Chereads / Chronophobia (Indonesia) / Chapter 31 - Menunggumu

Chapter 31 - Menunggumu

"8 Oktober 2023. Editing P5 nya dikerjakan oleh Fatih. Entah kenapa adegan pas banting pil itu kayak sinetron banget. Oh ya, untung aku tidak perlu membuat makalah sosiologi. Hampir semua anak di kelas buat makalah karena ujiannya mendadak. Emang sudah pernah diperingatkan kalau ujiannya diadakan mendadak, untungnya aku punya ingatan yang bagus jadi bisa mengingat semua materi yang diajarkan."

"15 Oktober 2023. Ini pertama kalinya aku masuk ke gereja. Minggu ini aku pergi ke Cor Jesu bareng Isabel dan Becca, sekolahnya mereka dulu. Luas sekolahnya, ada 2 lapangan juga. Terus pas di dalam gereja kukira bantalan di depan bangku itu buat pijakan kaki. Ternyata itu buat alas lutut, aku baru sadar pas sudah kuletakkan kakiku di sana. Untung temennya Isabel ngingetin aku."

"22 Oktober 2023. Pagi ini Isabel chat aku katanya suruh siap-siap nanti sore acaranya dimulai. Ah, iya aku juga mulai nyiapkan rencana Christmas date, tapi masih belum kubicarakan sama Isabel. Jadi gak sabar, harusnya aku bisa nemani Isabel pas HEXA. Kenapa aku harus ke Jakarta… Sudahlah harusnya aku siap-siap bukannya nulis diary."

Sastra meletakkan pulpennya lalu menutup bukunya dan memasukkannya bersama buku-buku lain di dalam rak. Dia mengenakan jam tangan yang jarum jamnya menunjukkan pukul 14.52 siang. 

Hmm, kayaknya aku bakal telat, harusnya aku dateng jam 3 sih. Semoga Isabel gak marah karena aku terlambat.

Di MCC Isabel sedang menunggu Sastra yang tidak kunjung datang. Dia berdiri di tangga paling atas dekat dengan pintu masuk. Ekspresinya tampak kesal padahal baru 15 menit. Lalu ada mobil Avanza yang berhenti di depan MCC. Lalu Sastra keluar dari mobil itu dan menemui Isabel. 

Sastra terpaku melihat penampilan Isabel yang memesona. Isabel mengenakan dress yang berwarna putih. Warnanya kontras dengan rambut Isabel yang berwarna cokelat. Rambutnya juga dikepang dan dia juga memakai jepit rambut mawar putih yang dulu dibelikan Sastra. Melihat Isabel memakai jepit rambut itu membuat Sastra merasa spesial. Dalam waktu yang sama dia juga merasa malu karena hanya mengenakan kaos putih, kemeja biru yang dibuka dan celana jeans. 

"Kok kamu telat sih?" ucap Isabel dengan marah. Dengan polos Sastra menjawab, "Emangnya udah mulai tah? Katamu mulainya malem…" Isabel ingin menyangkalnya, tetapi yang dikatakan Sastra ada benarnya juga. "Ehh, yaudah deh kita janjiannya jam 3, tapi emang belum mulai. Mending masuk aja dulu," jawab Isabel. 

Keduanya pun berjalan masuk ke dalam MCC. Di bawah tidak ada yang berbeda dari hari biasanya. Mungkin ada beberapa barang atau perlengkapan yang belum dipindahkan dari event sebelumnya, tetapi pameran lukisan yang mereka hadiri berada di lantai 3 dan 4. 

"Kita mau ngapain dulu kan belum mulai acaranya?" tanya Sastra. Isabel tidak menolehkan kepalanya dan menjawab, "Ikuti saja aku, ada tempat bagus di sini." Kemudian mereka sampai di dalam ruangan yang terdapat semacam resepsionis. Karyawan laki-laki itu mempersilahkan pada mereka untuk mengisi daftar kehadiran. Selama Sastra menunggu Isabel mengisi kertas itu, dia masuk terlebih dahulu ke dalam lorong. Lorong itu terhubung dengan ruangan yang lebih luas dengan berbagai macam benda. 

