Air mata Sastra pun akhirnya habis. Dia hanya menatap kosong pada dinding kamarnya dengan perasaan hampa. Anehnya dia tidak merasa sedih lagi, yang tersisa adalah perasaan hampa. Keesokan harinya Sastra pergi ke sekolah seperti biasanya dan melakukan kegiatan pembelajaran seperti biasanya pula. Bedanya dia tidak banyak bicara dengan Isabel atau menemuinya. Mereka berdua sudah bertukar pesan di WA membahas terkait hal ini, tetapi sampai sekarang masalahnya masih belum selesai.
Ternyata pada hari rabu di pelajaran sejarah Sastra dan Isabel berada di dalam satu kelompok. Kelompok mereka terdiri dari 5 anggota. Saat semua kelompok sudah ditentukan Sastra dan anggota kelompok lainnya berkumpul untuk mendiskusikan tugas. "Berarti kita ini buat video ya, sesuai dengan tema yang sudah dibagikan?" tanya Sastra. "Ya, sesuai tema kelompok, kan per kelompok beda-beda," jawab salah satu anggota. Lalu Sastra memberikan masukan, "Mending di taman PJ aja hari minggu take videonya gimana?" Semua anggota tidak keberatan dengan usulan Sastra. justru mereka berpikir lebih cepat tugasnya selesai lebih baik. Lebih baik lagi jika ada orang lain yang mengambil inisiatif untuk mengerjakan tugas, seperti Sastra, sedangkan mereka hanya bersantai.
Seperti biasa ketika diskusinya selesai mereka kembali pada kesibukan masing-masing, meski masih duduk berdekatan. Sastra menggunakan momen itu untuk berbicara dengan Isabel. Dia berkata, "Isabel, berarti kita sudah putus sekarang?" "Ya, harusnya kita sudah bukan pacar lagi," jawabnya. Sastra menundukkan kepalanya lalu berkata, "Aku minta maaf kalau selama ini aku pernah buat kamu merasa marah atau sedih. Sama aku minta maaf soalnya bentak kamu hari Senin." Dengan lembut Isabel menjawab, "Gak papa, pas itu kamu pasti marah. Aku juga minta maaf, Sas meski kamu cape dengerin aku minta maaf, tapi tetep aja."
Sastra mengangkat kepalanya dan menatap penuh harapan ke mata Isabel. Dia pun berkata, "Tapi kita belum ada perpisahan yang layak. Masa putus gitu aja tanpa melakukan sesuatu?" "Terus kamu mau gimana?" kemudian Sastra menjawab, "Mungkin kita bisa pergi ke Chatime lagi kayak dulu kita pas saling tembak." "Kenapa gak di Nakoa aja, lebih deket," usulnya. "Mending ke Chatime aja biar sama kayak dulu, aku yang bayarin." Lalu Isabel menjawab, "Oke, sebagai boba terakhir."
Kemudian waktu pulang pun tiba, Sastra sudah menyiapkan uang untuk membeli boba nanti. Dia berdiri dari bangkunya lalu pergi keluar kelas. Di dalam kelas tidak ada Isabel dan ternyata di luar juga tidak ada Isabel. "Kemana dia? Padahal habis ini berangkat…" gumamnya. Sastra pergi ke pagar depan kelas yang dari atas situ dia bisa melihat keseluruhan lapangan indoor. Dia mengetuk-ngetukkan jarinya ke pagar itu. Perasaannya hampa, meskipun luka dan kesedihannya masih terasa nyata. Bahkan tatapannya kosong, melamun dan membiarkan pikirannya melayang.
Tiba-tiba ia merasakan tepukan di bahunya. Sastra yang dari tadi menghadap depan sambil melamun langsung menoleh. Berdiri di depannya perempuan yang hampir setingginya dan mengenakan kerudung. Cecil tersenyum lalu bertanya, "Halo Sas, kamu lihat Martin gak?" Sastra membutuhkan beberapa detik untuk mengenali Cecil. Lalu ia mengingat bahwa hari Rabu Martin memiliki ekskul musik yang harus dihadiri dan Cecil adalah teman ekskulnya. Sastra menjawab, "Aku gak liat, tapi tasnya ada di kelas mungkin dia belum ke ruang musik." "Martin gak pernah bawa tasnya ke ruang musik. Mesti ditinggal di kelas, entah kenapa. Udah dikasih tau buat bawa tasnya ke ruang musik, tapi dia gak dengarkan."
