke makasih Mah." "Yasudah sekarang kamu ganti baju rumah dulu. Jangan lupa kembalikan seragam yang kamu pinjem besok." Sastra mengangguk lalu berlari ke lantai atas sambil membawa tas di punggungnya. Dia tampak seperti Hobbit yang membawa tas besar di punggungnya.
Beberapa hari setelah kejadian itu di saat Istirahat Sastra sedang menunjukkan trik kartu kepada teman-temannya. Dari dalam dek dia mengeluarkan kartu sambil berkata, "Kartumu pasti King of Diamonds." Bahasa inggris Sastra tidak terlalu bagus saat itu, bahkan dia salah melafalkan diamonds. Namun, teman-temannya juga sama bodohnya, jadi dia terlihat pintar dibandingkan dengan mereka, meski masih salah. Kemudian teman yang ditebak kartunya itu berkata, "Wah bener le, kok iso Sas?" "Jenenge ae sulap, gini bagi Sastra gampang," kata yang lain. Sastra pun menjawab, "Makasih pujiannya, berarti aku bener lagi nih. Ada lagi yang mau coba?"
Tiba-tiba dari samping Sastra ada yang berkata, "Aku." Lalu dia mendekat ke samping meja dengan diikuti beberapa temannya. Siapa lagi kalau bukan Adrian yang selalu membully Sastra. "Kamu masih mainan sulap lagi, Sas?" dia mengambil dek kartu itu lalu membantingnya sampai kartu-kartu remi berserakan di meja dan lantai. "Aku gak peduli sama sulapmu, mau kamu tiba-tiba kamu hilang atau kamu mau datangkan hujan aku gak peduli. Tapi aku peduli kalau kamu kasih tau ortumu kalau aku yang dorong kamu ke kolam. Pasti kamu cepu ke ortumu kan? Sekarang aku yang kena imbasnya, orangtuaku marah sama aku."
"Bukannya itu salahmu sendiri?" kata Sastra. Dengan geram Adrian berkata, "Salahku? Jelas-jelas kamu yang cepu, kalau kamu diam saja gak akan ada yang repot!" "Oh, sekarang salahku karena aku cepu, tapi sejak awal kamu yang dorong aku ke kolam kan?" Adrian memutar matanya dengan perasaan yang kesal. Lalu dengan nada yang mencemooh dia berkata, "Terus kalau emang aku yang dorong kamu ke kolam kenapa? Dasar anak kodok cepuan. Ah, ada lagi kamu anak manja ibumu yang bau tanah, hahah." Setelah memaki Sastra dia pergi begitu saja. Datang tak diundang, pergi tak diantar.
"Sudah Sas, jangan dimasukkan hati, nanti lama-lama kena batunya juga dia," kata temannya. "Iya iya bener iku," kata temannya yang lain setuju. Namun, dalam hati Sastra membatin, Kalau dia ngejek aku aku masih bisa toleransi, tapi dia udah nyebut-nyebut ibuku. Kalau sudah begini aku gak bisa diam aja, aku harus lakukan sesuatu…"
Suatu hari saat pulang sekolah Sastra bersembunyi di balik tembok. Di depannya terdapat tangga yang lurus dari lantai 1 sampai lantai 2. Tangga itu memiliki 2 bagian yang kanan untuk naik dan yang kiri untuk turun. Di situ dia bersembunyi sambil menunggu Adrian untuk turun tangga. Biasanya Adrian pulang agak terlambat karena dijemputnya juga terlambat.
Lalu dari kejauhan terlihat Adrian yang berjalan sendiri menuju tangga turun. Saat di depan tangga Sastra berencana mendorongnya sampai jatuh ke lantai 1. Anehnya dia tidak bisa bergerak, kakinya kaku dan detak jantungnya berdebar kencang. Dalam hati dia berkata, Aku harus mendorongnya sekarang, nanti gak ada kesempatan lainnya lagi. Ayo, lakukan lakukan lakukan lakukan! Kenapa badanku gak mau gerak? Jangan bilang aku takut sekarang dan gak bisa melakukan apapun.