Dari belakang Isabel menyusulnya sambil berkata, "Duhh, kamu emang gak sabaran, tunggu bentar dong." "Emang ada apa di planning gallery ini?" tanya Sastra. Sastra berhenti dan melihat sekelilingnya. Di kanan kirinya terdapat proyektor yang menampilkan sejarah kota Malang melalui rangkaian foto dalam video. Lalu Isabel menjawab dengan jujur, "Entahlah, aku belum pernah masuk. Makannya aku tungguin kamu dari tadi biar bisa segera masuk bareng." Alih-alih mendapatkan jawaban yang ia inginkan Sastra hanya mendapat makian. 

Dia berjalan lagi kemudian sampai ke depan galeri yang menampilkan berbagai karya seni dari Malang. Sastra masuk ke dalam galeri yang diterangi cahaya kuning. Tembok yang berwarna putih memantulkan cahaya itu hingga membuat seisi ruangan gemerlap. Sastra berhenti untuk melihat ke salah satu karya yang dipajang di dinding. Isabel bertanya, "Ini bukan lukisan kan, kenapa dipajang di sini?" "Hmm, aku gak tau mungkin ini hal-hal yang iconic dari Malang gitu. Ini juga ada yang bahas sejarah Malang," jawab Sastra. Kemudian keduanya melihat semua karya yang dipajang di sana sebelum keluar. 

Di tengah-tengah ruangan terdapat meja dengan layar elektronik interaktif. Sastra mengotak-atik layar itu, sedangkan Isabel duduk di bangku yang terdapat kertas untuk digambar. Di kertas itu sudah diprint mobil atau bus dan tersedia pensil warna untuk digunakan. Sastra menyentuh tombol pendidikan lalu masuk ke dalam peta yang menunjukkan letak SMA di kota Malang. Dia melihat ke profil SMA 13 yang berada di tempat yang dulunya adalah SMA 14. 

Seingetku di tahun 2022 SMA 14 diubah menjadi SMA 13 karena menjadi SMA unggulan. Mereka juga membangun hubungan internasional dan sering mengirimkan siswa-siswi untuk berpartisipasi, Erina yang kasih tau. Tap rasanya ada yang aneh dan ditutupi, katanya Rian sekolah ini punya masa lalu yang kelam, tapi apa?

Tiba-tiba Isabel menepuk pundak Sastra dan berkata, "Sas, liat gambaranku bagus kan? Kamu harus gambar juga." Sastra langsung sadar dari lamunannya dan berkata, "Bagus, keren stickman gitu,, tapi aku gak bisa gambar, Bel." 

"Ini bukan stickman kok bisa kamu bilang gitu? Gak papa, meski gak bisa kamu coba aja dulu, siapa tau bagus hasilnya." Isabel pun menarik Sastra lalu mereka duduk berhadapan. Dia mendorong kertas yang berisikan gambaran mobil kepada Sastra dan memaksanya untuk menggambar. "Kalau misalnya udah nanti bisa ditampilkan di layar ini noh," kata Isabel sambil menunjuk pada layar di sampingnya. Layar itu menampilkan jalan lurus yang dilintasi sepeda dan mobil serta kendaraan yang ditampilkan di sana adalah hasil dari gambaran pengunjung. 

Kenapa jalannya lurus ke depan, tapi mobil sama motornya jalan lewat zebra cross dari samping kiri ke kanan? Emang ngantuk yang buat.

"Oke, kugambarin di kertas ini, tapi jangan ketawa kalau jelek," ucap Sastra. Isabel menjawab, "Santai, gak mungkin sejelek itu gambaranmu."

Lalu Sastra mulai menggambar, garis demi garis terlukis di kertas gambarnya. Kertas yang awalnya hanya bergambar mobil mulai hidup dengan gambaran penumpang. Namun, karena dia tidak bisa menggambar, orang-orangan itu tidak berbentuk mulus. Bentuk rambut dan kepalanya bahkan tidak sinkron. 

"Udah nih," kata Sastra sambil memberikan gambaran itu pada Isabel. Isabel tidak bisa menahan tawanya saat melihat hasil gambaran Sastra. "Kan udah kubilang aku gak bisa gambar," kata Sastra. Sambil tertawa Isabel menjawab, "Udah bagus, bagus banget." "Tuh kan, kamu ketawa, udah kubilang gak bisa gambar, tapi masih mendingan daripada stickman gambaranmu." 

