Itu kan kakaknya Isabel, akhirnya dia datang juga. Mungkin aku bisa bertanya padanya apa yang sebenarnya terjadi.
Isabel bisa merasakan kedua bahunya digenggam erat oleh Abigail. Rasa risih, takut serta panik seakan merasuki tubuhnya dalam sekejap. Kemudian dia memutar bahunya dan mendorong tangan Abigail hingga melepaskannya. Kesannya mereka seperti saudari yang sedang bertengkar dan kurang akur. Namun, Abigail tetap mempertahankan senyumannya yang membuat Isabel tidak nyaman.
Abigail mengalihkan pandangannya ke Sastra lalu berkata, "Kamu pasti Sastra aku denger banyak dari Isabel. Salam kenal aku kakaknya, panggil aja Abby." Lalu Abigail menyodorkan tangannya yang diterima oleh Sastra. Mereka berdua berjabat tangan dan saling bertukar senyum. Tentu senyuman yang mereka tukarkan semuanya palsu. "Salam kenal, kalau gitu aku gak perlu memperkenalkan diri, kakak kan sudah tau namaku," kata Sastra. Lalu Abigail menjawab, "Panggil aja Abby biar lebih akrab, lagian kamu pacarnya adikku, jadi gak usah malu-malu, iya kan Isabel?" Dengan lesu Isabel menjawab, "Iya."
Dari interaksi ini saja Sastra bisa mengamati kalau ada yang salah dalam hubungan Isabel dan Abigail. Kenapa Isabel mengajakku melihat lukisan kakaknya kalau saat bersama kakaknya dia bersikap kurang akrab? Gak ada ceritanya orang mengajak pacarnya melihat sesuatu yang tidak dia sukai.
"Sastra, kamu sudah lihat-lihat lukisanku kan? Gimana menurutmu, bagus gak?" Lalu Sastra berusaha untuk menggali informasi dari pembicaraannya dengan Abigail. Dia berkata, "Bagus aku suka beberapa, tapi aku masih kayak kurang tau makna dari lukisan-lukisannya. Bisa tolong jelasin gak?" "Boleh, tapi aku pengen lihat Isabel jelaskan maknanya untuk kamu. Ayolah, aku pengen lihat chemistry kalian, Isabel juga tau sama makna lukisanku kok, jangan khawatir. Setiap kali aku melukis dia selalu menonton dan kadang tanya-tanya," ucap Abigail.
Isabel yang merasakan tatapan Abigail pun terpaksa menurutinya. Pertama dia menjelaskan makna dari lukisan pulau itu. Lalu dia memulai penjelasannya, "Jadi, lukisan ini punya makna yang simpel, pulau yang ada sendirian di tengah-tengah menggambarkan kesepian yang ada pada pulau itu. Di pulau itu tidak ada apa-apa selain ribuan butiran pasir yang dikelilingi oleh samudra. Udah paham belum?" Lalu Sastra menjawab, "Oke, paham lanjut ke lukisan pemandangan kota Malang pas malem."
Rencana Sastra untuk menggali informasi dari Abigail gagal dan sekarang dia harus berpura-pura penasaran dengan lukisan-lukisan itu. Dia terkejut dengan kefasihan Isabel dalam menjelaskan satu per satu makna lukisan itu. Selain fasih dia juga seakan mendalami setiap lukisan yang dipamerkan.
Lalu Abigail berkata, "Isabel, kasih tau Sastra siapa yang membuat semua lukisan ini." "Yang melukis semua ini pastinya kamu," kata Isabel. Kata-katanya terdengar dipaksa dan terbata-bata. "Gimana, sebagus apa lukisanku? Jelaskan padanya juga, Bel," ucap abigail.