"Ah, berarti mungkin dia sudah di ruang musik," ucap Sastra. "Hmm, bisa jadi yaudah aku pergi duluan Sas, terimakasih." Lalu Cecil pergi melalui lorong ke arah kanan Sastra. Sastra menyandarkan punggungnya di pagar membelakangi lapangan sambil menghela napas. Tidak lama kemudian Isabel datang ke kelas bersama Becca. Saat Isabel melihat Sastra yang sudah menunggu, dia berkata pada Becca, "Aku pergi sama Sastra dulu ya Bec, kamu duluan aja." "Oke," jawab Becca sambil masuk ke kelas.
"Pergi sekarang?" tanya Isabel sambil berjalan mendekat. Lalu Sastra menjawab, "Ya, kita pergi sekarang aja." Mereka berdua pun pergi melalui keramaian suasana pulang sekolah menuju keluar sekolah. Mereka menyeberang jalan di depan sekolah dengan bantuan satpam. Lalu berjalan di pinggir jalan seperti dulu. Saat berjalan Sastra bertanya pada Isabel, "Bel, kalau kita putus kamu gak mau pacaran lagi sama aku tah?" Isabel tertawa lalu menjawab, "Enggak, kan sudah putus…" Mendengar itu Sastra hanya bisa menyembunyikan kesedihannya dengan senyuman.
Lalu dia bertanya, "Menurutmu pacaran kita selama ini gimana, kayak apa yang kamu rasakan selama bersama aku?" Isabel terlihat berpikir sejenak. Tangannya berada di bawah dagu lalu dia menjawab, "Gimana yah, seneng dan puas selama pacaran sama kamu." Isabel bahkan tidak menatap mata Sastra ketika mengatakan itu.
Senang, puas? Dari mana kamu merasakan itu? Apa yang kulakukan sudah cukup buat kamu merasakan itu atau hanya cukup membuat kamu merasakan itu saja?
"Aku senang kalau kamu senang. Kalau itu memang keputusanmu dan bisa buat kamu bahagia ya lakukan aja. Setidaknya kamu bahagia."
Enggak, aku sama sekali gak senang kalau kita putus, kalau kamu pergi. Aku bahkan belum sempat menceritakan masa laluku. Aku ingin dapat bercerita tentang ini pada seseorang yang aku sayangi atau cintai. Siapa lagi kalau bukan kamu, meski kamu hanya menepuk pundakku atau mengelus kepalaku itu pun tidak apa-apa. Setidaknya ada kamu menemaniku dan mendengarkan ceritaku…
Isabel tampak saling mendengar perkataan Sastra. Dia menjawab, "Masa sih, baik banget kamu." "Emang aku mau gimana lagi, kan kamu udah gak mau," kata Sastra. Namun, kali ini Isabel tidak menjawab da tetap diam.
Akhirnya mereka sampai di Chatime. Sastra membukakan pintu supaya Isabel bisa masuk, lalu ikut masuk ke dalam Chatime itu setelah Isabel. Sastra bertanya, "Kamu mau pesen apa Bel?" "Yang kayak dulu aja," tapi Sastra menjawab, "Kamu gak bosen tah? Mending yang lain kan ada banyak rasa." "Oke, yang cokelat aja," Sastra juga berkata, "Saya pesan itu juga, mas." Lalu Sastra mengeluarkan uang berwarna merah dan menyerahkannya ke kasir. Setelah itu Sastra berkata, "Kamu cari tempat duduk aja, Bel. Kalau bisa yang kayak dulu." "Oke," jawab Isabel. Isabel memilih meja yang sama seperti yang mereka tempati dulu. Dia juga duduk di kursi yang sama.
