Pada hari Sabtu 11 November Sastra sedang berada di Heritage Outlet Bandung. Dia melihat-lihat pakaian di bagian pria dengan keranjang yang sudah terisi baju-baju. Lalu dia merasa cukup dengan yang ia beli., sehingga dia pergi ke bagian pakaian perempuan. Di sana Sastra coba mengingat-ingat ukuran baju Isabel, serta warna kesukaan dan jenis pakaian yang ia pakai.
Kayaknya Isabel itu girly, hmm dari sikapnya sama dressing sense nya juga menunjukkan gitu. Harusnya dia L atau mungkin M, nanti kutanya. Oh ya, dia suka warna putih, masa kaos? Ah, mending blouse atau dress ini.
Mata Sastra terpaku pada pilihan pakaian yang tergantung di depannya. Tiba-tiba HPnya berdering. Dia langsung mengambil HP itu dan menjawab panggilannya. Dari HP itu terdengar suara perempuan yang berkata, "Halo Sas, gimana acara pernikahannya?" "Aman dan lancar, alhamdulillah sekarang aku udah di bandung. Istirahat dulu sebelum lanjut ke Malang," jawab Sastra. "Kok cepet banget udah di bandung," tanyanya. Sastra meletakkan keranjang bajunya yang berat baru menjawab, "Yah, kan pas Dhuhur aku sudah langsung pulang. Tolnya juga gak terlalu padat, jadi jam 5 an udah sampai di sini. Kamu gimana HEXAnya?"
"HEXAnya udah mulai sih, masih penampilan dari anak-anak dulu. Belum konsernya, kayaknya masih nanti malem," kata Isabel. Sastra pun menjawab, "Semoga menyenangkan, sampaikan salamku ke temen-temen. Oh ya, size bajumu berapa, Bel?" "M, kenapa?" lalu Sastra menjawab, "Gak papa pengen tau aja, yaudah aku tutup teleponnya ya, biar kamu bisa nonton, dadah." Setelah Isabel berkata, "Dadah," balik pada Sastra, baru panggilan mereka terputus. Isabel sedang duduk sambil memandangi HPnya untuk beberapa saat sebelum kembali sadar. Dia sedang duduk di lapangan indoor menghadap ke panggung yang terdapat anak-anak cheerleader melakukan atraksi mereka. Di sampingnya terdapat teman-teman perempuan se circlenya yang mengobrol atau bergosip. Namun, saat itu Isabel sedang tidak ingin mengikuti pembicaraan mereka.
Alih-alih dia memikirkan tentang kejadian masa lalunya yang masih menghantuinya sampai saat ini. Pikirannya singgah ke salah satu memorinya di saat kelas 3 SD. Saat itu Isabel berjalan keluar dari gedung sekolah saat sore hari. Cahaya matahari senja menyinari bagunan antik itu dari sela-sela pepohonan menjadi warna emas. Warna emas itu lebih gelap karena tembok bangunan itu yang terbuat dari batu bata yang berwarna cokelat.
Hari itu Isabel pulang terlambat karena masih ingin bermain dengan teman-temannya. Dia memiliki banyak teman, tetapi sahabat yang paling ia sayang adalah Kristi. Kristi berkata pada Isabel cilik, "Dah sepi nih, Bel ayok pulang." Isabel berhenti berjalan dan menjawab, "Ah, aku masih pengen di sekolah…" "Udahlah besok masih sekolah lagi," kata Kristi. "Oke deh, bye bye," jawab Isabel sambil melakukan tos persahabatan. Tidak perlu dideskripsikan bagaimana tosnya karena rumit dan hanya mereka yang tau.
Di depan sekolah ayah Isabel, Cornelius sudah menunggu di motornya. Dia membunyikan klaksonnya dan memanggil, "Isabel, ayo cepet pulang sudah mau malam, maaf terlambat ya nak." "Oke, gak papa yah," jawab Isabel. Dengan cepat dia naik ke motor ayahnya lalu pegangan erat. Tasnya yang agak berat membuatnya jadi miring ke belakang. Jadi dia mendekatkan tubuhnya ke punggung ayahnya dan memeluknya. Tidak lupa dia mengenakan helm pink yang masih terlalu besar untuknya.