Pada akhirnya Adrian sudah sampai di lantai 1 dan Sastra gagal melakukan rencananya. Lalu Sastra terdiam di balik tembok itu dengan perasaan yang kosong. Rasa takutnya telah mengalahkannya lagi membuatnya tidak berdaya ketika harus bertindak. Namun, dia membuat alasan untuk membuat dirinya merasa lebih baik, Mungkin ini adalah hal yang baik, siapa tau jika aku benar-benar mendorongnya Adrian bakal terluka parah. Aku juga akan menyesal dan bahkan mungkin akibatnya sampai lebih buruk lagi… Biarpun alasannya benar Sastra tetap tidak bisa mengalahkan rasa takutnya.
Setelah rencananya yang gagal, Sastra tidak lagi mencoba untuk mencelakai Adrian. Dia tidak peduli lagi dengan apa yang dikatakannya selama dia bisa bermain sulap dengan leluasa. Selama banyak anak-anak yang menyukai permainan sulapnya dia tidak punya masalah.
Suatu hari Sastra menemukan sebuah audisi sulap yang diadakan di Surabaya. Sastra pun berkata pada ibunya, "Mah, aku coba ikut ini siapa tau bisa menang, coba liat audisi sulap. Deket cuma di Surabaya." "Sini lihat," kata ibunya yang sedang duduk di sofa. Dia membaca informasi yang tertera dalam kertas selembaran itu dengan seksama. "Hmm, ini buat anak SD…" gumamnya. Lalu Sastra menyahut, "Aku kan masih SD jadi bisa ikut." "Oke, nanti kamu ikut aja, tapi kamu mau nampilkan trik sulap apa?" lalu Sastra menjawab, "Trik burung merpati."
Sastra pun membeli burung merpati itu bersama ibu dan ayahnya di Splendid Malang. Di sana dia berjalan di pinggir jalan lalu berhenti di depan sangkar burung yang berisikan banyak burung merpati yang berwarna putih. Sastra berkata, "Pah, ini loh bagus burung merpatinya." Namun, Novel berpikir sebaliknya, "Ini merpatinya sudah dewasa, gak akan muat buat kamu. Kamu masih bocah, cari yang kecil." Dengan wajah yang kecewa Sastra terpaksa mencari merpati yang lain. Setelah sekian lama berjalan ibunya pun menemukan sesuatu. Dia berkata, "Mungkin ini cocok buat Sastra, gimana menurutmu Pah?" Novel menjawab, "Boleh juga ini lebih cocok daripada yang tadi." Lalu mereka membelikan burung merpati kecil itu untuk Sastra. Sastra pun merasa senang karena mendapatkan peliharaan baru yang bisa dilatih. "Kalau kecil gini kan kamu bisa latih dia supaya patuh sama kamu," kata Novel. Lalu Sastra menjawab, "Oke, makasih papa mama."
Sastra tidak menamai burung itu apapun dan menganggapnya hanya sebagai alat sulap. Alat baginya untuk disukai banyak orang dan mendapatkan pujian. Meski begitu, Sastra berlatih setiap hari dan merawatnya dengan sepenuh hati hingga mereka berdua saling mengenal dan menyayangi.
Suatu hari 1 bulan sebelum audisi dimulai Sastra kembali ke kelas setelah dari kamar mandi. Saat itu sudah waktunya pulang dan kelas sudah sepi, tetapi dia melihat teman perempuannya yang menangis. Dia menangis sambil ditenangkan oleh 2 teman perempuan lainnya. Sastra yang penasaran pun menghampirinya lalu bertanya, "Dia kenapa?" Temannya menjawab, "Buku tulisnya disobek sama Adrian, mending kamu bilang guru Sas." "Disobek?" tanya Sastra. Lalu temannya memberikan buku tulis yang sudah disobek dengan lembaran yang terlepas. Seketika Sastra merasakan amarah yang tidak bisa ia pendam, tetapi ia menenangkan dirinya dengan menarik napas lalu menghembuskannya lagi. Lalu Sastra berjalan meninggalkan anak-anak itu. Salah satu dari mereka bertanya, "Apa mau kamu lakukan, Sas?" Sastra menjawab, "Aku punya rencana."