Lalu Isabel menjawab, "Bagus-bagus banget, mulai dari konsepnya hingga hasil akhirnya. Semua makna dalam lukisan juga tersampaikan." "Betul, ahaha ternyata kamu memang pintar Isabel," lalu Abigail melanjutkan, "Tentunya lukisan-lukisanku ini sama cantiknya dengan aku, benar kan Isabel?" Abigail mendekat ke belakang Isabel lalu menaruh tangannya di pundak Isabel. Isabel tidak menjawab, tetapi dia hanya menganggukkan kepalanya. Abigail kemudian memeluk Isabel dari belakang sambil berkata, "Hmmm, kamu memang adikku yang tersayang…"
"Lepaskan aku!" Isabel berteriak sambil mendorong Abigail. Dia terhempas ke belakang dan hampir saja tersandung high heelsnya. Setelah melakukan itu Isabel langsung berlari dengan cepat meninggalkan tempat itu. Kemana ia lari Sastra dan Abigail tidak tau, tetapi Sastra tidak bisa membiarkan pacarnya pergi dalam kondisi pikiran yang seperti itu. Sastra berteriak, "Isabel tunggu, kamu mau kemana? Jangan sendirian tunggu aku."
Saat Sastra akan berlari mengejar Isabel dia mendengar Abigail berkata, "Kamu akan lari gitu aja? Kamu gak liat betapa tidak sopannya Isabel, bisa-bisanya dia mendorongku." Sastra manatap tajam pada Abigail. Sambil berjalan perlahan dia berkata, "Tidak sopan? Dari mananya tidak sopan? Gak ada orang yang dipeluk sampai takut kayak gitu, sebenarnya apa yang selama ini kamu lakukan ke Isabel? Gak mungkin Isabel bersikap kayak gitu kalau kalian baik-baik aja."
"Emangnya menurutmu aku lakukan apa pada Isabel, dia itu selalu disayang oleh ayah kami. Mau kurang apalagi, dia yang paling cantik, yang paling baik, yang paling segalanya. Menurutmu apa yang kulakukan padanya? Hehehe, tentu dia gak membutuhkan lebih banyak kasih sayang bukan?" Senyuman jahat terpampang jelas di wajah Abigail. Gestur tubuhnya juga seakan menantang Sastra untuk memukulnya.
Tangan kanan dan kiri Sastra mulai mengepal dan dia siap untuk melayangkan pukulan. Sebelum itu dia berkata, "Pernah aku lihat Isabel ada luka di wajahnya, bahkan pernah berulang kali. Pasti itu ulahmu kan? Semua lukisan ini juga bukan buatanmu, pasti selama ini kamu memaksanya… Jawab aku!"
Abigail lalu berjalan mendekat juga pada Sastra. Tangan kirinya menyentuh pundak Sastra dengan lembut sambil mendekatkan wajahnya pada telinga Sastra. "Aku gak perlu kasih tau, kamu tinggal tanya ke Isabel aja. Pasti dia punya banyak yang harus dijelaskan, dia pasti gak banyak cerita ke kamu kan? Aahah, kalau gitu aku mau ke hall dulu mau kasih speech, selamat tinggal." Tangan Abigail perlahan terlepas dari bahu Sastra. Seakan terkena sihir Sastra tidak mampu memukul Abigail yang tepat berada di sampingnya. Tubuhnya terpaku selagi Abigail pergi.
Sial, anjing anjing anjing! Kenapa aku diam aja? Kenapa aku tidak memukulnya aja? Padahal dia tepat berada di sampingku, tubuh sialan ini gak mau bergerak! Sudahlah aku harus mencari Isabel.
Sastra berlari menelusuri jalan yang dilewati Isabel. Dia melihat ke jam tangannya yang menunjukkan pukul 06.22 malam. Tempat pertama yang terpikir olehnya adalah lift karena semua orang akan menggunakan itu dibandingkan tangga. Selain itu, dia juga bisa melihat letak lift itu sebelumnya yang menunjukkan lantai yang Isabel tuju.