Sesampainya di rumah Isabel langsung berlari masuk ke dalam, sementara ayahnya memarkirkan motor di garasi rumah. Isabel berlari dengan sangat antusias sambil memanggil, "Milo, aku udah pulang! Sini main sama aku." Dari salah satu ruangan terdengar suara gonggongan anjing. Suaranya lantang dan menggema di seluruh rumah. Isabel pun semakin senang saat Milo terlihat dan berlari padanya. Dia langsung memeluk Milo dan Milo menjilati wajahnya. "Aw, jangan gitu, stop ahahah," Isabel tidak bisa menahan tawanya saat Milo menjilatinya. Milo adalah anjing jenis Toy Poodle jadi terasa mungil ketika dipeluk.
"Pasti kamu laper kan? Gak ada yang kasih makan sih, sini ikut aku," kata Isabel. Kemudian Isabel mengambil makanan kering anjing lalu menuangkannya ke mangkuk khusus untuk Milo. "Guk!" gonggong Milo seakan berkata terimakasih. Setelah itu dia langsung memakan makanannya. sampai habis. Isabel juga jongkok sambil mengelus-elus Milo dengan wajah yang penuh senyuman. Rasa sayangnya pada Milo tidak ada bandingnya di dunia ini dan dia tidak bisa membayangkan dunia tanpanya.
"Isabel, ayo bantu ayah buat makan malam," kata ayahnya sambil memasuki rumah. Mendengar itu Isabel berhenti mengelus Milo lalu berjalan ke dapur mendahului ayahnya. "Mau masak apa emangnya sekarang yah?" lalu ayahnya menjawab, "Makan apa ya? Yang ada aja, coba kita liat di kulkas." Mereka berdua saling membantu membuat makan malam dengan suasana yang harmonis.
Dari lantai dua Abigail hanya bisa menonton tanpa berani ikut membantu. Sejak jam 3 usai sekolah Abigail sudah langsung pulang ke rumah. Ayahnya sudah berusaha untuk membujuknya agar mau pulang bersama dengan Isabel, tetapi kadang dia lebih memilih pulang menggunakan ojek atau dengan teman-temannya. Hubungannya dengan ayahnya juga tidak terlalu baik apalagi dengan Isabel. Abigail hanya akan turun ketika makanan sudah siap karena mau makan apalagi dia, selain makanan itu.
Di malam hari Abigail keluar dari kamarnya diam-diam. Dia membuka dan menutup pintu kamarnya dengan perlahan. Lalu dia berjalan ke ruang tamu dimana Milo sedang tidur. Langkahnya hati-hati dan senyap agar tidak menimbulkan suara yang membangunkan orang-orang di rumah. Dia berdiri di depan sofa menatap dingin pada Milo yang sedang tertidur. Milo sebagai anjing memiliki insting yang membuatnya sadar ketika ada sesuatu mendekatinya. Dia membuka matanya perlahan dan melihat Abigail di hadapannya. Abigail duduk di samping Milo lalu mengelus bulunya yang berwarna cokelat. Milo tidak merasa takut ketika Abigail mengelusnya sehingga dia tidak menggonggong.
Lalu Abigail menggerakkan tangannya ke leher Milo dengan lembut. Lama-kelamaan dia mencengkram leher Milo dengan keras. Abigail bisa merasakan detak jantung Milo yang semakin cepat dan tatapan matanya yang penuh rasa takut. Milo mencoba melawan dengan menendang-nendangkan kakinya ke Abigail, tetapi Abigail tidak melepaskan cengkramannya. Keduanya saling tatap mata dan Abigail bisa merasakan rasa terkhianati dari Milo. Milo tidak bisa menggonggong, lebih tepatnya tidak bisa keras-keras. Dia hanya bisa melengking dan coba menggigit tangan Abigail.
Krek...
terdengar suara tulang yang patah lalu Abigail menarik tangannya perlahan melepaskan mayat Milo yang terjatuh ke sofa. Di wajahnya terukir senyuman yang penuh rasa puas tanpa ada rasa bersalah. Untuk menutupi perbuatannya Abigail mengatur mayat Milo seolah-olah dia mati dalam tidurnya.