Di suatu siang setelah solat Dhuhur suasana kelas sangatlah kacau. Anak-anak saling menyalahkan satu sama lain. "Kalau bukan kamu siapa terus yang nyembunyikan dompet-dompet kita?" tanya salah satu anak yang menuduh Sastra. Sastra tetap tenang lalu berkata, "Coba pikirkan lagi siapa yang gak ikut solat Dhuhur tadi, aku datang terlambat bukan berarti mengambil semua dompet kalian." Semuanya pun saling berdiskusi mengingat-ingat siapa saja yang ada dalam solat Dhuhur. Salah satu dari mereka bahkan sampai ada yang menghitung siapa saja di kelas itu yang ikut solat.
Lalu Sastra merebut momen kacau dan gelisah itu dengan berkata, "Aku punya saran, bagaimana kalau kita buka setiap tas di kelas ini dan cari siapa yang menyembunyikan dompet-dompet kita." Yang lainnya berkata, "Silakan liat aja, bukan aku kok." "Kalau gitu mari kita mulai pengecekan dari bangku paling depan," kata Sastra. Kemudian Sastra mengecek tas pertama yang ada di depan dan mengeluarkan isinya secara perlahan. Tidak terdapat dompet apapun di sana hanya buku dan barang-barang pribadi.
Lalu anak laki-laki yang tidak sabar dan terbawa emosi berkata, "Udahlah mending kita buka semua tas. Kelamaan nunggu dia buka satu-satu." Tiga anak bergerak bersamaan dan mereka membuka paksa setiap tas yang belum terbuka. Anak-anak perempuan pun berusaha menghentikan mereka. Sehingga terjadilah kekacauan lagi, mereka berteriak dan saling menyalahkan karena membuka barang-barang pribadi. Sastra hanya perlu memperhatikan situasi itu berjalan sesuai rencananya.
Tiba-tiba salah satu anak yang berada di bangku belakang berkata, "Aku nemu dompet… Ada satu, dua, ada banyak!" Semua perhatian langsung tertuju pada anak laki-laki itu. Lalu mereka menyerbu bangku itu. "Ini kan bangkunya Adrian," kata salah satu anak perempuan. Adrian kaget karena jelas-jelas bukan dia pelakunya. Dia mencoba membela dirinya sendiri, "Bukan aku yang ngambil dompet-dompet kalian, aku dari tadi solat Dhuhur bareng kalian." Lalu Sastra ikut andil dan berkata, "Oh ya? Kalau begitu kenapa gak ada yang liat kamu pas di masjid, kemana aja kamu?" Suasana pun menjadi hening tidak ada yang berbicara kecuali Adrian. "Aku bener-bener di masjid tadi!" tetapi ada anak yang berkata, "Aku gak lihat kamu di masjid." Setelah dia mengatakan itu banyak anak lain yang bersaksi sama.
Mereka semua menggunakan situasi itu untuk melampiaskan kebencian dan kekesalan mereka terhadap perilaku Adrian selama ini. Biarpun dia bukan pelakunya, mereka tetap menginginkannya sengsara. Adrian pun tidak tau harus berkata apa ketika semua anak bersekongkol melawannya. Lalu dia melihat Sastra yang dari tadi tersenyum. "Jancok, semua ini pasti ulahmu, Sas!" teriaknya. Lalu Adrian menerjang Sastra, memukulnya di perut dan mendorongnya sampai membentur beberapa meja. Saat jatuh Sastra sempat menahannya dengan tangan kanan. Namun, sekarang tangan kanannya terasa sangat sakit sampai membuatnya berteriak. Tepat ketika Sastra terjatuh guru datang ke kelas karena salah satu anak melapor.
Setelah kejadian itu Adrian dipindahkan ke kelas lain yang berada di lantai 1 supaya tidak menyebabkan masalah lagi. Tangan kanan Sastra ternyata menderita retak dan susah digerakkan, padahal sebentar lagi audisi sulap akan segera diadakan. Namun, Sastra masih berharap bisa memenangkan audisi itu, meski dalam kondisinya yang seperti ini.
Saat hari audisi sulap itu tiba Sastra sedang bersiap-siap dibalik panggung. Dia duduk di kursi panjang bersama peserta lainnya. Semenjak datang dia merasa ragu dan takut. Pertanyaan, Apa aku akan berhasil? Terus berputar di kepalanya, tetapi Sastra dikejutkan dengan seseorang yang memanggil namanya. "Sastra, setelah ini kamu akan maju, jadi silakan bersiap-siap," kata orang itu. Kata-kata itu semakin membuatnya takut hingga merasa mual. Segera Sastra pergi ke kamar mandi untuk muntah. Dia muntah sebanyak-banyaknya sampai membuatnya pusing karena dehidrasi. Namun, Sastra tetap kembali ke tempat persiapannya kemudian minum sebotol air putih. Dia tidak punya pilihan lain selain maju ke panggung.
