Di hari senin Sastra menyiapkan hadiah untuk Isabel. Saat itu masih pukul 05.12 pagi, jadi dia masih mempunyai banyak waktu. Dia mengemas pakaian yang ia beli untuk Isabel di dalam paper bag. Paper bag itu berwarna pink dan ukurannya lumayan besar, meski lebih kecil dari tasnya. Sehingga dia bisa memasukkannya ke dalam tas selempang. Lalu setelah melakukan rutinitas paginya, dia langsung berangkat ke sekolah mengendarai sepeda listrik birunya. Sastra memangku tas selempangnya lalu menerobos pagi yang suhunya menusuk ke dalam kulit.
Sesampainya di sekolah dia langsung memarkirkan sepedanya dan menuju ke kelas. Anehnya kelas itu masih sangat sepi. Lalu dia melihat ke jam tangannya yang menunjukkan pukul 06.03 pagi. "Kayaknya aku terlalu bersemangat," gumamnya. Kemudian dia meletakkan tasnya di samping bangkunya dan duduk.
Dia membuka akun aplikasi sosial medianya seperti Instagram yang dipenuhi dengan foto-foto acara HEXA kemarin. Wajah mereka berseri-seri dan mereka dikelilingi teman-teman yang mereka sayangi. Lalu Sastra melihat postingan dari Isabel yang berfoto bersama dengan circlenya. Dia tersenyum ketika melihat wajah mereka yang bahagia.
Sastra merasa menyesal karena telah melewatkan momen bahagia ini bersama teman-temannya. Namun, setidaknya dia sudah membelikan oleh-oleh dan pakaian untuk Isabel. "Aku udah gak sabar buat kasihkan ini ke Isabel. Gimana ya, reaksi nya nanti pas dapet ini. Semoga aja ini cukup buat dia," gumam Sastra dengan antusias.
Lalu untuk menghabiskan waktu untuk menunggu bel masuk berbunyi, dia membuka aplikasi bukunya dan mulai membaca. Buku yang ia baca belum berubah, dia masih membaca The Idiot. Sejak acara pernikahan kakaknya dia habis membaca 15 halaman lebih. Itu ia lakukan dalam 1 hari karena hari minggu kebanyakan dia beres-beres dan beristirahat, jadi tidak sempat membaca.
Tidak lama kemudian Martin datang dan duduk di sampingnya. Dia bertanya, "Pagi Sas, gimana mudikmu ke Jakarta?" "Aku gak mudik, ke Jakarta itu ke pernikahan kakakku." Sastra pun mematikan HPnya supaya lebih fokus ke Martin. Dia malas, tetapi harus tetap menanggapi Martin. "Sama aja kan, kamu keluar kota itu," jawabnya. "Terserahmu aja," lalu Martin menyela, "Jangan marah, kami juga sedih kamu gak bisa ikut HEXA kemarin Sabtu."
Sastra tidak lagi mendengarkan perkataan Martin, dia menyalakan HPnya lalu membaca novel lagi. Tidak lama kemudian bel masuk berbunyi dan lagu Indonesia raya diputar. Selama lagu itu masih terdengar siapa saja yang berada di dalam kelas harus berdiri, sedangkan mereka yang berada di luar kelas juga berdiri dan tidak boleh pergi ke manapun sebelum lagunya selesai.
Saat itu Isabel sudah masuk ke dalam kelas dan sedang berdiri seperti anak yang lainnya. Karena dia datang hampir terlambat, Sastra tidak sempat menyapanya. Sehingga Sastra berencana untuk memberikan hadiahnya saat pulang saja. Lalu dia menjalani pelajaran sekolahnya seperti biasa tanpa ada masalah apapun.
Di waktu istirahat Sastra pergi duduk di samping Isabel. Saat itu Becca sedang pergi ke kantin jadi kursinya kosong. "Halo Bel," lalu Isabel menjawab, "Hai." Mereka saling bertukar senyum dan suasana terasa harmonis. Sebenarnya mata Isabel tidak secerah biasanya, hanya bibirnya saja yang tersenyum. Sastra tidak menyadari detail itu karena dia hanya memikirkan betapa senangnya Isabel ketika menerima hadiah darinya.