Di pagi hari Isabel bangun lalu melakukan aktivitasnya seperti biasa sebelum berangkat ke sekolah. Setelah memastikan membawa semua buku dan barang-barang yang akan dibutuhkan di sekolah dia mencari Milo untuk pamit. "Milo, kamu dimana? Aku mau berangkat nih," ucapnya. Lalu Abigail yang sudah siap berangkat berkata, "Ayo Isabel, kita nanti terlambat." Abigail berada di kelas 6 SD jadi mereka menghadiri sekolah yang sama. Terdengar dari luar suara mesin motor yang dinyalakan, tetapi Isabel bersikeras untuk mencari Milo.
"Ah, ternyata kamu disini Milo, kenapa kamu gak jawab?" katanya. Isabel menemukan Milo yang tampak tidur di sofa tanpa ada pergerakan. Perutnya bahkan tidak naik-turun layaknya sedang bernapas. Isabel mencoba menggerakkan badan Milo dan tiba-tiba Milo terjatuh ke lantai. Jelas-jelas anjing itu terlihat sudah mati. Dengan wajah yang syok Isabel memanggil, "Milo, kamu kenapa? Milo bangun, Milo…"
Saat menyadari kalau Milo sudah mati dia berteriak, "AAAAAAAAAAAAAHHH." Air mata, air liur, apapun itu semuanya hanyut dalam tangisan. Cornelius yang berada di luar langsung masuk untuk mengecek keadaan di dalam rumah. "Ada apa Isabel?," katanya sambil jongkok di dekatnya. Lalu dia melihat ke mayat Milo dan melihat ke Abigail.
Dia berkata, "Apa yang kamu lakukan Abigail?!" Dia langsung berdiri dan menampar Abigail. Lalu berkata lagi, "Semua ini pasti ulahmu kan? Kenapa kamu melakukan ini?" "Bukan aku yah, lihat saja Isabel dia itu anak terkutuk! Semua yang dia sentuh pasti mati kalau gak, ya bernasib buruk. Kalau bukan karenanya Ibu pasti masih ada di sini dan Ayah malah memanjakannya. Seharusnya…"
Belum selesai berbicara Abigail mendapatkan tamparan lagi dari Ayahnya sampai terjatuh. "Cukup," katanya lalu berkata, "Tidak ada siapapun yang terkutuk di dunia ini, tuhan sudah memberkati kita. Kalau kamu berpikir seperti itu maka kamu itu durhaka pada tuhan!"
Di kala mereka bertikai Isabel berhenti menangis kemudian mengangkat mayat Milo. Semuanya juga ikut berhenti sambil memandang pada Isabel. Ayahnya bertanya, "Isabel, apa yang kamu lakukan?" "Aku akan mengubur Milo, dia mati karena aku… Meski aku terkutuk setidaknya aku bisa melakukan sesuatu untuk Milo." Setelah mengatakan itu dia pergi keluar rumah mengambil sekop kecil lalu menggali tanah di halaman rumah. Setiap kali dia menusukkan sekop itu ke tanah air matanya jatuh bercampur menjadi satu. Dia gali lubang yang cukup besar supaya muat untuk mayat Milo.
Sebelum menguburkannya Isabel memeluk Milo untuk terakhir kalinya. Dia dapat merasakan tubuh Milo yang tidak lagi hangat dan suhunya hampir sama dengan tanah yang ia injak. "Semoga kamu masuk surga," katanya sambil menutup lubang makam Milo.
Semenjak kejadian itu rasa bersalah Isabel semakin menggerogoti hatinya. Hari demi hari dia merasa seakan semua masalah dalam hidupnya terjadi karena dia terkutuk. Suatu hari saat Isabel berjalan bersama dengan Kristi dia menemukan kotak kardus plastik di pinggir jalan. "Apa itu?" tanya Isabel. "Kotak kardus mau apa lagi," jawab Kristi.
Isabel jadi malu dan mencoba membela dirinya, "Tau, apa isinya dan kenapa ditaruh di pinggir jalan?" "Coba liat aja kalau kamu penasaran," perintah Kristi. Dengan rasa penasaran Isabel pun membuka kotak itu. Dia kaget saat menemukan anak kucing yang sendirian dan kesepian. "Siapa yang tega meninggalkan kucing seimut ini di pinggir jalan?" tanya Kristi dengan Iba. Untuk sesaat Isabel terdiam karena mengingat Milo yang baru-baru ini mati.