Sesampainya di depan lift Sastra tertegun. Di depannya terdapat 2 lift yang kiri berada di lantai 2 dan yang kanan berada di lantai 4. Lift yang di kiri masih belum berjalan sedangkan lift yang di kanan sedang turun ke bawah. Sastra langsung menekan tombol naik pada lift kiri karena lantainya lebih dekat. Singkat waktu lift itu tiba dengan beberapa penumpang yang keluar. Setelah lift itu kosong Sastra masuk, namun sekali lagi dia tertegun. Lantai mana yang harus ia tekan?
Dari sekian banyak tombol Sastra menekan nomor 2 yang membawanya turun ke bawah. Sesampainya di bawah Sastra pergi ke resepsionis dan bertanya, "Permisi mbak mas, apa kalian lihat Isabel? Oh ya kalian gak tau ya, dia itu cewek rambutnya cokelat, pakai dress putih sama tingginya segini." Sastra membuat gestur dengan tangan kanannya menggambarkan tinggi Isabel. "Lihat gak?" lalu resepsionis itu melihat satu sama lain sebelum menjawab, "Maaf mas, kami tidak lihat orang seperti itu lewat, mungkin masnya bisa telepon temennya mas dulu. Atau kami bisa buatkan pengumuman?"
Sastra berpikir sejenak sebelum menolak tawaran itu. Dia berjalan keluar gedung sambil menekan tombol panggilan telepon. Dia membatin, Percuma kalau dibuat pengumuman Isabel tidak akan datang begitu saja. Kalau panggilannya tidak dijawab aku harus mencari manual. Yang penting aku sudah memastikan kalau tidak ada siapapun yang melihat Isabel meninggalkan gedung.
"Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan…" Suara itu menggema di telinga Sastra sebelum akhirnya dia mematikan HPnya. Dalam hatinya dia mengumpat karena panggilan WA dan panggilan nomor biasa tidak dijawab. Sastra tidak punya pilihan lain selain mencarinya di setiap lantai.
Dan ia lakukan itu, dari lantai satu, dua, tiga, empat dan seterusnya. Setiap sudut lantai dan bilik-bilik tersembunyi ia telusuri tanpa ada hasil. Sastra tidak lagi menggunakan lift dia berlari ke setiap lantai menggunakan tangga karena lebih cepat, meski juga lebih melelahkan. Hingga saat Sastra sedang berada di lantai 5 dia menyadari sesuatu. Intuisinya mengatakan kalau Isabel sedang berada di rooftop. Firasatnya juga semakin buruk setelah menyadari hal itu.
Apa yang sebenarnya terjadi pada Isabel sampai dia kayak gini? Apa yang Abigail lakukan padanya? Apa yang Isabel sembunyikan? Jangan-jangan selama ini dia berbohong padaku, aku benci pembohong. Tunggu, seharusnya aku tidak meragukan Isabel, Abigail berhasil masuk pada pikiranku. Yang penting aku harus temukan Isabel dulu.
Seiring keringat bercucuran dari pipi, leher dan sekujur tubuhnya Sastra berharap Isabel baik-baik saja. Ujung dari tangga itu juga sudah terlihat di depan mata. Sesampainya di lantai paling atas Sastra disambut oleh kaca dan lantai yang luas nan kosong. Entah karena saat itu sudah masuk waktu isya atau karena sekarang Abigail sedang berpidato tentang karya seninya yang palsu, sehingga banyak orang yang menonton.
Di pinggir gedung itu tidak terdapat pagar dan hanya pembatas semen saja yang mudah dinaiki. Di dasar lantai duduklah Isabel yang sedang memeluk kakinya sambil menangis. Dari tempat Sastra berdiri dia bisa mendengar isak tangis Isabel yang menyayat hatinya. Dia langsung berlari ke arah Isabel, "Isabel akhirnya kamu ketemu, dari tadi kamu kucariin."