Lalu Sastra membahas hal-hal yang ringan dulu, "Gimana kemarin sabtu acaranya? Ceritain dong aku kan gak ikut." "Gimana yah, ya kayak konser gitu ada banyak penampilan juga. Ada… Aku lupa siapa aja tamunya."
"Masa dah lupa, perasaan baru 2 hari yang lalu. Aku aja masih inget ngapain hari sabtu," jawab Sastra dengan mencemooh. "Yaudah ngapain emang?" lalu Sastra berkata, "Paginya siap-siap buat ke pernikahan terus berangkat ke gedungnya habis itu proses nikahnya. Terus siangnya pulang, sorenya aku ke Heritage di Bandung trus gas sampai Malang gak berhenti. Sampai rumah kayaknya malem, gak tau jam berapa."
"Nah, coba kasih tau siapa nama MC pas pernikahan kakakmu," kata Isabel sambil menantangnya. Wajah Sastra menjadi bingung sekaligus tidak percaya, dia menjawab, "Mana ku tau lagian gak relevan sama yang kita bahas. Intinya aku masih inget ngapain aja hari Sabtu." "Kalau gitu mah aku juga inget ngapain aja mulai bangun tidur, tapi yang kutanyakan itu detail kayak siapa yang tampil di panggung. Nah, kamu gak tau nama MCnya gitu."
Sastra akhirnya tidak kuat berdebat dengan Isabel dia pun berkata, "Terserah wes, aku cuma ngasih tau kalau nanti pas pulang aku mau kasih sesuatu ke kamu." "Oh, apa itu?" lalu Sastra menjawab, "Adalah nanti aja, kan surprise." "Aku juga mau ngomong sesuatu sama kamu pas pulang," kata Isabel, "Tapi kayaknya akan buat kamu sedih…" "Sedih, kenapa emangnya? Kalau gitu bilang sekarang aja kalau kabar buruk," kata Sastra dengan khawatir. Isabel menggelengkan kepalanya lalu menolak permintaan Sastra. "Nanti pas pulang aja, habis ini pelajarannya sudah mau mulai."
Tiba-tiba Becca datang sambil membawa makanan dari kantin. Dia berkata, "Misi Sas, aku mau duduk, kamu jangan di sini." "Oke aku pindah, jangan lupa ya, Bel nanti." Sastra pun kembali ke tempat duduknya yang berada di belakang. Lalu waktu istirahat lama-kelamaan habis dan pelajaran selanjutnya dimulai.
Pada pukul 15.00 suara bel terdengar dan pelajaran resmi berakhir. Semua anak mengemas barang-barang mereka. Beberapa langsung pulang dan beberapa juga ada yang masih tetap di kelas. "Bel, sini o sebentar, kamu gak langsung pulang kan?" ucap Sastra. "Enggak lah, kan kita udah janji tadi, kamu mau kasih apa?" Isabel pun datang menghampiri Sastra. Tangannya ia sembunyikan di balik punggung untuk menutupi rasa gugupnya. Langkahnya juga perlahan seakan dia tidak mau tau apa yang terjadi selanjutnya.
Lalu Sastra mengeluarkan paper bag dari lokernya dan ia letakkan di atas meja. Isabel duduk di kursi depan bangkunya sambil menghadap ke belakang. Dengan kaget Isabel berkata, "Wow, kamu belikan ini buat aku? Jadi ini alasan kamu nanyain tentang ukuran bajuku." "Ya, kamu suka gak?" tanya Sastra dengan penuh harapan. Isabel mengeluarkan pakaian yang ada di dalam tas itu lalu ia coba pas atau tidak dengan ukuran badannya. Ternyata pas dan tidak longgar atau kekecilan.Lalu Isabel menjawab dengan lembut, "Suka banget makasih."