Lalu setelah selesai membayar pesanan mereka, Sastra duduk di hadapan Isabel. Dia menghitung uangnya terlebih dahulu sebelum menyimpannya ke dalam saku. Dia tidak membawa uang selain yang dibutuhkan, jadi akan memalukan jika ternyata uangnya kurang, tetapi dia masih mengingat harga dari minuman mereka dan mengkalkulasikannya sebelum pergi. Isabel juga diam tidak mengganggu Sastra, malahan dia merasa paranoid jika kakaknya akan berada di sana. Isabel masih mengingat kalau di saat membeli boba pertama mereka, kakaknya diam-diam mengikuti dan menggunakan momen itu untuk mengancamnya. Namun, kali ini dia sudah memutuskan untuk putus dengan Sastra, jadi dia merasa lebih aman.
"Ternyata kita berakhir di sini lagi, aku jadi inget pertama kali kita ketemu di sini. Pas itu kamu kelihatan gugup terus pas kita jalan-jalan ke SD ku kamu sampai lari." Suara Sastra terdengar lembut dengan perasaan jenaka yang ironis. Lalu Isabel membalas, "Stop, aku jadi malu pas kita saling ungkapin perasaan. Tapi kita berawal di sini dan berakhir di sini ya…"
"Tapi kamu masih suka sama aku kan Bel?" tanya Sastra dengan penuh harapan. Suaranya seperti anak yang bertanya pada orang tuanya apakah dia sudah membuat mereka bangga. Namun, yang Sastra harapkan dalam momen itu adalah cinta dari Isabel. "Masih," jawab Isabel singkat. "Terus kenapa kamu mau kita putus?" Tetapi Isabel tidak menjawab. Sastra pun sadar, "Lupakan aja, hanya saja… Aku masih menyukaimu juga." Keduanya pun tenggelam dalam keheningan yang canggung.
Tiba-tiba ada suara yang memanggil, "Atas nama Sastra." Sastra langsung berdiri dan menjawab, "Saya mas, aku ambil dulu minumannya, Bel." Sastra pergi ke kasir lalu mengambil dua boba mereka. Tidak lupa Sastra juga mengambil sedotan untuk dirinya dan Isabel. Kemudian dia meletakkan kedua minuman itu di meja serta sedotannya. "Kamu mau yang mana?" Isabel menjawab, "Yang ini aja." Sastra pun mengambil boba yang tidak dipilih Isabel. Keduanya memiliki rasa cokelat jadi tidak terlalu berpengaruh mana yang dipilih. Lalu Sastra menusukkan sedotannya ke dalam minuman itu. Dalam sekali seruput dia bisa merasakan rasa khas cokelatnya dan butiran boba yang ikut mengalir.
"Terimakasih Sas, sudah ditraktir boba lagi," ucap Isabel. Lalu dia melanjutkan, "Sama terimakasih selama ini kamu mau jadi pacarku." "Sama-sama…" Mereka berdua pun meminum boba mereka masing-masing dengan hening. Sastra memandang ke jalanan yang ramai di belalang Isabel. Orang-orang saling berbincang di luar. Serta ada beberapa orang yang masuk ke dalam toko itu. Lalu Sastra mengalihkan pandangannya ke wajah Isabel yang sedang meminum bobanya.
Dia bertanya, "Isabel aku pengen tau apa yang kamu rasakan sekarang setelah kita putus?" Isabel menjawab, "Awalnya sedih, tapi sekarang aku merasa tenang." "Tenang?" tanya Sastra. Yang Isabel jawab, "Ya, aku gak bisa terus-menerus merasa sedih. Jadi, aku menenangkan diriku, Sas. Kamu juga harus melakukan hal yang sama. Jangan terlalu sedih ketika aku pergi, masih ada banyak perempuan lainnya. Lebih baik kamu cari yang seagama dulu. Mungkin belum terasa sekarang kalau kita beda agama, tapi lama-lama akan tumbuh jadi masalah."
"Jadi, itu alasanmu putus?" tanya Sastra. Isabel berhenti minum lalu menjawab, "Mungkin…" Mau itu alasan yang sesungguhnya atau hanyalah sebuah realita yang sesungguhnya, Sastra tetap tidak bisa merasa tenang seperti Isabel.