Kucing ini mirip Milo pas aku pertama kali beli, sendirian dalam sebuah kardus. Habis itu aku rawat dia sampai besar hingga akhirnya sehat dan gemuk. Tapi sekarang dia sudah mati karena aku. Tapi aku gak bisa ninggalin kucing ini sendiri kayak gini. Kalau aku tinggalkan nanti kucingnya mati kedinginan, tapi kalau aku bawa nanti kucingnya malah mati juga kayak Milo. Mungkin, kali ini berbeda. Mungkin kali ini dia tidak akan berakhir kayak Milo.
"Bel, haloo kamu mikirin apa?" tanya Kristi. Lalu Isabel menjawab, "Akan kubawa pulang kucingnya." "Tapi, baru-baru ini anjingmu mati, kamu gak papa tah?" tanya Kristi dengan khawatir. Lalu Isabel mengangkat kardus itu sambil berkata, "Gak papa, akan kurawat dia sampai gede. Hai kucing, aku kasih nama kamu Mimi ya, bagus kan? Sekarang aku akan merawat kamu." Kucing itu pun mengeong, "Miaw," dan hampir melompat dari kardusnya.
Isabel membawa pulang kucing itu lalu merawatnya dengan penuh kasih sayang. Ayah dan Abigail juga tidak keberatan. Mimi juga sangat baik patuh pada Isabel dan tidak membuat banyak masalah. Malah Mimi sering menghibur Isabel dengan tingkah laku konyolnya. Entah itu melompat ke sana kemari atau mengejar-ngejar kecoa. Isabel yang takut dengan kecoa hanya bisa berdiri di atas meja saat Mimi mengejarnya.
Bulan demi bulan tahun demi tahun pun berlalu dan saat ini Isabel menginjak kelas 5 SD. Suatu hari saat Isabel pulang ke rumah dia menemukan Mimi yang sudah mati. Nasib yang dialami Milo ternyata juga menimpa Mimi. Saat itu Isabel tidak tau cara memproses emosinya dan dia hanya menangis seperti dulu. Karena tidak ada siapapun di rumah Isabel menguburkan mayat Mimi di dekat makam Milo di halaman rumah. Dia kembali menyalahkan diri sendiri dan rasa bersalahnya semakin menumpuk. Di samping itu Isabel tetap tidak ingin merepotkan orang lain, sehingga dia selalu bersikap ceria pada semua orang. Padahal yang membunuh semua hewan peliharaannya adalah Abigail, tetapi dia tetap menyalahkan dirinya sendiri. Isabel juga tidak tahu jika Abigail adalah pelakunya sampai saat ini.
Lalu saat kelas 6 SD Isabel sedang berada di sekolahnya saat waktu pulang sekolah. Seperti biasanya dia belum pulang dan sedang bermain dengan teman-temannya yang lain. Saat itu Isabel sedang menggambar di buku gambarnya. Kristi yang berada di dekatnya berkata, "Enaknya nanti kita libur seminggu lebih soalnya pandemi udah masuk ke Indonesia. Menurutmu gimana, bel? Kamu ngapain aja nanti pas liburan?" "Ngegambar paling, gak tau sih. Tapi bukannya buruk ya kalau pandemi udah sampai sini?" jawab Isabel. Kristi dengan sangat yakin berkata, "Paling cuma sampai di Jakarta doang, kalau Malang amanlah. lagian gak mungkin kita kena infeksi juga kan?" "Ya, semoga aja begitu," jawab Isabel sambil peduli tidak peduli.
Tidak lama kemudian mereka akhirnya menginjak kelas 1 SMP atau kelas 9. Tidak ada UN dan mereka tidak perlu bersusah payah untuk lulus. Namun, pandemi Covid-19 terus menyebar ke seluruh Indonesia lebih cepat dan radikal dari yang mereka pikirkan. Semua pelajaran diubah menjadi daring. Bahkan di kota Malang juga mulai banyak yang terjangkit.