Kenapa kamu membuat susah perpisahan kita, Sas? Kamu seharusnya gak usah kasih aku apa-apa. Kalau kayak gini aku jadi susah mau bilang putus ke kamu…
"Oh ya, kamu mau bilang apa tadi, Bel? Semoga gak beneran buat aku sedih, hehe." Sejak melihat Isabel senang mendapatkan hadiah darinya Sastra juga ikut senang. Suaranya penuh harapan bahwa untuk kedepannya mereka akan terus bersama. Namun, sebentar lagi Sastra akan mendengar sesuatu yang ia paling takutkan.
"Aku mau putus," kata Isabel. Seketika ruang kelas itu terasa sangat hening. Suara air mengalir dari sungai di belakang sekolah pun ikut hening. Jantung Sastra mulai berdebar dengan kencang dan tubuhnya terasa dingin. Dia merinding ditambah keringat dingin yang mulai muncul. Secara tidak disadari dia berkata, "What?!" Semua emosi yang ia rasakan diungkapkan dalam 1 kata itu. Matanya menatap tajam pada Isabel seakan dia baru saja mendengar hal terburuk di dunia ini. Yang memang itu benar, hal terburuk di dunia ini.
Lalu Isabel berkata, "Makannya aku bilang kalau ini akan buat kamu sedih. Maaf ya Sas, tapi ini keputusanku. Tolong hargai keputusanku."
Keputusan apa maksudmu? Putus, setelah semua ini aku sudah mencoba memperbaiki hubungan kita. Aku tidak tau apa yang kulakukan sudah bagus atau benar, tapi aku setidaknya membelikanmu sesuatu. Itu yang ibuku selalu lakukan jika aku merasa sedih. Apa aku kurang cukup? Apa yang harus kulakukan supaya kamu tidak pergi? A-apa…
Sastra mematung sambil menahan matanya yang berkaca-kaca agar tidak meneteskan air mata. Dia tidak bisa menatap mata Isabel lagi karena lama-kelamaan dia akan menangis. Lalu dia berdiri sambil berkata, "Biarkan aku sendiri." Kemudian dia lari sekencang-kencangnya keluar dari kelas. Saat berada di kerumunan anak dia menghentikan larinya dan mulai berjalan seperti orang normal. Namun, matanya masih berkaca-kaca dan napasnya tidak teratur seperti orang asma.
Sastra mencoba mencari seseorang untuk membicarakan hal itu. Dia berjalan ke penjuru sekolah, tetapi saat menemukan teman-temannya dia melihat mereka tersenyum dan membicarakan sesuatu. Sastra merasa mereka seperti orang asing yang ia tidak kenal. Setiap kali dia bertemu dengan anak yang menyapanya dia ikut menyapa seakan-akan semuanya baik-baik saja.
Karena tidak ada siapapun yang bisa ia ungkapkan perasaannya dia ingin pulang dan menangis di kamarnya. Sastra tidak mau ada siapapun yang melihatnya menangis. Namun, saat di parkiran dia sadar kalau tas dan kunci sepeda listriknya tertinggal di kelas. Dengan berat hati dia harus kembali ke kelas untuk mengambil semua barang itu. Dia juga berharap agar tidak bertemu Isabel untuk sementara waktu.
Saat Sastra sampai di kelas ternyata Isabel duduk di bangkunya sendiri sambil memegang HPnya. Isabel langsung berdiri ketika Sastra masuk kelas. Dia berkata, "Ah, untung kamu balik Sas, kukira kamu langsung pergi. Dari tadi kutelepon gak kamu angkat." Sastra diam saja dan sama sekali tidak menoleh pada Isabel. "Maaf kalau kamu sedih Sas, tapi aku udah bilang kalau ini akan buat kamu sedih jadi…" Tiba-tiba Sastra menyela dengan nada yang agak tinggi, "Cukup, aku gak mau denger apa-apa lagi." Sastra pun berjalan cepat sambil membawa tasnya, tetapi saat berada tepat di depan pintu Isabel berkata, "Tapi kamu gak papa kan Sas kalau kita putus?"
"Gak papa gimana? Sejak kejadian di MCC itu kamu gak mau cerita apa-apa. Kamu diem aja aku turutin dan gak maksa buat kamu cerita. Tapi aku berusaha buat hubungan ini membaik, minta maaf ke kamu, belikan kamu baju itu. Apa yang masih kurang?"