"Yaudahlah kumasukkan sekarang aja, bagus ga bagus sama aja." Isabel berdiri lalu melangkah ke dekat layar monitor di belakangnya. Setelah beberapa saat dia berhasil memasukkan datanya ke dalam komputer. Sastra yang penasaran bertanya, "Emang beneran bisa keluar gambarnya?" "Gak tau, aku udah ikuti instruksinya, tunggu aja."

Mereka pun menunggu untuk beberapa menit lamanya, tetapi tidak ada tanda-tanda munculnya hasil gambar mereka. Lalu Sastra yang sudah bosan berdiri lalu berjalan ke depan layar yang berfungsi untuk foto. Sastra berkata, "Bel, mending foto aja dah, ada AR nya juga. Jir, kok ada Om Raden ada singa-singaan juga." Dengan perasaan kecewa karena gambarannya tidak kunjung muncul Isabel mendatangi Sastra. Dia melihat Sastra yang sedang menekan semua karakter AR. Lalu dari layar muncul 3 karakter termasuk Om Raden yang berdiri di antara mereka berdua. "Aku gak mau kalau ada radennya, burung sama singa aja," keluh Isabel.

"Udah sama aja, Om Radennya kan keren. Jarang-jarang bisa foto sama raja." Lalu dalam hitungan mundur Sastra merangkul Isabel. Keduanya membuat posenya masing-masing yang terlihat kompak. Kemudian mereka mengambil beberapa foto lagi dengan karakter yang berbeda-beda. "Nah kirim ke siapa?" tanya Sastra. Lalu Isabel maju sambil berkata, "Pakai emailku aja, nanti kukirimin ke kamu juga." 

Ting…

Suara notifikasi dari HP Isabel terdengar dengan keras. Kemudian dia mengecek apa foto-foto yang tadi sudah terkirim apa belum. Setelah sudah yakin terkirim dia berkata, "Sudah ada di HPku, nanti kukurimin ke kamu. Sekarang enaknya kita ngapain? Bosen di sini terus." 

"Entahlah, jam berapa emangnya sekarang?" lalu Isabel menjawab, "Jam 4 an, kalau menurutku kita makan aja dulu. Di lantai 3 ada yang jualan." Sastra mengangguk lalu menjawab, "Yaudah ayo, mumpung belum mulai acaranya." 

Keduanya pun beranjak pergi ke lantai 3. Mereka menggunakan lift yang ada di dekat pintu masuk. Lalu saat berada di lantai 3 mereka berkeliling memilih mana yang mau mereka beli. Setelah membicarakan makanan apa yang mau mereka beli, akhirnya mereka memutuskan untuk memesan mie saja. "Mau pesan apa mbak?" tanya penjualnya. Lalu Isabel menjawab, "Pesen 2 mie ayam bu, sama air putih dan es Milo." Setelah mendapatkan pesanan Isabel penjual itu memerintahkan karyawannya untuk memasak sesuai pesanan. Dia mengambil air putih di atas kulkas lalu memberikannya pada Isabel. Dia berkata, "Ini air putihnya mbak, Milonya ditunggu dulu." "Oke makasih bu," ucap Isabel sambil membayar pesanannya. 

Sastra dari tadi sudah duduk di salah satu bangku sambil menunggu Isabel memesan makanan. Uang yang dibayarkan juga berasal dari Sastra. Saat Isabel kembali Sastra berkata, "Kembaliannya buat kamu aja Bel, makasih ya." Namun, Isabel merasa tidak enak menerima uang itu. "Tapi… Ini kan uangmu," kata Isabel. Sastra tetap bersikeras, "Sudah buat kamu aja." "Oke makasih," kata Isabel sambil duduk. 

Lalu dia membuka obrolan ringan dengan Sastra. Mereka mengobrol tentang lukisan-lukisan yang akan dipamerkan. Hal itu membuat Sastra semakin penasaran untuk menyaksikannya sendiri. Tidak lama kemudian mie yang mereka pesan datang. Aroma gurih dari kuah mie ayam itu menggugah selera makan mereka. Isabel yang sejak tadi menahan lapar langsung menyantap mie ayamnya. Di sisi lain Sastra menyantap mie itu dengan santai dan anggun. 

Setelah Isabel selesai makan dia bertanya, "Habis ini kamu solat Magrib kan, Sas?" Sastra yang juga sudah selesai makan menjawab, "Nanti aja, mending kita lihat lukisan kakakmu dulu, aku udah penasaran." 