"Terus bagaimana rencana kita Christmas date? Kita batalkan?" lalu Isabel menjawab, "Kalau kita sudah putus sudah jelas gak bisa… Ini aja yang terakhir." Sastra sekali lagi merasa dikhianati. Sekali lagi orang lain mengingkari janjinya terhadap Sastra. Dengan perasaan hampa Sastra menatap ke pahanya.
Sekali lagi orang lain tidak menepati janjinya padaku…
Melihat Sastra yang tampak sedih Isabel mengulurkan tangannya dari bawah meja. Dia berkata, "Sst, genggam tanganku. Di bawah meja." "Kenapa harus di bawah meja?" dengan kesal Isabel menjawab, "Udah genggam aja, malu kalau keliatan." Sastra pun mengulurkan tangannya melakukan sesuai yang diperintahkan Isabel. Tangan Isabel lembut dan sangat hangat membuat Sastra nyaman selama menggenggamnya. Saat kedua tangan mereka sudah bersentuhan Isabel berkata, "Meski kita udah gak pacaran lagi kita masih bisa ngobrol, tapi gak sedeket pas kita pacaran. kamu gak boleh tidur di pahaku lagi, cuma ngobrol aja sebagai teman. Jadi, kamu gak perlu sedih."
"Oke," kata Sastra. "Aku gak akan ngasih kamu sesuatu lagi. Ini yang terakhir," katanya dengan agak tegas. Lalu perlahan tangan mereka terlepas. Dalam hati Sastra masih tidak ingin melepaskan tangan Isabel, tetapi dia sudah menarik tangannya duluan. "Kalau gitu aku balik duluan ke sekolah, ya. Kamu mau bareng gak?" Lalu Sastra menjawab, "Aku masih mau di sini." Isabel pun berdiri kemudian mendorong kursinya ke meja. Sebelum Isabel pergi Sastra berkata, "I love you, Isabel," lalu Isabel menjawab, "I love you too…" Pintu toko itu pun terbuka lalu tertutup. Lama-kelamaan Isabel menghilang dari pandangan Sastra. Yang tersisa hanya dirinya dan boba yang habis separuh.
Sastra pun memutuskan untuk kembali ke sekolah. Dia melewati jalan yang sama hingga akhirnya sampai. Di kelas dia bertemu lagi dengan Isabel yang sedang mengemasi barang-barangnya. Mereka bertukar pandang, tetapi tidak saling berbicara. Lalu Isabel berkata, "Dadah, Sas aku duluan…" Sastra tampak ragu untuk mengatakan sesuatu. Namun, dia tetap memaksakan kalimat itu. Sastra berkata, "Aku harap suatu saat nanti kita bisa Christmas date bareng, Bel."
Isabel tampak tidak menggubris perkataan Sastra. Tidak ada tawa atau senyuman dan dia hanya berjalan tanpa melihat ke belakang. Untuk beberapa saat Sastra terdiam. Rasa hampa kembali merasuki pikirannya. Agar tidak terlalu overthinking dan kalut dalam pikirannya, Sastra mengambil tas lalu pergi ke parkiran. Di depan gerbang Sastra sempat melihat Isabel yang naik dibonceng oleh Gojek. Isabel juga melihat Sastra sehingga dia melambaikan tangan selagi motornya berjalan. Sastra menghela napasnya mencoba menerima fakta bahwa Isabel bukanlah pacarnya lagi.
Sastra pun mengambil sepeda listriknya lalu pergi meninggalkan sekolah. Setelah masuk ke dalam Permata Jingga dia tidak langsung belok kanan, melainkan tetap lurus menuju West area. Lalu dia belok kiri menuju kumpulan tanah kosong yang benar-benar kosong. Tidak ada bangunan apapun selain pembangunan yang belum jadi di sebelah kiri. Di kanan kiri jalan terdapat pepohonan yang sedang mekar bunganya. Dia berpikir, Seandainya aku bisa membawa Isabel untuk melihat pemandangan indah ini…