"Gak semuanya soal apa yang kita berikan Sas. Selama ini ini kamu selalu mikirkan diri sendiri dan kurang peduli. T-tapi bukan itu masalahnya yang buat kita putus."
"Oh ya, apa terus? Kamu udah bosan, ketemu cowok yang lain? Apa karena itu keputusanmu?"
Dengan nada yang rendah dan kalut Isabel menjawab, "Maaf Sas, aku gak bisa bilang…" Sastra pun tertawa melihat ironi dari peristiwa ini. Dia berkata, "Heheh, kalau kamu gak mau bilang alasannya ya sudah. Simpan aja untuk dirimu sendiri." Setelah mengatakan itu Sastra keluar dari kelas dan pergi ke parkiran. Di parkiran dia mengeluarkan kunci sepeda listriknya. Dengan tidak sabar dia mencoba memasukkannya ke dalam lubang kunci, tetapi tidak bisa masuk. Sampai akhirnya kunci itu jatuh. Sastra yang sedang marah langsung menendang-nendang sepedanya. Lalu dia berhenti karena rasa amarahnya hanyut dalam aliran air mata yang jatuh melalui pipinya.
Agar tidak terlihat seperti orang aneh oleh guru-guru yang lewat, Sastra mengendarai sepeda listriknya dan meninggalkan sekolah. Sepanjang perjalanan pulang dia bisa merasakan hembusan angin yang membawa terbang tetesan mata yang jatuh dari pipinya. Dia bahkan hanya bisa memaksakan senyum kepada satpam yang menjaga pintu masuk Permata Jingga. Entah kenapa tidak ada siapapun yang menyadari jika dia sedang menangis. Mungkin orang lain terlalu sibuk dengan masalahnya sendiri untuk peduli dengan Sastra.
Lama-kelamaan Sastra pun merasa bersalah karena telah membentak dan marah pada Isabel. Apa daya, dirinya sendiri sudah kalut dalam perasaan sedih.
Sesampainya di rumah Sastra langsung masuk dan tidak memedulikan siapapun yang mengajaknya bicara. Dia tetap mempertahankan wajah datarnya sebelum akhirnya masuk ke dalam kamar. Baru saat dia sendirian di kamarnya Sastra dapat leluasa menangis. Dia mengunci kamarnya lalu berbaring di tempat tidur sambil memeluk guling. Lama kelamaan guling itu pun basah dengan air mata Sastra. Bekas air matanya sampai membuat sebuah lingkaran yang cukup besar.
Tiba-tiba dia mendengar ketukan di pintu kamarnya. Suara familiar terdengar berkata, "Permisi kak, makan malam sudah siap." Sastra yang sejak tadi menangis tau berapa lama telah berlalu. Ternyata saat itu sudah pukul 5 sore. "Ya, aku habis ini turun," kata Sastra. Bahkan dunia tidak membiarkannya menangis dengan tenang di kamar. Sastra terpaksa menghapus bekas air mata di bawah matanya lalu pergi ke bawah untuk bergabung dengan makan malam keluarganya. Setelah selesai makan malam dia solat berjamaah bersama ayahnya lalu kembali lagi ke kamar.
Sastra duduk di depan meja belajarnya lalu menulis sesuatu di buku diarynya. "13 November 2023. Hari ini setelah kurang lebih 2 bulan kami berpacaran, aku dan Isabel putus…" Dia menuliskan semua perasaannya dalam selembar kertas di buku diarynya. Beberapa kali air mata menetes ke kertas itu hingga membuat noda basah. Beberapa kali dia mengumpat pada dirinya sendiri. Hingga akhirnya dia tidak kuat menuliskan apa-apa lalu melempar bukunya.
Bruk!
Buku itu menabrak tembok lalu jatuh ke lantai. Kemudian Sastra meletakkan kedua telapak tangannya di depan mata sambil menekannya. Air mata pun mengalir dari sela-sela telapak tangannya.