Suatu hari Isabel dan Kristi janjian untuk bermain di rumah Isabel. Di pukul 10.00 pagi Kristi sudah sampai di rumah Isabel. Kristi datang sambil memakai masker dan membawa tas kecil. "Weh, Bel udah lama gak ketemu langsung, ayo kita tos jangan bilang kamu sudah lupa," katanya. "Aku masih inget kok," lalu Isabel dan Kristi melakukan tos persahabatan. Setelah itu keduanya masuk ke dalam kamar Isabel yang penuh dengan hasil gambar. Tidak hanya itu, banyak juga lukisan yang terpajang. Semua ini adalah hasil kegabutannya selama pembelajaran dari rumah.
Di dalam kamar Kristi melepaskan maskernya karena tidak kuat pengap. "Ah, akhirnya aku bisa santai gak perlu pakai masker ini terus," katanya. Lalu Isabel bertanya, "Harusnya kamu pakai itu terus gak sih, meski lagi di kamarku." Kristi menjawab, "Gak usah lah kamu sendiri tau kan seberapa pengapnya pakai masker. Aku jadi kangen sama kamu Bel, aku gak nyangka dulu pas SD liburan lama akhirnya sampai gak dateng ke sekolah lagi. Sekarang kita online, awalnya seneng tapi lama-lama stress. Entahlah kayaknya aku cuma kesepian." "Yang penting kamu di sini sama aku, nah mau ngapain nih?" ucap Isabel. Lalu Kristi menjawab, "Terserahmu aja."
Namun, sebelum Kristi datang ke rumahnya, Isabel sudah merasa tidak enak badan. Badannya lemas dan dia pilek. Meski begitu, dia tetap menerima permintaan berkunjung Kristi. Kristi memaksa untuk datang ke rumah Isabel katanya dia sudah kangen tidak tertolong. Beberapa hari kemudian Cornelius membawa Isabel ke lab untuk melakukan swab antigen. Setelah hasil tesnya keluar ternyata Isabel positif terjangkit Covid-19. Dia terpaksa rawat inap di rumah sakit khusus pasien Covid-19.
"Kalau gini gambarnya selesai, hmm kasih ini…" gumam Isabel. Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan tempat tidur yang ada di sampingnya dikeluarkan. Isabel yang penasaran bertanya pada salah satu suster, "Mau ada pasien baru kah?" "Ya, kayaknya dia seumuran sama kamu," jawab suster itu.
Hal yang tidak Isabel sangka terjadi, pasien baru yang satu kamar dengannya adalah Kristi. Dia berbaring di kasurnya dengan wajah yang sangat pucat. Suhu tubuhnya juga sangat panas. Dia diinfus sama seperti Isabel, meski sudah mulai pulih. Baru saat semua perawat sudah meninggalkan ruangan Isabel memanggil Kristi. Dia berkata, "Kristi, gimana keadaanmu, a-aku mau minta maaf. Pasti kamu ketularan aku, harusnya kamu gak pernah berkunjung ke rumahku." Kata-katanya terbata-bata dan penuh rasa bersalah. Kristi yang setengah sadar menjawab dengan lemah, "Ini bukan salahmu kok, aku sendiri yang pengen ketemu sama kamu. Eh ternyata kita ketemu lagi di sini, aku gak nyangka." "Ini udah malem kamu tidur aja ya," lalu Kristi berkata, "Oke selamat tidur."
Keesokan harinya di jam 7 pagi makanan datang yang disiapkan untuk mereka berdua. Di kamar itu hanya ada 2 kasur jadi Isabel dan Kristi akan terus bersama. Isabel mengambil sarapannya lalu menghabiskannya dengan cepat. Kemudian dia pergi ke kamar mandi untuk sikat gigi sekaligus menyeka tubuhnya sendiri. Prosesnya agak susah karena dia harus melepas bajunya melalui infus yang tertancap di tangannya.
Setelah melakukan itu semua Isabel menyadari kalau sarapan Kristi belum disentuh. Dia pun membawa sarapan itu lalu duduk di dekat Kristi. Isabel mencoba meletakkan tangannya di dahi Kristi. Dia merasakan dahinya yang seperti terbakar oleh kompor. Dahinya juga mengkerut membentuk ekspresi yang kesakitan. Isabel sudah pernah melalui ini semua jadi dia tau apa yang sedang dirasakan oleh Kristi.