"Oke deh kalau gitu, kita langsung kesana aja," kata Isabel. Keduanya pun pergi ke area pameran seni di lantai 4. Setelah naik lift mereka sampai di ruangan berwarna putih. Di ruangan itu terdapat banyak lukisan yang dipajang di dinding atau pada penyangga kayu. 

Sastra bertanya, "Isabel, mana lukisan kakakmu?" Lalu Isabel menunjuk ke 7 lukisan yang berbeda. Semua lukisan itu berada berdekatan, tetapi memiliki tema dan gambar yang berbeda. Sastra mendekati salah satu lukisan yang memiliki gambar panorama gunung Kawi. Kebanyakan lukisannya menggambarkan pemandangan yang bisa diamati dari kota Malang atau daerah sekitarnya. "Ini semua kakakmu yang lukis, Bel?" lalu Isabel menjawab, "Ya, mau siapa lagi…" Nada dari jawabannya agak aneh dan terdengar dipaksakan, tetapi Sastra tidak terlalu memikirkan hal itu dan terus fokus pada lukisan-lukisan itu.

Sastra mengamati satu per satu lukisan-lukisan itu. Dia bisa merasakan kalau seniman yang melukiskan ini memiliki bakat yang khusus. Sastra tidak memiki banyak pengetahuan tentang kesenian dan lukisan, tetapi dia sering mengamati lukisan bersejarah. Bahkan dia punya lukisan yang besar di ruang tamunya. 

Saat sampai pada lukisan yang terakhir Sastra seakan merasa deja vu. Dia tidak langsung ingat dari mana dia melihat lukisan itu. Lukisan itu memiliki gambaran sebuah pulau kecil yang berada di tengah-tengah samudera luas. Pulau itu tampak sendirian dan tidak ada apapun di dalamnya. Detail realistis dari ombak dan langitlah yang membuat lukisan itu menonjol meski hanya ada pulau kecil.

Lalu Sastra mengingat sesuatu, Sek, lukisan ini aku pernah melihatnya di buku… Iya, buku gambarnya Isabel pas awal perkenalan. Kenapa ada lukisan yang sama kayak di bukunya Isabel? Sebelumnya aku juga merasa ada lukisan yang familiar yang lukisan bukit itu. Apa Isabel membantu kakaknya? Apa kakaknya meminta tolong kepada Isabel? Tapi kenapa Isabel bolang kalau semua lukisan ini buatan kakaknya? Jangan-jangan dia dipaksa… 

Dengan ekspresi seribu pertanyaan Sastra bertanya pada Isabel, "Isabel… Ini lukisan yang ada di buku gambarmu, kan? Kenapa jadi lukisan kakakmu?" Mendengar itu Isabel terdiam tidak tau harus menjawab apa. Dia merasa takut akan hukuman kakaknya jika dia membocorkan rahasia itu. Di sisi lain dia juga ingin mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi. 

"J-jelas-jelas ini buatan kakakku semua, kalau bukan dia siapa lagi? Memangnya aku pernah kasih liat buku gambarku tah?" kata Isabel. Lalu Sastra menjawab, "Dulu pas awal perkenalan aku pernah liat buku gambarmu, gambarnya pulau juga, persis." Sontak Isabel kaget Sastra bisa mengingat detail dari gambar di buku gambar Isabel yang ia lihat selama 2 detik. 

"Paling kamu salah lihat, aku biasanya juga gambar, tapi lukisan-lukisan ini beneran buatan kakakku," ucap Isabel dengan lirih. Dia juga tidak berani menatap mata Sastra saat mengatakan itu. Namun, Sastra tetap memojokkannya, "Ada sesuatu yang kamu sembunyikan Isabel, gak papa bilang aja ke aku meski itu hal buruk." Masih saja Isabel tidak menjawab apa-apa dan hanya menatap lantai dengan khawatir.

Tiba-tiba terdengar suara high heels datang mendekati mereka. Wanita itu memiliki rambut lurus terurai dan berwarna sama dengan rambut Isabel. Di wajahnya tampak bekas luka bakar yang membuatnya kurang cantik dibandingkan Isabel. Kemudian wanita itu berhenti di belakang Isabel sambil memegang kedua bahu Isabel. Abigail berkata dengan lembut, "Hai, Isabel ternyata kamu bawa pacarmu juga ke sini ya… Lucunya."