Lalu Isabel berteriak padanya, "STOP, JANGAN KE SINI! AKU NANTI LOMPAT, JANGAN GANGGU AKU!" Kata-katanya seakan dia sedang berbicara pada orang asing. Isabel sudah terlalu larut dalam pikirannya hingga tidak mengenali Sastra. Otomatis Sastra berhenti dia tidak mau mengambil resiko jika yang dikatakan Isabel benar. Jarak di antara mereka berdua juga tidak cukup jauh. Jadi, perlahan Sastra mendekat sambil berkata, "Isabel ini aku, Sastra. Pacarmu oke, jadi tenang aja, dengarkan aku jangan…" Isabel menyelanya, "AKU BILANG JANGAN KE SINI, BIARKAN AKU SENDIRI!"
Namun, Sastra tidak berhenti, jarak di antara mereka berdua juga semakin mengecil. Langkah Sastra juga semakin cepat. Kali ini dia tidak membujuk atau berkata satu patah kata apapun. Isabel masih duduk bersandar di tembok pembatas yang pendek itu sambil menangis. Dia mengacak-ngacak rambutnya dan beberapa kali memukul lantai. Angin malam berhembus pada kedua tubuh mereka membuat bulu Sastra merinding. Dia merinding tidak hanya karena udara yang dingin, tetapi karena rasa takut jika terjadi hal buruk pada Isabel. Dia juga takut jika dia akan gagal melindungi Isabel. Sebenarnya rasa takutnya itu sudah menjadi kenyataan yang ia tolak untuk percayai.
Adzan Isya juga hampir selesai seakan menandakan sisa waktu bagi Sastra untuk menyelamatkan Isabel. Isabel mengusap ingusnya dengan lengan dress putihnya hingga membuatnya kotor. Dia juga mengusap air mata dan mencoba menutupi ekspresi sedihnya. Dia bergumam pada dirinya sendiri, "Aku tidak mau melakukan ini lagi, aku sudah gak kuat, aku mau pergi, pergi dari sini, dari dunia ini, aku aku aku…" Suaranya tertutupi dengan isakan tangisnya yang pedih. Melihat Sastra yang sudah berada dekat dengannya Isabel berteriak, "KAMU TETAP GAK DENGERIN, AKU SUDAH MUAK, AKU SUDAH GAK KUAT LAGI…" Setelah mengatakan itu Isabel berdiri dan langsung lompat ke atas pembatas untuk terjun bebas.
Sontak Sastra langsung menangkapnya lalu menarik tangannya ke belakang. Mereka berdua jatuh ke belakang dan Sastra berhasil menyelamatkan Isabel. "Lepasin aku, lepasin aku…" ucap Isabel berulang kali sambil memukul keras Sastra. Dia tidak melihat Sastra dan hanya beranggapan kalau Sastra memiliki niat buruk. Dia tidak mencegah Isabel dan hanya memeluknya erat sambil menerima setiap pukulannya. "Isabel, ini aku Sastra. Kamu gak perlu takut, tenang semuanya akan baik-baik saja," ucap Sastra dengan lembut. Sebenarnya dia sendiri juga menahan air matanya. Sastra tidak tega melihat Isabel dalam keadaan seperti ini.
Setelah beberapa menit memukul Sastra akhirnya dia menyerah dan menerima pelukan Sastra. Kali ini Isabel menangis semakin menjadi-jadi dan Sastra memeluknya dengan erat. Dagunya menyentuh kepala Isabel, Sastra juga menggunakan tangan kirinya untuk mengelus rambut Isabel. Sastra dapat merasakan detak jantung Isabel yang kencang ditambah dengan detak jantungnya yang juga menyamai Isabel. Keduanya bagaikan dua orang terakhir di bumi ini yang hanya memiliki satu sama lain. Selama ini Isabel selalu ceria dan ada ketika Sastra tenggelam dalam rasa takutnya. Kali ini gilirannya untuk melakukan hal yang sama.