Saat di panggung Sastra mulai melakukan trik sulapnya. Di dalam jasnya Sastra menyembunyikan 3 burung merpati yang nantinya akan muncul sebagai trik sulap. Burung yang pertama sukses ia tarik dan muncul secara mulus. lalu burung kedua juga sukses, tetapi burung yang ketika gagal untuk keluar. Tangan Sastra terasa sakit karena terlalu banyak gerakan cepat dalam satu waktu, sehingga ia kehilangan momentumnya. Burung itu terlambat keluar dan baru keluar ketika flash paper sudah terbakar habis. ditambah lagi burung itu terlepas dari tangannya lalu terbang bebas ke penonton. Sastra tidak bisa mengontrol situasi itu dan hanya meminta maaf. Dari panggung dia bisa melihat ekspresi juri, penonton dan ayah ibunya yang kecewa.
Saat penampilan selesai Sastra menemui orang tuanya sambil berkata, "Maaf aku gagal, seharusnya aku bisa lebih baik lagi." Ibunya menjawab, "Tidak apa-apa Sas, yang penting kamu sudah mencoba sebaik mungkin." Sastra yang dari tadi menundukkan kepalanya langsung menatap ibunya. Lalu dia berkata dengan penuh harapan, "Tahun depan aku akan memenangkan lomba ini mah, tolong saksikan aku tahun depan pas menang, ya?" "Pasti Mama sama Papa janji akan nonton tahun depan, ya kan pah," lalu Novel mengangguk sambil berkata, "Iya, kalau itu yang istri dan anakku tersayang inginkan aku akan tonton."
Namun, masa depan tidak selalu berjalan sesuai rencana. Untuk yang kedua kalinya Sastra berada di panggung itu untuk menunjukkan trik sulapnya. Dari atas panggung Sastra tidak bisa menemukan kedua orangtuanya. Awalnya dia diantar oleh saudara dan kakak perempuannya, Ayu karena Ayah dan ibunya yang sedang berada di Bandung. Sampai saat ini kedua orangtuanya masih belum terlihat.
Sastra pun memulai trik sulapnya. Dia mengulangi trik sulapnya yang menggunakan burung merpati. Namun, kali ini dia menambahkan 2 burung kicau yang berwarna putih beserta sangkar burung untuk tempat mereka. Dari awal sampai akhir trik sulap Sastra berjalan lancar bahkan membuat penonton bersorak. Sastra menampilkan keahlian sulap yang lebih bagus dibandingkan anak-anak seumurannya. Setiap percikan api yang ia buat dieksekusi dengan tepat dan semua burung tampak muncul secara ajaib.
Setelah trik sulapnya yang berhasil Sastra langsung berlari ke saudaranya, tetapi wajah mereka tidak terlalu bahagia dan cenderung suram. Dengan bingung Sastra bertanya, "Kenapa kalian kelihatannya sedih gitu? Apa ada sesuatu yang terjadi? Aku kan menang seharusnya kalian senang." Mereka diam saja tidak mau mengatakan apapun pada Sastra. Lalu Ayu berkata, "Habis ini kita mau ke rumah sakit, kamu harus ikut Sas." "Kenapa?" tanya Sastra. Ayu hanya menjawab, "Maaf, tapi ada hal buruk yang terjadi…"
Sesampainya di rumah sakit mereka langsung pergi ke salah satu kamar. Sepanjang jalan di rumah sakit itu terlihat banyak sekali pasien dalam kondisi buruk dan belum ditangani. Beberapa dari mereka sudah diobati dan sedang menunggu perintah selanjutnya dari dokter. Yang lainnya cenderung tampak gelisah dan banyak yang menangis. Suasana di sana sangat kontras dengan suasana di audisi sulap tadi. Tidak ada satu orang pun yang tertawa atau tersenyum. Bahkan perawat pun sibuk melakukan tugas mereka.