"Kristi, ayo makan," kata Isabel dengan lembut. Isabel menggoyangkan tangan Kristi sampai ia terbangun. "Uh, apa oh makan, kamu gak perlu khawatir Bel aku bisa makan sendiri," ucapnya dengan lemah. "Udah mending kusuapin aja, kalau keadaanmu kayak ini susah mau makan. Meski sedikit kamu harus tetap makan," kata Isabel. Kristi pun menurutinya dan makan setiap suapan Isabel sedikit demi sedikit. Dia tidak menghabiskan semua sarapannya, tetapi setidaknya dia sudah makan. Lalu Isabel membiarkan Kristi untuk beristirahat, sedangkan dia lanjut menggambar.
Beberapa hari pun berlalu kini keadaan Kristi mulai membaik. Setiap malam dia akan meminta Isabel memperlihatkan gambarannya. Tidak hanya gambar panorama, tetapi ada gambar lainnya seperti potrait orang atau sekedar gambar lucu-lucuan. Di saat Isabel menjelaskan Kristi berkata, "Menurutmu kita akan sembuh gak Bel?" "Pasti, kamu harus terus mencoba atau berjuang karena kita gak tau masa depan kayak gimana. Semuanya akan jadi lebih baik. Yang pasti aku bakal temenin kamu."
"Kamu lucu banget, aku selalu berharap bisa se optimis kamu Bel. Aku tau kamu merasa sedih atau takut, tapi kamu selalu bisa ceria. Aku tidak menyalahkan kamu Bel, lagian kita kan sahabat aku juga kangen, yang penting kamu di sini." Kristi yang berbaring lemas memberikan senyuman manis yang melankolis. Suaranya juga lemah, meski terasa ada harapan dari suaranya. "Yaudah ayo tidur," ajak Isabel. Kristi mengangguk lalu mereka tidur di kasurnya masing-masing.
Keesokan harinya Isabel melakukan rutinitas harinya seperti biasa, sebelum mengecek keadaan Kristi. "Kristi, bangun waktunya sarapan," katanya, tetapi tidak ada jawaban. "Kristi, jangan malas-malasan kamu harus sarapan," katanya lagi, tetapi masih tidak ada jawaban. "Kristi, gak lucu ah, ayo bangun," katanya dengan khawatir, tetapi Kristi hanya diam seperti mayat. Rasa takut dan panik mulai menjalar ke seluruh tubuh Isabel. Dia bisa merasakan semua bulu di kulitnya berdiri. Detak jantungnya juga semakin mengencang. Kini bukan hewan peliharaannya yang mati, melainkan sahabatnya sendiri yang ia kenal sejak SD. Terlebih lagi Kristi terjangkit Covid karena mengunjungi Isabel.
"Kristi tolong bangun, Kristi bangun," lalu Isabel menekan tombol panggilan suster di tembok dan berkata, "Suster suster! Tolong ke sini temenku… Temenku dia tak sadarkan diri. Aku harus ngapain? Kenapa semuanya harus berakhir seperti ini?" Mau seberapa kuatnya Isabel menahan emosinya dia tetap gadis yang rapuh sehingga dia pun menangis. Dia tidak bisa berlari karena terikat dengan infus. Dia tidak bisa mengembalikan Kristi menjadi hidup. Dia tidak bisa memenuhi janji simpel yang ia berikan tadi malam pada Kristi.
Kembali lagi di waktu sekarang, Isabel tanpa sadar meneteskan air mata. Tetapi tidak ada yang menyadarinya karena semuanya sedang berdiri dan menonton konser dari tamu HEXA. Hari sudah berubah menjadi malam dan kondisi di sana sangat ramai dengan suara musik ditambah suara sorakan anak-anak yang menonton.
Dalam hati Isabel membatin, Selama ini aku selalu berharap akan ada hal baik yang terjadi. Aku kira aku akan bisa bersama Sastra, ya memang itu beneran terjadi dan dia juga menyukaiku sampai kita berpacaran. Tapi aku tidak mau dia menjadi korban dari kutukan yang kumiliki. Lebih baik aku berpisah dengannya daripada kehilangan seseorang yang kucintai di masa depan.
"Mungkin dosaku adalah jatuh cinta padamu…"