Dengan lembut Sastra berkata, "Isabel, kita pulang aja ya, keadaanmu juga kayak gini. Kamu harus istirahat, pasti kamu capek. Ayo kita pulang aja, ok?" Isabel tidak menjawab, tetapi dia mengangguk sambil menempelkan kepalanya di dada Sastra. Lalu perlahan Sastra membantu Isabel berdiri. Keduanya saling bertatapan dan Sastra mengusap air mata yang tersisa di wajah Isabel dengan jarinya. Sastra melepas kemejanya lalu memakaikannya pada Isabel. Yang tersisa hanya kaos putih yang tidak bisa menangkis dinginnya udara saat itu. Namun, Sastra tidak keberatan, sama sekali tidak.
Kemudian Sastra menuntun Isabel ke dalam lift yang membawa mereka ke bawah. Sesampainya di bawah mereka duduk di sofa sambil menunggu mobil Grab. Sastra kemudian pergi dan datang lagi sambil membawa 2 teh botol. "Buat kamu Isabel, udah agak baikan belum? tanya Sastra sambil memberikan teh botolnya. Isabel menerimanya sambil menjawab, "Lumayan, makasih udah belikan ini."
Tidak lama kemudian mobil Grab mereka datang. Sastra masih menuntun Isabel ke dalam mobil karena tubuhnya yang saat ini lemah. Lalu mobil itu pergi mengantar mereka ke rumah Isabel. Selama di dalam mobil keduanya sama sekali tidak berbicara. Sastra beberapa kali melihat Isabel yang sedang menatap jalanan malam itu yang ramai. Di wajahnya masih terdapat bekas air mata yang terlihat jelas.
Lalu mobil itu berhenti di depan rumah Isabel. Dengan khawatir Sastra bertanya, "Kamu butuh dianter kah, Isabel?" Isabel hanya menggelengkan kepala sambil menjawab, "Gak perlu, maaf Sas aku jadi ngerepotin kamu sama terima kasih soalnya udah bantuin aku…" Lalu Isabel menutup pintu mobilnya dan beranjak masuk ke rumahnya.
Keesokan harinya saat Sastra bertemu dengan Isabel dia mencoba bertanya tentang kejadian kemarin. Mereka berdua sedang duduk bersama melihat Fatih yang dengan lihainya mengedit video film P5 mereka. Sastra bertanya, "Bel, boleh aku tau sebenarnya ada apa di antara kamu sama kakakmu?" Isabel tidak mengalihkan topik atau mengabaikan Sastra. Dia menoleh dengan senyuman melankolis dan berkata, "Maaf Sas, aku gak bisa bilang sekarang mungkin lain waktu."
Dalam hati Sastra berkata, Lain waktu itu kapan? Kapan lagi kalau bukan sekarang, semakin lama rahasia itu dipendam maka semakin pedih juga. Bagimu dan bagiku, katakan saja Isabel aku gak keberatan. Aku ingin tau rasa sakitmu dan membantumu. Tunggu, mungkin aku hanya takut dikhianati lagi, ya mungkin itu. Mungkin aku hanya membohongi diri sendiri seakan aku peduli padamu, tapi kenyataannya aku hanya takut kehilanganmu...
Dalam hati Isabel berkata, Maaf Sastra, aku tau pasti kamu khawatir dan ingin membantuku. Tapi aku tidak mau melibatkan kamu dalam masalah ini. Hidupmu juga sudah menderita, aku tidak mau menambah masalah hidupku padamu. Semua ini terjadi karena aku lemah dan takut. Takut akan ancaman kakakku, takut akan perlakuan kakakku, seandainya aku melawannya apa aku dan kamu bisa hidup bahagia atau malah sebaliknya?
Sastra tidak menanyakan lagi tentang hal itu dan tidak memaksakan pertanyaan apapun padanya. Isabel juga melakukan hal yang sama, tidak membahas kejadian itu untuk sementara waktu. Seakan-akan tidak ada yang terjadi, keduanya kembali ke rutinitas seperti biasanya.