Mereka pun sampai di depan pintu kamar itu. Sastra, Ayu dan saudaranya totalnya berjumlah 4 orang, jadi mereka diperbolehkan masuk. Ketika masuk ke dalam ruangan Sastra melihat ayahnya yang berbaring di kasur dengan banyak luka di sekujur tubuhnya. Di hidungnya terpasang alat bantu pernapasan. Di badannya juga terpasang banyak alat lainnya yang menjaganya agar tetap hidup. Sastra juga bisa mendengar suara "Tiit tiit tiit…" dari EKG yang berada di samping ayahnya.
"Papa kenapa?" tanyanya. "PAPA KENAPA!" tanyanya lebih keras. Karena Sastra terlalu berisik akhirnya Ayu membawanya keluar ruangan. Mereka berdua duduk di kursi sambil Ayu menenangkan adiknya yang menangis. Akhirnya Ayu memberikan jawaban pada Sastra, "Kereta yang dinaiki Papa sama Mama kecelakaan, tapi papa selamat." "Papa aja? Mana mama, kenapa dari tadi gak ada?" tanya Sastra. Sayangnya Ayu tidak bisa memberikan jawaban yang pasti padanya. "Aku juga gak tau, Sas…" Kemudian dokter datang dan masuk ke dalam ruangan. Sastra yang melihat dokter itu ingin ikut masuk, tetapi ditahan oleh Ayu. Dokter itu berbicara pada saudara mereka yang berada di dalam.
Sastra dapat sedikit mendengar ucapan mereka seperti, "Hancur… Tidak bisa diselamatkan… Maafkan kami…" Kata-kata itu membuat Sastra semakin khawatir. Hancur? Apa yang mereka bicarakan? Dimana Mama sekarang? Apa yang sebenarnya terjadi?
Lalu saat dokter itu keluar dari kamar Sastra menghampirinya. Berdiri dari tempat duduk sampai Ayu tidak bisa menghentikannya. Dia bertanya, "Dokter, katakan yang sebenarnya apa yang terjadi sama Mamaku?!" Dokter itu bahkan tidak sanggup menatap mata Sastra. Menatap anak kecil yang baru saja kehilangan orangtuanya. Dia bahkan bingung bagaimana dia harus menyampaikan kabar itu.
Dengan lembut dokter itu berkata, "Maaf nak, ibumu sudah meninggal. Dia sudah berada di tempat yang lebih baik…" Mata Sastra terbelalak dan mulutnya terbuka. Tanpa ia sadari air mata sudah mengalir di pipinya. Sastra tidak sanggup berdiri lagi dan akhirnya jatuh berlutut. Dia berkata, "Mama kenapa kamu tidak menepati janjimu?! Kenapa kamu pergi begitu saja dan gak menonton pertunjukan sulapku?! Kenapa kamu harus berbohong dan mengkhianatiku?! Kenapa takdirku seperti ini?! Kenapa tuhan tidak membiarkanku bahagia?!"
Mimpinya langsung berganti menjadi masa kini. Dia berada di tempat yang ia kenali, bahkan setiap hari ia datangi. Sastra tidak sendirian di dalam kelas itu, melainkan ada Isabel yang sedang berada di hadapannya. Dengan perasaan yang masih berat Sastra tidak bisa mengatakan apapun. Mulutnya terasa seperti terjahit dan pita suaranya tidak mau bergetar. Sehingga Isabel yang berkata, "Maaf Sas, aku harus meninggalkan kamu dan gak bisa jadi pacarmu lagi. Selamat tinggal..."
Kemudian Isabel pergi keluar kelas tanpa bisa Sastra kejar. Kakinya terasa seperti dipaku ke lantai dan dadanya semakin terasa sesak. Dia hanya bisa berkata, "Tolong jangan lagi... Jangan ada yang mengkhianatiku lagi, berbohong padaku, meninggalkanku... Isabel kamu sudah berjanji!"
Sastra langsung bangun dari mimpinya sambil terengah-engah. Sekujur tubuhnya dipenuhi keringat dingin dan detak jantungnya berdebar kencang. Lalu Sastra mengangkat tangan kanannya dan menyentuh wajahnya. Terdapat tetesan-tetesan air mata yang menempel di pipinya. Lebih tepatnya adalah aliran air mata yang dipenuhi rasa takut dan kesedihan. Dia berkata dengan suara yang lemah, "Isabel tolong jangan tinggalkan aku…"